Selasa, 01 November 2011

Diantara Realita dan Mimpi Panjang


Baru saja kita menjadi saksi tentang tentang perhelatan politik Bangsa Indonesia yang digalang oleh SBY. Perhelatan tersebut adalah upaya SBY dalam mereshuffel kabinetnya pada Senin, 17 Oktober  silam tahun ini. Perhelatan ini, sangatlah banyak menyita perhatian publik, dari mulai elit dan petualang politiki hingga masyarakat awam di pinggir jalan. Fenomena reshuffle tersebut ternyata menimbulkan dinamika politik baru di akhir tahun 2011 ini, di salah satu terdapat komunitas politik yang merasa  dikhianati oleh SBY. Sementara itu di sisi lainya  reshuffle menimbulkan sebuah pertanyaan besar, mengapa terdapat menteri yang terlibat kasus suap yang memalukan, tetapi tidak bergeming dari posisinya.
               Bagi sebagian masyarakat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, yang belum mampu untuk mengukir hidup layak di bawah iklim ekonomi yang belum kondusif, reshuffle kabinet tidak banyak terpatri dalam memori otaknya. Perhelatan politik ini menurut mereka hanyalah semata kegiatan para petinggi politik, wakil rakyat, pejabat tinggi dan orang gedongan lainnya, yang sama sekali tidak peduli dengan angka kemiskinan, yang harus tertekan hingga 5 % di tahun 2013 kelak.
              Apabila reshuffle ini semata berdasarkan peningkatan kinerja menteri dan efektifitas kerja hingga akhir jabatan SBY maka kita dapat berharap akan adanya realita peningkatan taraf hidup “si kecil yang hidup menderita”, yang mencapai jumlah kurang lebih 13.865.000 jiwa pada tahun 2013 nanti. Kekhawatiran kita menjadi bertambah, bila reshuffle ini hanya alat pemuas kekuatan politik yang melingkungi SBY. Sehingga masyarakat Indonesia kembali terlelap dalam mimpi panjang dengan perut yang kosong, padahal mereka baru saja menerima teguran dari sekolah di mana putra mereka belajar, untuk segera melunasi SPP dan biaya buku yang selangit. Belum lagi kegalauan orang tua menghadapi “biaya kuliah” putranya di PTN yang pada era Soeharto, justru relatif murah biaya perkuliahanya.
              Kontroversi terus saja bergulir menjamah si kecil yang belum mampu menikmati hidup ini. Padahal setiap hari mereka disodori tayangan multimedia tentang penggelembungan dana pemerintah untuk berbagai proyek, yang dilakukan oknum pejabat menteri/kepala instansi pemerintah/kepala daerah ataupun oknum pejabat tinggi lainnya, yang menggelembungkan perutnya sendiri hingga milyaran rupiah jumahnya. Sama sekali tidak ada aspek keteladanan sosial untuk sebuah pembelajaran yang sangat kita perlukan bersama. Maka wajar saja bila dampak kekesalan warga sering tidak tersalurkan menurut undang undang atau prosedur lainnya. Mereka lebih terasa terhormat, apabila segala macam caci maki dilontarkan di pinggir jalan yang mengganggu kepentingan bersama.
              Oleh karena itu, kita perlu menanggapi dengan jernih tentang hasi kerja Kabinet Indonesia Bersatu II hingga akhir masa jabatanya nanti. Kita tetap berharap banyak tentang realita yang bakal ditorehkan mereka yang dengan sukses dan signifikan berhasil membawa perubahan. Sebaliknya apabila kita terus terjerambab dengan tidur panjang kita, maka tidak menutup kemungkinan akan timbul dampak “distorsi nasionalisme”, seperti timbulnya  konggres Papua Merdeka, yang dihadiri 300 simpatisannya. Atau timbulnya bentuk radikalisme baru di Indonesia yang lepas dari sumbu “primordialisme” di tanah air kita.
              Padahal semakin modernya peradaban yang memusari kita, semakin kompleks pula dinamika perubahan sosialnya. Sehingga pembelajaran sosial tentang pembentukan karakter sosial perlu  dicanangkan oleh semua pihak. Karena salah satu ciri orang hidup di komunitas modern, bukan saja orang yang mampu menguasai iptek/sain saja, tetapi adalah manusia yang mampu memberi pembelajaran bagi siapapun, tentang keadilan sosial,  kehidupan bernegara, kepedulan dan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan sosialnya. Sehingga apabila sikap ini telah “jauh panggang dari api” untuk semua masyarakat, maka jangan diharap Indonesia bakal memiliki generasi penerus yang hidup di tengah realita hasil kerja generasi sekarang. Mampukah hal ini kita wujudkan.
              Sudah barang tentu semua petinggi bangsa, baik menteri yang baru ataupun para wakil menteri adalah putra putra bangsa yang terpilih dan terpanggil, karena aspek kapabilitsnya ataupun cerminan karakter yang bisa dijadikan teladan bagi semua masyarakat Indonesia. Maka sebaiknya demi keberlanjutan pembangunan dan  menjaga eksistensi “Bangsa yang Santun”, sebaiknya kinerja yang handal tanpa disertai sikap lancung/khianat kepada bangsa dan negara, adalah modal utama dalam merealisasikan cita cita bersama. Inilah pembelajaran sosial yang paling efektif ketimbang pembelajaran di sekolah ataupun perguruan tinggi.
              Sehingga nantinya kita tidak terus berkubang dengan sikap mental negatif, yang oleh Amin Rais disebut dengan istilah Sindrome Inferior Komplek yang sangat memalukan, apabila kita hubungkan dengan kejayaan nenek moyang kita. Nenek moyang kita adalah masyarakat yang belum ber-iptek dan jauh dari modernisme saja  mampu menjadi “Macan Asia”, mengapa kita sebagai generasi penerus yang ber-iptek tidak mampu merealisasikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar