Jumat, 24 September 2010

UNTUK KITA RENUNGKAN

Peduli terhadap realita yang mencuat di sekeliling kita, adalah salah salah satu pertanda “manusia yang menghayati semua peribadatan” . Bukan hanya kepedulian terhadap lingkungan sosial saja, tetapi kepedulian terhadap kerusakan lingkungan juga termasuk upaya manusia yang bermanfaat terhadap sesama, sebagai Khalifah di bumi. Bukankah kerusakan lingkungan yang terus ditelantarkan, pada gilirannya nanti bakal mengancam eksistensi kita semua.

Rasa khawatir kita sebagai organisma “Primata berderajat paling tinggi” kini merebak dan menggayuti hati kita semua. Bila kita mencermati sebuah realita tentang saudara saudara kita di Uni Sovyet yang sedang berkubang kerusakan iklim.Betapa tidak, menurut salah satu laporan televise swasta nasional, memaparkan bahwa mereka telah meradang di bawah temperature 38 derajat Celsius. Penyebab perubahan suhu yang tidak seperti biasanya ini, adalah sebagian dari menggejalanya kasus pemanasan global. (global warming).

Seperti kita ketahui bersama bahwa suhu rata-rata pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca” . Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8.. Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 hingga 2100. (Pemanasan Global, Wikipedia, 2010).

Dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh pemanasan global tersebut adalah
terjadinya kerusakan sirkulasi air laut, sehingga menimbulkan perubahan cuaca yang sulit dipredeksi., timbulnya gejala kekeringan yang lebih parah di daerah gurun , kegagalan panen yang terjadi di mana-mana sehingga menyebabkan terbatasnya persediaan pangan, kelangkaan air dan sumber-sumber air, kelapran yang melanda dunia dan menyebabkan banyak kematian, mebyebabkan perubahan cuaca yang ekstrim dengan cirri banyak terjadinya badai, menyebabkan berbagai penyakit baik untuk manusia maupun hewan, timbulnya gelombang panas yang mematikan, berkurangnya habitat hewan dan tumbuhan, menyebabkan emigrasi besar besaran manusia dari daerah tandus ke daerah yang lebih baik, bertambahnya konsumsi energi untuk kebutuhan rumah tangga, menyebabkan polusi udara dan menghilangnya lapisan es atau glaciers.( http : // epa.gov/ climate.change/emission ).

Perubahan cuaca tersebut di atas memang menimbuilkan konsekuensi logis yang negatif, terbukti dengan terjadinya cuaca yang ekstrim seperti yang kita rasakan mulai 2 bulan terakhir (Juli dan Agustus) di Indonesia. Bisa kita cermati juga contoh lain, yaitu terjadinya banjir bandang byang menerjang Pakistan barat laut tepatnya di Nowshera, pada hari Selasa (3/8) yang telah menyebabkan lebih dari tiga juta orang merana. Korban yang te¬was mencapai 1.400 orang . Menyusul kemudian banjir di Zhouqu,China yang menewaskan 1424 orang serta lebih dari 2000 dinyatakan hilang. Padahal pada bulan bulan itu, mereka biasanya hidup di bawah musim kemarau.

Lantas bagimana saudara kita yang di Uni Sovyet, mereka biasa hidup di tengah temperature udara 24 derajat Celsius. Selanjutnya dilaporkan bahwa dengan naiknya suhu udara, menyebabkan kenaikan 300 % kandungan CO (karbonmonoksida) di atmosfer. Padahal salah satu sifat CO di muka bumi ini adalah mampu menghalangi fiksasi “alveolus” terhadap Oksigen di paru paru organisme konsumen (manusia dan hewan).

Disamping itu juga bersama sama dengan CO2 (karbon dioksida) karbonmonoksida bakal menyerap kalor matahari. Hal ini menimbulkan perubahan temperature atmosfer meningkat dari tahun ke tahun. Dari realitas fenomena di atas pasti akan timbul pertanyaan dalam benak kita, akankah eksistensi manusia tetap berlangsung seratus tahun ke depan bila fenomena ini terus berlangsung, atau mungkin pula akan lahir organisma manusia straint baru, yang mengalami mutasi genetic. Hal ini wajar saja bisa terjadi, karena manusia adalah organisma yang memiliki daya adaptasi yang paling comfortable dibanding dengan organisma lainnya. Ditambah lagi manusia memiliki software dengan iptek sebagai hasil cipta dan karsa mereka. Namun demikian hingga kini belum ada satu laporan ilmiahpun yang memprediksi fenomena mutan tersebut. Karena memiliki kompleksitas yang tinggi.

Oleh karena itu sebuah tindakan manusia dalam upaya pencegahan ini semua perlu dikedepankan sebagai upaya yang paling bijak dan masuk akal. Fenomena yang mengancam eksistensi hidup manusia adalah dimulai dengan tindakan sembrono manusia itu sendiri yang tidak memperhitungkan dampaknya di kemudian hari. Hingga generasi sekaranglah yang harus mewarisi bumi yang sudah tidak ramah lagi.

Dengan sebuah asumsi yang kasar, kita bisa mendeskipsikan bahwa temperature bumi di tahun 2112 adalah sekitar 43 ° C. Di tengah temperatur udara setinggi itu, maka jelas sudah species manusia bakal menemui kepunahan, kecuali bagi mereka yang mengalami peruabahan anatomis, fisiologis dan kriteria biologis lainnya.

Atau dengan olahan cipta dan karsanya manusia mencoba merekayasa lingkungan hidup sedemikian rupa hingga mampu eksis entah sampai kapan atau bahkan dengan ilmu genetic yang telah maju dengan pesat, manusia mampu menciptakan strain manusia mutan yang telah direkayasa genetiknya. Dengan teknik tambal-sulam ikatan DNA yang terdapat pada kromosom manusia atau kromosome hewan. Sehingga manusia mampu mengkombinasikan peta-genetik hewan dan manusia demi daya tahan manusia terhadap change of climate tersebut.

Benarkah fenomena tersebut bakal terjadi di masa depan. Mengacu pada kerusakan iklim yang ekstrim sekarang maka fenomena tersebut bukan isapan jempol biasa. Hanya rasa tunduk kita kepada Tuhan yang Kuasa yang direfleksikan dengan perlakuan santun terhadap alam semesta inilah yang bakal menjadi penyelemat keberlangsungan hidup kita.

Jumat, 17 September 2010

Mendambakan KOTA SEMARANG Yang Nyaman


(SEBUAH SARAN UNTUK PAK WALI YANG BARU)

Memasuki hari ke dua setelah Pilwakot Semarang Th 2010 = 2015, sebuah pandangan ke depan yang optimis langsung merebak dari hati penulis, setelah mengetahui kemenangan yang diraih pasangan MARHEN. Perasaan ini tidak timbul lantaran simpatik yang berlebihan, tetapi semata niatan merefleksasikan urgensi Kota Semarang sebagai kota metropolitan yang sejuk, asri, aman, maju serta memliliki drainage yang representatif, yang cukup dikonotasikan dengan predikat “kota nyaman”, yang kita dambakan.

Tentunya Marhen harus mampu menautkan semua institusi yang terlibat agar mampu bergerak selaras, bagaikan mesin sebuah arloji yang harus kompak berputar demi sang waktu. Kita sambut gembira pernyataan pasangan Marhen yang akan menerapkan aspek kebersamaan sesuai janjinyaya, untuk membentuk stakeholder baik perorangan maupun lembaga untuk bersama-sama membangun Kota Semarang.

Sebagai ibu kota Provinsi Jateng, tentu pembangunan Kota Semarang harus memfokuskan pada specifikasi yang dimiliki kota Semarang yaitu adanya prediksi ilmiah Dr. Ir. Suripin M.Eng, yang dikutip dari abstraksi Dwiyanto, Agung (2009) Stasiun Tawang Yang Terdholim, yang diterbitkan Jurnal Nasional, menyatakan bahwa topografi wilayah Semarang memiliki kemiringan antara 0 sampai 2% dan ketinggian ruang antara 0-3,5 mdpl. Adapun Semarang bagian atas dengan ketingggian antara 90-200 meter dari permukaan laut. Semarang sudah menjadi langganan banjir dan rob sejak beberapa tahun yang lalu. Jika penanganan banjir tidak sistimatis, diperkirakan pada 2019. Semarang bawah akan tenggelam. Prediksi itu didasarkan pada penurunan lahan yang terjadi tahun demi tahun, yang semakin lama semakin mengkhawatirkan.

Dengan prediksi ilmiah tersebut, maka tentunya akan menimbulkan perasaan masyarakat yang tidak nyaman untuk bermukim di Semarang. Apalagi bila kita menyaksikan realisasi penyelamatan kota Semarang oleh autoritas yang masih belum mengenai sasaran (pembangunan polder di depan Statiun tawang, rumah pompa tlogosari yang belum berhasil guna). Apalagi dengan timbulnya dampak yang nyata akibat terjangan rob, yaitu rusaknya Jalan Barito dan ruas jalan lainnya yang belum terbenahi.

Apabila kelak terjadi kota yang hilang akibat terambahnya banjir rob, maka tentu saja sebagian besar warga Semarang yang berdomisili di Semarang Utara tidaklah mungkin mempertahankan tempat tinggalnya, terutama bagi yang mampu. Namun masalah pelik mulai muncul bila ancaman itu mendera masyarakat menengah ke bawah, yang tidak memiliki tempat pemukiman lainnya, Maka menjadi tantangan yang berat bagi Marhen untuk peduli wilayahnya, masyarakat serta amanat yang diembanya.

Namun disamping itu, specifikasi lainnya pun dimiliki kota Semarang dengan topografi nya unik, yaitu perbedaan yang signifikan antara topografi pantai (sebelah utara) dengan daratan berbukit di bagian selatan Kota Semarang. Dengan demikian Semarang bagian bawahlah yang menjadi penampungan air hujan dari bagian selatan. Tentu saja Marhen disarankan untuk mengkonsep lagi sistim drainage kota yang serius, setidak-tidaknya merehabilitir drainage yang pernah dikonsep pemerintah kolonial dulu. Karena banyak sistim drainage peninggalan kolonial yang sekarang tak berfungsi optimal karena sedimentasi.

Rasa heran bercampur prihatin mengganjal dalam benak kita semua, tatkala kita menyaksikan Kota Semarang bagian atas yang telah disulap menjadi tempat pemukiman komersil oleh pihak pengembang (Jati Sari, BSB dan lain sebaganya) yang menonfungsikan reservoir raksasa air hujan alami, berupa pohon-pohon taunan yang kini rata dengan tanah. Tentunya sikap ini sama saja dengan menelantarkan anak cucu kita sendiri, karena kita tak mampu memegang amanat mereka. Padahal luas tanah 1 m persegi mampu menyimpan air tanah sebanyak 4,000 liter. Fenomena ini menggambarkan betapa terancamnya kehidupan warga Kota Semarang di decade mendatang.

Namun demikian merealisasikan Semarang Kota Nyaman tidak serta merta mengatasi tantangan alamiah belaka. Dengan penerapan teknologi yang telah diraih ahli Planalogi tantangan seperti itu bisa diatasi. Tetapi mentalitas dan moralitas warga Semarangpun harus mendapat kajian yang professional dan proporsional dalam kaitanya dengan kenyamanan hidup masyarakat sosial. Apabila kita mencermati kehidupan social Kota Semarang tentunya kita akan dihadapka pada kompleksitas yang tinggi, untuk menorehkan skala prioritas pemberdayaan potensi yang ada sekaligus factor pengendala yang paling domnan terhadap kemajuan sebuah masyarakat.

Namun lepas dari itu semua, terdapan nilai mendasar yang wajib Marhen perhatikan dalam pengentasan Kota Semarang, yaitu peningkatan laju ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Dengan adanya perhatian tiga komponen tersebut maka bila kebutuhan mendasar sebuah masyarakat social akan terpenuhi pada gilirannya nanti akan terealisasi Kota Seamarang yang Nyaman sebagai Impian kita bersama.

JATI DIRI YANG DIKORBANKAN

Rothenberg, Bess. and Miller-Idriss, Cynthia (2004), dalam abstraksi makalah mereka yang berjudul “Complex Conceptualizations of National Pride: Reevaluating a Key Indicator of the Citizen and Nation Relationship" di seminar tahunan American Sociological Association, pada Tanggal 14 Agustus 2004, mengungkapkan bahwa rasa kebanggan terhadap negara, adalah kunci sebuah indikator (key indicator) untuk mengetahu hubungan antara warga negara dengan negara mereka sendiri. Meskipun penafsiran masing-masing individu mengenai pengetahuan ketatanegaraan belum bisa dijadikan tolak ukur nilai kebanggaan mereka terhadap negara mereka sendiri. Oleh karena itu perlu adanya pencerahan kepada masyarakat umum tentang pandangan mereka terhadap nilai kebanggan dan jati diri bangsa (national pride and national identity). Sumber : All.Acedemic. Incoorperation, 2004.

Dari argumentasi Rotherberg dkk diatas tentunya kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa setiap warga negara apapun status sosialnya, tetap memliki rasa kebanggaan dan jati diri bangsanya menurut ukuran mereka masing-masing. Karena dengan sebesar apapun takaran yang dimiliki oleh suatu individu, pada hakekatnya bukan sebagai penghalang dalam pengejawantahan terhadap kepemilikan kebanggaan dan jati diri bangsa.

Jati diri yang menginternalisasi di tiap benak warga negara Indonesia dibangun oleh unsur-unsur yang beragam, diantaranya adalah unsur Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, yang kesemuanya harus dilihat sebagai “jati diri bangsa” dan ditempatkan sebagai margin of apprecfiation. Selain itu semangat reformasi mengharuskan kita untuk menghormati pelbagai persyaratan untuk hidup bermartabat ( living in dignit) yang merupakan segitiga yang bersifat universal yaitu demokrasi, rule of law dan promosi serta perlindungan HAM. ( Makalah Prof. Dr. Muladi, S.H. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional RI pada Diskusi Panel dengan tema “Revitalisasi Jati Diri Bangsa” yang diselenggarakan oleh Biro Organisasi dan Humas, Deputi Mensesneg Bidang Sumber Daya Manusia bersama Biro Kewilayahan dan Wawasan, Deputi Seswapres Bidang Politik pada tanggal 14 Juni 2006 di Kantor Sekretariat Negara RI, Jakarta ).

Dengan semanghat reformasi yang menggelinding secara liar, setelah jatuhnya Soeharti Tgl 21 Mei 1997, wajah kehidupan politik Indonesia menjadi tidak konsisten, yang pada akhirnya menimbulkan side effect yang
tidak kita harapkan, seperti maraknya perseteruan elit politik, ancaman disintegrasi bangsa, menguatknay aksi power people dan melemahnya supremasi hukumj, yang pada awalnya kita coba kondisikan dengan energi yang maksimal, serta aksi lain yang belum pernah muncul ke permukaan. Kondisi semacam ini tentunya akan menyebabkan Indonesia kembali ke perseteruan panjang multidimensional atau conflk sosial yang kronis, yang pada gilirannya akan mengikis moralitas jati diri kita.

North, Koch, and Zinnes, 1960 menyatakan bahwa konflik sosial yang umum terjadi di suatu wilayah adalah bersumber pada pembagian kekuasaan ( distribution of power ) yang berlangsung di wilayah tertentu. Konflik sosial ini biasanya berbentuk upaya – upaya pemaksaan kekuasaan, yang diharapkan mampu memenuhi hasrat para pemeran konflik itu sendiri. Sehingga sudah barang tentu, konflik akan melahirkan intrik yang beruang- lingkup pada pemaksaan hak terhadap orang lain.

Kondisi semacam itulah yang dewasa ini mendera Wajah Bumi Pertiwi, dengan wujud perseteruan antara lembaga eksecutif / pemerintah dengan institusi wakil rakyat yang disebut DPR. Lepas dari mekanisme alternatife yang mereka pilih sebagai opsi way – out perseteruan mereka, kita lebih memandang sebagai upaya menggoyang kursi keprisedanan yang di bangun dari hasil Pemilu Presiden Th 2009 lalu. Betapa tidak untuk biaya perseteruan itu sendiri kita telah mengeluarkan dana yang tidak sedikit ( untuk ukuran orang kecil yang seharusnya menjadi fokus dalam pembangunan segala bidang ), hanya untuk mengusut dana sebesar 6,7 trilyun rupiah sebagai dana bailout Century.. Apalagi perseteruan tersebut bukan hanya berlangsung di dalam Gedung Senayan saja, tetapi telah merebak ke parlemen jalanan yang dilakukan publik.

Dalam kondisi semacam itu, bangsa Indonesia sebenarnya tetap yakin bahwa persatuan dan kesatuan nasional baik yang bernuansa struktural maupun kultural (solidaritas sosial) tetap bisa dipertahankan di negeri ini, sebab bangsa ini memang didirikan atas dasar falsafah non-primordialisme, melainkan atas dasar rasa penderitaan yang sama (sense of common suffering) akibat penjajahan asing ratusan tahun. ( Prof. Dr. Muladi, S.H.). Bukan hanya itu saja yangh kita harapkan agar tetap mendapatkan predikat yang monumental sebagai bangsa yang santun, ramah, murah senyum, ringan bergotong royong, terbuka dan seabreg predikat luhur lainnya.

Dengan lengkapnya perangkat hukum kita yang diapilkasikan dalam rel sepremasi hukum, maka bangsa ini yang tadinya telah kokoh berlabel berjati diri, hendaknya menyerahkan kepada perangkat tersebut pada wadah Mahkamah Konstitusi, untuk melakuka uji materi tentang bailout. Apabila mengandung muatan pidana bukankah lebih baik diterapkan saja regulasi hukum atau sebaliknya. Bukan dengan waktu yang berbulan-bulan menyodorkan tontonan publik yang tidak dewasa.

Aspek urgensi yang harus kita cermati dibalik ini semua, adalah menguatnya gejalan instabilitas nasional yang mungkin saja terpuruk bersamaan dengan polarisasi elit politik, yang secara tidak langsung juga akan menciptakan situasi non kondusif terhadap aspek yang lebih jauh lagi, yaitu disintegrasi. Dalam hal ini hendaknya para petinggi kita segera menlakukan cooling down, atau disarankan dengan sangat untuk melakukan ultimatum yang final tak berekses lainnya, untuk mengakhiri bailoutnya pemerintah SBY. Inilah langkah penuh moralitas guna menambal jati diri yang telah terkoyak. Atau bahkan sebaliknya hanya mampu men-download misi politik partainya semata-mata menggoyang kursi presiden. Ekses lainya dari peliknya aktifitas parlemen tersebut tentunya akan diikuti oleh kekisruha lainnya yang berkesinambungan.

Bila alternatif terakhir yang dikedepankan maka jati diri bangsa yang telah mengakar ratusan tahun bisa saja meranggas atau berganti baju menjadi jati diri bangsa yang entah bagaimana bentuknya, berganti pula filosofi dasarnya. Bahakan berganti pula berpredikat sebagai bangsa yang garang, atau seabreg predikat lainnya yang sangat kontroversial. Maka sebuah pertanyaanpun akan dilontarkan oleh segenap anak bangsa yang menaruh perhatian menbdalam, mau dikemanakan bangsa dan negara yang indah ini ?.