Rabu, 11 Agustus 2010

REKONSTRUKSI Masyarakat INDONESIA Berbudi Luhur

Sebuah miniatur tentang keterpurukan multidimensional bangsa ini baru saja terjadi di Jakarta, Kamis dini hari tanggal 8 Juli tahun ini, ketika seorang Anggota Divisi Investigasi ICW Tama Satrya Langkun mendapat penganiayaan dari sejumlah orang yang tak dikenal hingga mengalami luka serius di bagian kepalanya. Tama adalah anggota ICW yang melaporkan temuan tentang rekening gemuk yang dimiliki oleh sejumlah petinggi Polri. Disusul kemudian kejadian pelemparan bom Molotov ke kantor redaksi Majalah Tempo di Jakarta. Tentu kita akan bertanya, apakah kasus tersebut berhubungan dengan temuannya itu. Kitapun tidak bisa menuduh sembarangan sebelum semuanya dibuktikan melalui aturan yang semestinya. Hingga sampai kapankah anak bangsa yang bersemayam di Kepulauan Nusantara ini akan kembali mendinginkan sikap, agar tidak lagi mudah berang yang direfleksikan dengan demo anarkis, kericuhan masa karena ketidakpuasan hasil pilkada, mencoba bunuh diri untuk menarik perhatian publik karena keterpurukan ekonomi, petualngan “nafsu syahwat” Ariel dengan selebritis lainnya, pemalsuan seputar peralatan tabung gas 3 kg hingga telah banyak memakan korban jiwa, penggemukan rekening pribadi demi kepentingan oknum itu sendiri dan perseteruan antara petinggi serta tindakan amoralias lainnya yang terus saja membahana di wajah Indonesia. Tindakan amoralitas yang paling mendominasi dan mensiratkan secara signifikan keterpurukan bangsa ini, adalah demo anarkis. Kita tidak mampu lagi membayangkan bahwa berdasarkan laporan Mabes Polri yang memprediksi aksi demo yang anarkis dalam beberapa bulan ke sampai tahun 2009 mengalami peningkatan dibanding semester pertama tahun 2008. Pada enam bulan pertama tahun 2008 ini Polri sudah mencatat ada 2.486 aksi demo dengan berbagai latar belakang dan kepentingan. Mulai dari aksi demo untuk kepentingan politik, ekonomi, sampai soal agama. Jumlah aksi demo itu meningkat sebanyak 34,38 persen dibanding tahun 2007, yang jumlahnya hanya mencapai 1.850 aksi. Aksi inipun tentunya terus saja berlangsung hingga akhir tahun 2010, yang tentu saja meningkat terus karena dilatarbelakangi konflik seputar gelaran Pilkada di sejumlah daerah. Untuk mengurai benang kusut tersebut tidak serta merta dapat dilakukan dengan penyempurnaan regulasi yang canggih untuk menyisipkan aspek jera pada oknum pelanggaran amoralitas tersebut di atas. Tetapi lebih berdaya guna untuk melengkapi aspek “budaya malu” pada masing-masing sanubari anak bangsa. Sebegitu urgennya budaya malu sehingga Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahadthir Mohamad, menyatakan bahwa perasaan malu selayaknya disemai sejak awal, agar kita bisa maju dan terus memperbaiki kualitas hasil kerja. "Contohlah orang Jepang," ujarnya saat memberi orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancasila di Jakarta Sabtu 10 Mei 2008 silam. Rasa malu hanyalah satu contoh nilai hidup yang dapat memajukan suatu bangsa. Sebuah karakter sosial disetiap peradaban dewasa ini menganut konsep analisis yang dikemukakan oleh Erich Fromm (Character and Social Process. An Appendix to Fear of Freedom, Routledge, 1942). yang mampu menggambarkan struktur karakter masyarakat sosial atau klas sosial dengan cermat, sesuai dengan pandangan hidup masyarakat iu sendiri. Karena secara esensial karakter sosial beradaptasi dengan model produktifitas yang dominan di masyrakat tersebut. Lebih lanjut Erich menjelaskan bahwa sebuah karakter individu banyak ditampilkan dari struktur karakternya sendiri, berbeda dengan struktur karakter sosial, yang ditampilkan dengan perilaku emosional yang umum di dapatkan pada sebuah masyarakat sosial. Karakter sosial secara substansial dimulai dari karakter tiap keluarga yang menyusunnya. Sehingga peran keluarga dalam hal ini sebagai agen perubahan sosial, disamping sekolahan dan lingkungan kerja. Sehingga apabila fungsi sosial tidak selaras lagi dengan yang diharapkan, munculah karakter sosial yang tidak mampu lagi berbuat seperti yang diharapkan bersama. Hal ini muncul pada misalkan telah berlangsungnya struktur sosial yang menyimpang yang memungkinkan setiap anggota masyarakat sudah tidak mematuhi lagi segala macam regulasi. Pada keadaan seperti ini munculah naluri anggota masyarakat untuk “memperjuangkan kebebasan dari ketimpangan yang melingkunginya”. Bukankah Teori dari Erich Fromm tentang karakter sosial telah dibuktikan kecermatanya bila kita mencermati pergeseran karakter Masyarakat Indonesia dewasa ini, yang bertolak belakang dengan nilai yang ditanamkan oleh leluhurnya. Gejala ini telah ditengarai berdasarkan pernyataan Nick Mutt (ERP Implementation Strategy and fundamentals of ERP , 2009) bahwa setiap individu masyarakat apabila telah menerima kesepakatan sosial bersama, maka individu tersebut mampu mengembangkan daya kemampuannya, pengetahuan, organisasi, nilai dan pandangan hidupnya tanpa mengalami perseteruan dengan lingkungan sosialnya. Bahkan bukan hanya itu saja, setiap individu anggota masyarakatpun mampu melakukan ambisi terhadap sosialnya untuk tujuan hidupnya, patuh pada aturan dan fungsi peranannya pada lembaga sosial disekelilingnya. Apabila fakta telah menyuguhkan fenomena yang bertolak belakang dengan hal yang kita dambakan, maka sudah barang tentu telah terjadi kehidupan sosial yang sudah tidak kondusif lagi bagi anak bangsa untuk berkehidupan berbangsa dan bernegara. Pendekatan yang sosiologispun perlu diprogramkan, untuk elemen pemerintah guna merangkul kembali saudara-saudara kita yang menanggalkan nilai dudaya Masyarakat Indonesia yang berbudi luhur. Penyematan kembali predikat ini bisa dilakukan dengan mengfungsikan kembali instrument multimedia pada fungsi semula, menghindari “seminimal mungkin penistaan” pada raihan teknologi tinggi ini, yang justru banyak dilakukan oleh masyarakat luas. Fenomena tersebut memang sepintas tidak berpengaruh nyata. Tetapi apabila konsumsi distrosi multimedia telah menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari, maka akan terjadi asimilasi budaya yang negatif. Selain itu perlu dibudayakan tingkat penyelesaian konflik dengan berbagai skala mulai dari imndicidu, kelompok dan institusi dengan pendekatan tingkat win-win solution, yaitu menyertakan semua komponen yang berseteru dalam satu niatan yang baik. Sebab apabila hal ini telah ditinggalkan, maka akan melahirkan tingkat penyelesaian yang win-loose solution, seperti yang banyak terjadi antara institusi yang berkuasa dengan masyarakat luas. Apabila hal ini terus saja membahana di Bumi Pertiwi ini, maka gagalah kembali sematan Bangsa yang Berbudaya Luhur. (Dari berbagai sumber).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar