Jumat, 17 September 2010

JATI DIRI YANG DIKORBANKAN

Rothenberg, Bess. and Miller-Idriss, Cynthia (2004), dalam abstraksi makalah mereka yang berjudul “Complex Conceptualizations of National Pride: Reevaluating a Key Indicator of the Citizen and Nation Relationship" di seminar tahunan American Sociological Association, pada Tanggal 14 Agustus 2004, mengungkapkan bahwa rasa kebanggan terhadap negara, adalah kunci sebuah indikator (key indicator) untuk mengetahu hubungan antara warga negara dengan negara mereka sendiri. Meskipun penafsiran masing-masing individu mengenai pengetahuan ketatanegaraan belum bisa dijadikan tolak ukur nilai kebanggaan mereka terhadap negara mereka sendiri. Oleh karena itu perlu adanya pencerahan kepada masyarakat umum tentang pandangan mereka terhadap nilai kebanggan dan jati diri bangsa (national pride and national identity). Sumber : All.Acedemic. Incoorperation, 2004.

Dari argumentasi Rotherberg dkk diatas tentunya kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa setiap warga negara apapun status sosialnya, tetap memliki rasa kebanggaan dan jati diri bangsanya menurut ukuran mereka masing-masing. Karena dengan sebesar apapun takaran yang dimiliki oleh suatu individu, pada hakekatnya bukan sebagai penghalang dalam pengejawantahan terhadap kepemilikan kebanggaan dan jati diri bangsa.

Jati diri yang menginternalisasi di tiap benak warga negara Indonesia dibangun oleh unsur-unsur yang beragam, diantaranya adalah unsur Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, yang kesemuanya harus dilihat sebagai “jati diri bangsa” dan ditempatkan sebagai margin of apprecfiation. Selain itu semangat reformasi mengharuskan kita untuk menghormati pelbagai persyaratan untuk hidup bermartabat ( living in dignit) yang merupakan segitiga yang bersifat universal yaitu demokrasi, rule of law dan promosi serta perlindungan HAM. ( Makalah Prof. Dr. Muladi, S.H. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional RI pada Diskusi Panel dengan tema “Revitalisasi Jati Diri Bangsa” yang diselenggarakan oleh Biro Organisasi dan Humas, Deputi Mensesneg Bidang Sumber Daya Manusia bersama Biro Kewilayahan dan Wawasan, Deputi Seswapres Bidang Politik pada tanggal 14 Juni 2006 di Kantor Sekretariat Negara RI, Jakarta ).

Dengan semanghat reformasi yang menggelinding secara liar, setelah jatuhnya Soeharti Tgl 21 Mei 1997, wajah kehidupan politik Indonesia menjadi tidak konsisten, yang pada akhirnya menimbulkan side effect yang
tidak kita harapkan, seperti maraknya perseteruan elit politik, ancaman disintegrasi bangsa, menguatknay aksi power people dan melemahnya supremasi hukumj, yang pada awalnya kita coba kondisikan dengan energi yang maksimal, serta aksi lain yang belum pernah muncul ke permukaan. Kondisi semacam ini tentunya akan menyebabkan Indonesia kembali ke perseteruan panjang multidimensional atau conflk sosial yang kronis, yang pada gilirannya akan mengikis moralitas jati diri kita.

North, Koch, and Zinnes, 1960 menyatakan bahwa konflik sosial yang umum terjadi di suatu wilayah adalah bersumber pada pembagian kekuasaan ( distribution of power ) yang berlangsung di wilayah tertentu. Konflik sosial ini biasanya berbentuk upaya – upaya pemaksaan kekuasaan, yang diharapkan mampu memenuhi hasrat para pemeran konflik itu sendiri. Sehingga sudah barang tentu, konflik akan melahirkan intrik yang beruang- lingkup pada pemaksaan hak terhadap orang lain.

Kondisi semacam itulah yang dewasa ini mendera Wajah Bumi Pertiwi, dengan wujud perseteruan antara lembaga eksecutif / pemerintah dengan institusi wakil rakyat yang disebut DPR. Lepas dari mekanisme alternatife yang mereka pilih sebagai opsi way – out perseteruan mereka, kita lebih memandang sebagai upaya menggoyang kursi keprisedanan yang di bangun dari hasil Pemilu Presiden Th 2009 lalu. Betapa tidak untuk biaya perseteruan itu sendiri kita telah mengeluarkan dana yang tidak sedikit ( untuk ukuran orang kecil yang seharusnya menjadi fokus dalam pembangunan segala bidang ), hanya untuk mengusut dana sebesar 6,7 trilyun rupiah sebagai dana bailout Century.. Apalagi perseteruan tersebut bukan hanya berlangsung di dalam Gedung Senayan saja, tetapi telah merebak ke parlemen jalanan yang dilakukan publik.

Dalam kondisi semacam itu, bangsa Indonesia sebenarnya tetap yakin bahwa persatuan dan kesatuan nasional baik yang bernuansa struktural maupun kultural (solidaritas sosial) tetap bisa dipertahankan di negeri ini, sebab bangsa ini memang didirikan atas dasar falsafah non-primordialisme, melainkan atas dasar rasa penderitaan yang sama (sense of common suffering) akibat penjajahan asing ratusan tahun. ( Prof. Dr. Muladi, S.H.). Bukan hanya itu saja yangh kita harapkan agar tetap mendapatkan predikat yang monumental sebagai bangsa yang santun, ramah, murah senyum, ringan bergotong royong, terbuka dan seabreg predikat luhur lainnya.

Dengan lengkapnya perangkat hukum kita yang diapilkasikan dalam rel sepremasi hukum, maka bangsa ini yang tadinya telah kokoh berlabel berjati diri, hendaknya menyerahkan kepada perangkat tersebut pada wadah Mahkamah Konstitusi, untuk melakuka uji materi tentang bailout. Apabila mengandung muatan pidana bukankah lebih baik diterapkan saja regulasi hukum atau sebaliknya. Bukan dengan waktu yang berbulan-bulan menyodorkan tontonan publik yang tidak dewasa.

Aspek urgensi yang harus kita cermati dibalik ini semua, adalah menguatnya gejalan instabilitas nasional yang mungkin saja terpuruk bersamaan dengan polarisasi elit politik, yang secara tidak langsung juga akan menciptakan situasi non kondusif terhadap aspek yang lebih jauh lagi, yaitu disintegrasi. Dalam hal ini hendaknya para petinggi kita segera menlakukan cooling down, atau disarankan dengan sangat untuk melakukan ultimatum yang final tak berekses lainnya, untuk mengakhiri bailoutnya pemerintah SBY. Inilah langkah penuh moralitas guna menambal jati diri yang telah terkoyak. Atau bahkan sebaliknya hanya mampu men-download misi politik partainya semata-mata menggoyang kursi presiden. Ekses lainya dari peliknya aktifitas parlemen tersebut tentunya akan diikuti oleh kekisruha lainnya yang berkesinambungan.

Bila alternatif terakhir yang dikedepankan maka jati diri bangsa yang telah mengakar ratusan tahun bisa saja meranggas atau berganti baju menjadi jati diri bangsa yang entah bagaimana bentuknya, berganti pula filosofi dasarnya. Bahakan berganti pula berpredikat sebagai bangsa yang garang, atau seabreg predikat lainnya yang sangat kontroversial. Maka sebuah pertanyaanpun akan dilontarkan oleh segenap anak bangsa yang menaruh perhatian menbdalam, mau dikemanakan bangsa dan negara yang indah ini ?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar