Minggu, 19 Februari 2012

Premanisme



Sebuah konflik sosial yang merupakan ciri khas dari  negara-negara berkembang yang padat penduduknya, kembali menguat belakangan ini, yaitu menggilanyanya praktek premanisme di Jakarta yang telah begitu meresahkan  masyarakat yang sedang menggeliat berjuang melawan daya beli yang terus merosot. Mereka “yang sebenarnya dari usia dini telah mendapatkan pembelajaran budi pekerti yang baik di sekolah dan lingkungan sosial” sebenarnya  adalah anggota masyarakat yang  memaksakan nyalinya sendiri, dan menjual hidupnya demi upah yang tidak seberapa harganya dibanding dengan “moralitas sebagai manusia Indonesia yang Berbudi Luhur”, yang sebenarnya bisa mereka jadikan aset sosial untuk menjual jasa mereka dengan baik, santun dan terpuji.

Mereka sudah tidak lagi remaja yang penuh symbol kegagahan dan memaksakan diri untuk menjual dirinya sendiri demi pengakuan komunitasnya yang konyol. Namun apa sebabnya mereka menjadi sebagian kecil masyarakat yang nanar dan meradangkan amarah demi profesi mereka yang kerap melanggar hukum. Mereka identik dengan pelaku kekerasan dan  bila mungkin tak segan untuk menghilangkan nyawa sasaran yang dituju. Sehingga jadilah negara kita seakan akan tidak memiliki paying hukum lagi. Aksi mereka mirip dengan gangster di abad cowboy yang pernah terjadi di negara Amerika beberapa abad silam.

Dalam tayangan media elektronik, kita saksikan sendiri bahwa mereka dengan leluasa menguasai jalan-jalan di ibukota dengan mengacung-acungkan parang dan senjata api rakitan. Apakah mereka tidak sadar bahwa aksi mereka sebanarnya hanya “sebutir pasir di tengah padang pasir” bila dibanding dengan kekuatan personil apart kekuatan yang kita miliki, pabila memang institusi lembaga berwajib elah sigap, siap dan professional dalam menindak tegas mereka. Kekuatan merekapun akan tidak berarti apa-apa apabila nurani seluruh Rakyat Indonesia “sebagai power people” berniat untuk melindas mereka. Meski premanisme kini telah bermetamorfosis menjadi bentuk baru, yaitu merebaknya organisasi kemasyarakatan yang resmi.

·         Pendekatan Komprehensif

Setiap anggota masyarakatpun telah tahu, bahwa untuk mengatasi premanisme yang membenalu di sekujur tubuh bangsa ini, adalah dengan pendekatan sosial yang komprehensif. Hal ini berarti bahwa apa, siapa dan bagaimanapun anggota masyarakat di sekitar kita wajib kita pandang dari aspek yang menyeluruh dan bukan hanya terhadap preman yang mengumbar bafsu amarah di jalan jalan saja.

2
Namun dengan menyunting pendapat Dr Sodharto MA, tokoh masyarakat Jawa Tengah yang menyiratkan  bahwa masyarakat kita dewasa ini telah mengalami perubahan sikap hidup dan budi pekerti. Dengan distorsi sosial yang terjadi seperti sekarang ini, bagaimana kita mampu mencanagkan program pembangunan Masyarakat Indonesia seutuhnya yang telah dipoles dengan pembelajaran di sekolah dan lingkungan sosialnya. Bila telah terbukti secara hukum, banyak oknum petinggi kita yang telah massuk penjara akibat laku tidak terpuji berupa korupsi.

Padahal dewasa ini masyarakat Indonesia telah menempati strata diversifikasi sosial yang beragam, yaitu sebagian masyarakat kita yang telah  mengenyam pendidikan tinggi dan berprofesi formal. Sehingga mampu menempatkan diri dan memiliki pengakuan sosial di tengah masyarakat. Sedangkan sebagian lainya menempati strata buruh, yang berpendidikan formal layak serta memiliki profesionalisasi di bidang yang ditekuni, baik berkecimpung di sector formal maupun nonformal. Sedangkan sebagian besar lainya memiliki pendidikan yang belum memadai dan berkecimpung di dalam sector non formal.

Meskipun diversifikasi tersebut digambarkan dengan asumsi yang kasar, namun tetap saja bahwa untuk strata yang terakhir di atas masih menempati proporsi yang tinggi , maka wajar saja pada strata ini terjadilah potensi laten yang mampu berdinamika seperti bola liar yang dapat bergejolak sesuai dengan kondisi masyarakat. Apabila mentalitas dari kita yang tidak mampu member keteladanan pada mereka semua, maka mencuatlah potensi laten ke permukaan dalam bentuk premanisme, demo anarkis, kerusuhan dan tindakan masyarakat kita lainnya yang muncul di hampir dua dasa warsa ini.

Sebuah konsep sosial yang cemerlang, handal dan real butuh segera diusung demi menepis arogansi premanisme yang seenaknya seperti di abad “The Wild Wild West”.Minimal dimualai denga memutuskan link antara organisasi preman, pengusaha dan oknum pejabat yang membentengi organisasi preman tersebut. Dan yang lebih penting lagi, adalah supremasi hukum untuk mereka yang tidak hanya “anget tahi ayam”. Hal ini pelu dikedepankan sebelum munculnya gejolak sosial yang lebih rumit lagi, yaitu tindakan brutal masyarakat luas terhadap mereka, ataupun pertikaian berujud sara yang dipicu oleh premanisme.

Rabu, 18 Januari 2012

Kereta Api dengan Bola Beton


Laporan : BBC News 17 Januari 2012

Pejabat kereta api di Indonesia telah menggantungkan bola beton di atas rel kereta api untuk menghindari penumpang gelap yang berada di atas atap gerbong. Bola beton yang pertama di gantungkan adalah bola yang berada di atas rel dekat stasiun kereta utama di ibukota.

Sedangkan bola lainya segera menyusul dipasang di sepanjang jalur kereta, agar penumpang menjadi jera naik di atas atap.

Langkah ini terpaksa diterapkan setelah bebrapa usaha telah dilakukan, diantaranya adalah membasahi atap kereta dengan cat, membasahi dengan oli dan himbauan yang diberikan kalangan artis untuk menyadarkan penumpoang gelap tersebut.

Menurut keterangan dari pejabat kereta api, semua langkah tersebut telah gagal dan lebih lanjut pejabat tersebut mengharapkan bahwa ini adadal upaya terakhir . Namun demikian beberapa pihakpun telah menyatakan sikap tidak setuju dengan langkah tersebut, karena alasan masih berkurangnya jumlah kereta api untuk menampung  penumpang di ibukota

 Selanjutnya pejabat tersebut memaparkan di hadapan BBC News bahwa penumpang yang berada di atap sangat berpeluang menemui bahaya. Karena selama 2008 paling sedikitnya 53 penumpang telah tewas dan pada tahun 2011 terdapat 11 penumpang yang meninggal.

Sebagian besar korban meninggal karena membentur kabel listrik di atas kepala mereka dan beberapa diantaranya meninggal karena jatuh dari kereta api.

Wartawan  BBC Dewi Safitri di Jakarta mengatakan bahwa penumpang kereta api yang berada di atas atap dapat kita saksikan setiap pagi. Pada saat jam sibuk sebanyak 400,000 penumpang menggunakan jasa ini untuk keluar masuk kota Jakarta. Mereka terpaksa menaiki atap karena harga tiket yang tidak terjangkau kantong mereka. Disamping itu juga mereka harus berdesak-desakan di dalam kereta yang terbatas daya tampungnya.

Di lain pihak mereka para penumpang di atas atap sebenarnya merasa takut dengan pemasangan bola tersebut. Salah satu diantaranya adalah , Mulyanto ( 27 th) yang setiap hari menggunakan jasa tersebut untuk pulang pergi dari Bogor tempat tinggalnya ke Jakarta tiap hari.

Selasa, 17 Januari 2012

Insak (Informasi Sekali Klik)


Siapa saja saat ini mampu  menikmati informasi terbaru, yang gencar ditayang oleh multimedia yang murah, cepat, akurat sekaligus “up to date“ dengan hanya hitungan menit saja. Bahkan informasi dari ujung duniapun tidak menjadi halangan bagi masyarakat kita untuk mengkonsumsinya. Apalagi dengan semakin mudahnya masyarakat mendapatkan peralatan elektronik yang mengusung berita tersebut. Siapakah masyarakat Indonesia yang saat ini tidak memiliki pesawat televisi, telephon celluler atau bahkan “ipad” yang sekarang tambah terjangkau masyarakat kita.
Dengan hanya bermodal sebuah pesawat telivisi kita mampu mengkonsumsi berita terkini setiap 6 jam sekali, atau dari media “on-line” yang hanya  satu klik di toolbar beranda Google. Kita dapat dengan mudah mengkonsumsi dan menelisik seluk beluk sesuatu. Tidak usah menunggu jadwal sirkulasi media cetak atau jam tayang berita dari televisi jaman tahun 80-an.
Wacana tentang arus informasi terbaru secepat merambatnya “gelombang elektronik”  meski tanpa perantara oksigen ini,  adalah wacana yang usang. Revolusi  memanjakan publik  dengan tak terbendungnya arus informasi, adalah wacana yang biasa seiring dengan perubahan “life style” masyarakat yang menjadi kritis,  tidak takut mengkritik pejabat yang pada era 80-an dianggap tabu. Bahkan dengan pemberdayaan perangkat media elektronika, publik melalui jasa jurnalis, masyarakat dapat mendapatkan informasi tentang pernyataan sikap/pendapat/ide dan gagasan petinggi tentang segala sesuatu. Hal ini menumbuhkan sebuah konsekuensi logis, bahwa setiap petinggi di negeri ini tidak akan mampu bersembunyi dari sorotan publik. Sehingga kebohongan-kebohongan dari oknum petinggipun tidak mampu tertutup/ bertahan lama.
Salah satu sisi positif dari revolusi informasi tersebut,  adalah  mulai tersingkapnya sikap arogansi para oknum penegak hukum yang terus menerus memenuhi tayangan multimedia, yang merugikan masyarakat kecil dan selalu menjadi sasaran empuk. Baik sebagai objek ketidakadilan hukum atapun tindak kekerasan yang tidak jarang menimbulkan korban luka ataupun korban jiwa. Anehnya semakin gencarnya multimedia mengungkap tindak lancing tersebut, penistaan terhadap masyarakat kecilpun terus saja berlangsung  tanpa  menyadari bahwa masyarakat dewasa ini sudah tidak bisa dibohongi dan disiasati lagi.

Bahkan setiap noktah hitam yang menimbulkan kekecewaan publik terus saja menggelinding dan bertambah besar sejalan dengan pengembangan  tindak penilepan uang negara tersebut, yang berujung dengan sikap publik yang semakin terperangah. Bukankah kita tidak mungkin mengeluarkan suatu statemen yang sepihak, bahwa semakin tinggi jabatan oknum petinggi, semakin besar pula oknum tersebut berpeluang melakukan pelanggaran hukum. Atau memang “tirai birokrasi” yang menyumbat supremasi hukum berhasil menutupinya
Aspek inilah yang perlu kita garis bawahi sehingga mampu memberikan pencerahan kepada semua pihak, untuk melamgsungkan kinerja dengan mengedepankan tertib hukum, langkah yang prosedural dan mengutamakan eksistensi kepercayaan masyarakat terhadap mereka. Tanpa ini semua negara kita akan terus menjadi negara “seribu anarkis”.
Berbagai pihak telah mulai mengkhawatirkan terkikisnya nasionalisme yang hinggap di dada setiap masyarakat Indonesia. Hal ini memang telah terbukti, sebagai contohnya adalah semakin sepi masyarakat mengibarkan bendera merah putih pada hari-hari besar nasional. Atau telah lupa sebagian besar generasi muda terhadap jasa dan sejarah pahlawan kita. Mereka lebih memilih untuk melakukan tawuran, anarkis pada pertandingan sepak bola tanpa memperhatikan siapa yang menang atau kalah. 
Dengan usungan nasionalisme yang pas-pasan tersebut, maka kepelikan sosial bakal terjadi, yang terus menerus akan menimbulkan  masalah bagi pemerintah setiap kali harus mengeluarkan kebijakan strategis di bidang apapun. Padahal setiap kebijakan strategis tentu saja akan mengorbankan beberapa pihak. Masihkah bisa masyarakat kita rela berkorban demi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Atau masihkah masyarakat kita mau menerima kebijakan pengurangan subsidi negara terhadap premium, demi penghematan uang negara. Padahal dengan informasi satu klik setiap hari mereka disuguhi berita oknum petinggi yang melakukan korupsi.

Sikap dan jiwa besar dari kita semua perlu dikokohkan dalam sanubari kita, agar penyakit kronis yang hinggap di tubuh bangsa ini tidak melumpuhkan citra bangsa yang besar ini. Hal adalah sesuatu harga mati lantaran kebesaran jiwa kita bisa mampu dijadikan tameng terhadap hasutan dan intrik politik dari

petualang politik yang mendiskritkan dan mengarahkan tudingan pada pemerintah secara sepihak. Meskipun dalam negara demokrasi sikap politik seperti ini memang bukan suatu pelanggaran konstitusi negara. Tetapi akumulasi beban hidup rakyat kecil inilah yang perlu kita waspadai agar tidak bermetamorfosis menjadi elemen revolusi sosial yang membahayakan disintegrasi bangsa. Yang pada giliranya akan merusak sendi sendi kehidupan kita bersama.