Sabtu, 25 September 2010

Essensi Kemerdekaan Yang Belum Tersentuh

Telah 65 tahun sudah kita telah merdeka atau terbebas dari apa yang kita sendiri tidak tahu maknanya. Hanya saja yang dapat kita ketahui, adalah sejak 17 Agustus 1945 “Sang Saka Merah Putih “ telah bebas berkibar di halaman rumah rakyat, hati rakyat dan tiap pengharapan rakyat yang terbebas dari segala tekanan hidup yang membelitnya. Meski kebebasan Merah Putih itu pernah mengalami cobaan internal dan eksternal, antara lain Perang Gerilya I dan II, kemelut politik upaya disintegrasi beberapa daerah serta tragedi kemanusiaan yang mendunia,yaitu tragedi G 30 PKI Th 1965/1966 yang mengorbankan jutaan nyawa melayang dan menghilang.

Kini semua halangan tersebut sudah mampu kita lewati dengan sebuah nasionalisme yang menyatu dengan jiwa kita, hingga kita semua mampu mendahulukan eksistensi sebuah bangsa ketimbang hidup kita sendiri, dan ternyata hal inilah yang pada awal millennium ke 3, menjadi hal yang muskyl untuk direkonstruksi ke arah sematan nilai semula. Tentu saja hal ini melahirkan konsekuensi negatif tentang realisasi :”Cita cita Proklamasi” yang semakin jauh panggang dari api, yang tersemat di sanubari kita pada rentang waktu dari Kebangkitan Nasional hingga Kabinet “SBY” Bersatu II..

Meskipun dengan kesedihan dan kepapaan yang mendalam, semenjaknya jatuhnya tokoh nasional “The Smilling Jenderal” yang mundur sebagai presiden RI Mei 1998, Banyak ahli politik dan sosial yang mengkategorikan Indonesia mengalami kemunduran 50 tahun kebelakang. .Oleh karena itu kita disejajarkan dengan negara negara termiskin di dunia dari belahan Bumi Afrika. Betapa tidak, meski memimpin selama 32 tahun dengan “gaya otoriter”, namun Soeharto berhasil menampilkan suatu kemampuan kepemimpinan luar biasa yang harus diakui oleh teman dan lawan politiknya (senang atau tidak). Ia menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan). Bahkan sempat mendapat penghargaan dari FAO atas keberhasilan menggapai swasembada pangan (1985). Maka, saat itu pantas saja ia pun dianugerahi penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.Soeharto (Ensiklopedi Tokoh Nasional, 2010).

Memang suatu kenyataan yang tidak usah kita pungkiri bahwa selama kepemimpinan Soeharto, harga harga terutama harga komoditi pokok relatif stabil dibanding dengan fluktuasi harga selama dipimpin penerusnya. Selama 32 tahun berkuasa dapat disimpulkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar AS relative stabil, kecuali menjelang kejatuhan beliau. Ibaratnya Rakyat Indonesia telaj mengalami kemerekaan meski baru dalam koridor “ sandang, pangan dan papan”.Lepas dari kesalahan Soeharto terhadap bangsa ini, memang kitapun patut mengacungkan jempol atas kepemimpinan beliau dengan torehan prestasi di atas.

Ambisi Soeharto untuk mewujudkan Masyarakat Adil Makmur dengan Program Pembangunanan Berjangka ( REPELITA), nampaknya tidak main main lagi dengan sistematika program yang terpadu, terprogram dan berkesinambungan hingga menggapai tahap yang kita idamkan bersama. Di lain pihak karena kemampuan kita sendiri yang masih terbatas, dalam hal SDM, penerapan iptek untuk mengeksploitir simber daya alam, moralotas yang rendah serta banyak aspek lainnya, menjadi penyebab utama ketergantungan pemerintah Orde Baru yang terlalu percaya pada IMF atau World Bank sebagai dewa penolong (dokter), dalam hal penyandang dana dan ketergantungan ini telah mencapai klimaksnya pada tahun 1997, saat Indonesia terkena krisis moneter yang dahsyat karena pemerintahsaat itu terlalu banyak menanggung beban utang.

Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) adalah organisasi internasional yang bertanggungjawab dalam mengatur sistem finansial global dan menyediakan pinjaman kepada negara anggotanya untuk membantu masalah-masalah keseimbangan neraca keuangan masing-masing negara. Salah satu misinya adalah membantu negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi yang serius, dan sebagai imbalannya, negara tersebut diwajibkan melakukan kebijakan kebijakan ( Structural Adjustment Programmes) tertentu, misalnya privatisasi badan usaha milik negara. Bahkan bukan hanya itu saja, ;ebih jauh IMF membatasi perekonomian negara dunia berkembang dengan cara menentang pengembangan infrastruktur dan meminta negara yang bersangkutan untuk hidup dengan standar yang rendah.

Dengan demikian perekonomian yang dibangun oleh Soeharto, ditopang oleh kapitalis kapitalis murni yang berkedok pengentasan kemiskinan untuk negara berkembang.au dapat disebutkan bahwa meskipun rakyat bisa mengkonsumsi bahan bahan keperluan pokok dengan murah, tetapi mereka harus menopang pinjaman yang fantastis. Disini dapat kita simpulkan bahwa paa relung waktu Orde Baru, rakyat kecilpun belum tersentuh makna kemerdekaan secara essensi. Hal cukup beralasan karena utang-utang yang dihimpun selama Orde Baru telah meninggalkan beban yang terlalu berat.. Sampai sekarang utang luar negeri Indonesia sudah mencapai Rp1.000 triliun lebih. Dalam APBN 2007, alokasi dana yang harus dipakai untuk membayar utang termasuk bunga tidak kurang dari Rp200 triliun, atau sepertiga APBN yang Rp600 triliun lebih itu.

Seperti diketahui bahwa hutang luar negeri kita hingga tahun 2010 adalah mencapai hamper 2000 Trilyun rupiah, seperti yang tercantum dalam Data Bank Indonesia (BI) mencatat, sampai akhir Januari 2010, utang luar negeri mencapai 174,041 miliar dollar AS. Bila dikonversi ke dalam mata uang Rupiah dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS nominal utang itu hampir mencapai Rp 2.000 triliun.Sehingga apabila jumlah penduduk Indonesia sebanyak 235 juta, maka beben per kepala menjadi Rp 8,5 juta rupaih, sebagai nilai sebuah kemerdekaan.(Dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar