Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Februari 2012

Premanisme



Sebuah konflik sosial yang merupakan ciri khas dari  negara-negara berkembang yang padat penduduknya, kembali menguat belakangan ini, yaitu menggilanyanya praktek premanisme di Jakarta yang telah begitu meresahkan  masyarakat yang sedang menggeliat berjuang melawan daya beli yang terus merosot. Mereka “yang sebenarnya dari usia dini telah mendapatkan pembelajaran budi pekerti yang baik di sekolah dan lingkungan sosial” sebenarnya  adalah anggota masyarakat yang  memaksakan nyalinya sendiri, dan menjual hidupnya demi upah yang tidak seberapa harganya dibanding dengan “moralitas sebagai manusia Indonesia yang Berbudi Luhur”, yang sebenarnya bisa mereka jadikan aset sosial untuk menjual jasa mereka dengan baik, santun dan terpuji.

Mereka sudah tidak lagi remaja yang penuh symbol kegagahan dan memaksakan diri untuk menjual dirinya sendiri demi pengakuan komunitasnya yang konyol. Namun apa sebabnya mereka menjadi sebagian kecil masyarakat yang nanar dan meradangkan amarah demi profesi mereka yang kerap melanggar hukum. Mereka identik dengan pelaku kekerasan dan  bila mungkin tak segan untuk menghilangkan nyawa sasaran yang dituju. Sehingga jadilah negara kita seakan akan tidak memiliki paying hukum lagi. Aksi mereka mirip dengan gangster di abad cowboy yang pernah terjadi di negara Amerika beberapa abad silam.

Dalam tayangan media elektronik, kita saksikan sendiri bahwa mereka dengan leluasa menguasai jalan-jalan di ibukota dengan mengacung-acungkan parang dan senjata api rakitan. Apakah mereka tidak sadar bahwa aksi mereka sebanarnya hanya “sebutir pasir di tengah padang pasir” bila dibanding dengan kekuatan personil apart kekuatan yang kita miliki, pabila memang institusi lembaga berwajib elah sigap, siap dan professional dalam menindak tegas mereka. Kekuatan merekapun akan tidak berarti apa-apa apabila nurani seluruh Rakyat Indonesia “sebagai power people” berniat untuk melindas mereka. Meski premanisme kini telah bermetamorfosis menjadi bentuk baru, yaitu merebaknya organisasi kemasyarakatan yang resmi.

·         Pendekatan Komprehensif

Setiap anggota masyarakatpun telah tahu, bahwa untuk mengatasi premanisme yang membenalu di sekujur tubuh bangsa ini, adalah dengan pendekatan sosial yang komprehensif. Hal ini berarti bahwa apa, siapa dan bagaimanapun anggota masyarakat di sekitar kita wajib kita pandang dari aspek yang menyeluruh dan bukan hanya terhadap preman yang mengumbar bafsu amarah di jalan jalan saja.

2
Namun dengan menyunting pendapat Dr Sodharto MA, tokoh masyarakat Jawa Tengah yang menyiratkan  bahwa masyarakat kita dewasa ini telah mengalami perubahan sikap hidup dan budi pekerti. Dengan distorsi sosial yang terjadi seperti sekarang ini, bagaimana kita mampu mencanagkan program pembangunan Masyarakat Indonesia seutuhnya yang telah dipoles dengan pembelajaran di sekolah dan lingkungan sosialnya. Bila telah terbukti secara hukum, banyak oknum petinggi kita yang telah massuk penjara akibat laku tidak terpuji berupa korupsi.

Padahal dewasa ini masyarakat Indonesia telah menempati strata diversifikasi sosial yang beragam, yaitu sebagian masyarakat kita yang telah  mengenyam pendidikan tinggi dan berprofesi formal. Sehingga mampu menempatkan diri dan memiliki pengakuan sosial di tengah masyarakat. Sedangkan sebagian lainya menempati strata buruh, yang berpendidikan formal layak serta memiliki profesionalisasi di bidang yang ditekuni, baik berkecimpung di sector formal maupun nonformal. Sedangkan sebagian besar lainya memiliki pendidikan yang belum memadai dan berkecimpung di dalam sector non formal.

Meskipun diversifikasi tersebut digambarkan dengan asumsi yang kasar, namun tetap saja bahwa untuk strata yang terakhir di atas masih menempati proporsi yang tinggi , maka wajar saja pada strata ini terjadilah potensi laten yang mampu berdinamika seperti bola liar yang dapat bergejolak sesuai dengan kondisi masyarakat. Apabila mentalitas dari kita yang tidak mampu member keteladanan pada mereka semua, maka mencuatlah potensi laten ke permukaan dalam bentuk premanisme, demo anarkis, kerusuhan dan tindakan masyarakat kita lainnya yang muncul di hampir dua dasa warsa ini.

Sebuah konsep sosial yang cemerlang, handal dan real butuh segera diusung demi menepis arogansi premanisme yang seenaknya seperti di abad “The Wild Wild West”.Minimal dimualai denga memutuskan link antara organisasi preman, pengusaha dan oknum pejabat yang membentengi organisasi preman tersebut. Dan yang lebih penting lagi, adalah supremasi hukum untuk mereka yang tidak hanya “anget tahi ayam”. Hal ini pelu dikedepankan sebelum munculnya gejolak sosial yang lebih rumit lagi, yaitu tindakan brutal masyarakat luas terhadap mereka, ataupun pertikaian berujud sara yang dipicu oleh premanisme.

Rabu, 18 Januari 2012

Kereta Api dengan Bola Beton


Laporan : BBC News 17 Januari 2012

Pejabat kereta api di Indonesia telah menggantungkan bola beton di atas rel kereta api untuk menghindari penumpang gelap yang berada di atas atap gerbong. Bola beton yang pertama di gantungkan adalah bola yang berada di atas rel dekat stasiun kereta utama di ibukota.

Sedangkan bola lainya segera menyusul dipasang di sepanjang jalur kereta, agar penumpang menjadi jera naik di atas atap.

Langkah ini terpaksa diterapkan setelah bebrapa usaha telah dilakukan, diantaranya adalah membasahi atap kereta dengan cat, membasahi dengan oli dan himbauan yang diberikan kalangan artis untuk menyadarkan penumpoang gelap tersebut.

Menurut keterangan dari pejabat kereta api, semua langkah tersebut telah gagal dan lebih lanjut pejabat tersebut mengharapkan bahwa ini adadal upaya terakhir . Namun demikian beberapa pihakpun telah menyatakan sikap tidak setuju dengan langkah tersebut, karena alasan masih berkurangnya jumlah kereta api untuk menampung  penumpang di ibukota

 Selanjutnya pejabat tersebut memaparkan di hadapan BBC News bahwa penumpang yang berada di atap sangat berpeluang menemui bahaya. Karena selama 2008 paling sedikitnya 53 penumpang telah tewas dan pada tahun 2011 terdapat 11 penumpang yang meninggal.

Sebagian besar korban meninggal karena membentur kabel listrik di atas kepala mereka dan beberapa diantaranya meninggal karena jatuh dari kereta api.

Wartawan  BBC Dewi Safitri di Jakarta mengatakan bahwa penumpang kereta api yang berada di atas atap dapat kita saksikan setiap pagi. Pada saat jam sibuk sebanyak 400,000 penumpang menggunakan jasa ini untuk keluar masuk kota Jakarta. Mereka terpaksa menaiki atap karena harga tiket yang tidak terjangkau kantong mereka. Disamping itu juga mereka harus berdesak-desakan di dalam kereta yang terbatas daya tampungnya.

Di lain pihak mereka para penumpang di atas atap sebenarnya merasa takut dengan pemasangan bola tersebut. Salah satu diantaranya adalah , Mulyanto ( 27 th) yang setiap hari menggunakan jasa tersebut untuk pulang pergi dari Bogor tempat tinggalnya ke Jakarta tiap hari.

Selasa, 17 Januari 2012

Insak (Informasi Sekali Klik)


Siapa saja saat ini mampu  menikmati informasi terbaru, yang gencar ditayang oleh multimedia yang murah, cepat, akurat sekaligus “up to date“ dengan hanya hitungan menit saja. Bahkan informasi dari ujung duniapun tidak menjadi halangan bagi masyarakat kita untuk mengkonsumsinya. Apalagi dengan semakin mudahnya masyarakat mendapatkan peralatan elektronik yang mengusung berita tersebut. Siapakah masyarakat Indonesia yang saat ini tidak memiliki pesawat televisi, telephon celluler atau bahkan “ipad” yang sekarang tambah terjangkau masyarakat kita.
Dengan hanya bermodal sebuah pesawat telivisi kita mampu mengkonsumsi berita terkini setiap 6 jam sekali, atau dari media “on-line” yang hanya  satu klik di toolbar beranda Google. Kita dapat dengan mudah mengkonsumsi dan menelisik seluk beluk sesuatu. Tidak usah menunggu jadwal sirkulasi media cetak atau jam tayang berita dari televisi jaman tahun 80-an.
Wacana tentang arus informasi terbaru secepat merambatnya “gelombang elektronik”  meski tanpa perantara oksigen ini,  adalah wacana yang usang. Revolusi  memanjakan publik  dengan tak terbendungnya arus informasi, adalah wacana yang biasa seiring dengan perubahan “life style” masyarakat yang menjadi kritis,  tidak takut mengkritik pejabat yang pada era 80-an dianggap tabu. Bahkan dengan pemberdayaan perangkat media elektronika, publik melalui jasa jurnalis, masyarakat dapat mendapatkan informasi tentang pernyataan sikap/pendapat/ide dan gagasan petinggi tentang segala sesuatu. Hal ini menumbuhkan sebuah konsekuensi logis, bahwa setiap petinggi di negeri ini tidak akan mampu bersembunyi dari sorotan publik. Sehingga kebohongan-kebohongan dari oknum petinggipun tidak mampu tertutup/ bertahan lama.
Salah satu sisi positif dari revolusi informasi tersebut,  adalah  mulai tersingkapnya sikap arogansi para oknum penegak hukum yang terus menerus memenuhi tayangan multimedia, yang merugikan masyarakat kecil dan selalu menjadi sasaran empuk. Baik sebagai objek ketidakadilan hukum atapun tindak kekerasan yang tidak jarang menimbulkan korban luka ataupun korban jiwa. Anehnya semakin gencarnya multimedia mengungkap tindak lancing tersebut, penistaan terhadap masyarakat kecilpun terus saja berlangsung  tanpa  menyadari bahwa masyarakat dewasa ini sudah tidak bisa dibohongi dan disiasati lagi.

Bahkan setiap noktah hitam yang menimbulkan kekecewaan publik terus saja menggelinding dan bertambah besar sejalan dengan pengembangan  tindak penilepan uang negara tersebut, yang berujung dengan sikap publik yang semakin terperangah. Bukankah kita tidak mungkin mengeluarkan suatu statemen yang sepihak, bahwa semakin tinggi jabatan oknum petinggi, semakin besar pula oknum tersebut berpeluang melakukan pelanggaran hukum. Atau memang “tirai birokrasi” yang menyumbat supremasi hukum berhasil menutupinya
Aspek inilah yang perlu kita garis bawahi sehingga mampu memberikan pencerahan kepada semua pihak, untuk melamgsungkan kinerja dengan mengedepankan tertib hukum, langkah yang prosedural dan mengutamakan eksistensi kepercayaan masyarakat terhadap mereka. Tanpa ini semua negara kita akan terus menjadi negara “seribu anarkis”.
Berbagai pihak telah mulai mengkhawatirkan terkikisnya nasionalisme yang hinggap di dada setiap masyarakat Indonesia. Hal ini memang telah terbukti, sebagai contohnya adalah semakin sepi masyarakat mengibarkan bendera merah putih pada hari-hari besar nasional. Atau telah lupa sebagian besar generasi muda terhadap jasa dan sejarah pahlawan kita. Mereka lebih memilih untuk melakukan tawuran, anarkis pada pertandingan sepak bola tanpa memperhatikan siapa yang menang atau kalah. 
Dengan usungan nasionalisme yang pas-pasan tersebut, maka kepelikan sosial bakal terjadi, yang terus menerus akan menimbulkan  masalah bagi pemerintah setiap kali harus mengeluarkan kebijakan strategis di bidang apapun. Padahal setiap kebijakan strategis tentu saja akan mengorbankan beberapa pihak. Masihkah bisa masyarakat kita rela berkorban demi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Atau masihkah masyarakat kita mau menerima kebijakan pengurangan subsidi negara terhadap premium, demi penghematan uang negara. Padahal dengan informasi satu klik setiap hari mereka disuguhi berita oknum petinggi yang melakukan korupsi.

Sikap dan jiwa besar dari kita semua perlu dikokohkan dalam sanubari kita, agar penyakit kronis yang hinggap di tubuh bangsa ini tidak melumpuhkan citra bangsa yang besar ini. Hal adalah sesuatu harga mati lantaran kebesaran jiwa kita bisa mampu dijadikan tameng terhadap hasutan dan intrik politik dari

petualang politik yang mendiskritkan dan mengarahkan tudingan pada pemerintah secara sepihak. Meskipun dalam negara demokrasi sikap politik seperti ini memang bukan suatu pelanggaran konstitusi negara. Tetapi akumulasi beban hidup rakyat kecil inilah yang perlu kita waspadai agar tidak bermetamorfosis menjadi elemen revolusi sosial yang membahayakan disintegrasi bangsa. Yang pada giliranya akan merusak sendi sendi kehidupan kita bersama.

Senin, 02 Januari 2012

Ada Apa Dengan Bangsa Ini


Setiap saat di berbagai media kita mendengar dan melihat banyak sudah ahli politik/negarawan/sosiolog/budayawan/ahli hukum dan praktisi hukum yang menymbangkan pendapat/komentar dengan lagu yang merdu/sumbang perihal bangsa yang tiada menentu ini, dari masalah tebang pilih pembrantasan korupsi/gratifikasi/marking-up budget proyek/kenisbian supremasi hukum dan lain sebagainya. Namun masih saja terus dan terus kita saksikan peristiwa pelanggaran nlai dasar bebentuk apapun, baik itu hukum, nilai sosial, moralitas dan lain sebagainya yang dilakukan oleh banyak oknum petinggi bangsa ini, dari masalah Gayus, Centuy Bank, pelanggarn HAM di Bima dan lain sebagainya. Hingga akhirnya si keilpun menoba menyampaikan ide gagasan, meski dari sudut pandang tempurung otak yang tiada seberapa besarnya.

Rupa rupanya bukan hanya kepiawaian suatu disiplin ilmu saja yang dibutuhkan untuk meredakan semua perilaku yang mulai mengkhawatirkan ini. Setidak tidaknya sebuah keteladanan positif, tentang bagaimanan mrntalitas petinggi bangsa yang mengorbankan kepentingan pribadi demi negara,  karena dorongan nasionalisme tulen yang melekat. Dengan sebuah keteladanan yang manis inipun pada giliranya mampu menyedot dan menghipnotis “grass root”.

Indonesia adalah bangsa yang besar dari dimensi yang bervariasi , mulai dari kekayaan sumber daya hayati hingga kebudayaan yang tersebar mulai dari Sabang sampai Merauke.  Keberagaman tersebut tentunya menimbulkan “side effect” berbedanya pola pandang terhadap segala arah. Meskipun kita berbangga hati telah memiliki instrumen pemersatu bangsa Pancasila. Namun karena melekangnya kesejukan yang telah lama menerpa bangsa ini, instrumen penyatu itupun ikut terhempas menjadi hanya sebuah nama. Efek yang cukup mengkhawatirkan ini pada giliranya nanti jelas akan mengarah pada disintegrasi bangsa.

Meski wacana di atas adalah sebuah wacana yang usang, namun bila sebuah pencerahan publik harus terus dilakukan demi injeksi obat yang manjur untuk penyakit sosial/moralitas ini, maka tidak ada salahnya apabila media menyodorkan kepada publik secara terus menerus tanpa adanya rasa bosan. Hal ini bertepatan dengan fungsi sekunder dari media, yaitu untuk merancang bangun nilai nilai dasar kepada publik mereka sendiri.

  • Revitalisasi Nasionalisme
Kita akan terlalu banyak mengeluarkan peluh, pikiran, tenaga dan biaya apabila kita meraba dan mencari kiat untuk menghambat laju perubahan nilai baru,  yang sekarang menerpa masyarakat kita. Meski perubahan itu tiak mungkin kita bendung begitu saja, karena telah menyempitnya volume bumi ini atau telah bertambah dekatnya jarak antar ruang angkasa, akibat capaian tehnologi internet. Namun masalah nasionalisme yang direeransikan pada akar sejati nasionalisme kita harus kita tumbuh kembangkan tanpa mengenal langkah surut.
2
Nasionalisme tersebut adalah nasioanalisme yang secara menggelora timbul pada dekade tahun 45-an, dimana masalah negara adalah masalah hidup mati Rakyat dan Bangsa Indonesia.

Dengan landas pacu dan kemasan yang berbeda maka nilai itupun masih perlu kita jinjing,semata-mata demi penyadaran publik dan konsistensi pada langkah ke depan. Bukankah konsistensi ini dewasa ini menjadi sesuatu yang bermetamorfosis menjadi hanya ornamnen di dinding ruangan kantor atau di dinding kelas. Dengan menipisnya nilai nilai tersebut, lantas bagaimana kita mampu menyatukan kembali daerah/propinsi yang ingin lepas dari Pangkuan Ibu Pertiwi.

  • Pendekatan Agamis yang Konkrit
Benang hitam yang terulur di tahun 2011 telah menimbulkan aspirasi kita semua mengenai bagaimana kita menguntai benang lembut sehalus sutera di tahun 2012. Demi revitalisasi kejayaan bangsa kita yang disuriteladani pendahulu kita,tentunya kita tidak malas dan tidak setengah hati untuk menepis kebobrokan bangsa ini lebih dalam lagi. Untuk itu pendekatan agama sebagai nilai dasar dan essensi bagi seluruh manusia Indonesia perlu dikonsepsi lebih real lagi, bkan semata-mata aspek formalitas saja.

Penyaringan bakal calon semua petinggi bangsa perlu lebih menelibatkan publik dalam aspek agama. Sehingga noda hitam sekecil apapun bisa kita ketahui dan mampu kita inventarisasikan ketimbang nantinya menjadi oknum petinggi bangsa yang korup dan berbuat amoralitas lainnya.

Disamping itu pembelajaran agama yang selama ini hanya pelengkap saja di sekolah umum harus dilangsungkan lebih besar lagi porsinya dengan aspek Affektif (sikap mental) peserta didik yang paling ditonjolkan. Oleh karena itu tindak pencurangan UN yang selama ini terjadi menyeluruh dan kita biarkan saja harus segera dihentikan dengan cara pembatalan UN dan diganti sistim evaluasi yang representatif seperti sebelumnya (Ebtanas). Sehingga ancaman jati diri bangsa bakal lenyap. Bayangkan saja bila32.317.989 peserta didik kita dari jenjang SD hingga SMA yang tersebar di 141.089 sekolah negeri dan 36.890 sekolah swasta kita teladani dengan tindak pencurangan. Maka akan menjadi apa generasi ini nantinya ?.

  • Tekad Bersama
Siapa saja yang menyimak wacana tersebut di atas pastilah akan terselip rasa khawatir di hati sanubari masing-masing. Kita tidak mengharapkan bila sebagian besar masyarakat Indonesia hanya duduk berpangku tangan, atau para oknum petinggi bangsa hanya mampu berdebat demi kepentingan pribadi/partai/organisasi/komunitas mereka saja seperti yang terjadi belakangan ini.

Namun sebah tekad bersama perlu kita usung, seperti tekad Rakyat AS dengan tekad “New Deal “ yang dimotori oleh Franklin Delano Roosevelt (January 30, 1882 – April 12, 1945) , yang dicanagkan pada Tanggal 4 Maret 1933. Sesuatu apapun tidak akan bakal terjadi sama seperti sekarang apabila kita betul betul sepakat dalam tekad bersama untuk menyelamatkan kekayaan dari Anugerah Tuhan yang Kuasa berupa Bangsa dan Negara Indonesia.

Kamis, 15 Desember 2011

Membentuk Generasi Wanita Ideal


MENYAMBUT HARI IBU 2011

sri wahyuni

Memasuki minggu-minggu terakhir Bulan Desember 2011 ini, kita hendaknya  bersiap untuk berbenah menyambut tahun baru 2012. Perubahan positif mestinya telah kita tekadi dengan memfokuskan sebuah pembentukan mentalitas dan moralitas, untuk mengusung sebuah life-style. Perubahan di atas semestinya pula direalisasi dengan menelibatkan  semua komponen masyarakat dalam  acuan “sebuah kepentingan bersama “ yang kita harapkan. Sehingga berhasilah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara yang sukses dalam pemberdayaan  “asset sumber daya manusia” untuk bertanggung jawab dalam pembangunan sebuah bangsa.

Namun untuk menggapai sebuah predikat semua komponen masyarakat sosial yang “ready to use” tersebut, memang bukan masalah  yang gampang, dalam artian tekad itu harus diwujudkan dengan sebuah tekad yang dikonsep dengan cermat, bersinergi tinggi dan penuh tanggung jawab, taktis dan sungguh-sungguh.  Termasuk salah satu diantaranya adalah pemberdayaan Perempuan Indonesia yang berkomposisi sebesar 50,3% dari 238,452,952 total penduduk. Dari jumlah tersebut 58 % diantaranya tinggal di pedesan dan menempati posisi buruh tani dan kebon sebesar  69,32% dari 47,67 % tenaga kerja di pedesaan.

·         Jebakan Kultur

Segmentasi kontribusi perempuan Indonesia dalam menggapai kemajuan bangsa, memang belum optimal bila kita korelasikan dengan jumlah pengusaha wanita di Indonesia yang masih minim yakni hanya 0,1 persen dari total penduduk. Hal ini sesuai pernyataan  Menteri Pemberdayaan Perempuan, Linda Amalia Gumelar, di Bandung pada bulan Januari 2011 silam.  Data statistik di atas turut pula meyakinkan kita, bahwa sebagian besar wanita di Indonesia masih belum mengenyam kriteria sumber daya manusia yang dituntut ‘up to date”. 

 Meski jumlah wanita karir terus merangkak  di tengah masyarakat dari tahun ke tahun, namun peningkatan ini hanya terjadi di kota-kota karena kondisi sosiologis yang menuntut dan memungkinkan segmentasi ini berlangsung. Bagaimana dengan kiprah wanita di pedesaan, yang memerankan 69,32% dari 47,67 % tenaga kerja di pedesaan. Jebakan kultur telah menghisapnya dari tuntutan semua pihak agar wanita lebih signifikan berperan, sesuai dengan teori Myers, (1995), yang mengemukakan tentang pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, bahwa dalam satu keluarga ada dua fungsi yang harus dikembangkan secara khusus yaitu mendidik anak dan memproduksi makanan. Sebuah rancangan keluarga yang terdiri dari seorang laki-laki dan seorang wanita, maka akan sangat menguntungkan apabila salah satu fungsi dalam keluarga tersebut diberikan kepada satu jenis kelamin dan fungsi lainnya kepada jenis kelamin yang lain.
Namun sebuah realita lainya tidak mampu ditepis, bila kita mengamati kehidupan pasutri  muda di kota yang bersama terlibat dalam meniti karir di berbagai bidang jasa, tanpa menepiskan fungi kodrati gender tersebut.  Hal ini disebabkan lantaran kehidupan modern memang menantang pasutri muda untuk terlibat di kancah hidup yang kompetitif, profeionalisasi, inovatif dan totalitas. Dengan demikian teori dari Myers, (1995) tersebut bukan merupakan life-style yang sacral lagi. Lantas bagaimana fungsi dan peranan Wanita Indonesia yang hidup di pedesaan yang agraris.

·         Pendidikan Gratis

Pengentasan peran wanita yang kita harapkan tidak bisa kita lepas begitu saja pendidikan formal dan informal yang memadai dan murah, bahkan belakangan ini telah mencuat wacana pendidikan gratis. Dengan dana pendidikan sebesar lebih dari Rp.200 Trilyun Rupiah bukan hal yang mustahil untuk penggratisan pendidikan dari mulai SD hingga PT guna pemberdayaan Wanita Indonesia. Sehingga minimal Wanita Indonesia telah menapaki type generasi yang smart, inovatif , terbuka serta bermentalitas “up to date”.

Agar lebih menggigit lagi peran sebuah generasi wanita, maka pelatihan-pelatihan dasar pebisnis dalam suatu kelompok kerja harus direalisasi dengan serius, terutama di pedesaan. Pelattihan ini difokuskan pada agribisnis sekaligus menciptakan sebuah peluang ekspor komoditi yang di Indonesia masih menjadi mimpi panjang. Peluang tersebut sebenarnya masih terbuka luas bila kita kaitkan dengan masih tersedianya lahan yang luas di bumi kita, ditambah dengan kekayaan hayati yang berlimpah ruah. Apabila pendidikan gratis untuk pendidikan dan pelatihan gratis untuk wacana tersebut di atas tentunya mampu menambah nilai plus untuk wanita kita.***

Sabtu, 19 November 2011

ASEAN dan Perang Dingin Baru


Semangat persaudaraan “Bangsa Serumpun” lahir dari tangan Adam Malik, tepatnya saat dia membidani kelahiran ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967, berkat dedikasi dan kredibilitasnya yang piawai di politik internasional dan diplomasi sebagai Menteri Luar Negeri RI ( Kabinet Ampera II Orba )         dengan dibantu Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN lainnya.

Pada momentum ini sekaligus  Adam Malik berhasil mengendalikan Perdamaian Serumpun Melayu (Indonesia - Malaysia). Persaudaraan tersebut memang secara esensi perlu dicanangkan guna terbentuknya “jembatan emas” yang mampu menepiskan konfrontasi besar-besaran yang pernah mendera dua bangsa serumpun, yang disimbolkan dengan “Slogan Dwikora” ( Dwi Komando Rakyat) yang dicetuskan Presiden Soekarno  tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta).
Sejak dari awal berdirinya,  hubungan multilateral  antara  Negara Negara Asean berjalan mesra dan mulus hingga saat ini, meski melewati sejarah mencekamnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang terus memusarinya.  Sikap Negara Negara Asean saat itu lebih memfoluskan pada pembangunan ekonomi  ketimbang pembangunan militernya. Sikap ini telah jelas dimotori oleh Soeharto  yang dengan galaknya mencanangkan program pembangunan  jangka panjang berjenjang (Repelita) selama 32 tahun. Dalam hal ini Mantan Perdana Menteri Lee Kwan Yew menyatakan bahwa warisan yang berarti untuk Soeharto adalah “Asean yang konstruktif”.
Kesungguhan Soeharto semakin jelas dalam membawa ASEAN untuk memfokuskan  pembangunan ekonomi, perdamaian dan aspek lainnya, saat Indonesia memimpin GNB periode 1992 – 1995, meskipun pertentangan antara Blok Barat dan Timur, dekolonisasi telah lenyap. Salah satu contoh kiprah Ketua GNB tersebut  adalah manuver Soeharto yang secara khusus mengundang Brunei untuk turut serta dalam kerjasama selatan-selatan (Ningrum Natasya, Gerakan Non Blok dalam Masa Kepemimpinan Indonesia 1992 – 1995. Universitas Sumatra Utara, 2003).
***
Semangat ASEAN untuk mempererat kerjasama multilateral sama sekali tidak terpengaruhi sejak runtuhnya Uni Sovyet yang mulai menggejala sejak  Januari 1987, sejak Gorbachev menyerukan diadakannya demokratisasi: memperkenalkan unsur-unsur demokratis seperti misalnya pemilu dengan banyak kandidat di dalam proses politik Soviet. Pada Juni 1988, dalam Konferensi Partai ke-19 dari PKUS, Gorbachev meluncurkan pembaruan-pembaruan radikal yang dimaksudkan untuk mengurangi kontrol partai terhadap aparat-aparat pemerintahan (Wikipedia, 2011).
Uni Sovyet benar benar runtuh ketika Komite Sentral Partai Komunis US melepas Negara Negara yang dahulu di bawah kendalinya  pada 7 Pebruari 1990. Sehingga “domino principle” ambisi hegemoni komunis ke Negara Negara yang terpuruk ekonominya menjadi sirna,. Apalagi dengan berlangsungnya perubahan politik Negara Negara satelit Uni Sovyet di Eropa Timur. Namun demikian sikap Negara ASEAN yang akomodatif tidaklah semudah begitu saja untuk mampu menciptakan kawasan Asia Tenggara menjadi kawasan yang sejuk dan damai.
Ancaman baru telah berada di depan Negara Negara Asean karena adanya realisasi pembangunan militer China besar-besaran untuk mewujudkan “Negara Militer Modern” pada tahun 2020, dengan meningkatkan anggaran militer sebesar 300 %. Pada decade tersebut jadilah China sebagai Negara super power baru yang mampu mengungguli kecanggihan militer AS.
Dalam sejarah berlangsungnya KTT Asean,  baru  kali ini KTT Asian, yang digelar di Nus Dua Bali dihadiri Presiden AS Obama, setelah presiden -presiden AS sebelumnya memandang perhelatan fenomenal ini dengan sebelah mata. Namun ekspatasi luas di publikpun bergaung sehubungan kedatangan Obama tersebut. Apakah Obama berambisi mencari dukungan politik, fasilitas ataupun militer guna menghadapi militer China. Apakah juga Obama berambisi menciptakan Perang Dingin Baru di Laut China Selatan dengan menyeret Negara Negara Asean.
Perang Dingin baru di Laut China Selatan terindikasi dengan adanya ambisi Gedung Putih untuk menempatkan 2500 pasukan mariner AS di Darwin Australia paling lambat 2014 nanti.
Menanggapi masalah ini Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa menyambutnya dengan sikap diplomasi yang bersahabat. Marty tidak mempermasalahkan pangkalan milter tersebut, karena kekuatan militer AS diharapkan mampu menjadi perimbangan di kawasan Asia Tenggara dan mampu menciptakan iklim ekonomi yang kondusif. Kita mengharapkan bersama agar Indonesia tidak terpancing dengan Perang Dingin Baru di kawasan Laut China Selatan. Karena kita harus menunjukan sikap konsekuen kita dengan “Semangat Non Blok” yang pernah dinyatakan mantan Sekjen PBB Bouthros Ghali bahwa  Non Blok harus tetap pada 5 prinsip politiknya yaitu: “ Tidak bersekutu dalam konteks konfrontasi timur barat, bersekutu dengan perjuangan anti colonial,  tidak terlibat dengan persekutuan militer multilateral dan tidak terlibat persekutuan militer bilateral dengan suatu negara adidaya dan tidak memberi tempat pada suatu pangkalan militer suatu negara adidaya”

Sabtu, 12 November 2011

Merajut Ulang Benang Sutra Pahlawan

Patriotisme anak bangsa yang pernah di tunjukan pada momentum yang paling heroik, yang terjadi pada 10 November 1945 silam di Surabaya. adalah  “epos kepahlawanan”  yang dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara Bangsa Indonesia, dianggap sebagai momentum yang belum mencapai puncak. Jika kita cermati begitu banyaknya tantangan yang harus dihadapi bangsa ini untuk menggapai masa depan yang cerah. Meski saat itu ribuan Pemuda Surabaya dan sekitarnya berjuang menyabung nyawa melawan  AFNEI yang tergabung dalam  Brigedir 49, Divisi 23 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby. Dengan keberanian yang  mengagumkan, pemuda kita berhasil mempertahankan Kota Surabaya dari sergapan AFNEI selama 1 bulan, jauh dari perkiraan AFNEI yang sesumbar mampu melumatkan Surabaya dalam 3 hari.

Tentunya kita bertanya pada diri kita masing-masing, mengapa epos kepahlawanan yang begitu heroik, dewasa ini hanya menjadi kenangan sejarah untuk generasi sekarang. Jangankan untuk mengorbankan  segalanya, untuk berpartisipasi pada upacara hari hari besar nasioanal secara khidmatpun, terkadang kita tidak mampu.  

Padahal dalam perjalanan hidup Bangsa Indonsia dari perguliran waktu demi waktu,  terdapat benang benang sutra kisah kepahlawanan. Dari koridor waktu perjuangan fisik (masa revolusi) hingga “pensejajaran” capaian jati diri dengan bangsa lain, penguasaan iptek, pengentasan kemiskinan dan pekerjaan rumah kita yang paling berat dewasa ini, yaitu merekontruksikan  nilai nilai luhur nenek moyang kita yang terhempas akibat merosotnya nilai nasionalisme. Tantangan seperti inilah yang menjadi alasan kita, mengapa “darah dan keringat” pahlawan kita tempo dulu belum mencapai puncak.

Rajutan benang sutra kepahlawanan dewasa ini memang sudah jauh berbeda ketimbang membungkam kanon-kanon AFNEI, atau mengenyahkan anjing anjing NICA dan lain sebagainya. Figure pahlawan yang tampil pada usia 70-an  tahun setelah merdeka, secara “garis besar “ adalah mereka yang mampu menepiskan “kerikil kerikil tajam” pada landas pacu menuju kemajuan  Indonesia segala bidang dan  mereka yang mampu menyingkap faktor penghalang kemajuan bangsa dan lebih jauh lagi memberikan partisipasinya pada laju kereta reformasi, atau mereka yang mampu memecahkan masalah-masalah yang terjadi seperti kemiskinan,  pendidikan, hingga lingkungan.

Sehingga andaikan seorang pengusaha besar telah  berhasil membimbing perusahaan anak asuhnya hingga berhasil, seorang pendidik dengan penuh moralitas dan tanggung jawab membimbing peserta didiknya hingga menjadi pandai atau seorang pemeduli lingkungan yang berhasil memberi manfaat sosial pada masyarakatnya, apalagi seseorang yang berhasil dalam pembelajaran sosial menurut bidang dan kemampuanya adalah  seorang pahlawan.  Bagi figur pahlawan sejati seperti tersebut di atas,  pastilah akan menepis simbol atau emblem kepahlawanan, tak pernah memperdulikan pro- kontra definisi pahlawan dan tak kan pernah mencari tahu tentang distorsi definisi kepahlawanan.

Wacana di atas memang patut kita terima, sebab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa (1988), kata ’’pahlawan’’ berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Jadi ada tiga aspek kepahlawanan, yakni keberanian, pengorbanan, dan pembela kebenaran.  Lantas bagaimana mungkin kita kembali dalam rajutan benang sutra kepahlawanan, apabila sebesar 103,19 trilyun Rupiah  telah masuk ke perut perut oknum petinggi (laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran  sesuai temuan Badan Pemeriksa Keuangan ).  Padahal para koruptor
tersebut yang nota bone adalah para petinggi bangsa sangat diharapkan suri tauladanya dalam keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.

Kita mengharap dengan sungguh sungguh adanya rekonstruksi epos kepahlawanan yang hadir dalam sanubari setiap masyarakat Indonesia, yang berada dalam masa masa kritis dalam bidang integrasi (menghangatnya kembali tuntutan masyarakat papua untuk memisahkan diri), sikap skeptis dan anarkis rakyat dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan ajakan SBY  dalam sambutanya pada HUT Golkar yang ke- 47 di Gelora Bung Karno, Sabtu 29 Oktober 2011, yang menyatakan bahwa dewasa ini Indonesia telah memasuki “masa transformasi”, yang dicirikan dengan reformasi dan demokratisasi.  Untuk mewujudkan hal tersebutnya SBY mengajak  kita untuk meneruskan program pengentasan kemiskinan,  pembangunan daerah,  pembrantasan korupsi dan lain sebagainya.

Capaian keberhasilan kita di atas tentunya membutuhkan penyadaran bersama dan pembelajaran sosial untuk menyelipkan daya juang sama seperti daya juang pahlawan kita, yang berhasil dengan gemilang melawan tentara inggris di Surabaya 66 tahun silam. Kita perlu merajut kembali benang sutra kepahlawanan , sehingga Rakyat Indonesia mampu kembali mengusung keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.

Selasa, 01 November 2011

Diantara Realita dan Mimpi Panjang


Baru saja kita menjadi saksi tentang tentang perhelatan politik Bangsa Indonesia yang digalang oleh SBY. Perhelatan tersebut adalah upaya SBY dalam mereshuffel kabinetnya pada Senin, 17 Oktober  silam tahun ini. Perhelatan ini, sangatlah banyak menyita perhatian publik, dari mulai elit dan petualang politiki hingga masyarakat awam di pinggir jalan. Fenomena reshuffle tersebut ternyata menimbulkan dinamika politik baru di akhir tahun 2011 ini, di salah satu terdapat komunitas politik yang merasa  dikhianati oleh SBY. Sementara itu di sisi lainya  reshuffle menimbulkan sebuah pertanyaan besar, mengapa terdapat menteri yang terlibat kasus suap yang memalukan, tetapi tidak bergeming dari posisinya.
               Bagi sebagian masyarakat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, yang belum mampu untuk mengukir hidup layak di bawah iklim ekonomi yang belum kondusif, reshuffle kabinet tidak banyak terpatri dalam memori otaknya. Perhelatan politik ini menurut mereka hanyalah semata kegiatan para petinggi politik, wakil rakyat, pejabat tinggi dan orang gedongan lainnya, yang sama sekali tidak peduli dengan angka kemiskinan, yang harus tertekan hingga 5 % di tahun 2013 kelak.
              Apabila reshuffle ini semata berdasarkan peningkatan kinerja menteri dan efektifitas kerja hingga akhir jabatan SBY maka kita dapat berharap akan adanya realita peningkatan taraf hidup “si kecil yang hidup menderita”, yang mencapai jumlah kurang lebih 13.865.000 jiwa pada tahun 2013 nanti. Kekhawatiran kita menjadi bertambah, bila reshuffle ini hanya alat pemuas kekuatan politik yang melingkungi SBY. Sehingga masyarakat Indonesia kembali terlelap dalam mimpi panjang dengan perut yang kosong, padahal mereka baru saja menerima teguran dari sekolah di mana putra mereka belajar, untuk segera melunasi SPP dan biaya buku yang selangit. Belum lagi kegalauan orang tua menghadapi “biaya kuliah” putranya di PTN yang pada era Soeharto, justru relatif murah biaya perkuliahanya.
              Kontroversi terus saja bergulir menjamah si kecil yang belum mampu menikmati hidup ini. Padahal setiap hari mereka disodori tayangan multimedia tentang penggelembungan dana pemerintah untuk berbagai proyek, yang dilakukan oknum pejabat menteri/kepala instansi pemerintah/kepala daerah ataupun oknum pejabat tinggi lainnya, yang menggelembungkan perutnya sendiri hingga milyaran rupiah jumahnya. Sama sekali tidak ada aspek keteladanan sosial untuk sebuah pembelajaran yang sangat kita perlukan bersama. Maka wajar saja bila dampak kekesalan warga sering tidak tersalurkan menurut undang undang atau prosedur lainnya. Mereka lebih terasa terhormat, apabila segala macam caci maki dilontarkan di pinggir jalan yang mengganggu kepentingan bersama.
              Oleh karena itu, kita perlu menanggapi dengan jernih tentang hasi kerja Kabinet Indonesia Bersatu II hingga akhir masa jabatanya nanti. Kita tetap berharap banyak tentang realita yang bakal ditorehkan mereka yang dengan sukses dan signifikan berhasil membawa perubahan. Sebaliknya apabila kita terus terjerambab dengan tidur panjang kita, maka tidak menutup kemungkinan akan timbul dampak “distorsi nasionalisme”, seperti timbulnya  konggres Papua Merdeka, yang dihadiri 300 simpatisannya. Atau timbulnya bentuk radikalisme baru di Indonesia yang lepas dari sumbu “primordialisme” di tanah air kita.
              Padahal semakin modernya peradaban yang memusari kita, semakin kompleks pula dinamika perubahan sosialnya. Sehingga pembelajaran sosial tentang pembentukan karakter sosial perlu  dicanangkan oleh semua pihak. Karena salah satu ciri orang hidup di komunitas modern, bukan saja orang yang mampu menguasai iptek/sain saja, tetapi adalah manusia yang mampu memberi pembelajaran bagi siapapun, tentang keadilan sosial,  kehidupan bernegara, kepedulan dan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan sosialnya. Sehingga apabila sikap ini telah “jauh panggang dari api” untuk semua masyarakat, maka jangan diharap Indonesia bakal memiliki generasi penerus yang hidup di tengah realita hasil kerja generasi sekarang. Mampukah hal ini kita wujudkan.
              Sudah barang tentu semua petinggi bangsa, baik menteri yang baru ataupun para wakil menteri adalah putra putra bangsa yang terpilih dan terpanggil, karena aspek kapabilitsnya ataupun cerminan karakter yang bisa dijadikan teladan bagi semua masyarakat Indonesia. Maka sebaiknya demi keberlanjutan pembangunan dan  menjaga eksistensi “Bangsa yang Santun”, sebaiknya kinerja yang handal tanpa disertai sikap lancung/khianat kepada bangsa dan negara, adalah modal utama dalam merealisasikan cita cita bersama. Inilah pembelajaran sosial yang paling efektif ketimbang pembelajaran di sekolah ataupun perguruan tinggi.
              Sehingga nantinya kita tidak terus berkubang dengan sikap mental negatif, yang oleh Amin Rais disebut dengan istilah Sindrome Inferior Komplek yang sangat memalukan, apabila kita hubungkan dengan kejayaan nenek moyang kita. Nenek moyang kita adalah masyarakat yang belum ber-iptek dan jauh dari modernisme saja  mampu menjadi “Macan Asia”, mengapa kita sebagai generasi penerus yang ber-iptek tidak mampu merealisasikan.

Selasa, 25 Oktober 2011

Keprihatinan Bersama untuk Tahun 2012


Rasa sukur patut kita simpan dalam sanubari kita, bahwa prediksi  Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) tentang awal musim hujan tahun 2011-2012,  ternyata tidak meleset. Semula BMKG mempredikisi awal musim hujan akan jatuh pada pertengahan Bulan Oktober tahun 2011 ini, dan ternyata di berbagai tempat di Indonesia sejak pertengahan Bulan Oktober ini telah mulai memasuki musim hujan. Meski datangnya musim hujan ini akan sangat tergantung pada zona musim (ZOM) setiap wilayah. Sehingga, waktu mulainya hujan tidak akan bersamaan.

Lebih jauh lagi BMKG menganalisis prakiraan musim hujan secara detil, berdasarkan  laporan resmi institusi ini pada 14 September 2011 silam, sebagai berikut: Awal Musim Hujan 2011/2012 yang berlangsung di 342 Zona Musim (ZOM) diprakirakan terjadi pada bulan Oktober 2011, dengan rincian sebanyak 131 ZOM (38.3%) dan November 2011 sebanyak 121 ZOM (35.38%). Sedangkan beberapa daerah lainnya awal Musim Hujan terjadi pada Agustus 2011 sebanyak 9 ZOM (2.63%), September 2011 sebanyak 29 ZOM (8.48%), Desember 2011 sebanyak 43 ZOM (12.57%), Maret 2012 sebanyak 6 ZOM ( 1.75%), April 2012 sebanyak 2 ZOM (0.58%), dan Mei 2012 sebanyak 1 ZOM (0.29%).

Namun demikian rasa sukur kitapun harus selalu dibarengkan dengan sebuah keprihatinan bersama, lantaran menurut hasil analisa terbaru dari jaringan buoy RAMA (Research Moored Array for African-Asian-Australian Monsoon Analysis and Prediction) diketahui bahwa  wilayah  di Samudra Hindia dan  Samudra Pasifik hingga April 2012, akan mengalami musim hujan, termasuk wilayah Indonesia. Hasil analisis RAMA tersebut ternyata tidak jauh berbeda dengan analisis Pasific Marine and Environmental Laboratory (PMEL) dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), yang lebih rinci menyatakan bahwa secara statistik probabilitas musim hujan “di atas normal”  pada akhir 2011-awal 2012, adalah sekitar 70%.
Bencana Banjir

Tingginya peluang hujan di atas normal tesebut tentunya mampu mensiratkan  kita untuk bersikap  “ekstra waspada dan prihatin “ terhadap banjir  yang ditimbulkannya. Sehubungan dengan banjir yang telah akrab dengan kita,  Kepala Sub Bidang Peringatan Dini Cuaca Ekstrim BMKG, Kukuh Ribudiyanto, menyatakan bahwa cuaca ekstrim memang salah satu penyebab terjadinya banjir dan biasanya curah hujan yang tinggi ini terjadi mulai Desember hingga Febuari. Perubahan pola hujan di seluruh kawasan Jakarta misalnya, terjadi karena akan memasuki musim penghujan. Tahun ini, curah hujan di Jakarta memang terjadi di atas normal, dan akan berlangsung hingga Maret dan April.

Apabila Jakarta sebagai salah satu wilayah negara kita terkena dampak curah hujan ini, maka kewaspadaan yang melibatkan semua pihak tentu mulai disiapkan dari sekarang. Sebab bencana alam tersebut akan menimbulkan dampak yang luas, seperti yang pernah dialami Pakistan tahun 2010 silam. Negara berkembang itu telah dilanda banjir bandang terparah dalam sejarah, hal ini karena sebanyak 14 juta warganya menderita akibat banjir tersebut. Jumlah ini sungguh menakjubkan dan sebanding dengan korban bencana tsunami yang menyerang Samudra Indonesia Tahun 2004, bencana gempa bumi di Kashmir Th 2005 dan gempa bumi di Haiti 2010 silam.

Cadangan Beras
Berdasarkan keterangan resmi dari Perum Bulog di Gedung DPR, Juni 2011 tentang menipisnya stok beras yang hanya cukup  untuk akhir tahun ini (sekitar 1,7 juta ton), kita sekarang dihadapkan pada suatu realita tentang urgensi keprihatinan bersama, apalagi bila kenyataan lain telah menghadangnya, yaitu adanya kekosongan beras untuk  kebutuhan Bulan  Januari hingga Maret 2012. Beruntung bahwa sisia sok beras yang ada masih cukup untuk penyaluran beras raskin 260 ribu ton/bulan.
Adapun untuk kebutuhan Januari-Maret 2012, Bulog setidaknya membutuhkan serapan beras sebesar  800 ribu ton. Namu pada banyak hal, salah n untuk serapa beras sangat bergantung pada banyak hal, salah satu diantarany adalah surpls panen, perbaikan saluran irigasi dan lain sebagainya.

Bencana  “Solar Flare”

Pada  Bulan Pebruari 2011 lalu, ilmuwan dari seluruh dunia mencermati adanya tiga muntahan partikel matahari yang dapat mencapai bumi. Masa partikel yang dimuntahkan matahari tersebut diketahui jelas telah mempengaruhi lapisan magnetik bumi. Gelombang partikel tersebut telah mampu menerjang bumi selama beberapa hari dan diketahui sebagai hantaman gelombang yang paling kuat sejak tahun 2006. Dampak dari gelombang ini adalah sangat luas sekali, termasuk adalah menyebabkan gangguan  sistim telekomunikasi satelit  dan lain sebagainya. Gelombang partikel dari matahari ini disebut dengan “Solar Flare”.

Fenomena tersebut oleh Lapan telah dipediksi bakal menyerang Indonesia pada tahun 2012. Lebih jauh Lapan telah memprediksi bahwa bencana tersebut akan mencapai puncaknya pada tahun 2012 sampai 2015 kegiatan matahari akan mengalami puncaknya dengan kndungan energi pada gelombang itu sekitar  6x1025 joules. Solar flare akan melepas energi yang besar yang di kenal dengan badai proton. Proton ini bisa menembus tubuh manusia dan menyebabkan kerusakan biokimiawi.

Terdapatnya berbagai kendala yang menerpa kita semua pada tahun 2012 nanti, tidak lain hanyalah  upaya antisipasi menurut kemampuan kita sendiri, minimal dengan menumbuhkembangkan  rasa prihatin dan waspada terhadap dampak dampak perubahan cuaca di jagat raya kita
Penulis : Bambang Suknadji -Semarang

Jumat, 21 Oktober 2011

Pemimpin Yang "Keblinger"



Kata “Keblinger” berasal dari Bhs, Jawa yang bermakna salah arah/ salah penerapan terhadap nilai nilai yang diakomodatif  bersama dalam suatu masyarakat sosial.  Sehingga sering kita menyaksikan suatu karakter baru yang menerpa suatu masyarakat sosial, yang pada esensinya adalah  merupakan capaian deviasi sosial. Dalam kajian sosiologis perubahan semacam ini disebut sebagai “social changing” dari masyarakat tersebut, yang secara kategories tidak ditinjau lebih lanjut, apakah perubahan sosial masyarakat tersebut bersifat negatif atau positif.

Meski demikian,nilai nilai yang melekat jauh di lubuk hati masyarakat, tidaklah bersifat absolut. Nilai sosial tersebut mampu mengalai perkembangan “vertikal dan horizontal”, tergantung peubah peubah yang diadopsi masyarakat tersebut,  meski karakter dasar dari masyarakat tersebut relatif tidak musnah di telan berbagai arus perubahan. Spesifikasi tersebut membawa suatu konsekuensi logis yang melekatnya, yaitu esensi “keblinger” yang bersifat relatif. Lebih jauh lagi, “keblinger”  bisa bermakna “salah atau benar”, tergantung dari mana kita berpijak.

Selama berabad abad lamanya Bangsa Arab sangat kental memegang kultur yang patuh, setia dan “anti demokratis”  dalam ruang lingkup pengakuan terhadap pemimpin bangsa mereka. Mereka lebih menempatkan pemimpin bangsa dalam fungsi yang lebih luas dibanding bangsa lainnya. Bahkan mereka menentukan pemimpin bangsa mereka sebagai “Amirul Mukminin”, yang diharapkan tetap konsisten kehadirinya di tengah mereka sepanjang hayatnya. Sehingga banyak bangsa Arab yang tidak menyukai pergantian mereka secara periodik.

Dengan sendirinya  selama ini mereka tidak mengenal pilkada, pilgub dan pilpres ataupun partai politik, seperti bangsa bangsa lain di dunia ini. Contoh Negara Arab yang mmemegang kuat kultur di atas, adalah Saudi Arabia, Kuwait, Qatar, Bahrain, Libia, Syria dan lain sebagainya. Sedangkan Negara Mesir, telah mengalami “Akulturasi”  akibat terinfiltrasi  sistim demokrasi. Sehingga mereka sudah mengenal “sistim demokrasi” jauh sebelum dekade tahun 2010-an. Namun demikian nilai lama dalam sistim bernegara masih mereka semayamkan dengan kukuh. Terbukti dalam sejarah,  mereka menerima kehadiran Presiden Anwar Sadat dan Husni Mubarrok hingga beberapa dasa warsa, selama Amirul Mukminin mereka tetap menjunjung moralitas yang diakui bersama oleh Masyarakat Mesir.

Selama 30 tahun Mesir di bawah kebijakan perseorangan, yaitu Husni Mubarak yang berlindung di Partai Nasional Demokrat. Presiden yang merupakan presiden terkaya di dunia dengan kekayaan 71 milyar US Dollar telah didukung sepenuhnya kehadiranya   oleh Negara Israil dan Eropa Barat serta AS. Banyak pihak yang mendapat keuntungan dengan Husni Mubarak ini, yaitu Israil dengan perjanjian damainya yang dirancang oleh pendahulunya Presiden Anwar Sadat. Disinilah keblingernya Husni Mubarak, yang dikecam luas masyarakatnya, terutama Partai Liberal Islam yang sama sekali menuntut agar Mesir menjadi negara independen tidak didikte AS, Eropa Barat dan Israil. Sehingga jatuhlah Husni Mubarok diganyang masyarakatnya sendiri. Sehingga Bangsa Mesir telah mengusung “keblinger” terhadap kultur mereka sendiri.

Sejarah telah menorehkan, bahwa masih banyak pemimpin pemimpin Negara Arab, yang otoritas dan keblinger. Salah satunya adalah Muammar Khadaffi pemmpin Bangsa Libia, yang pada akhir Bulan Oktober dikabarkan telah tewas, setelah sekian lama menjadi buron rakyatnya sendiri,yang meregangkan revolusi berdarah.  Muammar Khadaffi berasal dari Sirte, lahir 7 Juni 1942. Dia dilahirkan dari keluarga miskin yang nomadik. Sejak dia duduk di bangku SMU, dia sudah memimpin kelompok revolusioner yang militan  dalam melawan monarchi Libia yang probarat. Kebencian kepada barat memuncak pada tahun 1969, kala dia yang masih berpangkat kapten berhasil memimpin Revolusi Al Fatah untuk menggulingkan Raja Idris yang pro Amerika. Semenjak itu Muammar Khadaffi menjadi penguasa tiran, dengan gaya ambisinya untuk  mengembangkan masyarakat baru berdasarkan prinsip-prinsip sosialisme Libya dengan semboyan “sosialisme, persatuan, dan kebebasan 

Hasil penjualan minyak Libia kepada negara lain, tidak serta merta dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyatnya sendiri, akan tetapi ditelip demi kekayaan Muammar Khadaffi dan keluarganya. Walhasil dari hasil korup ini, kekayaan Khadaffi sangat luar biasa , hingga mencapai 80 Milliar US Dollar. Apalagi kekayaan tersebut digunakan untuk membayar tentara pribadiny guna mempertahankan  rezimnya. Apabila Muammar Khadaffi tidak digulingkan dan dibunuh masyaralatnya sendiri, maka kekayaan dia dan keluarganya akan semakin fantastic, mengingat Libya adalah produsen minyak terbesar ketiga di Afrika. 

“Keblinger” Khadaffi mulai tampak saat Libia diterkam badai demonstrasi rakyatnya sejak Febuari 2011 silam, yang sudah tidak menaruh simpatik lagi pada pemimpin mereka. Situasi menjadi bertambah mencekam setelah Rakyat Libia, mulai membentuk milisi untuk secara terang terangan berniat menjatuhkan Khadaffi, yang pada akhirnya milisi tersebut berhasil menembaknya mati pada Hari Kamis, 20 Oktober 2011.

Wacana tersebut mampu menggugah pemikiran kita, bahwa mereka mereka para pemimpin bangsa/tokoh dunia dapat mengalami kejadian dramatis sekaligus tragis, yang sangat kontroversi antara kaharismatiknya saat mereka berada di puncak kejayaanya dan saat mereka diganyang rakyatnya sendiri, seperti yang dialami Consescue dari Rumania, Musollini dari Italia dan Muammar Khadffi dari Libia, serta masih banyak contoh lainnya (Dari beberapa Sumber).

Senin, 26 September 2011

PARADE KORUPSI NASIONAL


Setiap bangsa yang telah berdaulat dan larut dalam pergaulan antar bangsa di persada pergaulan internasional, tentunya menyepakati akan raihan prestasi masa depan dalam hal kesejahteraan, kedamaian, ketertiban, keberlangsungan hidup yang relatif abadi dan lain sebagainya. Raihan tersebut pada akhirnya membuahkan “Way of Life” dari segenap putra putra bangsa yang mengusungnya. Raihan prestasi itu pula, dapat menjelma menjadi atmosfer kehidupan anak bangsa yang real, bila putra putra bangsa terinternalisasi untuk merealisasikan atau bahkan hanya sekedar fatamorgana, bila derap kaki putra putra bangsa hanya berjalan setengah-setengah. 

Sejarah telah mencatat dan bisa dijadikan bukti, bahwa semua anak Bangsa Indonesia pernah berusaha menggapai kehidupan masa depan bangsa dengan mengorbankan semua yang dimilikinya, dari mulai harta, darah, jiwa dan raga demi sebuah harga diri dan kebebasan anak cucu semua anak bangsa tersebut. Masih terselip dalam sanubari kita, kala pejuang bangsa di Surabaya, yang berdatangan dari berbagai penjuru berusaha menghalau 1 brigade The Fighting Cock, julukan pasukan Inggris yang dipimpin Jenderal Mallaby, pada Bulan November 1945. Perjuangan untuk meraih cita cita dan jati diri bangsa telah menelan korban ratusan ribu jiwa dan berhasil mempertahankan Kota Surabaya selama satu bulan. Pertempuran tersebutpun diakui Ayam Jago dari Inggris itu sebagai pertempuran yang terdahsyat yang mereka hadi, meski persenjataan kedua belah pihak sama sekali tidak seimbang 

Bila kita tarik garis waktu kejadian 66 tahun yang lalu dengan era sekarang, maka akan kita hadapi hubungan yang kontroversi. Kala itu tidak ada satupun oknum petinggi bangsa yang berperilaku menggelembungkan perutnya sendiri dengan cara menggelembungkan belanja uang Negara, jarang terjadi satu oknum petinggi bangsa yang sempat membohongi publik demi tujuan pribadi. Kala itu terdapat pemeo yang menggaungkan gugur satu tumbuh seribu. Berlainan dengan pemeo ditangkap satu koruptor terbongkar 1000 koruptor baru. Betapa tidak, kasus Gayus masih belum hilang dari ingatan kita, lantas tidak beberapa lama kita mendengar keterangan media bahwa telah terjadi korupsi pada pembangunan Wisma Atlet SEA GAES di Palembang, menyusul kemudian tudingan uang suap untuk Muhaiman Iskandar Semoga saja kasus kasus korupsi yang seakan membentuk parade tidak banyak terulang lagi, meski kita tidak akan pernah mampu melibas kasus kotupsi menjadi “Zero Corruption “. Karena apabila kasus tersebut hanyalah tekad kita yang hanya “lips only” maka jadilah tanah tumpah darah kita hanya unggul di Parade Korupsi yang berlangsung di seluruh pelosok tanah air, yang paling memalukan dengan panji panji kebesaran parade yang dibawa oleh oknum petinggi, tepatnya oleh oknum pejabat/mantan pejabat bupati/walikota/gubernur.mentri/pemimpin partai dan lain sebagainya. Kita harus ingat bahwa perilaku tersebut mampu menjadi sikap hidup negatif yang darimbas menjadi pembelajaran social kepada seluruh kehidupan masdyarakat Indonesia, dari rakyat kecil hingga petinggi sang peneladan bagi “grassrote”. Oleh karena itu, kita lebih prihatin bila sudah tidak ada lagi kejujuran untuk si abang becak/pedagang baskso/pedagang mi ayam/pedagang buah dan lain sebagainya, bahkan lebih parah lagi menjalar menjadi sikap tak jujur bagi sebagian oknum pendidik yang member kunci jawaban pagi anak asuhnya yang mengikuti UN dari tahun ke tahuan Lantas dari sisi mana kita mampu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan disegani di seluruh pelosok dunia, apabila parade korupsi ini menjadi semakin hingar bingar tak kunjung usai, selaras dengan suhu perpolitikan yang menjadi kian tak menentu. 

Padahal di era Soeharto-negarawan yang yang pernah kita gulingkan-pengentasan kemiskinan, yang nota bene mengusung pembangunan segala bidang telah berlangsung dengan cukup sistimatis dengan pelaksanaan Repelita.Terbukti “The Smilling Jenderal” berhasil menjalankan perekonomian dengan hasil yang mencengangkan, dan membawa stabilitas serta kemakmuran sampai tahun-tahun terakhir pemerintahannya Namun kita bahkan tidak mampu menjilpaknya atau bahkan meneruskan hasil pembangunan tersebut. Padahal kita lebih unggul dalam hal segalanya, termasuk diantaranya adalah tranparansi semua aspek kehidupan, hadirnya institusi HAM, keterbukaan pers dan lain sebagainya. Namun nyatanya “Man Behind Gun” belum siap segalanya. Atau mungkin benar saja, bila kita mengakui hasil riset “Human Development Indeks”. yang menempatkan SDM kita di bawah SDM Vietnam, dengan slogan “The Killing Fields” yang baru merdeka tahun 1975. Cara yang handal dan terintegrasi harus kita mulai dari sekarang, agar kita mampu bangun dari tidur panjang, sehingga kita akan berdaya guna lagi di kemasan pertumbuhan ekonomi sampai 7 % seperti yang digagas SBY baru baru ini. Cara yang jitu bisa kita aplikasikan dengan salah satu diantaranya, adalah mengusung daya gerak yang serempak, terarah dan bertanggung jawab, dari mulai si kecil hingga para petinggi yang penuh rasa nasionalisme yang tulen, seperti pada generasi terdahulu yang mampu mengenyahkan anjing anjing NICA 

Dengan langkah berkontinyuitas perihal tekag kita bersama tersebut di atas, dapat kita yakini bersama tentang keberhasilan tujuan kita, asal tidak terjadinya norma hukumyang berwarna abu abu, yang tidak menjadikan penegak hukum bertindak tumpang tindih dalam menuntut kewenanganya yang saling silang. Masih adakah hasrat yang ditekadi bersama agar kita mampu menepiskan Parade Kodupsi Nasional ini ?.

Selasa, 22 Maret 2011

Malaysia Tempat Transit Penyelundup Senjata Nuklir


Malaysia telah melakukan investigasi terhadap kapal kargo yang digunakan untuk pengapalan spare part guna keperluan sebuah rancang bangun Senjata Pemusnah Masal atau Weapons of Mass Destruction (WMD). Hal ini berdasarkan kecurigaan Polisi Diraja Malaysia tentang perlengkapan pembuatan bom yang dikapalkan dengan jalur dari China ke Timur Tengah.

Menteri Dalam Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein menyatakan bahwa Malaysia kemungkinan besar digunakan sebagai transit pengapalan spare part. Pemerintah berani memastikan bahwa bom yang dibuat awal Maret bukan yang pertama di Bulan Maret. Pemerintah memang sedang melakukan investigasi tentang background container spare part yang diketemukan di 2 kontainer.

Selanjutnya Menteri Dalam Negeri menyatakan bahwa psare part uitu dimungkinkan sebagai perlengkapan pembuatan senjata pemusnah masal atau senjata nuklir. Polisi Diraja Malaysia juga telah menanyakan kepada Negara yang berkepentingan dengan nuklir tersebut. Dua container diketahui telah memuat perlengkapan nuklir dan merapat di Port Klang, sebuah pelabuhan yang terletak di barat Kuala Lumpur, berasal; dari China dan menuju ke Kuala Lumpur.

Hishammuddin selanjutnya menyatakan bahwa perlengkapan tersebut digunakan untuk pembuatan nuklir dan akan menyeret implikasi Negara yang sangat luas. Pertama kita harus mengidentifikasikan perlengkapan tersebut dan untuk tujuan apa. Tetapi Hishammuddin juga menyatakan bahwa Malaysia hanya tempat transit saja bukan untuk penggunaan WMD tersebut, seperti yang diberitakan surat kabar Star.

Pemerintah Malaysia menyatakan bahwa materi materi yag dimuat container adalah materi yang dibawah control dan pembatasan perdagangan oleh UN Security Council dan hukum internasional.(BBC News, 22 Maret 2011).

Kamis, 17 Maret 2011

Antara Gedung Putih dan Cikeas


Franklin Delano Roosevelt (January 30, 1882 – April 12, 1945) terpilih sebagai Presiden AS yang ke 32 ( masa bertugas 1933 – 1945) dan berhasil meraih predikat central figure di mata warga Negara Amerika di pertengahan abad ke 20. Bahkan masyarakat duniapun mengakui kebesaran kepemimpinannya, terbukti Maskot Man of The Year 1933 untuk Majalah TIMES jatuh ke figure dia. Roosevelt memimpin Bangsa Amerika saat terjadinya krisis hebat karena berkecamuk PD II. Dia adalah satu satunya Presiden Amerika yang menjabat presiden selama 4 kali jabatan. Tekad untuk merealisasikan kebangkitan ekonomi dimulai dari program 100 harinya, yang diawali pada 4 Maret 1933, dengan perjuangan mengajukan dana pembangunan sebesar 3,5 milyar dollar AS ( jumlah yang fantastis di kala itu) Roosevelt berhasil mendapat kepercayaan sejumlah besar anggota konggres.

Langkah yang pertama diambil adalah membangun waduk di Negara Bagian Teenese, untuk keperluian pembangkit tenaga listrik di daratan Amerika sehingga mampu menstimulir industrialisasi dan proyek padat karya untuk meningkatkan taraf hidup warga AS. Franklin Delano Roosevelt, atau dikenal dengan inisial FDR adalah figure yang penuh percaya diri, keyakinanya bahwa Bangsa Amerika tidak mungkin mengharapkan adanya “Invisible Hand” yang akan mengentaskan mereka dari keterpurukan ekonomi atau konsep pertumbuhan ekonomi hanya disandarkan pada pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya secara alamiah, membawanya pada kinerja yang koseptual dengan slogan “New Deal”.



Saat Roosevelt dilantik untuk jabatan presiden 4 Maret 1933 ( 32 hari setelah Hitler terpilih sebagai Conelor Jerman), masyarakat AS mengalami kejatuhan ekonomi pada titik terendah sepanjang sejarah kehidupan bangsa ini. Serempat tenaga kerja produktif dalam keadaan menganggur, petani menjadi putus asa karena harga panen jatuh mencapai 60 %. Industrialisasi menjadi terpuruk hingga mencapai 50 % sejak tahun 1929 ditambah dengan 2 juta rakyat Amerika tidak memiliki tempat tinggal, bahkan pada tanggal 4 Maret sore hari, sebanyak 32 dari 48 negara bagian telah menutup operasional bank mereka.

Namun tidak berpa lama pencapaian laju ekonomi meningkat tajam antara tahun 1933 hingga 1937, tetapi tidak lama kemudian AS jatuh ke resesi yang lebih dalam lagi. Untuk itu demi keamanan posisi politiknya Roosevelt membentuk Koalisi Konservatif yang dibentuk Tahun 1937. Lantaran di bawah kepemimpinanya, yang mampu membawa Bangsa Amerika sarat dengan prestasi peningkatan ekonomi, terutama penyelamatan masyarakat yang terentaskan dari pengangguran setelah berakhirnya PD II. Maka warga Negara Paman Sam masih memberi angin kekuasaan padanya.

Betapa tidak GNP Amerika meingkat sebesar 34 % pada tahun 1936 dibanding dengan keleseun ekonomi pada tahun 1932, dan pencapaian ini melejit lagi sebesar 58 % pada tahun 1940, justru di masa dimulainya PD II. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa laju petumbuhan ekonomi mencapai 58 % dari tahun 1932 hingga tahun 1940 atau selama 8 tahun damai, dan 56 % berlangsung selama tahun 1940 hingga tahun 1945 selama 5 tahun berperang di PD II.

Akan tetapi melejitnya pertumbuhan ekonomi belum mampu menyerap semua tenaga kerja yang mengganggur. Meski angka pengangguran menurun drastis pada masa pertama dia menjabat presiden, yaitu 14,3 % di tahun 1937 (relative sama dengan angka pengangguran Negara kita di tahun 2010) dari 25 % masa sebelum dia menjabat. Angka pengangguran meningkat lagi menjadi 19,8 % pada tahun 1938 dan bertahan pada 17, 2 % pada tahun 1939 hingga terjadinya PD II.

Prestasi Roosevelt yang dimulai dari garis start “New Deal” ditiru SBY dan Kalla dengan Manifestasi Politik “Indonesia Bisa” pada April 2009, yang bertujuan untuk mengoptimalkan daya dukung Bangsa Indonesia yang telah memiliki modal dasar kuat, baik untuk menjawab berbagai bentuk tantangan, sekaligus sebagai sarana mewujudkan cita-cita nasionalnya. Namun justru manifest tersebut elum menyentuh essensi karena bangsa ini telah mengalami keterpurukan SDM akibat sistim pendidikan yang terpuruk selama 32 tahun.

Tujuan optimalisasi tersebut hanyalah suatu isapan jempol lantaran budaya korupsi masih menerjang kalangan oknum petinggi dari kalangan kepala daerah hingga jabatan mentri, anggota dewan (kasus Miranda Goeltom) dan lain sebagainya. Bahkan opini publikpun telah berkembang dengan adanya asumsi tebang pilih bagi penyelesaian hukum untuk para koruptor, lantaran kepentingan eksistensi kekuasaan SBY seperti yang dilansir oleh Harian Australia, The Age, Jumat (11/3/2011), yang memuat berita utama tentang penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Laporan harian itu berdasarkan kawat-kawat diplomatik rahasia kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta yang bocor ke situs WikiLeaks.

Kawat-kawat diplomatik tersebut, yang diberikan WikiLeaks khusus untuk The Age, mengatakan, Yudhoyono secara pribadi telah campur tangan untuk memengaruhi jaksa dan hakim demi melindungi tokoh-tokoh politik korup dan menekan musuh-musuhnya serta menggunakan badan intelijen negara demi memata-matai saingan politik dan, setidaknya, seorang menteri senior dalam pemerintahannya sendiri.
Apabila situs internet tersebut memang terbukti benar maka akan runyamlah misi kita bersama dalam pembangunan mencapai masyarakat berkeadilan. Apalagi tayangan harian Australia tersebut berhasil menerbangkan badai bermuatan politik untuk segera menjatuhkan SBY dari kursi kepresidenan di tengah pendewasaan politik bangsa yang belum mapan ini. Lantas bagaimana kelanjutan pertumbuhan ekonomi bangsa ini yang terus menerus hanya berkisar pada 6 %.Akankah daya dukung bangsa ini akan mampu melentingkan menjadi jauh di atas angka tersebut. Bagaimana SBY mampu melejitkan pertumbuhan ekonomi hingga angka yang pernah dicapai oleh Roosevelt, yang memimpin Bangsa Amerika yang sangat dalam terpuruk di tahun 1933, yang melebihi keterpurukan bangsa kita.

Memang antara dua bangsa ini memiliki variasi perbedaan yang sangat luas, sehingga kita tidak bijaksana untuk memproyeksikan SBY dengan keberhasilan Roosevelt. Namun bukan berarti sepak terjang SBY yang menyalah gunakan kekuasaan tersebut, adalah kinerja SBY yang tulus dan serius dalam mengemban amanat bangsa. Inilah perbedaan esensi antara SBY dan Roosevelt.