Sabtu, 12 November 2011

Merajut Ulang Benang Sutra Pahlawan

Patriotisme anak bangsa yang pernah di tunjukan pada momentum yang paling heroik, yang terjadi pada 10 November 1945 silam di Surabaya. adalah  “epos kepahlawanan”  yang dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara Bangsa Indonesia, dianggap sebagai momentum yang belum mencapai puncak. Jika kita cermati begitu banyaknya tantangan yang harus dihadapi bangsa ini untuk menggapai masa depan yang cerah. Meski saat itu ribuan Pemuda Surabaya dan sekitarnya berjuang menyabung nyawa melawan  AFNEI yang tergabung dalam  Brigedir 49, Divisi 23 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby. Dengan keberanian yang  mengagumkan, pemuda kita berhasil mempertahankan Kota Surabaya dari sergapan AFNEI selama 1 bulan, jauh dari perkiraan AFNEI yang sesumbar mampu melumatkan Surabaya dalam 3 hari.

Tentunya kita bertanya pada diri kita masing-masing, mengapa epos kepahlawanan yang begitu heroik, dewasa ini hanya menjadi kenangan sejarah untuk generasi sekarang. Jangankan untuk mengorbankan  segalanya, untuk berpartisipasi pada upacara hari hari besar nasioanal secara khidmatpun, terkadang kita tidak mampu.  

Padahal dalam perjalanan hidup Bangsa Indonsia dari perguliran waktu demi waktu,  terdapat benang benang sutra kisah kepahlawanan. Dari koridor waktu perjuangan fisik (masa revolusi) hingga “pensejajaran” capaian jati diri dengan bangsa lain, penguasaan iptek, pengentasan kemiskinan dan pekerjaan rumah kita yang paling berat dewasa ini, yaitu merekontruksikan  nilai nilai luhur nenek moyang kita yang terhempas akibat merosotnya nilai nasionalisme. Tantangan seperti inilah yang menjadi alasan kita, mengapa “darah dan keringat” pahlawan kita tempo dulu belum mencapai puncak.

Rajutan benang sutra kepahlawanan dewasa ini memang sudah jauh berbeda ketimbang membungkam kanon-kanon AFNEI, atau mengenyahkan anjing anjing NICA dan lain sebagainya. Figure pahlawan yang tampil pada usia 70-an  tahun setelah merdeka, secara “garis besar “ adalah mereka yang mampu menepiskan “kerikil kerikil tajam” pada landas pacu menuju kemajuan  Indonesia segala bidang dan  mereka yang mampu menyingkap faktor penghalang kemajuan bangsa dan lebih jauh lagi memberikan partisipasinya pada laju kereta reformasi, atau mereka yang mampu memecahkan masalah-masalah yang terjadi seperti kemiskinan,  pendidikan, hingga lingkungan.

Sehingga andaikan seorang pengusaha besar telah  berhasil membimbing perusahaan anak asuhnya hingga berhasil, seorang pendidik dengan penuh moralitas dan tanggung jawab membimbing peserta didiknya hingga menjadi pandai atau seorang pemeduli lingkungan yang berhasil memberi manfaat sosial pada masyarakatnya, apalagi seseorang yang berhasil dalam pembelajaran sosial menurut bidang dan kemampuanya adalah  seorang pahlawan.  Bagi figur pahlawan sejati seperti tersebut di atas,  pastilah akan menepis simbol atau emblem kepahlawanan, tak pernah memperdulikan pro- kontra definisi pahlawan dan tak kan pernah mencari tahu tentang distorsi definisi kepahlawanan.

Wacana di atas memang patut kita terima, sebab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa (1988), kata ’’pahlawan’’ berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Jadi ada tiga aspek kepahlawanan, yakni keberanian, pengorbanan, dan pembela kebenaran.  Lantas bagaimana mungkin kita kembali dalam rajutan benang sutra kepahlawanan, apabila sebesar 103,19 trilyun Rupiah  telah masuk ke perut perut oknum petinggi (laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran  sesuai temuan Badan Pemeriksa Keuangan ).  Padahal para koruptor
tersebut yang nota bone adalah para petinggi bangsa sangat diharapkan suri tauladanya dalam keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.

Kita mengharap dengan sungguh sungguh adanya rekonstruksi epos kepahlawanan yang hadir dalam sanubari setiap masyarakat Indonesia, yang berada dalam masa masa kritis dalam bidang integrasi (menghangatnya kembali tuntutan masyarakat papua untuk memisahkan diri), sikap skeptis dan anarkis rakyat dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan ajakan SBY  dalam sambutanya pada HUT Golkar yang ke- 47 di Gelora Bung Karno, Sabtu 29 Oktober 2011, yang menyatakan bahwa dewasa ini Indonesia telah memasuki “masa transformasi”, yang dicirikan dengan reformasi dan demokratisasi.  Untuk mewujudkan hal tersebutnya SBY mengajak  kita untuk meneruskan program pengentasan kemiskinan,  pembangunan daerah,  pembrantasan korupsi dan lain sebagainya.

Capaian keberhasilan kita di atas tentunya membutuhkan penyadaran bersama dan pembelajaran sosial untuk menyelipkan daya juang sama seperti daya juang pahlawan kita, yang berhasil dengan gemilang melawan tentara inggris di Surabaya 66 tahun silam. Kita perlu merajut kembali benang sutra kepahlawanan , sehingga Rakyat Indonesia mampu kembali mengusung keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar