Kamis, 12 Agustus 2010

URGENSI Pendidikan KARAKTER

Hingga sampai kapankah anak bangsa yang bersemayam di Kepulauan Nusantara ini akan kembali mendinginkan sikap, agar tidak lagi mudah melampiaskan ketidakpuasan yang direfleksikan dengan demo anarkis, kericuhan masa karena ketidakpuasan hasil pilkada, mencoba bunuh diri untuk menarik perhatian publik karena keterpurukan ekonomi, pemalsuan seputar peralatan tabung gas 3 kg hingga telah banyak memakan korban jiwa, penggemukan rekening pribadi demi kepentingan oknum itu sendiri dan perseteruan antara petinggi serta tindakan amoralitas lainnya yang terus saja membahana di wajah Indonesia.

Untuk mengurai benang kusut tersebut tidak serta merta dapat dilakukan dengan penyempurnaan regulasi seberapa canggihnya untuk menyisipkan aspek jera pada oknum pelanggaran amoralitas tersebut di atas. Tetapi lebih berdaya guna untuk melengkapi aspek “budaya malu” pada masing-masing sanubari anak bangsa.

Sebegitu urgennya budaya malu sehingga Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, menyatakan bahwa perasaan malu selayaknya disemai sejak awal, agar kita bisa maju dan terus memperbaiki kualitas hasil kerja. "Contohlah orang Jepang," ujarnya saat memberi orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancasila di Jakarta Sabtu 10 Mei 2008 silam. Rasa malu hanyalah satu contoh nilai hidup yang dapat memajukan suatu bangsa.

Menindaklanjuti pernyataan mantan Perdana Mentri Malaysia tersebut terutama dalam aspek “character building” sejak dini, kitapun menjadi bertambah terimajinasi bahwa sudah selayaknya kita tidak hanya mengedepankan hanya aspek kognitif saja dalam mengantarkan peserta didik menjadi generasi insani seutuhnya. Meski di dalam laporan hasil evaluasi prestasi peserta didik yang disodorkan kepada orang tua murid terdapat sertaan aspek psikomotor dan afektif, namun sebagian besar pendidik cenderung menyematkan siswa berhasil dan tidak sebuah pembelajaran hanya dari aspek kognitif, tanpa mengindahkan aspek bentukan karakter peserta didiknya.

Sebuah karakter yang dicetak dari pendidikan karakter adalah sesuatu yang biasa dilakukan guna mencapai budi pekerti yang baik, yang didukung oleh nilai sosial yang melingkunginya. Sehingga mampu mengantarkan setiap peserta didik dalam bentukan individu yang berperan baik di tengah masyarakatnya kelak di kemudian hari. Hal inilah yang menjadi tujuan utama pendidikan karakter.

Hal ini disebabkan karena perkembangan karakter seorang individu tidak bisa lepas dari culture sosial yang melingkunginya, yang kemudian mmenjadi nilai hidup yang jauh terpatri dalam lubuk hatinya. Oleh karena fenomena perkembangan karakter suatu individu yag bersosialisasi di peradaban timur akan berbeda dengan peradaban barat. Sebagai contoh ciri dasar karakter individu yang bersosialisasi di peradaban timur adalah karakter tenang dan pendiam (quiet and calm). Namun karakter dasar ini akan bergeser menjadi bentuk lain apabila terinfiltrasi nilai sosial dari peradaban barat atau peradaban lainnya. Namun karakter individupun mampu bergeser ke bentuk lain lantaran terjadi pergeseran nilai yang terjadi di tengah masyarakat sosialnya sendiri.
Karena fitur sosial masyarakat modern Indonesia yang mencirikan peran pria dan wanita tanpa perbedaan, maka pandangan tentang perkembangan karakter menurut Aristoteles yang mensentralkan pada nilai dasar, kini telah berkembang pesat ke arah multifilosofi, seperti politik, pendidikan, gender dan lain sebagainya.
Padahal dalam upaya merekonstruksikan sematan “bangsa yang berbudaya luhur” sebuah pembelajaran karakter peserta didik perlu ditanamkan bersamaan dengan dinamisasi perkembangan kepribadian peserta didik
Oleh karena itu sebuah pendidikan karakter dalam arti luas perlu dikurikulumkan guna revitalisasi pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik tentang kesiapan pola sikap laku untuk mengembangkan berbagai aspek moralitas, kemasyarakatan, sikap yang baik, kejujuran, kesehatan, sikap kritis dan keterbukaan. Bahkan menurut konsep pendidikan karakter yang mutakhir, pembelajaran tentang sosial dan emosional, perkembangan kognitif, ketrampilan, pendidikan kesehatan, sikap anti kekerasan, etika dan mencegah serta mampu bertindak sebagai mediator setiap bentuk konflik.

Sekedar hanya untuk studi banding, dewasa ini terdapat sejumlah program pendidikan karakter yang bervariasi bergantung dengan tujuan dunia pendidikan atau dunia usaha yang diselenggaran di Amerika Serikat. Tetapi pendekatan yang umum sering diterapkan untuk dua tujuan tersebut di atas, adalah principles ( pokok utama tentang karakter), pillars (factor pendukung) dan values atau virtues ( nilai dasar). Tetapi dari tiga aspek pendukung pemberlangsungan pendidikan karakter, aspek nilai dasar yang paling mendominasinya.

Sebagai langkah awal pemberdayaan pendidikan karakter adalah diterapkan semua satuan pendidikan meneriwa calon peserta didik di tahun ajaran baru ini dengan memfokuskan system penerimaan “the best process”, yaitu sistim yang menerapkan penyaringan bukan hanya dari aspek kognitif, yang biasa diterapkan pada masa ebelumnya dengan sistim ”the best input”. Dengan the best process inilah suatu sekolah yang baik bisa saja menerima calon peserta didik yang harus dibenahi karakternya. Sehingga fungsi satuan pendidikan lebih kea rah bengkel mesin, dan pada akhirnya mampu berhasil guna sebagai “show room mobil” yang memajangkan mobil yang mengkilap dan siap pakai setelah dipermak.

Permakan tersebut diperoleh karena telah tuntasnya Multiple Intelligences Reseach (MIR) secara tuntas dan akurat kepada semua peserta didik. Sehingga bahan ajar yang disodorkanpun mampu dikompetensi oleh siswa setara dengan perkembangan karakternya yang ditampilkan.

Demi eksisnya bangsa yang santun, ramah, terbuka, mendahulukan rembug ketimbang beranarkis demo maka tidak ada salahnya kita meroknstruksi sesuatu yang hilang, yaitu revitalisasi “budaya malu” yang pernah tersemat di bangsa yang sedang meradang ini dan mampu menjadi identitas dunia internasional(Dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar