Sabtu, 19 November 2011

ASEAN dan Perang Dingin Baru


Semangat persaudaraan “Bangsa Serumpun” lahir dari tangan Adam Malik, tepatnya saat dia membidani kelahiran ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967, berkat dedikasi dan kredibilitasnya yang piawai di politik internasional dan diplomasi sebagai Menteri Luar Negeri RI ( Kabinet Ampera II Orba )         dengan dibantu Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN lainnya.

Pada momentum ini sekaligus  Adam Malik berhasil mengendalikan Perdamaian Serumpun Melayu (Indonesia - Malaysia). Persaudaraan tersebut memang secara esensi perlu dicanangkan guna terbentuknya “jembatan emas” yang mampu menepiskan konfrontasi besar-besaran yang pernah mendera dua bangsa serumpun, yang disimbolkan dengan “Slogan Dwikora” ( Dwi Komando Rakyat) yang dicetuskan Presiden Soekarno  tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta).
Sejak dari awal berdirinya,  hubungan multilateral  antara  Negara Negara Asean berjalan mesra dan mulus hingga saat ini, meski melewati sejarah mencekamnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang terus memusarinya.  Sikap Negara Negara Asean saat itu lebih memfoluskan pada pembangunan ekonomi  ketimbang pembangunan militernya. Sikap ini telah jelas dimotori oleh Soeharto  yang dengan galaknya mencanangkan program pembangunan  jangka panjang berjenjang (Repelita) selama 32 tahun. Dalam hal ini Mantan Perdana Menteri Lee Kwan Yew menyatakan bahwa warisan yang berarti untuk Soeharto adalah “Asean yang konstruktif”.
Kesungguhan Soeharto semakin jelas dalam membawa ASEAN untuk memfokuskan  pembangunan ekonomi, perdamaian dan aspek lainnya, saat Indonesia memimpin GNB periode 1992 – 1995, meskipun pertentangan antara Blok Barat dan Timur, dekolonisasi telah lenyap. Salah satu contoh kiprah Ketua GNB tersebut  adalah manuver Soeharto yang secara khusus mengundang Brunei untuk turut serta dalam kerjasama selatan-selatan (Ningrum Natasya, Gerakan Non Blok dalam Masa Kepemimpinan Indonesia 1992 – 1995. Universitas Sumatra Utara, 2003).
***
Semangat ASEAN untuk mempererat kerjasama multilateral sama sekali tidak terpengaruhi sejak runtuhnya Uni Sovyet yang mulai menggejala sejak  Januari 1987, sejak Gorbachev menyerukan diadakannya demokratisasi: memperkenalkan unsur-unsur demokratis seperti misalnya pemilu dengan banyak kandidat di dalam proses politik Soviet. Pada Juni 1988, dalam Konferensi Partai ke-19 dari PKUS, Gorbachev meluncurkan pembaruan-pembaruan radikal yang dimaksudkan untuk mengurangi kontrol partai terhadap aparat-aparat pemerintahan (Wikipedia, 2011).
Uni Sovyet benar benar runtuh ketika Komite Sentral Partai Komunis US melepas Negara Negara yang dahulu di bawah kendalinya  pada 7 Pebruari 1990. Sehingga “domino principle” ambisi hegemoni komunis ke Negara Negara yang terpuruk ekonominya menjadi sirna,. Apalagi dengan berlangsungnya perubahan politik Negara Negara satelit Uni Sovyet di Eropa Timur. Namun demikian sikap Negara ASEAN yang akomodatif tidaklah semudah begitu saja untuk mampu menciptakan kawasan Asia Tenggara menjadi kawasan yang sejuk dan damai.
Ancaman baru telah berada di depan Negara Negara Asean karena adanya realisasi pembangunan militer China besar-besaran untuk mewujudkan “Negara Militer Modern” pada tahun 2020, dengan meningkatkan anggaran militer sebesar 300 %. Pada decade tersebut jadilah China sebagai Negara super power baru yang mampu mengungguli kecanggihan militer AS.
Dalam sejarah berlangsungnya KTT Asean,  baru  kali ini KTT Asian, yang digelar di Nus Dua Bali dihadiri Presiden AS Obama, setelah presiden -presiden AS sebelumnya memandang perhelatan fenomenal ini dengan sebelah mata. Namun ekspatasi luas di publikpun bergaung sehubungan kedatangan Obama tersebut. Apakah Obama berambisi mencari dukungan politik, fasilitas ataupun militer guna menghadapi militer China. Apakah juga Obama berambisi menciptakan Perang Dingin Baru di Laut China Selatan dengan menyeret Negara Negara Asean.
Perang Dingin baru di Laut China Selatan terindikasi dengan adanya ambisi Gedung Putih untuk menempatkan 2500 pasukan mariner AS di Darwin Australia paling lambat 2014 nanti.
Menanggapi masalah ini Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa menyambutnya dengan sikap diplomasi yang bersahabat. Marty tidak mempermasalahkan pangkalan milter tersebut, karena kekuatan militer AS diharapkan mampu menjadi perimbangan di kawasan Asia Tenggara dan mampu menciptakan iklim ekonomi yang kondusif. Kita mengharapkan bersama agar Indonesia tidak terpancing dengan Perang Dingin Baru di kawasan Laut China Selatan. Karena kita harus menunjukan sikap konsekuen kita dengan “Semangat Non Blok” yang pernah dinyatakan mantan Sekjen PBB Bouthros Ghali bahwa  Non Blok harus tetap pada 5 prinsip politiknya yaitu: “ Tidak bersekutu dalam konteks konfrontasi timur barat, bersekutu dengan perjuangan anti colonial,  tidak terlibat dengan persekutuan militer multilateral dan tidak terlibat persekutuan militer bilateral dengan suatu negara adidaya dan tidak memberi tempat pada suatu pangkalan militer suatu negara adidaya”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar