Selasa, 10 Agustus 2010

PARU PARU DUNIA Yang MELEKANG

Pada dasarnya keaneka ragaman hayati yang melingkungi kita adalah sahabat setia kita yang tak ternilai harganya. Karena segala faktor pembatas yang memberlangsungkan kehidupan kita, terkandung di dalamnya dengan jumlah yang tak terbatas, bersifat “renewable” dan memiliki daya dukung terhadap peradaban suatu masyarakat yang berinteraksi di dalamnya. Tentu saja interdepedensi ini akan terwujud apabila kita peduli untuk memberlakukan secara ekologis. Apabila kepedulian ini jauh dari sikap mental hidup kita, maka kitapun akan mrngalami seperti yang dilaporkan Greenpeace (2010), yaitu dewasa ini Brazil telah kehilangan lebih dari 87 kebudayaan rakyatnya; karena rusaknya habitat hutan. Bahkan lebih lanjut Greenpeace malaporkan, bahwa pada 10 hingga 20 tahun kedepan nampaknya dunia akan kehilangan ribuan spesies tanaman dan binatang. Kenyataan seperti ini mengakibatkan terjadinya kemacetan warisan sumber daya alam yang dihibahkan kepada anak cucu kita. Namun apa yang terjadi, sebegitu pesatnya umat manusia dalam mengembangkan tehnologi di bidang apa saja demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun semakin mutakhir dan inovatifnya teknologi tersebut bukan berarti manusia bertambah nyaman. Semakin gampang manusia mendapatkan sesuatu yang menjadi faktor pembatas terhadap kenyamanan hidupnya, semakin pula manusia dihadapkan pada faktor pembatas lainnya. Secara ringkas dapat kita katakan, bahwa semakin gampang manusia mengkonsumsi / mengeksploitasi sumber daya alam, semakin berkurang daya dukung alam. Sehingga semakin nyaman kehidupan manusia di tengah daya dukung alam, semakin tidak mampu manusia mewariskan sumber alam hayati kepada anak cucu kita. Salah satu sumber keanekaragaman hayati yang berperan vital tersebut adalah “hutan”. Kita mampu menyimpulkan urgensi sebuah hutan, karena fungsinya sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting. Khusus fungsi hutan sebagai reservoir oksigen identik dengan fungsi paru-paru pada organisma hewan dan manusia. Fungsi inilah yang mejadi keprihatinan kita bersama, meski fungsi lain di atas tidak bisa kita abaikan. Adalah sesuatu yang menakjubkan bila kita mencermati laporan dari para ahli, bahwa meskipun Indonesia memiliki luas daratan 1,3 % dari luas dunia, namun asset milik kita ini memiliki kekayaan keanekaragaman hayati dunia, karena menyimpan 11 % kekayaan species tumbuhan di dunia, 12 % jumlah species hewan mamalia/menyusui terkandung di hutan kita, ditambah 2 % species burung dan 25 % species ikan dunia dan bersifat “endemic” atau hanya ada di Persada Nusantara. Bayangkan saja betapa mahal harganya bila kita memiliki hutan seluas 162.290.000 hektar (Dinas Kehutanan Indonesia, 1950). Sehingga kitapun mampu menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki hutan yang berfungsi sebagai “paru paru dunia”. Lantas apakah kita mampu terus memfungsikan hutan Indonesia seperti tersebut di atas, bila luasnya terus saja menciut, sebagaimana dilaporkan Kementrian Kehutanan bahwa hingga tahun 1992 luasnya tinggal 118,7 juta Ha, kemudian pada tahun 2003 berkurang menjadi 110,0 juta Ha dan tahun 2005 tinggal 93,92 juta Ha (Praktis tinggal 58 %. Kita akan lebih meratap pilu bila menyikapi laporan World Resourches Institute (1977) yang menyatakan bahwa Indonesia telah kehilangan “hutanm asli alamnya” hingga mencapai 72 %. Sudah barang tentu kecerobohan kia semua dalam memberlakukan semena- mena terhadap hutan, bukan hanya kita sendiri yang meratapinya. Tetapi masyarakat duniapun ikut prihatin terhadap tindakan sepihak kita. Hal ini wajar saja bila daya dukung “paru paru dunia” telah berkurang hingga separonya. Yang pada giliranya akan mengganggu persediaan oksigen di atmosfer. Padahal dengan senyawa tersebutlah semua “organisma konsumen”, yaitu manusia dan hewan seantero dunia ini mampu melangsungkan hidupnya. Di lain pihak tanaman sebagai sumber daya hayati, memiliki fungsi ganda baik sebagai supplier oksigen untuk organisma, tetapi juga memiliki fungsi vital sebagai konsumen “karbon dioksida” ( CO2), yang belakangan ini meningkat kandunganya di atmosfer. Contoh kasus ini bisa kita cermati laporan dari “The Fourth U.S. Climate Action Report “ yang telah malaporkan bahwa sejak tahun 1990 – 2004 di AS emisi “karbon dioksida” meningkat sebanyak 20 %, Tsaja terjadi di negara kita yang sering terjadi kebakaran hutan. Dengan semakin parahnya kerusakan hutan di Indonesia, akibat kebakaran yang tidak kunjung terselesaikan, ditambah dengan praktek amoralitas “illegal logging” yang menjadi “epidemik” di tanah yang subur ini. Mengakibatkan laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Demi anak cucu kita yang “tiada berdosa” agar mampu hidup nyaman dan tentram seperti para leluhurnya, maka rehabilitasi hutanpun menjadi suatu harga mati. Begitu juga dengan program reboisasi hutan yang digulirkan oleh Menhut Zulkifli Hasan, yang menarjetkan reboisasi hutan lindung seluas 500.000 Ha per tahun, untuk menepis anggapan para ilmuwan lingkungan hidup dunia, yang menganggap hanya Indonesia dan Brasil saja yang tidak mensukseskan reboisasi hutannya. Pemerintah Indonesia melalui keputusan bersama Departemen Kehutanan dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan sejak tahun 2001 telah mengeluarkan larangan ekspor kayu bulat (log) dan bahan baku serpih. Dan di tahun 2003, Departemen Kehutanan telah menurunkan jatah tebang tahunan (jumlah yang boleh ditebang oleh pengusaha hutan) menjadi 6,8 juta meter kubik setahun dan diturunkan lagi di tahun 2004 menjadi 5,7 juta meter kubik setahun. Apabila tanggung jawab kita bersama terhadap kekayaan anak cucu kita sendiri dilakuka dengan serius da penuh dedikasi maka ratapan pilu “paru-paru dunia” pun berganti dengan senyum ceria(Dari berbagai sumber).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar