Minggu, 26 September 2010

Mengedepankan Keprihatinan Sosial Demi MASA DEPAN

Sejenak mari kita merenung kembali, bahwa dengan dalih apapun kita adalah tetap bagian masyarakat timur yang kental dengan budaya ketimuran yang konservatif. Budaya tersebut mengemasi sikap mental santun, malu, kaya akan nilai kesusilaan dan nilai serta norma lainnya yang melekat kuat pada sistim sosial Masyarakat Indonesia. Eksistensi karakteristik sosial ini telah kokoh dan tak tergoyakan hingga berabad- abad lamanya. Namun selaras dengan dinamika globalisasi, dimana jarak suatu tempat dan benteng moralitas masyarakat tidak menjadikan faktor pembatas berbagai interaksi yang menggelinding begitu saja. Maka moralitas masyarakat khususnya masyarakat Indonesia telah mengalami berbagai dinamika yang cukup signifikan.

Tentu saja wacana di atas lebih tepat bila kita memandangnya dari aspek moralitas masyarakat Indonesia. Moralitas, berasal dari bahasa Latin : moralities, yang berarti perilaku, karakter atau sikap yang benar . Dalam pembahasan ini, moralitas digambarkan sebagai suatu nilai yang tertanam kuat dalam individu, yang mampu membedakan tentang “benar dan salah” dalam kehidupan bermasyarakat, Meskipun dalam ruang lingkup ini kita tidak menuntut sesuatu menurut benar dan salah secara obyektif. Namun kami hanya sekedar mengetengahkan pertimbangan rasional yang dapat membimbing ke arah sesuatu yang benar atau salah, lepas dari sangsi norma bagi yang melanggar suatu moralitas tersebut.

Betapa tidak memprihatinkan, bahwa belakangan ini moralitas masyarakat kita dalam beberapa aspek telah terbukti mengalami pergeseran dan bahkan cenderung bersikap “non kompromis” (menepis) terhadap nilai yang telah ada. Kasus perseteruan antar/inter agama, tewasnya berpuluh puluh remaja kita yang menenggak miras oplosan yang tiada henti, yang justru menjadi ajang gagah-gagahan yang tak perlu, lahirnya gaya hidup generasi “menguras uang negara” demi kebutuhan prestisius dan pembiasaan membahanakan anarkis di jalan untuk hal-hal yang sebenarnya bisa dirundingkan di belakang meja serta tindakan representasi imarolitas lainnya.

Oleh karena itu sebuah harapan baru perlu disodorkan ke tengah Masyarakat Indonesia, untuk tidak melepas sematan bangsa yang menjunjung tinggi “budaya malu” (shame culture), yang pada gilirannya akan tetap melanggengkan “jati diri bangsa” yang sekarang sedang bercucuran air mata keprihatinan.

Dengan budaya malu inilah, sebuah masyarakat sosial akan terhindar dari rasa saling “melukai satu sama lainnya”, apabila moralitas benar benar diemban secara kokoh oleh masyarakat (Standford, 2010). Bahkan menurut Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, Bangsa Jepang bisa meraih prestasi yang baik , setelah terpuruk pada PD II, akibat “perasaan malu” yang tertanam pada masing-masing rakyatnya sejak dini. Demikian pernyataan mantan perdana mentri tersebut saat memberi orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancaila di Jakarta, Sabtu 10 Mei 2008 silam.

Budaya malu apabila tetap dikokohkan dalam sanubari kita, akan terbesitlah kepekaan sosial, sehingga merefleksasikan setiap anak bangsa untuk sadar hukum dan bagi penguasa enggan untuk menyelewengkan kekuasaan. Namun yang terjadi sebenarnya, adalah jauh panggang dari api. Hancurnya moralitas yang berujud lenyapnya budaya malu, menjadi sarapan kedua bagi setiap anak bangsa ini. Bagi anak bangsa yang masih memiliki moralitas dan “nasionalisme yang tak tergoyahkan”, yang sekarang jarang kita dapatkan, tentunya merasa geram bila menyaksikan para oknum petinggi yang melakukan pendoliman uang Negara, namun mereka tetap saja tidak memiliki “perasaan bersalah” (guilt culture).

Sebuah keprihatinan bersama adalah suatu sikap nasional yang membentuk social character yang minimal bisa kita jadikan acuan yang kokoh dan mampu menopang bangunan social masyarakat “madani di era modern”, yang di masa depan harus kita raih. Terutama keprihatinan dalam aksen pembentukan masyarakat madani Indonesia (Indonesia social society). Sebagai bangsa yang sejak dari awal terbentuknya hingga perkembanganya selalu berlandaskan pada konseptual berbagai aspek, tentunya harus memiliki pandangan ke depan yang ditekadi untuk segera terwujud, yaitu masyarakat madani dengan dasar dan ideologi yang telah kita sepakati bersama.

Berkaitan dengan wacana tersebut diatas. Dr. Nurcholis Madjid dalam Menuju Masyarakat Madani menyatakan, bahwa sudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama untuk mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, dinegara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lebih lanjut Nurcholis Madjid dalam menyodorkan teorinya mengenai masyarakat madani mengemukakan bahwa yang disebut masyarakat madani, adalah masyarakat yang berbudi luhur atau berakhlak mulia atau masyarakat berperadaban atau "civil society". Masyarakat Madani dapat kita contohkan adalah masyarakat yang dibangun Nabi Muhammad 14 abad yang lalu.

Oleh karena itu sebuah tekad bersamapun harus diikrarkan, yang didahului dengan pencerahan bangsa dalam wujud keprihatinan bersama untuk menginternalkan moralitas yang mapan sedini mungkin demi kehidupan Bangsa Indonesia di masa mendatang. Memang suatu perjuangan panjang untuk membentuk sebuah masyarakat madani di bumi nusantara ini, lantaran terlalu banyak keterpurukan yang harus dientaskan dari keranjang sampah yang saling bertumpuk dan terkait satu sama lain.

Namun dengan fitur masyarakat majemuk yang cukup luas variasinya dan berperan sebagai penyangga eksistensi bangsa di masa depan. Maka raihan prestasi menuju masyarakat idaman tersebut adalah suatu hal yang tidak dapat ditunda lagi. Hal ini telah seperti diakui oleh rohaniawan Nasrani Paul F. Knitter, yang menggambarkan perspektif masyarakat pascamodern justru terletak pada dominasi kemajemukan.

Mewujudkan keprihatinan bersama selayaknya dimulai dari hal yang paling essensi. Erich Fromm (Social and Character Changes, 1942) menjelaskan bahwa sebuah karakter individu banyak ditampilkan dari struktur karakternya sendiri, tetapi sebuah struktur sosial ditampilkan dengan perilaku emosional yang umum di dapatkan pada masyarakat sosial. Karakter sosial secara substansial dimulai dari karakter tiap keluarga yang menyusunnya dan peran keluarga ini sebagai agen perubahan sosial, disamping sekolahan dan lingkungan kerja.

Dengan rumusan tersebut di atas kenapa kita tidak segera berbenah diri dengan mengawali terwujudnya keprihatinan bersama untuk menyandang sebuah keadilan, kemakmuran dan kemerdekaan dari berbagai aspek untuk Masyarakat Indonesia.

Sabtu, 25 September 2010

Martabat Bangsa Yang Ditepis Hedonisme

Adalah salah satu simbol kenikmatan duniawi, apabila kala itu manusia di peradaban pramodern (Jaman Majapahit), yang menghuni wilayah Nusantara mengkonsumsi gula dan kelapa ( gulo klopo) untuk konsumsi di tiap perhelatan atau dalam kehidupan sehari-hari. Karena hanya dari dua jenis bahan tersebutlah sebagian besar panganan diolah. Kedua bahan tersebut berasal dari tanaman nyiur yang banyak tumbuh di sepanjang pantai Kepulauan Nusantara. Jadilah suatu keindahan Kepulauan Nusantara, yang jarang ditandingi oleh bangsa lainnya, seperti yang tersirat dalam lagu ‘”Rayuan Pulau Kelapa”.
Namun lain halnya dengan Patih Kerajaan Majapahit, Gajah Mada yang menahan nafsu duniawi tersebut sebelum mampu menaklukan Bumi Nusantara. Sikap Gajah Mada tersebut dikenal sebagai Sumpah Palapa, sebagai peletak dasar nasionalisme yang tertanam kuat di setiap kalbu Rakyat Indonesia. Meski pada dekade sekarang, sikap ini telah terlantar dan tererosi oleh badai perseteruan, ego, hedonisme, pendoliman uang negara, manipulasi jabatan, aksi bonek, miras oplosan, demo anarkis dan tindakan amoralitas lainnya.
Hanya kebesaran jiwa dan kejernihan hatinya disertai tindakan patriotisme yang tulus saja, yang mampu menginspirasikan negarawan besar ini untuk menggemakan sumpah itu. Sebab Patih Gajah Madapun tahu persis betapa mahal harganya apabila semua rakyat yang menghuni persada “Rayuan Pulau Kelapa” tersebut mau bersatu, saling berkorban demi negara, santun, inovatif dan terbuka dengan siapapun serta toleran. Membentuk suatu bangsa yang berdaulat, mandiri sekaligus bermartabat. Sebuah bukti telah ditorehkan dalam catatan sejarah, bahwa dengan sikap seperti itulah kita berhasil menjadi negara yang merdeka, yang pada hakekatnya adalah anugerah yang dilimpahkan oleh Tuhan Yang Kuasa.
Martabat yang dimiliki suatu bangsa bisa juga dikaji dari aspek kemampuan bangsa itu sendiri dalam mengembangkan ketahanan yang komprehensif. Pertahanan suatu negara merupakan faktor utama dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Suatu negara tidak akan bisa menjaga eksistensinya dari ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri apabila belum mampu untuk mempertahankan diri dari ancaman tersebut. Oleh karena eratnya kaitan pertahanan negara dengan harkat dan martabat suatu bangsa, maka dengan adanya pertahanan negara yang memadai (Postur Pertahanan yang Kuat) akan membuat bangsa lain tidak memandang sebelah mata terhadap bangsa kita ( Mayor Laut (P) Salim, Komandan KRI Untung Suropati, 2009).
Namun demikian rongrongan dari aspek potensi ekonomi juga tidak kalah berpengauhnya terhadap kredibilitas sebuah martabat bangsa. Semakin rendahnya kualiatas SDM bangsa kita, semakin pula kita bergantung kepada pihak luar negeri dalam banyak hal. Bahkan kita cenderung memiliki persepsi bahwa ketergantungan kita terhadap luar negeri adalah sama dengan “neo-kolonialisasi “ yang bertopeng globalisasi , yang semakin dalam menghisap darah rakyat kita ketimbang nafsu tamaknya VOC sejak Tahun 1602.
Mohammad Hatta dengan tajam dan dalam, mengungkapkan suatu prediksi ke depan mengenai sandungan ekonomi yang kita alami. Pandangannya yang berorientasi pada kekuatan pasar dalam negeri yang didukung oleh tenaga beli rakyat, tidak menjuruskannya terperosok ke dalam paham isolasionisme ekonomi. Ia bahkan telah meramalkan globalisme dan globalisasi masa depan. Ia tidak menolak interdependensi ekonomi internasional, yang ia tentang adalah dependensi ekonomi nasional Indonesia terhadap ekonomi internasional yang selalu diwaspadainya (Sritua Arief, Pemikiran Pembangunan Bung Hatta, (Jakarta: LP3ES), hlm. 99-118 ).
Namun pandangan seorang “Faundhing Father” tersebut tidak serta merta mampu direalisasi oleh generasi penerusnya yang telah kehilangan nasionalisme dan jati dirnya, yang pada gilirannya nanti bisa mengkhawatirkan kredibilitas martabat bangsa ini. Pandangan Beliau tentang sebuah perekonomian rakyat, terganjal keras oleh pendoliman dan penjarahan uang negara oleh oknum pejabat yang sudah tidak bermoral lagi. Lantaran diantara oknum tersebut sudah tidak ada lagi persepsi pelanggaran aturan negara melainkan hanya sebagai “life-style” belaka. Maka tidak heran mereka telah kehilangan kepedulian tentang nasib si kecil yang meng-grassrote. Dengan perilaku seperti inilah, dari seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah.
Urgensi yang terselip tapi mendasar di balik wacana tersebut di atas, adalah revitalisasi nilai martabat bangsa ini yang telah terpuruk dari semua sudut pandang. Mulai senjata hukum yang tegas, pencabutan gelar akademis dari institusi yang menyematkan, internalisasi tentang martabat bangsa di jalur pendidikan sedini mungkin, inensifikasi gerakan sadar berkehidupan berbangsa dan bertanah air di semua kalangan dan uji moralitas yang cermat bagi setiap calon pemimpin. Dengan demikian martabat Bangsa Indonesia yang Luhur akan berdengung lagi seiring dengan nyanyian “Rayuan Pulau Kelapa”.

Essensi Kemerdekaan Yang Belum Tersentuh

Telah 65 tahun sudah kita telah merdeka atau terbebas dari apa yang kita sendiri tidak tahu maknanya. Hanya saja yang dapat kita ketahui, adalah sejak 17 Agustus 1945 “Sang Saka Merah Putih “ telah bebas berkibar di halaman rumah rakyat, hati rakyat dan tiap pengharapan rakyat yang terbebas dari segala tekanan hidup yang membelitnya. Meski kebebasan Merah Putih itu pernah mengalami cobaan internal dan eksternal, antara lain Perang Gerilya I dan II, kemelut politik upaya disintegrasi beberapa daerah serta tragedi kemanusiaan yang mendunia,yaitu tragedi G 30 PKI Th 1965/1966 yang mengorbankan jutaan nyawa melayang dan menghilang.

Kini semua halangan tersebut sudah mampu kita lewati dengan sebuah nasionalisme yang menyatu dengan jiwa kita, hingga kita semua mampu mendahulukan eksistensi sebuah bangsa ketimbang hidup kita sendiri, dan ternyata hal inilah yang pada awal millennium ke 3, menjadi hal yang muskyl untuk direkonstruksi ke arah sematan nilai semula. Tentu saja hal ini melahirkan konsekuensi negatif tentang realisasi :”Cita cita Proklamasi” yang semakin jauh panggang dari api, yang tersemat di sanubari kita pada rentang waktu dari Kebangkitan Nasional hingga Kabinet “SBY” Bersatu II..

Meskipun dengan kesedihan dan kepapaan yang mendalam, semenjaknya jatuhnya tokoh nasional “The Smilling Jenderal” yang mundur sebagai presiden RI Mei 1998, Banyak ahli politik dan sosial yang mengkategorikan Indonesia mengalami kemunduran 50 tahun kebelakang. .Oleh karena itu kita disejajarkan dengan negara negara termiskin di dunia dari belahan Bumi Afrika. Betapa tidak, meski memimpin selama 32 tahun dengan “gaya otoriter”, namun Soeharto berhasil menampilkan suatu kemampuan kepemimpinan luar biasa yang harus diakui oleh teman dan lawan politiknya (senang atau tidak). Ia menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan). Bahkan sempat mendapat penghargaan dari FAO atas keberhasilan menggapai swasembada pangan (1985). Maka, saat itu pantas saja ia pun dianugerahi penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.Soeharto (Ensiklopedi Tokoh Nasional, 2010).

Memang suatu kenyataan yang tidak usah kita pungkiri bahwa selama kepemimpinan Soeharto, harga harga terutama harga komoditi pokok relatif stabil dibanding dengan fluktuasi harga selama dipimpin penerusnya. Selama 32 tahun berkuasa dapat disimpulkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar AS relative stabil, kecuali menjelang kejatuhan beliau. Ibaratnya Rakyat Indonesia telaj mengalami kemerekaan meski baru dalam koridor “ sandang, pangan dan papan”.Lepas dari kesalahan Soeharto terhadap bangsa ini, memang kitapun patut mengacungkan jempol atas kepemimpinan beliau dengan torehan prestasi di atas.

Ambisi Soeharto untuk mewujudkan Masyarakat Adil Makmur dengan Program Pembangunanan Berjangka ( REPELITA), nampaknya tidak main main lagi dengan sistematika program yang terpadu, terprogram dan berkesinambungan hingga menggapai tahap yang kita idamkan bersama. Di lain pihak karena kemampuan kita sendiri yang masih terbatas, dalam hal SDM, penerapan iptek untuk mengeksploitir simber daya alam, moralotas yang rendah serta banyak aspek lainnya, menjadi penyebab utama ketergantungan pemerintah Orde Baru yang terlalu percaya pada IMF atau World Bank sebagai dewa penolong (dokter), dalam hal penyandang dana dan ketergantungan ini telah mencapai klimaksnya pada tahun 1997, saat Indonesia terkena krisis moneter yang dahsyat karena pemerintahsaat itu terlalu banyak menanggung beban utang.

Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) adalah organisasi internasional yang bertanggungjawab dalam mengatur sistem finansial global dan menyediakan pinjaman kepada negara anggotanya untuk membantu masalah-masalah keseimbangan neraca keuangan masing-masing negara. Salah satu misinya adalah membantu negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi yang serius, dan sebagai imbalannya, negara tersebut diwajibkan melakukan kebijakan kebijakan ( Structural Adjustment Programmes) tertentu, misalnya privatisasi badan usaha milik negara. Bahkan bukan hanya itu saja, ;ebih jauh IMF membatasi perekonomian negara dunia berkembang dengan cara menentang pengembangan infrastruktur dan meminta negara yang bersangkutan untuk hidup dengan standar yang rendah.

Dengan demikian perekonomian yang dibangun oleh Soeharto, ditopang oleh kapitalis kapitalis murni yang berkedok pengentasan kemiskinan untuk negara berkembang.au dapat disebutkan bahwa meskipun rakyat bisa mengkonsumsi bahan bahan keperluan pokok dengan murah, tetapi mereka harus menopang pinjaman yang fantastis. Disini dapat kita simpulkan bahwa paa relung waktu Orde Baru, rakyat kecilpun belum tersentuh makna kemerdekaan secara essensi. Hal cukup beralasan karena utang-utang yang dihimpun selama Orde Baru telah meninggalkan beban yang terlalu berat.. Sampai sekarang utang luar negeri Indonesia sudah mencapai Rp1.000 triliun lebih. Dalam APBN 2007, alokasi dana yang harus dipakai untuk membayar utang termasuk bunga tidak kurang dari Rp200 triliun, atau sepertiga APBN yang Rp600 triliun lebih itu.

Seperti diketahui bahwa hutang luar negeri kita hingga tahun 2010 adalah mencapai hamper 2000 Trilyun rupiah, seperti yang tercantum dalam Data Bank Indonesia (BI) mencatat, sampai akhir Januari 2010, utang luar negeri mencapai 174,041 miliar dollar AS. Bila dikonversi ke dalam mata uang Rupiah dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS nominal utang itu hampir mencapai Rp 2.000 triliun.Sehingga apabila jumlah penduduk Indonesia sebanyak 235 juta, maka beben per kepala menjadi Rp 8,5 juta rupaih, sebagai nilai sebuah kemerdekaan.(Dari berbagai sumber)