Jumat, 17 September 2010

BERSIKAP SANTUN MUDIKPUN TERASA INDAH

Usai sudah hiruk pikuk mudik dan arus baliknya yang diusung para urban yang tinggal di kota-kota besar seluruh Indonesia ke daerah mereka masing-masing, dari beberapa hari sebelum Hari Raya I’dul Fitri 1 Syawal 1431 H hingga beberapa hari sesudahnya. Menurut budayawan Jacob Soemardjo, mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah mengenal tradisi ini jauh sebelum berdiri Kerajaan Majapahit untuk membersihkan pekuburan dan doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan untuk memohon keselamatan kampung halamannya yang rutin dilakukan sekali dalam setahun. Kebiasaan membersihkan dan berdoa bersama di pekuburan sanak keluarga sewaktu pulang kampung sampai saat ini masih banyak ditemukan di daerah Jawa.

Setelah Islam masuk ke Indonesia, terjadilah asimilasi budaya leluhur kita dengan ajaran Islam, yang menyodorkan konsep pembersihan diri dengan melakukan ritual maaf memaafkan kepada orang lain , guna pencapaian pembersihan jiwa dari dosa dosa mereka
Sebagian besar masyarakat Indonesia, menganggap bahwa pencapaian pembersihan diri ini akan mencapai afdhol ketika mereka bermaaf-maafan dengan orang tua dan saudara mereka di daerah asal.

Dengan melekatnya nilai nilai tersebut di atas, maka akan kita lihat hiruk pikuknya sejumlah besar pemudik yang dilakukan semua lapisan masyarakat. Hiruk pikuk tersebut memang pantas menjadi perhatian semua pihak. Lantaran bukan hanya aspek religius dan sosiologis saja yang kita cermati, namun pengkajian fenomena yang unik inipun harus di curahi perhatian ekstra, dalam ruang lingkup yang lebih luas. Betapa tidak,menurut laporan sebuah studio tv swasta nasional. Pada hari + 2 lebaran, jumlah pemudik yang melewati gerbang tol sebelah timur Jakarta, mencapai 30. 000 unit mobil dan 98.000 unit sepeda motor.

Tentu saja kegatan perjalanan mudik dan arus baliknya, setiap tahun akan memaksa pihak pemerintah, terus meng-up grade berbagai kebijakan untuk meredam dan mengatasi berbagai ekses yang ditimbulkan, seperti maraknya tindakan kriminalitas, keamanan dan keselamatan berlalin, pembenahan infrastruktur, transportasi, fenomena ekonomi, kesehatan dan lain sebagainya. Meski tiap tahun pemerintah mencoba terus memanjakan pemudin ini, namun tetap saja mudik tahun ini masih menyisakan air mata.
Betapa tidak hampir tiap tahun,jatuhlah air mata dari keluarga korban tewas kecelakaan lalin mudik dan arus balik. Mabes Polri menyatakan jumlah korban tewas akibat kecelakaan lalu-lintas selama mudik lebaran 2010 adalah sebesar . 164 korban kecelakaan lalu-lintas seluruh Indonesia, menurut ujar Kadiv Humas Mabes Polri, Brigjen Pol. Iskandar Hasan di Mabes Polri Jl. Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat (10/9). Sedangkan hingga hari Rabu, 15 September 2010, jumlah korban tewas telah membengkak menjadi . 277 Orang tewas di jalanan akibat kecelakaan. Sedangkan jumlah kecelakaan sebanyak 1.241 kasus kecelakaan.
Lebih lanjut Kadiv Humas Polri Brigjen Pol, Iskandar Hasan mengatakan, selain korban tewas ada 371 orang luka berat dan 700 orang luka ringan. Sementara kerugian materiil mencapai Rp 4,6 milliar. Pelanggaran lalin 27.115 kali, tilang 23.221 dan pembinaan 3.892 kasus, tingkat kejahatan selama musim mudik juga terus meningkat meski tidak signifikan. Umumnya, kejahatan yang terjadi bersifat konvensional seperti pencurian.
sebanyak 1.836 kasus dan 686 kasus lainya.
Kita ketahui bersama bahwa kecelakaan yang banyak dialami oleh pengguna jalan raya adalah diakibatkan sebagian besar oleh human error. Hal ini berarti budaya mudik bisa dilaksanakan oleh kita bersama dengan meninggalkan ekses korban jiwa seminimal mungkin, bila kita perduli dengan kesiapan dan kepatuhan serta tanggung jawab kita sebagai pengguna jalan, yang menyangkut pemeriksaaan awal kendaraan baik darat laut serta udara, perlengkapan utama dan pendukung berkendaraan, pengetahuan tentang rambu serta kondisi kesehatan kita sendiri. Hal ini perlu kita tekadi, lantaran mudik tahun ini lebih specific di banding tahun sebelumnya, karena faktor kendala cuaca ekstrim, yang hampir menerjang wilayah nusantara sepanjang tahun.
Oleh karena itu kita perlu mencontoh kiat Pemerintah Kota Bogor menerapkan keharusan mobil sewaan mudik plat hitam untuk mengantongi sertifikat atau surat uji kelaikan kendaraan, sebagaimana mobil pelat kuning atau kendaraan umum. Ketentuan tersebut akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Wali Kota (Perwali) atau Peraturan Daerah (Perda).Apalagi bila sertifikasi uji itu dikenakan oada semua kendaraan yang terkait engan arus mudik, yang berupa sertifikat khusus dengan pola uji berkendaraan yang lebih ketat.
Namun demikian seketat apapun suatu regulasi meski dengan sangsi yang berat, tak akan berarti apa-apa bila kita sudah menepiskan kepedulian terhadap pengguna lain dan aturan main yang ada.Hal inilah yang sering menyebabkan kemacetan jalan dan ikut andil terjadinya kecelakaan lalin, meski infrastruktur telah dibenahi oleh pemerintah secara kontinyu dari tahun ke tahun.
Dengan banyaknya kendala yang menghadang mobilisasi jutaan pemudik dan arus baliknya, kita wajib melengkapkan dengan sikap santun dari berbagai aspek untuk menciptakan suasana budaya mudik yang lebih aman, selamat sampai tujuan serta sehat sebagai syarat mutlak menikmati budaya mudik yang ramah di tahun tahuin mendatang.

Rabu, 15 September 2010

MIRAS Sang Penjemput Maut

Nampaknya bukan hanya mudik dan petasan saja, yang digunakan masyarakat kita dalam menyambut Hari Kemenangan tahun ini, namun sesuatu “perilaku yang konyol” yang biasanya dilakukan oleh sekelompok pemuda, yaitu pesta miras dari berbagai jenis merek, mulai dari merek perdagangan miras resmi hingga oplosan, yang diramu oleh oknum-oknum tertentu demi keuntungan komesil semata. Tanpa memikirkan efek sampingan bagi yang nenggak miras tersebut, yang tak jarang berbuntut pada tewasnya konsumen daganganya itu.

Bahkan tak segan segan, para pengoplos itu mengunakan kedok warung jamu untuk mengelabui aparat. Seperti yang terjadi di Riau ( 13 September malam), sebuah pesta miras yang melibatkan sejumlah pemuda yang bersama menenggak miras jenis mension. Pesta miras tersebut berujung meninggalnya 2 orang pemuda dan hingga berita ini ditulis, delapan orang masih menjalani rawat inap di RS Pelalawan, Riau.

Pesta serupa juga pernah dilakukan sekawanan pemuda Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 5 Mei tahun ini, yang merenggut nyawa 7 pemuda akibat minuman miras yang dicampur dengan minuman suplemen tertentu. Yang membuat kita prihatin,adalah kasus serupa pernah terjadi dalam dua bulan terakhir yang merenggut nyawa 5 orang pemuda.

Kasus miras pembunuh yang telah makan korban ternyata bukan hanya di Riau dan Cirebon saja. Pada akhir Agustus masih tahun ini, pesta miras juga telah merenggut 8 nyawa pemuda di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pesta konyol dilakukan di sebuah warung jamu dengan pemilik warung berperan sebagai pengoplos miras itu sendiri.

Tindakan ceroboh pengoplos seperti kasus tersebut di atas, juga pernah menggegerkan Masyarakat Jawa Tengah pada Bulan April 2010 ini, ketika 21 pemuda dari Salatiga harus meregang nyawa akibat mengkonsumsi miras oplosan yang diramu oleh oknum yang bernama Rusmanadi alias Tius (39), warga Jalan Karangpete RT 3 RW 6 Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Tingkir, Kodya Salatiga. Berdasarkan keterangan Tim medis setempat diperoleh keterangan bahwa kandungan metanol (sejenis alkohol yang sering dipakai dalam bidang industri) yang cukup tinggi dan melebihi batas toleransi di dalam tubuh korban tewas.

Kasus kasus di atas hanyalah sebagian dari kasus perilaku konyol pemuda kita, yang tidak bisa kami sebutkan satu demi satu. Lantaran masih banyaknya kasus serupa yang tersebar di seluruh wilayah negara kita dengan variasi oplosan yang berbeda beda. Di Jawa Tengah sendiri telah jatuh korban-korban di beberapa kota akibat miras, khususnya miras oplosan. Mulai dari Semarang, Salatiga, sampai Boyolali Bahkan saat tulisan ini dibuat, diberitakan bahwa korban Miras telah mencapai 300 orang.

Gejala sosiologis tersebut memang patut mendapat perhatian serius dari kita semua, minimal kita harus memiliki konsep yang handal. Mengingat gelagat pemuda kita yang tidak mau mengambil pelajaran dari kasus sebelumnya yang serupa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mantan Kapolda Jateng Irjen Pol Alex Bambang Riatmodjo.

Ataukah mereka hanya sebatas mencari jati diri, terbukti dengan kasus seperti ini yang terus saja berlangsung tanpa bisa dihentikan oleh perangkat apapun. Bila memang sudah begini keadaanya maka peran aktif masyarakatpun menjadi salah satu metoda yang handal. Disamping tindakan sangsi hukum yang berat bagi para pengoplos miras yang tidak memiliki hati nuarani lagi.Langkah tersebut memang harus dibarengi dengan sinergi yang tegas, mengingat sudah sedemikian parahnya pekat ini menerjang masyarakat kita.

Bahkan kita sempat dibuat tidak percaya dengan kasus yang terjadi di Gothakan, Panjatan, Kulon Progom Jogjakarta ketika menemukan 8 anak SD yang nenggak miras sehabis pulang sekolah di salah satu warung miras pada Bulan Januari2010. Sementara itu Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kulonprogo Arif Prastowo membenarkan adanya peristiwa ini. Hanya saja dinas baru mengetahui beberapa hari yang lalu. Dinas telah melakukan klarifikasi, dan dibenarkan oleh guru dan kepala sekolah. Saat itu juga telah dilakukan koordinasi dengan orang tua siswa dan komite sekolah untuk pengawasan. Memang langkah ini adalah suatu harga mati ketimbang mereka nantinya menjadi generasi yang sakit mentalnya.

Dengan pendekatan terpadu yang melibatkan orang tua, lembaga sekolah, Disdikpora setempat pada kasus di atas, adalah suatu contoh penyelesaian kasus miras yang komprehensif, yang sebenarnya bisa dilakukan untuk remaja kita dengan variasi yang kondisional sesuai dengan tahapan psychology remaja. Bukan hanya dengan “oprasi pekat” saja yang dilakukan oleh institusi berwenang, yang berhasil menertibkan secara temporer. Sebab bila ini ditunda tanpa penyelesaian serius, maka jadilah pesta miras sebagai satu bagian dalam budaya kita. Ditambah lagi dengan faktor keterpurukan ekonomi, yang dapat meningkatkan perilaku antisosial yang menjadi prediktor penggunaan miras pada masa dewasa. Sedangkan anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan sosial yang kurang menguntungkan seperti kumuh, kepadatan penduduk tinggi, mobilitas penduduk tinggi, rasa kebersamaan yang rendah, dapat meningkatkan kecendrungan menjadi pengguna miras (Dari beberapa sumber).

Kamis, 12 Agustus 2010

URGENSI Pendidikan KARAKTER

Hingga sampai kapankah anak bangsa yang bersemayam di Kepulauan Nusantara ini akan kembali mendinginkan sikap, agar tidak lagi mudah melampiaskan ketidakpuasan yang direfleksikan dengan demo anarkis, kericuhan masa karena ketidakpuasan hasil pilkada, mencoba bunuh diri untuk menarik perhatian publik karena keterpurukan ekonomi, pemalsuan seputar peralatan tabung gas 3 kg hingga telah banyak memakan korban jiwa, penggemukan rekening pribadi demi kepentingan oknum itu sendiri dan perseteruan antara petinggi serta tindakan amoralitas lainnya yang terus saja membahana di wajah Indonesia.

Untuk mengurai benang kusut tersebut tidak serta merta dapat dilakukan dengan penyempurnaan regulasi seberapa canggihnya untuk menyisipkan aspek jera pada oknum pelanggaran amoralitas tersebut di atas. Tetapi lebih berdaya guna untuk melengkapi aspek “budaya malu” pada masing-masing sanubari anak bangsa.

Sebegitu urgennya budaya malu sehingga Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, menyatakan bahwa perasaan malu selayaknya disemai sejak awal, agar kita bisa maju dan terus memperbaiki kualitas hasil kerja. "Contohlah orang Jepang," ujarnya saat memberi orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancasila di Jakarta Sabtu 10 Mei 2008 silam. Rasa malu hanyalah satu contoh nilai hidup yang dapat memajukan suatu bangsa.

Menindaklanjuti pernyataan mantan Perdana Mentri Malaysia tersebut terutama dalam aspek “character building” sejak dini, kitapun menjadi bertambah terimajinasi bahwa sudah selayaknya kita tidak hanya mengedepankan hanya aspek kognitif saja dalam mengantarkan peserta didik menjadi generasi insani seutuhnya. Meski di dalam laporan hasil evaluasi prestasi peserta didik yang disodorkan kepada orang tua murid terdapat sertaan aspek psikomotor dan afektif, namun sebagian besar pendidik cenderung menyematkan siswa berhasil dan tidak sebuah pembelajaran hanya dari aspek kognitif, tanpa mengindahkan aspek bentukan karakter peserta didiknya.

Sebuah karakter yang dicetak dari pendidikan karakter adalah sesuatu yang biasa dilakukan guna mencapai budi pekerti yang baik, yang didukung oleh nilai sosial yang melingkunginya. Sehingga mampu mengantarkan setiap peserta didik dalam bentukan individu yang berperan baik di tengah masyarakatnya kelak di kemudian hari. Hal inilah yang menjadi tujuan utama pendidikan karakter.

Hal ini disebabkan karena perkembangan karakter seorang individu tidak bisa lepas dari culture sosial yang melingkunginya, yang kemudian mmenjadi nilai hidup yang jauh terpatri dalam lubuk hatinya. Oleh karena fenomena perkembangan karakter suatu individu yag bersosialisasi di peradaban timur akan berbeda dengan peradaban barat. Sebagai contoh ciri dasar karakter individu yang bersosialisasi di peradaban timur adalah karakter tenang dan pendiam (quiet and calm). Namun karakter dasar ini akan bergeser menjadi bentuk lain apabila terinfiltrasi nilai sosial dari peradaban barat atau peradaban lainnya. Namun karakter individupun mampu bergeser ke bentuk lain lantaran terjadi pergeseran nilai yang terjadi di tengah masyarakat sosialnya sendiri.
Karena fitur sosial masyarakat modern Indonesia yang mencirikan peran pria dan wanita tanpa perbedaan, maka pandangan tentang perkembangan karakter menurut Aristoteles yang mensentralkan pada nilai dasar, kini telah berkembang pesat ke arah multifilosofi, seperti politik, pendidikan, gender dan lain sebagainya.
Padahal dalam upaya merekonstruksikan sematan “bangsa yang berbudaya luhur” sebuah pembelajaran karakter peserta didik perlu ditanamkan bersamaan dengan dinamisasi perkembangan kepribadian peserta didik
Oleh karena itu sebuah pendidikan karakter dalam arti luas perlu dikurikulumkan guna revitalisasi pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik tentang kesiapan pola sikap laku untuk mengembangkan berbagai aspek moralitas, kemasyarakatan, sikap yang baik, kejujuran, kesehatan, sikap kritis dan keterbukaan. Bahkan menurut konsep pendidikan karakter yang mutakhir, pembelajaran tentang sosial dan emosional, perkembangan kognitif, ketrampilan, pendidikan kesehatan, sikap anti kekerasan, etika dan mencegah serta mampu bertindak sebagai mediator setiap bentuk konflik.

Sekedar hanya untuk studi banding, dewasa ini terdapat sejumlah program pendidikan karakter yang bervariasi bergantung dengan tujuan dunia pendidikan atau dunia usaha yang diselenggaran di Amerika Serikat. Tetapi pendekatan yang umum sering diterapkan untuk dua tujuan tersebut di atas, adalah principles ( pokok utama tentang karakter), pillars (factor pendukung) dan values atau virtues ( nilai dasar). Tetapi dari tiga aspek pendukung pemberlangsungan pendidikan karakter, aspek nilai dasar yang paling mendominasinya.

Sebagai langkah awal pemberdayaan pendidikan karakter adalah diterapkan semua satuan pendidikan meneriwa calon peserta didik di tahun ajaran baru ini dengan memfokuskan system penerimaan “the best process”, yaitu sistim yang menerapkan penyaringan bukan hanya dari aspek kognitif, yang biasa diterapkan pada masa ebelumnya dengan sistim ”the best input”. Dengan the best process inilah suatu sekolah yang baik bisa saja menerima calon peserta didik yang harus dibenahi karakternya. Sehingga fungsi satuan pendidikan lebih kea rah bengkel mesin, dan pada akhirnya mampu berhasil guna sebagai “show room mobil” yang memajangkan mobil yang mengkilap dan siap pakai setelah dipermak.

Permakan tersebut diperoleh karena telah tuntasnya Multiple Intelligences Reseach (MIR) secara tuntas dan akurat kepada semua peserta didik. Sehingga bahan ajar yang disodorkanpun mampu dikompetensi oleh siswa setara dengan perkembangan karakternya yang ditampilkan.

Demi eksisnya bangsa yang santun, ramah, terbuka, mendahulukan rembug ketimbang beranarkis demo maka tidak ada salahnya kita meroknstruksi sesuatu yang hilang, yaitu revitalisasi “budaya malu” yang pernah tersemat di bangsa yang sedang meradang ini dan mampu menjadi identitas dunia internasional(Dari berbagai sumber)