Patriotisme anak bangsa yang pernah di tunjukan pada
momentum yang paling heroik, yang terjadi pada 10 November 1945 silam di Surabaya.
adalah “epos kepahlawanan” yang dalam dinamika kehidupan berbangsa dan
bernegara Bangsa Indonesia, dianggap sebagai momentum yang belum mencapai
puncak. Jika kita cermati begitu banyaknya tantangan yang harus dihadapi bangsa
ini untuk menggapai masa depan yang cerah. Meski saat itu ribuan Pemuda
Surabaya dan sekitarnya berjuang menyabung nyawa melawan AFNEI yang tergabung dalam Brigedir 49, Divisi 23 di bawah pimpinan
Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby. Dengan keberanian yang mengagumkan, pemuda kita berhasil
mempertahankan Kota Surabaya dari sergapan AFNEI selama 1 bulan, jauh dari
perkiraan AFNEI yang sesumbar mampu melumatkan Surabaya dalam 3 hari.
Tentunya kita bertanya pada diri kita masing-masing,
mengapa epos kepahlawanan yang begitu heroik, dewasa ini hanya menjadi kenangan
sejarah untuk generasi sekarang. Jangankan untuk mengorbankan segalanya, untuk berpartisipasi pada upacara
hari hari besar nasioanal secara khidmatpun, terkadang kita tidak mampu.
Padahal dalam perjalanan hidup Bangsa Indonsia dari
perguliran waktu demi waktu, terdapat
benang benang sutra kisah kepahlawanan. Dari koridor waktu perjuangan fisik
(masa revolusi) hingga “pensejajaran” capaian jati diri dengan bangsa lain,
penguasaan iptek, pengentasan kemiskinan dan pekerjaan rumah kita yang paling
berat dewasa ini, yaitu merekontruksikan nilai nilai luhur nenek moyang kita yang
terhempas akibat merosotnya nilai nasionalisme. Tantangan seperti inilah yang menjadi
alasan kita, mengapa “darah dan keringat” pahlawan kita tempo dulu belum
mencapai puncak.
Rajutan benang sutra kepahlawanan dewasa ini memang
sudah jauh berbeda ketimbang membungkam kanon-kanon AFNEI, atau mengenyahkan
anjing anjing NICA dan lain sebagainya. Figure pahlawan yang tampil pada usia
70-an tahun setelah merdeka, secara
“garis besar “ adalah mereka yang mampu menepiskan “kerikil kerikil tajam” pada
landas pacu menuju kemajuan Indonesia segala
bidang dan mereka yang mampu menyingkap
faktor penghalang kemajuan bangsa dan lebih jauh lagi memberikan partisipasinya
pada laju kereta reformasi, atau mereka yang mampu memecahkan masalah-masalah yang terjadi
seperti kemiskinan, pendidikan, hingga lingkungan.
Sehingga andaikan seorang pengusaha besar telah berhasil membimbing perusahaan anak asuhnya
hingga berhasil, seorang pendidik dengan penuh moralitas dan tanggung jawab
membimbing peserta didiknya hingga menjadi pandai atau seorang pemeduli
lingkungan yang berhasil memberi manfaat sosial pada masyarakatnya, apalagi
seseorang yang berhasil dalam pembelajaran sosial menurut bidang dan
kemampuanya adalah seorang pahlawan. Bagi figur pahlawan sejati seperti tersebut di
atas, pastilah akan menepis simbol atau
emblem kepahlawanan, tak pernah memperdulikan pro- kontra definisi pahlawan dan
tak kan pernah mencari tahu tentang distorsi definisi kepahlawanan.
Wacana di atas memang patut kita terima, sebab
menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa (1988), kata ’’pahlawan’’ berarti orang
yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.
Jadi ada tiga aspek kepahlawanan, yakni keberanian, pengorbanan, dan pembela
kebenaran. Lantas bagaimana mungkin kita kembali dalam rajutan
benang sutra kepahlawanan, apabila sebesar 103,19 trilyun Rupiah telah masuk ke perut perut oknum petinggi
(laporan Forum Indonesia
untuk Transparansi Anggaran sesuai
temuan Badan Pemeriksa Keuangan ). Padahal para koruptor
tersebut yang nota bone adalah para petinggi bangsa
sangat diharapkan suri tauladanya dalam keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.
Kita mengharap dengan sungguh sungguh adanya rekonstruksi
epos kepahlawanan yang hadir dalam sanubari setiap masyarakat Indonesia, yang
berada dalam masa masa kritis dalam bidang integrasi (menghangatnya kembali
tuntutan masyarakat papua untuk memisahkan diri), sikap skeptis dan anarkis
rakyat dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan ajakan SBY dalam sambutanya pada HUT Golkar yang ke- 47
di Gelora Bung Karno, Sabtu 29 Oktober 2011, yang menyatakan bahwa dewasa ini
Indonesia telah memasuki “masa transformasi”, yang dicirikan dengan reformasi
dan demokratisasi. Untuk mewujudkan hal
tersebutnya SBY mengajak kita untuk meneruskan
program pengentasan kemiskinan, pembangunan
daerah, pembrantasan korupsi dan lain
sebagainya.
Capaian keberhasilan kita di atas tentunya membutuhkan
penyadaran bersama dan pembelajaran sosial untuk menyelipkan daya juang sama
seperti daya juang pahlawan kita, yang berhasil dengan gemilang melawan tentara
inggris di Surabaya 66 tahun silam. Kita perlu merajut kembali benang sutra
kepahlawanan , sehingga Rakyat Indonesia mampu kembali mengusung keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar