Kamis, 15 Desember 2011

Membentuk Generasi Wanita Ideal


MENYAMBUT HARI IBU 2011

sri wahyuni

Memasuki minggu-minggu terakhir Bulan Desember 2011 ini, kita hendaknya  bersiap untuk berbenah menyambut tahun baru 2012. Perubahan positif mestinya telah kita tekadi dengan memfokuskan sebuah pembentukan mentalitas dan moralitas, untuk mengusung sebuah life-style. Perubahan di atas semestinya pula direalisasi dengan menelibatkan  semua komponen masyarakat dalam  acuan “sebuah kepentingan bersama “ yang kita harapkan. Sehingga berhasilah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara yang sukses dalam pemberdayaan  “asset sumber daya manusia” untuk bertanggung jawab dalam pembangunan sebuah bangsa.

Namun untuk menggapai sebuah predikat semua komponen masyarakat sosial yang “ready to use” tersebut, memang bukan masalah  yang gampang, dalam artian tekad itu harus diwujudkan dengan sebuah tekad yang dikonsep dengan cermat, bersinergi tinggi dan penuh tanggung jawab, taktis dan sungguh-sungguh.  Termasuk salah satu diantaranya adalah pemberdayaan Perempuan Indonesia yang berkomposisi sebesar 50,3% dari 238,452,952 total penduduk. Dari jumlah tersebut 58 % diantaranya tinggal di pedesan dan menempati posisi buruh tani dan kebon sebesar  69,32% dari 47,67 % tenaga kerja di pedesaan.

·         Jebakan Kultur

Segmentasi kontribusi perempuan Indonesia dalam menggapai kemajuan bangsa, memang belum optimal bila kita korelasikan dengan jumlah pengusaha wanita di Indonesia yang masih minim yakni hanya 0,1 persen dari total penduduk. Hal ini sesuai pernyataan  Menteri Pemberdayaan Perempuan, Linda Amalia Gumelar, di Bandung pada bulan Januari 2011 silam.  Data statistik di atas turut pula meyakinkan kita, bahwa sebagian besar wanita di Indonesia masih belum mengenyam kriteria sumber daya manusia yang dituntut ‘up to date”. 

 Meski jumlah wanita karir terus merangkak  di tengah masyarakat dari tahun ke tahun, namun peningkatan ini hanya terjadi di kota-kota karena kondisi sosiologis yang menuntut dan memungkinkan segmentasi ini berlangsung. Bagaimana dengan kiprah wanita di pedesaan, yang memerankan 69,32% dari 47,67 % tenaga kerja di pedesaan. Jebakan kultur telah menghisapnya dari tuntutan semua pihak agar wanita lebih signifikan berperan, sesuai dengan teori Myers, (1995), yang mengemukakan tentang pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, bahwa dalam satu keluarga ada dua fungsi yang harus dikembangkan secara khusus yaitu mendidik anak dan memproduksi makanan. Sebuah rancangan keluarga yang terdiri dari seorang laki-laki dan seorang wanita, maka akan sangat menguntungkan apabila salah satu fungsi dalam keluarga tersebut diberikan kepada satu jenis kelamin dan fungsi lainnya kepada jenis kelamin yang lain.
Namun sebuah realita lainya tidak mampu ditepis, bila kita mengamati kehidupan pasutri  muda di kota yang bersama terlibat dalam meniti karir di berbagai bidang jasa, tanpa menepiskan fungi kodrati gender tersebut.  Hal ini disebabkan lantaran kehidupan modern memang menantang pasutri muda untuk terlibat di kancah hidup yang kompetitif, profeionalisasi, inovatif dan totalitas. Dengan demikian teori dari Myers, (1995) tersebut bukan merupakan life-style yang sacral lagi. Lantas bagaimana fungsi dan peranan Wanita Indonesia yang hidup di pedesaan yang agraris.

·         Pendidikan Gratis

Pengentasan peran wanita yang kita harapkan tidak bisa kita lepas begitu saja pendidikan formal dan informal yang memadai dan murah, bahkan belakangan ini telah mencuat wacana pendidikan gratis. Dengan dana pendidikan sebesar lebih dari Rp.200 Trilyun Rupiah bukan hal yang mustahil untuk penggratisan pendidikan dari mulai SD hingga PT guna pemberdayaan Wanita Indonesia. Sehingga minimal Wanita Indonesia telah menapaki type generasi yang smart, inovatif , terbuka serta bermentalitas “up to date”.

Agar lebih menggigit lagi peran sebuah generasi wanita, maka pelatihan-pelatihan dasar pebisnis dalam suatu kelompok kerja harus direalisasi dengan serius, terutama di pedesaan. Pelattihan ini difokuskan pada agribisnis sekaligus menciptakan sebuah peluang ekspor komoditi yang di Indonesia masih menjadi mimpi panjang. Peluang tersebut sebenarnya masih terbuka luas bila kita kaitkan dengan masih tersedianya lahan yang luas di bumi kita, ditambah dengan kekayaan hayati yang berlimpah ruah. Apabila pendidikan gratis untuk pendidikan dan pelatihan gratis untuk wacana tersebut di atas tentunya mampu menambah nilai plus untuk wanita kita.***

Sabtu, 19 November 2011

ASEAN dan Perang Dingin Baru


Semangat persaudaraan “Bangsa Serumpun” lahir dari tangan Adam Malik, tepatnya saat dia membidani kelahiran ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967, berkat dedikasi dan kredibilitasnya yang piawai di politik internasional dan diplomasi sebagai Menteri Luar Negeri RI ( Kabinet Ampera II Orba )         dengan dibantu Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN lainnya.

Pada momentum ini sekaligus  Adam Malik berhasil mengendalikan Perdamaian Serumpun Melayu (Indonesia - Malaysia). Persaudaraan tersebut memang secara esensi perlu dicanangkan guna terbentuknya “jembatan emas” yang mampu menepiskan konfrontasi besar-besaran yang pernah mendera dua bangsa serumpun, yang disimbolkan dengan “Slogan Dwikora” ( Dwi Komando Rakyat) yang dicetuskan Presiden Soekarno  tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta).
Sejak dari awal berdirinya,  hubungan multilateral  antara  Negara Negara Asean berjalan mesra dan mulus hingga saat ini, meski melewati sejarah mencekamnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang terus memusarinya.  Sikap Negara Negara Asean saat itu lebih memfoluskan pada pembangunan ekonomi  ketimbang pembangunan militernya. Sikap ini telah jelas dimotori oleh Soeharto  yang dengan galaknya mencanangkan program pembangunan  jangka panjang berjenjang (Repelita) selama 32 tahun. Dalam hal ini Mantan Perdana Menteri Lee Kwan Yew menyatakan bahwa warisan yang berarti untuk Soeharto adalah “Asean yang konstruktif”.
Kesungguhan Soeharto semakin jelas dalam membawa ASEAN untuk memfokuskan  pembangunan ekonomi, perdamaian dan aspek lainnya, saat Indonesia memimpin GNB periode 1992 – 1995, meskipun pertentangan antara Blok Barat dan Timur, dekolonisasi telah lenyap. Salah satu contoh kiprah Ketua GNB tersebut  adalah manuver Soeharto yang secara khusus mengundang Brunei untuk turut serta dalam kerjasama selatan-selatan (Ningrum Natasya, Gerakan Non Blok dalam Masa Kepemimpinan Indonesia 1992 – 1995. Universitas Sumatra Utara, 2003).
***
Semangat ASEAN untuk mempererat kerjasama multilateral sama sekali tidak terpengaruhi sejak runtuhnya Uni Sovyet yang mulai menggejala sejak  Januari 1987, sejak Gorbachev menyerukan diadakannya demokratisasi: memperkenalkan unsur-unsur demokratis seperti misalnya pemilu dengan banyak kandidat di dalam proses politik Soviet. Pada Juni 1988, dalam Konferensi Partai ke-19 dari PKUS, Gorbachev meluncurkan pembaruan-pembaruan radikal yang dimaksudkan untuk mengurangi kontrol partai terhadap aparat-aparat pemerintahan (Wikipedia, 2011).
Uni Sovyet benar benar runtuh ketika Komite Sentral Partai Komunis US melepas Negara Negara yang dahulu di bawah kendalinya  pada 7 Pebruari 1990. Sehingga “domino principle” ambisi hegemoni komunis ke Negara Negara yang terpuruk ekonominya menjadi sirna,. Apalagi dengan berlangsungnya perubahan politik Negara Negara satelit Uni Sovyet di Eropa Timur. Namun demikian sikap Negara ASEAN yang akomodatif tidaklah semudah begitu saja untuk mampu menciptakan kawasan Asia Tenggara menjadi kawasan yang sejuk dan damai.
Ancaman baru telah berada di depan Negara Negara Asean karena adanya realisasi pembangunan militer China besar-besaran untuk mewujudkan “Negara Militer Modern” pada tahun 2020, dengan meningkatkan anggaran militer sebesar 300 %. Pada decade tersebut jadilah China sebagai Negara super power baru yang mampu mengungguli kecanggihan militer AS.
Dalam sejarah berlangsungnya KTT Asean,  baru  kali ini KTT Asian, yang digelar di Nus Dua Bali dihadiri Presiden AS Obama, setelah presiden -presiden AS sebelumnya memandang perhelatan fenomenal ini dengan sebelah mata. Namun ekspatasi luas di publikpun bergaung sehubungan kedatangan Obama tersebut. Apakah Obama berambisi mencari dukungan politik, fasilitas ataupun militer guna menghadapi militer China. Apakah juga Obama berambisi menciptakan Perang Dingin Baru di Laut China Selatan dengan menyeret Negara Negara Asean.
Perang Dingin baru di Laut China Selatan terindikasi dengan adanya ambisi Gedung Putih untuk menempatkan 2500 pasukan mariner AS di Darwin Australia paling lambat 2014 nanti.
Menanggapi masalah ini Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa menyambutnya dengan sikap diplomasi yang bersahabat. Marty tidak mempermasalahkan pangkalan milter tersebut, karena kekuatan militer AS diharapkan mampu menjadi perimbangan di kawasan Asia Tenggara dan mampu menciptakan iklim ekonomi yang kondusif. Kita mengharapkan bersama agar Indonesia tidak terpancing dengan Perang Dingin Baru di kawasan Laut China Selatan. Karena kita harus menunjukan sikap konsekuen kita dengan “Semangat Non Blok” yang pernah dinyatakan mantan Sekjen PBB Bouthros Ghali bahwa  Non Blok harus tetap pada 5 prinsip politiknya yaitu: “ Tidak bersekutu dalam konteks konfrontasi timur barat, bersekutu dengan perjuangan anti colonial,  tidak terlibat dengan persekutuan militer multilateral dan tidak terlibat persekutuan militer bilateral dengan suatu negara adidaya dan tidak memberi tempat pada suatu pangkalan militer suatu negara adidaya”

Sabtu, 12 November 2011

Merajut Ulang Benang Sutra Pahlawan

Patriotisme anak bangsa yang pernah di tunjukan pada momentum yang paling heroik, yang terjadi pada 10 November 1945 silam di Surabaya. adalah  “epos kepahlawanan”  yang dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara Bangsa Indonesia, dianggap sebagai momentum yang belum mencapai puncak. Jika kita cermati begitu banyaknya tantangan yang harus dihadapi bangsa ini untuk menggapai masa depan yang cerah. Meski saat itu ribuan Pemuda Surabaya dan sekitarnya berjuang menyabung nyawa melawan  AFNEI yang tergabung dalam  Brigedir 49, Divisi 23 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby. Dengan keberanian yang  mengagumkan, pemuda kita berhasil mempertahankan Kota Surabaya dari sergapan AFNEI selama 1 bulan, jauh dari perkiraan AFNEI yang sesumbar mampu melumatkan Surabaya dalam 3 hari.

Tentunya kita bertanya pada diri kita masing-masing, mengapa epos kepahlawanan yang begitu heroik, dewasa ini hanya menjadi kenangan sejarah untuk generasi sekarang. Jangankan untuk mengorbankan  segalanya, untuk berpartisipasi pada upacara hari hari besar nasioanal secara khidmatpun, terkadang kita tidak mampu.  

Padahal dalam perjalanan hidup Bangsa Indonsia dari perguliran waktu demi waktu,  terdapat benang benang sutra kisah kepahlawanan. Dari koridor waktu perjuangan fisik (masa revolusi) hingga “pensejajaran” capaian jati diri dengan bangsa lain, penguasaan iptek, pengentasan kemiskinan dan pekerjaan rumah kita yang paling berat dewasa ini, yaitu merekontruksikan  nilai nilai luhur nenek moyang kita yang terhempas akibat merosotnya nilai nasionalisme. Tantangan seperti inilah yang menjadi alasan kita, mengapa “darah dan keringat” pahlawan kita tempo dulu belum mencapai puncak.

Rajutan benang sutra kepahlawanan dewasa ini memang sudah jauh berbeda ketimbang membungkam kanon-kanon AFNEI, atau mengenyahkan anjing anjing NICA dan lain sebagainya. Figure pahlawan yang tampil pada usia 70-an  tahun setelah merdeka, secara “garis besar “ adalah mereka yang mampu menepiskan “kerikil kerikil tajam” pada landas pacu menuju kemajuan  Indonesia segala bidang dan  mereka yang mampu menyingkap faktor penghalang kemajuan bangsa dan lebih jauh lagi memberikan partisipasinya pada laju kereta reformasi, atau mereka yang mampu memecahkan masalah-masalah yang terjadi seperti kemiskinan,  pendidikan, hingga lingkungan.

Sehingga andaikan seorang pengusaha besar telah  berhasil membimbing perusahaan anak asuhnya hingga berhasil, seorang pendidik dengan penuh moralitas dan tanggung jawab membimbing peserta didiknya hingga menjadi pandai atau seorang pemeduli lingkungan yang berhasil memberi manfaat sosial pada masyarakatnya, apalagi seseorang yang berhasil dalam pembelajaran sosial menurut bidang dan kemampuanya adalah  seorang pahlawan.  Bagi figur pahlawan sejati seperti tersebut di atas,  pastilah akan menepis simbol atau emblem kepahlawanan, tak pernah memperdulikan pro- kontra definisi pahlawan dan tak kan pernah mencari tahu tentang distorsi definisi kepahlawanan.

Wacana di atas memang patut kita terima, sebab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa (1988), kata ’’pahlawan’’ berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Jadi ada tiga aspek kepahlawanan, yakni keberanian, pengorbanan, dan pembela kebenaran.  Lantas bagaimana mungkin kita kembali dalam rajutan benang sutra kepahlawanan, apabila sebesar 103,19 trilyun Rupiah  telah masuk ke perut perut oknum petinggi (laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran  sesuai temuan Badan Pemeriksa Keuangan ).  Padahal para koruptor
tersebut yang nota bone adalah para petinggi bangsa sangat diharapkan suri tauladanya dalam keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.

Kita mengharap dengan sungguh sungguh adanya rekonstruksi epos kepahlawanan yang hadir dalam sanubari setiap masyarakat Indonesia, yang berada dalam masa masa kritis dalam bidang integrasi (menghangatnya kembali tuntutan masyarakat papua untuk memisahkan diri), sikap skeptis dan anarkis rakyat dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan ajakan SBY  dalam sambutanya pada HUT Golkar yang ke- 47 di Gelora Bung Karno, Sabtu 29 Oktober 2011, yang menyatakan bahwa dewasa ini Indonesia telah memasuki “masa transformasi”, yang dicirikan dengan reformasi dan demokratisasi.  Untuk mewujudkan hal tersebutnya SBY mengajak  kita untuk meneruskan program pengentasan kemiskinan,  pembangunan daerah,  pembrantasan korupsi dan lain sebagainya.

Capaian keberhasilan kita di atas tentunya membutuhkan penyadaran bersama dan pembelajaran sosial untuk menyelipkan daya juang sama seperti daya juang pahlawan kita, yang berhasil dengan gemilang melawan tentara inggris di Surabaya 66 tahun silam. Kita perlu merajut kembali benang sutra kepahlawanan , sehingga Rakyat Indonesia mampu kembali mengusung keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.