Selasa, 17 Januari 2012

Insak (Informasi Sekali Klik)


Siapa saja saat ini mampu  menikmati informasi terbaru, yang gencar ditayang oleh multimedia yang murah, cepat, akurat sekaligus “up to date“ dengan hanya hitungan menit saja. Bahkan informasi dari ujung duniapun tidak menjadi halangan bagi masyarakat kita untuk mengkonsumsinya. Apalagi dengan semakin mudahnya masyarakat mendapatkan peralatan elektronik yang mengusung berita tersebut. Siapakah masyarakat Indonesia yang saat ini tidak memiliki pesawat televisi, telephon celluler atau bahkan “ipad” yang sekarang tambah terjangkau masyarakat kita.
Dengan hanya bermodal sebuah pesawat telivisi kita mampu mengkonsumsi berita terkini setiap 6 jam sekali, atau dari media “on-line” yang hanya  satu klik di toolbar beranda Google. Kita dapat dengan mudah mengkonsumsi dan menelisik seluk beluk sesuatu. Tidak usah menunggu jadwal sirkulasi media cetak atau jam tayang berita dari televisi jaman tahun 80-an.
Wacana tentang arus informasi terbaru secepat merambatnya “gelombang elektronik”  meski tanpa perantara oksigen ini,  adalah wacana yang usang. Revolusi  memanjakan publik  dengan tak terbendungnya arus informasi, adalah wacana yang biasa seiring dengan perubahan “life style” masyarakat yang menjadi kritis,  tidak takut mengkritik pejabat yang pada era 80-an dianggap tabu. Bahkan dengan pemberdayaan perangkat media elektronika, publik melalui jasa jurnalis, masyarakat dapat mendapatkan informasi tentang pernyataan sikap/pendapat/ide dan gagasan petinggi tentang segala sesuatu. Hal ini menumbuhkan sebuah konsekuensi logis, bahwa setiap petinggi di negeri ini tidak akan mampu bersembunyi dari sorotan publik. Sehingga kebohongan-kebohongan dari oknum petinggipun tidak mampu tertutup/ bertahan lama.
Salah satu sisi positif dari revolusi informasi tersebut,  adalah  mulai tersingkapnya sikap arogansi para oknum penegak hukum yang terus menerus memenuhi tayangan multimedia, yang merugikan masyarakat kecil dan selalu menjadi sasaran empuk. Baik sebagai objek ketidakadilan hukum atapun tindak kekerasan yang tidak jarang menimbulkan korban luka ataupun korban jiwa. Anehnya semakin gencarnya multimedia mengungkap tindak lancing tersebut, penistaan terhadap masyarakat kecilpun terus saja berlangsung  tanpa  menyadari bahwa masyarakat dewasa ini sudah tidak bisa dibohongi dan disiasati lagi.

Bahkan setiap noktah hitam yang menimbulkan kekecewaan publik terus saja menggelinding dan bertambah besar sejalan dengan pengembangan  tindak penilepan uang negara tersebut, yang berujung dengan sikap publik yang semakin terperangah. Bukankah kita tidak mungkin mengeluarkan suatu statemen yang sepihak, bahwa semakin tinggi jabatan oknum petinggi, semakin besar pula oknum tersebut berpeluang melakukan pelanggaran hukum. Atau memang “tirai birokrasi” yang menyumbat supremasi hukum berhasil menutupinya
Aspek inilah yang perlu kita garis bawahi sehingga mampu memberikan pencerahan kepada semua pihak, untuk melamgsungkan kinerja dengan mengedepankan tertib hukum, langkah yang prosedural dan mengutamakan eksistensi kepercayaan masyarakat terhadap mereka. Tanpa ini semua negara kita akan terus menjadi negara “seribu anarkis”.
Berbagai pihak telah mulai mengkhawatirkan terkikisnya nasionalisme yang hinggap di dada setiap masyarakat Indonesia. Hal ini memang telah terbukti, sebagai contohnya adalah semakin sepi masyarakat mengibarkan bendera merah putih pada hari-hari besar nasional. Atau telah lupa sebagian besar generasi muda terhadap jasa dan sejarah pahlawan kita. Mereka lebih memilih untuk melakukan tawuran, anarkis pada pertandingan sepak bola tanpa memperhatikan siapa yang menang atau kalah. 
Dengan usungan nasionalisme yang pas-pasan tersebut, maka kepelikan sosial bakal terjadi, yang terus menerus akan menimbulkan  masalah bagi pemerintah setiap kali harus mengeluarkan kebijakan strategis di bidang apapun. Padahal setiap kebijakan strategis tentu saja akan mengorbankan beberapa pihak. Masihkah bisa masyarakat kita rela berkorban demi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Atau masihkah masyarakat kita mau menerima kebijakan pengurangan subsidi negara terhadap premium, demi penghematan uang negara. Padahal dengan informasi satu klik setiap hari mereka disuguhi berita oknum petinggi yang melakukan korupsi.

Sikap dan jiwa besar dari kita semua perlu dikokohkan dalam sanubari kita, agar penyakit kronis yang hinggap di tubuh bangsa ini tidak melumpuhkan citra bangsa yang besar ini. Hal adalah sesuatu harga mati lantaran kebesaran jiwa kita bisa mampu dijadikan tameng terhadap hasutan dan intrik politik dari

petualang politik yang mendiskritkan dan mengarahkan tudingan pada pemerintah secara sepihak. Meskipun dalam negara demokrasi sikap politik seperti ini memang bukan suatu pelanggaran konstitusi negara. Tetapi akumulasi beban hidup rakyat kecil inilah yang perlu kita waspadai agar tidak bermetamorfosis menjadi elemen revolusi sosial yang membahayakan disintegrasi bangsa. Yang pada giliranya akan merusak sendi sendi kehidupan kita bersama.

Senin, 02 Januari 2012

Ada Apa Dengan Bangsa Ini


Setiap saat di berbagai media kita mendengar dan melihat banyak sudah ahli politik/negarawan/sosiolog/budayawan/ahli hukum dan praktisi hukum yang menymbangkan pendapat/komentar dengan lagu yang merdu/sumbang perihal bangsa yang tiada menentu ini, dari masalah tebang pilih pembrantasan korupsi/gratifikasi/marking-up budget proyek/kenisbian supremasi hukum dan lain sebagainya. Namun masih saja terus dan terus kita saksikan peristiwa pelanggaran nlai dasar bebentuk apapun, baik itu hukum, nilai sosial, moralitas dan lain sebagainya yang dilakukan oleh banyak oknum petinggi bangsa ini, dari masalah Gayus, Centuy Bank, pelanggarn HAM di Bima dan lain sebagainya. Hingga akhirnya si keilpun menoba menyampaikan ide gagasan, meski dari sudut pandang tempurung otak yang tiada seberapa besarnya.

Rupa rupanya bukan hanya kepiawaian suatu disiplin ilmu saja yang dibutuhkan untuk meredakan semua perilaku yang mulai mengkhawatirkan ini. Setidak tidaknya sebuah keteladanan positif, tentang bagaimanan mrntalitas petinggi bangsa yang mengorbankan kepentingan pribadi demi negara,  karena dorongan nasionalisme tulen yang melekat. Dengan sebuah keteladanan yang manis inipun pada giliranya mampu menyedot dan menghipnotis “grass root”.

Indonesia adalah bangsa yang besar dari dimensi yang bervariasi , mulai dari kekayaan sumber daya hayati hingga kebudayaan yang tersebar mulai dari Sabang sampai Merauke.  Keberagaman tersebut tentunya menimbulkan “side effect” berbedanya pola pandang terhadap segala arah. Meskipun kita berbangga hati telah memiliki instrumen pemersatu bangsa Pancasila. Namun karena melekangnya kesejukan yang telah lama menerpa bangsa ini, instrumen penyatu itupun ikut terhempas menjadi hanya sebuah nama. Efek yang cukup mengkhawatirkan ini pada giliranya nanti jelas akan mengarah pada disintegrasi bangsa.

Meski wacana di atas adalah sebuah wacana yang usang, namun bila sebuah pencerahan publik harus terus dilakukan demi injeksi obat yang manjur untuk penyakit sosial/moralitas ini, maka tidak ada salahnya apabila media menyodorkan kepada publik secara terus menerus tanpa adanya rasa bosan. Hal ini bertepatan dengan fungsi sekunder dari media, yaitu untuk merancang bangun nilai nilai dasar kepada publik mereka sendiri.

  • Revitalisasi Nasionalisme
Kita akan terlalu banyak mengeluarkan peluh, pikiran, tenaga dan biaya apabila kita meraba dan mencari kiat untuk menghambat laju perubahan nilai baru,  yang sekarang menerpa masyarakat kita. Meski perubahan itu tiak mungkin kita bendung begitu saja, karena telah menyempitnya volume bumi ini atau telah bertambah dekatnya jarak antar ruang angkasa, akibat capaian tehnologi internet. Namun masalah nasionalisme yang direeransikan pada akar sejati nasionalisme kita harus kita tumbuh kembangkan tanpa mengenal langkah surut.
2
Nasionalisme tersebut adalah nasioanalisme yang secara menggelora timbul pada dekade tahun 45-an, dimana masalah negara adalah masalah hidup mati Rakyat dan Bangsa Indonesia.

Dengan landas pacu dan kemasan yang berbeda maka nilai itupun masih perlu kita jinjing,semata-mata demi penyadaran publik dan konsistensi pada langkah ke depan. Bukankah konsistensi ini dewasa ini menjadi sesuatu yang bermetamorfosis menjadi hanya ornamnen di dinding ruangan kantor atau di dinding kelas. Dengan menipisnya nilai nilai tersebut, lantas bagaimana kita mampu menyatukan kembali daerah/propinsi yang ingin lepas dari Pangkuan Ibu Pertiwi.

  • Pendekatan Agamis yang Konkrit
Benang hitam yang terulur di tahun 2011 telah menimbulkan aspirasi kita semua mengenai bagaimana kita menguntai benang lembut sehalus sutera di tahun 2012. Demi revitalisasi kejayaan bangsa kita yang disuriteladani pendahulu kita,tentunya kita tidak malas dan tidak setengah hati untuk menepis kebobrokan bangsa ini lebih dalam lagi. Untuk itu pendekatan agama sebagai nilai dasar dan essensi bagi seluruh manusia Indonesia perlu dikonsepsi lebih real lagi, bkan semata-mata aspek formalitas saja.

Penyaringan bakal calon semua petinggi bangsa perlu lebih menelibatkan publik dalam aspek agama. Sehingga noda hitam sekecil apapun bisa kita ketahui dan mampu kita inventarisasikan ketimbang nantinya menjadi oknum petinggi bangsa yang korup dan berbuat amoralitas lainnya.

Disamping itu pembelajaran agama yang selama ini hanya pelengkap saja di sekolah umum harus dilangsungkan lebih besar lagi porsinya dengan aspek Affektif (sikap mental) peserta didik yang paling ditonjolkan. Oleh karena itu tindak pencurangan UN yang selama ini terjadi menyeluruh dan kita biarkan saja harus segera dihentikan dengan cara pembatalan UN dan diganti sistim evaluasi yang representatif seperti sebelumnya (Ebtanas). Sehingga ancaman jati diri bangsa bakal lenyap. Bayangkan saja bila32.317.989 peserta didik kita dari jenjang SD hingga SMA yang tersebar di 141.089 sekolah negeri dan 36.890 sekolah swasta kita teladani dengan tindak pencurangan. Maka akan menjadi apa generasi ini nantinya ?.

  • Tekad Bersama
Siapa saja yang menyimak wacana tersebut di atas pastilah akan terselip rasa khawatir di hati sanubari masing-masing. Kita tidak mengharapkan bila sebagian besar masyarakat Indonesia hanya duduk berpangku tangan, atau para oknum petinggi bangsa hanya mampu berdebat demi kepentingan pribadi/partai/organisasi/komunitas mereka saja seperti yang terjadi belakangan ini.

Namun sebah tekad bersama perlu kita usung, seperti tekad Rakyat AS dengan tekad “New Deal “ yang dimotori oleh Franklin Delano Roosevelt (January 30, 1882 – April 12, 1945) , yang dicanagkan pada Tanggal 4 Maret 1933. Sesuatu apapun tidak akan bakal terjadi sama seperti sekarang apabila kita betul betul sepakat dalam tekad bersama untuk menyelamatkan kekayaan dari Anugerah Tuhan yang Kuasa berupa Bangsa dan Negara Indonesia.

Kamis, 15 Desember 2011

Media ON LINE


Posted on 27 April, 2010 by admin
Ditayang Harian Sumut Pos
 
Memasuki era peradaban baru, media online sudah menjadi kebutuhan. Tak terkeculi di dunia pendidikan. Pasalnya media online dinilai mampu mentrasfer informasi secara cepat dan tepat. 

Dalam sejarah pembentukan peradaban manusia yang humanis yang dijinjing oleh corak hidup modernis, telah tercatat banyak sudah negarawan yang mengabdikan diri guna membasmi ketidak adilan suatu masyarakat dengan gaya dan kemampuan masing-masing.

Sebagian dari mererka adalah Mahatma Gandhi sang Ahimsa. Gandhi menitikberatkan perjuangan Bangsa India dengan nasionalisme sebagai suatu kodrat dan anugerah dari Tuhan yang Maha Kuasa. Sebagian besar perjuangan Gandhi yang mengedepankan Ahimsa itupun ditulis dalam beberapa media yang eksis kala itu.
Bahkan Soekarno The Founding Father untuk Bangsa Indonesia banyak menyodorkankan ide gagasanya guna membangun struktur berpikir masyarakat, melalui tulisan-tulisannya di berbagai media. Gaungpun bersambut  dengan ketajaman dan gaya tulisanya yang spesifik. Soekarno berhasil menghantarkan rakyat Indonesia menuju penetrasi ideologi, politik, naluri kebersamaan, patriotisme dan nasionalisme yang mewujud dalam pembentukan negara Republik Indonesia.

Sebuah idealisme bukan hanya mutlak milik negarawan kondang saja,  bukan pula milik figur kharismatik ataupun figur central lainnya. Namun yang jelas setiap suatu idealisme apapun yang bersemayam kuat di tiap benak manusia, tentunya memiliki naluri agar ide dan gagasannya dibaca/didengar/dipatuhi oleh publik. Sehingga individu yang terselip di grassrote-pun berhak pula untuk menyampaikan ide gagasanya dalam suatu tulisan.

Hingga dekade tahun 2010 ini, peranan media on-line masih menjadi media kelas dua dibanding dengan media cetak. Hal ini disebabkan karena faktor pendukung utama belum seluruhnya mampu diadopsi setiap masyarakat,  karena daya beli, minat baca, kultur dan faktor lainya. Padahal meski sepintas lebih ribet, namun publikasi media on-line mampu menjangkau masyarakat dunia. Inilah salah satu kelebihan media on-line ketimbang media cetak.

Dengan  keunggulan seperti tersebut di atas, tidak menutup kemungkinan di decade mendatang, Penyelenggaraan UN untuk SMP/MTS dan SMA/MA/SMK menggunakan jasa media on-line untuk tampilan soal-soal ujian tersebut, agar lebih mampu menjamin masalah kejujuran UN,  karena lebih pendeknya mata rantai pengadaan soalnya. Tidak menutup kemungkinan di decade mendatang Kementrian Pendidikan melibatkan media on-line guna kegiatan pembelajaran di sekolah.

Diharapkan media on-line ini akan lebih berkiprah dalam hal publikasi dinamika social. Sebagai suatu kiat manusia modern dalam menggapai pemenuhan informasi dalam ranah apa saja. Mengingat keunggulan aspek cakupanya baik dari substansi dan area-publishnya. Hal ini tentunya akan meningkatkan peluang masyarakat modern Indonesia dalam pencapaian kompetensi yang tidak disodorkan pada satuan pendidikan atau perguruan tinggi atau institusi edukasi lainnya. Bukankah dengan demikian peranan media on-line akan lebih signifikan lagi dalam pencerahan public.

Betapa tidak media on-line yang sekarang bisa kita dapatkan di internet bisa langsung menyodorkan input public secara komprehensif yang mencakup aspek edukasi, featur, kriminal, opini, sosial dan politik, hukum, news and views, sastra, anak anak, remaja dsb. (*)
Oleh:
Ir Bambang Sukmadji
 Guru MA Futuhiyyah 1 Mranggen Demak Jateng