Siapa saja
saat ini mampu menikmati informasi
terbaru, yang gencar ditayang oleh multimedia yang murah, cepat, akurat
sekaligus “up to date“ dengan hanya hitungan menit saja. Bahkan informasi dari
ujung duniapun tidak menjadi halangan bagi masyarakat kita untuk
mengkonsumsinya. Apalagi dengan semakin mudahnya masyarakat mendapatkan
peralatan elektronik yang mengusung berita tersebut. Siapakah masyarakat
Indonesia yang saat ini tidak memiliki pesawat televisi, telephon celluler atau
bahkan “ipad” yang sekarang tambah terjangkau masyarakat kita.
Dengan
hanya bermodal sebuah pesawat telivisi kita mampu mengkonsumsi berita terkini
setiap 6 jam sekali, atau dari media “on-line” yang hanya satu klik di toolbar beranda Google. Kita
dapat dengan mudah mengkonsumsi dan menelisik seluk beluk sesuatu. Tidak usah
menunggu jadwal sirkulasi media cetak atau jam tayang berita dari televisi
jaman tahun 80-an.
Wacana
tentang arus informasi terbaru secepat merambatnya “gelombang elektronik” meski tanpa perantara oksigen ini, adalah wacana yang usang. Revolusi memanjakan publik dengan tak terbendungnya arus informasi, adalah
wacana yang biasa seiring dengan perubahan “life style” masyarakat yang menjadi
kritis, tidak takut mengkritik pejabat
yang pada era 80-an dianggap tabu. Bahkan dengan pemberdayaan perangkat media
elektronika, publik melalui jasa jurnalis, masyarakat dapat mendapatkan
informasi tentang pernyataan sikap/pendapat/ide dan gagasan petinggi tentang
segala sesuatu. Hal ini menumbuhkan sebuah konsekuensi logis, bahwa setiap
petinggi di negeri ini tidak akan mampu bersembunyi dari sorotan publik.
Sehingga kebohongan-kebohongan dari oknum petinggipun tidak mampu tertutup/
bertahan lama.
Salah satu
sisi positif dari revolusi informasi tersebut,
adalah mulai tersingkapnya sikap
arogansi para oknum penegak hukum yang terus menerus memenuhi tayangan
multimedia, yang merugikan masyarakat kecil dan selalu menjadi sasaran empuk. Baik
sebagai objek ketidakadilan hukum atapun tindak kekerasan yang tidak jarang
menimbulkan korban luka ataupun korban jiwa. Anehnya semakin gencarnya
multimedia mengungkap tindak lancing tersebut, penistaan terhadap masyarakat
kecilpun terus saja berlangsung
tanpa menyadari bahwa masyarakat
dewasa ini sudah tidak bisa dibohongi dan disiasati lagi.
Bahkan
setiap noktah hitam yang menimbulkan kekecewaan publik terus saja menggelinding
dan bertambah besar sejalan dengan pengembangan tindak penilepan uang negara tersebut, yang
berujung dengan sikap publik yang semakin terperangah. Bukankah kita tidak
mungkin mengeluarkan suatu statemen yang sepihak, bahwa semakin tinggi jabatan
oknum petinggi, semakin besar pula oknum tersebut berpeluang melakukan
pelanggaran hukum. Atau memang “tirai birokrasi” yang menyumbat supremasi hukum
berhasil menutupinya
Aspek
inilah yang perlu kita garis bawahi sehingga mampu memberikan pencerahan kepada
semua pihak, untuk melamgsungkan kinerja dengan mengedepankan tertib hukum,
langkah yang prosedural dan mengutamakan eksistensi kepercayaan masyarakat
terhadap mereka. Tanpa ini semua negara kita akan terus menjadi negara “seribu
anarkis”.
Berbagai
pihak telah mulai mengkhawatirkan terkikisnya nasionalisme yang hinggap di dada
setiap masyarakat Indonesia. Hal ini memang telah terbukti, sebagai contohnya
adalah semakin sepi masyarakat mengibarkan bendera merah putih pada hari-hari
besar nasional. Atau telah lupa sebagian besar generasi muda terhadap jasa dan
sejarah pahlawan kita. Mereka lebih memilih untuk melakukan tawuran, anarkis
pada pertandingan sepak bola tanpa memperhatikan siapa yang menang atau kalah.
Dengan
usungan nasionalisme yang pas-pasan tersebut, maka kepelikan sosial bakal
terjadi, yang terus menerus akan menimbulkan
masalah bagi pemerintah setiap kali harus mengeluarkan kebijakan
strategis di bidang apapun. Padahal setiap kebijakan strategis tentu saja akan
mengorbankan beberapa pihak. Masihkah bisa masyarakat kita rela berkorban demi
kepentingan masyarakat yang lebih luas. Atau masihkah masyarakat kita mau
menerima kebijakan pengurangan subsidi negara terhadap premium, demi
penghematan uang negara. Padahal dengan informasi satu klik setiap hari mereka
disuguhi berita oknum petinggi yang melakukan korupsi.
Sikap dan
jiwa besar dari kita semua perlu dikokohkan dalam sanubari kita, agar penyakit
kronis yang hinggap di tubuh bangsa ini tidak melumpuhkan citra bangsa yang
besar ini. Hal adalah sesuatu harga mati lantaran kebesaran jiwa kita bisa
mampu dijadikan tameng terhadap hasutan dan intrik politik dari
petualang
politik yang mendiskritkan dan mengarahkan tudingan pada pemerintah secara
sepihak. Meskipun dalam negara demokrasi sikap politik seperti ini memang bukan
suatu pelanggaran konstitusi negara. Tetapi akumulasi beban hidup rakyat kecil
inilah yang perlu kita waspadai agar tidak bermetamorfosis menjadi elemen
revolusi sosial yang membahayakan disintegrasi bangsa. Yang pada giliranya akan
merusak sendi sendi kehidupan kita bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar