Sabtu, 25 September 2010

Martabat Bangsa Yang Ditepis Hedonisme

Adalah salah satu simbol kenikmatan duniawi, apabila kala itu manusia di peradaban pramodern (Jaman Majapahit), yang menghuni wilayah Nusantara mengkonsumsi gula dan kelapa ( gulo klopo) untuk konsumsi di tiap perhelatan atau dalam kehidupan sehari-hari. Karena hanya dari dua jenis bahan tersebutlah sebagian besar panganan diolah. Kedua bahan tersebut berasal dari tanaman nyiur yang banyak tumbuh di sepanjang pantai Kepulauan Nusantara. Jadilah suatu keindahan Kepulauan Nusantara, yang jarang ditandingi oleh bangsa lainnya, seperti yang tersirat dalam lagu ‘”Rayuan Pulau Kelapa”.
Namun lain halnya dengan Patih Kerajaan Majapahit, Gajah Mada yang menahan nafsu duniawi tersebut sebelum mampu menaklukan Bumi Nusantara. Sikap Gajah Mada tersebut dikenal sebagai Sumpah Palapa, sebagai peletak dasar nasionalisme yang tertanam kuat di setiap kalbu Rakyat Indonesia. Meski pada dekade sekarang, sikap ini telah terlantar dan tererosi oleh badai perseteruan, ego, hedonisme, pendoliman uang negara, manipulasi jabatan, aksi bonek, miras oplosan, demo anarkis dan tindakan amoralitas lainnya.
Hanya kebesaran jiwa dan kejernihan hatinya disertai tindakan patriotisme yang tulus saja, yang mampu menginspirasikan negarawan besar ini untuk menggemakan sumpah itu. Sebab Patih Gajah Madapun tahu persis betapa mahal harganya apabila semua rakyat yang menghuni persada “Rayuan Pulau Kelapa” tersebut mau bersatu, saling berkorban demi negara, santun, inovatif dan terbuka dengan siapapun serta toleran. Membentuk suatu bangsa yang berdaulat, mandiri sekaligus bermartabat. Sebuah bukti telah ditorehkan dalam catatan sejarah, bahwa dengan sikap seperti itulah kita berhasil menjadi negara yang merdeka, yang pada hakekatnya adalah anugerah yang dilimpahkan oleh Tuhan Yang Kuasa.
Martabat yang dimiliki suatu bangsa bisa juga dikaji dari aspek kemampuan bangsa itu sendiri dalam mengembangkan ketahanan yang komprehensif. Pertahanan suatu negara merupakan faktor utama dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Suatu negara tidak akan bisa menjaga eksistensinya dari ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri apabila belum mampu untuk mempertahankan diri dari ancaman tersebut. Oleh karena eratnya kaitan pertahanan negara dengan harkat dan martabat suatu bangsa, maka dengan adanya pertahanan negara yang memadai (Postur Pertahanan yang Kuat) akan membuat bangsa lain tidak memandang sebelah mata terhadap bangsa kita ( Mayor Laut (P) Salim, Komandan KRI Untung Suropati, 2009).
Namun demikian rongrongan dari aspek potensi ekonomi juga tidak kalah berpengauhnya terhadap kredibilitas sebuah martabat bangsa. Semakin rendahnya kualiatas SDM bangsa kita, semakin pula kita bergantung kepada pihak luar negeri dalam banyak hal. Bahkan kita cenderung memiliki persepsi bahwa ketergantungan kita terhadap luar negeri adalah sama dengan “neo-kolonialisasi “ yang bertopeng globalisasi , yang semakin dalam menghisap darah rakyat kita ketimbang nafsu tamaknya VOC sejak Tahun 1602.
Mohammad Hatta dengan tajam dan dalam, mengungkapkan suatu prediksi ke depan mengenai sandungan ekonomi yang kita alami. Pandangannya yang berorientasi pada kekuatan pasar dalam negeri yang didukung oleh tenaga beli rakyat, tidak menjuruskannya terperosok ke dalam paham isolasionisme ekonomi. Ia bahkan telah meramalkan globalisme dan globalisasi masa depan. Ia tidak menolak interdependensi ekonomi internasional, yang ia tentang adalah dependensi ekonomi nasional Indonesia terhadap ekonomi internasional yang selalu diwaspadainya (Sritua Arief, Pemikiran Pembangunan Bung Hatta, (Jakarta: LP3ES), hlm. 99-118 ).
Namun pandangan seorang “Faundhing Father” tersebut tidak serta merta mampu direalisasi oleh generasi penerusnya yang telah kehilangan nasionalisme dan jati dirnya, yang pada gilirannya nanti bisa mengkhawatirkan kredibilitas martabat bangsa ini. Pandangan Beliau tentang sebuah perekonomian rakyat, terganjal keras oleh pendoliman dan penjarahan uang negara oleh oknum pejabat yang sudah tidak bermoral lagi. Lantaran diantara oknum tersebut sudah tidak ada lagi persepsi pelanggaran aturan negara melainkan hanya sebagai “life-style” belaka. Maka tidak heran mereka telah kehilangan kepedulian tentang nasib si kecil yang meng-grassrote. Dengan perilaku seperti inilah, dari seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah.
Urgensi yang terselip tapi mendasar di balik wacana tersebut di atas, adalah revitalisasi nilai martabat bangsa ini yang telah terpuruk dari semua sudut pandang. Mulai senjata hukum yang tegas, pencabutan gelar akademis dari institusi yang menyematkan, internalisasi tentang martabat bangsa di jalur pendidikan sedini mungkin, inensifikasi gerakan sadar berkehidupan berbangsa dan bertanah air di semua kalangan dan uji moralitas yang cermat bagi setiap calon pemimpin. Dengan demikian martabat Bangsa Indonesia yang Luhur akan berdengung lagi seiring dengan nyanyian “Rayuan Pulau Kelapa”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar