Rabu, 02 Januari 2013
Kamis, 25 Oktober 2012
Dunia On Line
Kita tak mungkn lagi menjadi
generasi yang melipatkan kedua tangan kita, apalagi melangkah surut ke
belakang, dalam menyongsong sematan
bangsa yang “melek teknologi” di berbagai bidang. Salah satu kriteria menjadi
generasi yang sigap menghadapi kemajuan tersebut, adalah generasi yang bergelut
dengan serat optik,menjelajah dunia maya dalam koridor internet yang banyak
disajikan dalam bentuk jejaring sosial, facebook, twitter dan masih banyak
contoh lainnya. Dengan capaian kemajuan teknologi tersebut, bukan tidak
mungkin, sebuah generasi mampu mendapatkan informasi apa saja, dari sumber mana
saja serta kapan saja informasi tersebut dapat langsung dinukilkan meski hanya
dari dalam kamar kos kosan seorang mahasiswa.
Lantas aspek apa yang dapat
direngkuh oleh generasi muda dewasa ini, baik aspek berdampak positif atau bahkan aspek berdampak negatif. Kedua
spek dampak hadirnya dunia maya tersebut, bersama sama memeusari setiap sendi
kehidupan para peserta didik kita mulai dari SD hingga bangku perguruan tinggi.
Namun kita tidak bisa memungkiri,
dampak yang mampu lebih
menginternalisasi sebuah pembelajaran dengan menggunakan jasa sebuah dunia
maya,mulai dari aspek penggalian bahan
ajar secara mandiri oleh peserta didik, dalam ranah bahan ajar apa saja, bahkan
dalam aspek informasi dua arah antara pendidik/dosen dengan anak asuhanya. Dengan
komnukasi dua arah yang familiar, supel, tawar dan enjoying, kesan
pendidik/dosen di mata peserta didik/mahasiswa tidak seangker peran mereka pada
masa pendidikan di jaman orde baru. Hal ini tentu sangat menguntungkan sebuah misi
pembelajaran, karena misi ini hanya mungkin dicapai secara akademis bila hubungan
antara pendidik dengan peserta didik adalah hubungan antara seorang fasilitaor
bahan ajar dengan peserta asuhnya.
·
Sikap yang Perlu Dikedepankan
Sebelum kita mengusung sikap
sigap terhadap menjalarnya aplikasi
dunia maya yang menantang kita, terlebih dahulu benahi diri kita semua
dengan sikap jujur, tanggung jawab,mandiri dan inovatif. Sebab aktif dalam
pembelajaran dengan bantuan dunia maya,adalah identik dengan sikap kemandirian
seorang pelajar/mahasiswa dan atau keleluasaan kita dalam mengais informasi
dari berbagai sumber. Sehingga apabila kita tidak mengedapankan sikap mental posotop, maka tidakmenutup
kemungkinan terjadi banyak pencurangan plagiat tergadap naskah/makalah ilmiah
dari nara sumber lain.
Sistim dunia maya memang memiliki
berbagai kelonggaran bagi siapa saja yang berniat mencuri sebuah informasi
melalui sistim ini. Hal ini disebabkan perangkat yang mengawal sebuah tindak
kejujuran di kemasan dunia maya, adalah tidak setajam dan seteliti sistim
lainnya. Faktor penyebab lain yang sikut
memfaktori sebuah tindak kecurangan yang dominan, adalah karakter dasar bangsa
kita yang sedang mengalami distorsi. Bukankah tindak kecurangan terhadap apa
saja, telah menjadi berita harian di berbagai media. Khususnya tindak korupsi
dari oknum petinggi kita serta tindak amoralitas lainnya yang dilakukan setiap
lapisan masyarakat kita.
Sikap sikap negatip yang terkesan
telah mendarah daging ini, tentunya akan menjadi penghalang dalam hal memajukan
sistim/mekanisme perniagaan yang dilakukan dengan dunia maya. Betapa tidak,
perniagaan melalui media on-line sangatlah mutlak memerlukan sebah kejujuran
dari pihak yang terlibat dalam perniagaan tersebut. Maka tidak heran, apabila
kita sering mendengar adanya keluhan dari pihak yang dirugikan akibat
perniagaan dengan sistim ini. Lantas bagaimana kita mengatasi kompleksitas
permasalahan amoralitas di negeri ini ?.
·
Pembelajaran Karakter dan Tekad Bersama
Pembelajaran karakter yang
diusung di satuan pendidikan berbagai jenjang pendidikan tidaklah serta merta mmpu menuai hasil dalam
waktu satu dua tahun ke depan. Meski pembelajaran ini dikemas dalam kurikulum
yang representatif. Apalagi kita semua telah disodori tindakan dari oknum oknum
saudara kita yang melakukan kecurangan yang membudaya selama beberapa dasa warsa,
terutama di asa orde baru. Namun paling tidak upaya menepis kebrutalan kecurangan di dunia
maya, mampu diredam dengan resep mendasar tersebut.
Sebuah tekad bersama untuk
bertindak jujur dan bertanggung jawab dalam berkomunikasi / belajar/menggali
informasi dari dunia maya menjadi harga mati bagi para browser/facebooker atau
lainnya, meski cara ini bakal dihadapkan dengan kendala yang rumit, karena
sikap ini telah menjadi nilai dasar setiap insan manusia. Karena tanpa ini,
maka tindak amoralitas bakal terus mengoyak perniagaan/komunikasi dan lainnya
melalui media on line. Naumun secercah harapan akan timbul di benak
kita,apabila tekad bersama ini selalu dikawal dengan supremasi hukum yang
profesiona dan proporsional. ***
Sabtu, 26 Mei 2012
Korupsi
Kita tidak mampu membayangkan lagi berapa korban jiwa,
harta dan air mata guna eksistensi Merah Putih di Bumi Pertiwi ini, sejak merah putih menjadi salah satu simbol
kenegaraan kita. Kegagahannya hingga kini masih tertoreh di sejarah berlangsungnya kehidupan bangsa
ini. Namun kejernihan warna merah dan putihnya telah dilusuhi segenap anak bangsa yang telah kehilangan
moralitasnya.
Yang lebih memprihatinkan tentang realitas di atas, adalah hilangnya moralitas pada oknum pejabat/ pemimpin/tokoh nasional yang telah membumikan budaya malu yang seharusnya justru dikedepankan. Padahal modal moralitas malu tersebut, sebenarnya
suatu instrument yang mampu dijadikan senjata tajam demi membela nasib si kecil yang sedang terhimpit hidupnya. Padahal performan moralitas ini telah berlangsung
hampir setengah abad. Salah satu indikator sosial yang mampu
dijadikan potret sosial terhadap distorsi nilai luhur bangsa kita seperti di atas, adalah realitas
tendensius adanya perilaku anarkis dari masyarakat, bila mereka harus membela
kebutuhan hak hajat hidup mereka yang dilakukan dengan cara anarkis, entah itu upaya penuntutan hak
mereka yang telah diambil paksaoleh pihak tertentu atau bila mereka merasa
terbebani dengan adanya kebijakan pemerintah yang kontroversi, misalnya
kenaikan BBM pada beberapa bulan silam.
- Korupsi
Hampir di setiap lini kehidupan anak bangsa ini selalu
direbaki korupsi, yang terbentang dari
orde ke orde, rezim ke rezim pemerintahan. Hingga dari mulai Gayus hingga
Angelina Sondakh dan oknum petinggi Partai Demokrat lainnya. Nampaknya korupsi
adalah way of life anak bangsa, yang justru bermentalitas mengedepankan
kekayaan pribadinya ketimbang mewujudkan amanha rakyat kecil yang berada di
pundaknya. Ataukah amanah ini telah tidak lagi menjadi tugas utama seorang
petinggi yang dipilih rakyat, yang hanya dijadikan sebuah “lagu kuno” yang
tidak up to date lagi. Tebukti selama ini perilaku korupsi menjadi
perilaku yang menjadi trade mark para oknum petinggi.
Wacana demi wacana mampu kita peroleh dari multi media tentang korupsi
hampir tiap hari, rating berta inipun telah menurun dibandingkan dengan laporan
telisik kehidupan selebritis. Hal ini dikarenakan kita sudah bosan mendengar
tentang tindakan korupsi ini. Namun hingga kini suatu langkah yang stategis dan
ambisius untuk menepisnya tidak tampak sama sekali. Karena memberangus suatu
distorsi nilai luhur yang sudah membudaya, tidak cukup hanya dari aspek yuridis
saja. Tetap harus mengikis benih korupsi yang telah bergayut di akar hidup
secara kokoh, sehingga penanganan korupsi inipun harus mampu memberlangsungkan
tindakan dari upaya penjernihan akar
akar hidup bangsa kita, dengan merekonstruksikan nial nilai luhur yang
telah terkubur jauh di dalam bumi kita.
Bukan hanya diera reformasi sekarang saja pendoliman uang negara semacam ini berlangsung, Tetapi sudah sejak jaman Orde Lama Tahun 1951 – 1956, wartawan Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. mengendus sebuah tindak korupsi yang dilakukan Ruslan
Abdulgani (Menteri Luar Negeri era PM Ali Sastroamidjojo). Pemberitaan
dugaan korupsi Ruslan Abdulgani
menyebabkan sebuah koran yang mengeksposenya kemudian di bredel. Pendoliman yang dilakukan
sang menlu itu, adalah berdasarkan pengakuan Lie
Hok Thay yang memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, untuk mendapatkan tender ongkos cetak kartu suara pemilu. Kasus tersebut
disemat sebagai Kasus14 Agustus 1956.
Tindak
pidana korupsipun tak luput dilakukan oleh negarawan besar pendiri Orde Baru. Kita akui bersama bahwa
kala itu Soeharto berhasil melakukan perubahan besar pada beberapa
sektor, seperti pendidikan, keluarga berencana, kesehatan , keamanan dan
stabilitas politik, keutuhan wilayah Indonesia.
Selama
negarawan yang piawai ini menanamkan rezimnya terdapatnya kebocoran anggaran
negara sebesar 30 % , sebagai akibat budaya korupsi yang diidap
oknum mpejabat negara dari bawah hingga pusat, menyebabkan kian terperosoknya
Indonesia dalam badai krisis dan Soehartolah yang pertama kali
dituding sebagai penyebab kehancuran ekonomi Indonesia.. Sehingga pada
Tahun 1977 terjadilah gelombang demo besar – besaran yang menuntut
pengunduran diri Soeharto. Termasuk tuntutat Soeharto atas tuduhan
korupsi selama 30 tahun, melalui yayasan – yayasan yang didirikan keluarga
Soeharto.
Hasil
penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an
halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli,
berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency
International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak
dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar
dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.
- Jangan Menengok ke Belakang
Demikian
mudah dan enjoynya para koruptor di negeri ini terus saja membahana di persada
ini. Mereka sama sekal tidak terbebani dengan berbagai dimensi nilai
norma. Hal ini diharapkan mampu
menyadarkan kita bersama bahwa internalisasi sikap anti korupsi atau menganggap
korupsi adalah perilaku berdosa kepada Tuhan yang Maha Kuasa atau dosa terhadap
nilai luhur telah gagal. Karena secara dini kita telah gagal melengkapkan pada
hati nurani mereka.
Sudah
sepantasnya dan seharusnya kita bersama mengambil langkah sigap, taktis,
transparans dan penuh dengan supremasi hukum untuk memberangus korupsi, bukan
dengan meratifikasi regulasi yang baru tentang anti korupsi. Tetapi kita perlu
menstimultankan pembentukan karakter anti korupsi sejak dini, dengan
mengoptimalkan fungsi edukasi yang mampu berakibat timbulnya perasaana anti
korupsi sejak anak anak kita duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah
lanjutan atau hingga perguruan tinggi ***
Langganan:
Postingan (Atom)