Semangat
persaudaraan “Bangsa Serumpun” lahir dari tangan Adam Malik, tepatnya saat dia
membidani kelahiran ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967, berkat dedikasi dan
kredibilitasnya yang piawai di politik internasional dan diplomasi sebagai
Menteri Luar Negeri RI ( Kabinet Ampera II Orba ) dengan dibantu Menteri Luar Negeri
negara-negara ASEAN lainnya.
Pada momentum ini sekaligus Adam Malik berhasil mengendalikan Perdamaian Serumpun Melayu (Indonesia - Malaysia). Persaudaraan tersebut memang secara esensi perlu dicanangkan guna terbentuknya “jembatan emas” yang mampu menepiskan konfrontasi besar-besaran yang pernah mendera dua bangsa serumpun, yang disimbolkan dengan “Slogan Dwikora” ( Dwi Komando Rakyat) yang dicetuskan Presiden Soekarno tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta).
Pada momentum ini sekaligus Adam Malik berhasil mengendalikan Perdamaian Serumpun Melayu (Indonesia - Malaysia). Persaudaraan tersebut memang secara esensi perlu dicanangkan guna terbentuknya “jembatan emas” yang mampu menepiskan konfrontasi besar-besaran yang pernah mendera dua bangsa serumpun, yang disimbolkan dengan “Slogan Dwikora” ( Dwi Komando Rakyat) yang dicetuskan Presiden Soekarno tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta).
Sejak
dari awal berdirinya, hubungan
multilateral antara Negara Negara Asean berjalan mesra dan mulus
hingga saat ini, meski melewati sejarah mencekamnya Perang Dingin antara Blok
Barat dan Blok Timur yang terus memusarinya.
Sikap Negara Negara Asean saat itu lebih memfoluskan pada pembangunan
ekonomi ketimbang pembangunan
militernya. Sikap ini telah jelas dimotori oleh Soeharto yang dengan galaknya mencanangkan program
pembangunan jangka panjang berjenjang
(Repelita) selama 32 tahun. Dalam hal ini Mantan Perdana Menteri Lee Kwan Yew
menyatakan bahwa warisan yang berarti untuk Soeharto adalah “Asean yang
konstruktif”.
Kesungguhan
Soeharto semakin jelas dalam membawa ASEAN untuk memfokuskan pembangunan ekonomi, perdamaian dan aspek
lainnya, saat Indonesia memimpin GNB periode 1992 – 1995, meskipun pertentangan
antara Blok Barat dan Timur, dekolonisasi telah lenyap. Salah satu contoh kiprah
Ketua GNB tersebut adalah manuver Soeharto
yang secara khusus mengundang Brunei untuk turut serta dalam kerjasama
selatan-selatan (Ningrum Natasya, Gerakan Non Blok dalam Masa Kepemimpinan
Indonesia 1992 – 1995. Universitas Sumatra Utara, 2003).
***
Semangat
ASEAN untuk mempererat kerjasama multilateral sama sekali tidak terpengaruhi
sejak runtuhnya Uni Sovyet yang mulai menggejala sejak Januari 1987, sejak Gorbachev menyerukan
diadakannya demokratisasi: memperkenalkan unsur-unsur demokratis seperti misalnya
pemilu dengan banyak kandidat di dalam proses politik Soviet. Pada Juni 1988,
dalam Konferensi Partai ke-19 dari PKUS, Gorbachev meluncurkan
pembaruan-pembaruan radikal yang dimaksudkan untuk mengurangi kontrol partai
terhadap aparat-aparat pemerintahan (Wikipedia, 2011).
Uni
Sovyet benar benar runtuh ketika Komite Sentral Partai Komunis US melepas
Negara Negara yang dahulu di bawah kendalinya
pada 7 Pebruari 1990. Sehingga “domino principle” ambisi hegemoni
komunis ke Negara Negara yang terpuruk ekonominya menjadi sirna,. Apalagi
dengan berlangsungnya perubahan politik Negara Negara satelit Uni Sovyet di
Eropa Timur. Namun demikian sikap Negara ASEAN yang akomodatif tidaklah semudah
begitu saja untuk mampu menciptakan kawasan Asia Tenggara menjadi kawasan yang
sejuk dan damai.
Ancaman
baru telah berada di depan Negara Negara Asean karena adanya realisasi
pembangunan militer China besar-besaran untuk mewujudkan “Negara Militer
Modern” pada tahun 2020, dengan meningkatkan anggaran militer sebesar 300 %.
Pada decade tersebut jadilah China sebagai Negara super power baru yang mampu
mengungguli kecanggihan militer AS.
Dalam
sejarah berlangsungnya KTT Asean,
baru kali ini KTT Asian, yang
digelar di Nus Dua Bali dihadiri Presiden AS Obama, setelah presiden -presiden
AS sebelumnya memandang perhelatan fenomenal ini dengan sebelah mata. Namun
ekspatasi luas di publikpun bergaung sehubungan kedatangan Obama tersebut.
Apakah Obama berambisi mencari dukungan politik, fasilitas ataupun militer guna
menghadapi militer China. Apakah juga Obama berambisi menciptakan Perang Dingin
Baru di Laut China Selatan dengan menyeret Negara Negara Asean.
Perang
Dingin baru di Laut China Selatan terindikasi dengan adanya ambisi Gedung Putih
untuk menempatkan 2500 pasukan mariner AS di Darwin Australia paling lambat
2014 nanti.
Menanggapi
masalah ini Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa menyambutnya dengan
sikap diplomasi yang bersahabat. Marty tidak mempermasalahkan pangkalan milter
tersebut, karena kekuatan militer AS diharapkan mampu menjadi perimbangan di
kawasan Asia Tenggara dan mampu menciptakan iklim ekonomi yang kondusif. Kita
mengharapkan bersama agar Indonesia tidak terpancing dengan Perang Dingin Baru
di kawasan Laut China Selatan. Karena kita harus menunjukan sikap konsekuen
kita dengan “Semangat Non Blok” yang pernah dinyatakan mantan Sekjen PBB Bouthros
Ghali bahwa Non Blok harus tetap pada 5
prinsip politiknya yaitu: “ Tidak bersekutu dalam konteks konfrontasi timur
barat, bersekutu dengan perjuangan anti colonial, tidak terlibat dengan persekutuan militer
multilateral dan tidak terlibat persekutuan militer bilateral dengan suatu
negara adidaya dan tidak memberi tempat pada suatu pangkalan militer suatu
negara adidaya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar