Baru
saja kita menjadi saksi tentang tentang perhelatan politik Bangsa Indonesia
yang digalang oleh SBY. Perhelatan tersebut adalah upaya SBY dalam mereshuffel
kabinetnya pada Senin, 17 Oktober silam
tahun ini. Perhelatan ini, sangatlah banyak menyita perhatian publik, dari
mulai elit dan petualang politiki hingga masyarakat awam di pinggir jalan. Fenomena
reshuffle tersebut ternyata menimbulkan dinamika politik baru di akhir tahun
2011 ini, di salah satu terdapat komunitas politik yang merasa dikhianati oleh SBY. Sementara itu di sisi
lainya reshuffle menimbulkan sebuah pertanyaan
besar, mengapa terdapat menteri yang terlibat kasus suap yang memalukan, tetapi
tidak bergeming dari posisinya.
Bagi
sebagian masyarakat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, yang
belum mampu untuk mengukir hidup layak di bawah iklim ekonomi yang belum
kondusif, reshuffle kabinet tidak banyak terpatri dalam memori otaknya.
Perhelatan politik ini menurut mereka hanyalah semata kegiatan para petinggi
politik, wakil rakyat, pejabat tinggi dan orang gedongan lainnya, yang sama
sekali tidak peduli dengan angka kemiskinan, yang harus tertekan hingga 5 % di
tahun 2013 kelak.
Apabila reshuffle ini semata
berdasarkan peningkatan kinerja menteri dan efektifitas kerja hingga akhir
jabatan SBY maka kita dapat berharap akan adanya realita peningkatan taraf
hidup “si kecil yang hidup menderita”, yang mencapai jumlah kurang lebih
13.865.000 jiwa pada tahun 2013 nanti. Kekhawatiran kita menjadi bertambah,
bila reshuffle ini hanya alat pemuas kekuatan politik yang melingkungi SBY.
Sehingga masyarakat Indonesia kembali terlelap dalam mimpi panjang dengan perut
yang kosong, padahal mereka baru saja menerima teguran dari sekolah di mana
putra mereka belajar, untuk segera melunasi SPP dan biaya buku yang selangit.
Belum lagi kegalauan orang tua menghadapi “biaya kuliah” putranya di PTN yang
pada era Soeharto, justru relatif murah biaya perkuliahanya.
Kontroversi terus saja bergulir
menjamah si kecil yang belum mampu menikmati hidup ini. Padahal setiap hari
mereka disodori tayangan multimedia tentang penggelembungan dana pemerintah
untuk berbagai proyek, yang dilakukan oknum pejabat menteri/kepala instansi
pemerintah/kepala daerah ataupun oknum pejabat tinggi lainnya, yang
menggelembungkan perutnya sendiri hingga milyaran rupiah jumahnya. Sama sekali
tidak ada aspek keteladanan sosial untuk sebuah pembelajaran yang sangat kita
perlukan bersama. Maka wajar saja bila dampak kekesalan warga sering tidak
tersalurkan menurut undang undang atau prosedur lainnya. Mereka lebih terasa
terhormat, apabila segala macam caci maki dilontarkan di pinggir jalan yang
mengganggu kepentingan bersama.
Oleh karena itu, kita perlu
menanggapi dengan jernih tentang hasi kerja Kabinet Indonesia Bersatu II hingga
akhir masa jabatanya nanti. Kita tetap berharap banyak tentang realita yang
bakal ditorehkan mereka yang dengan sukses dan signifikan berhasil membawa
perubahan. Sebaliknya apabila kita terus terjerambab dengan tidur panjang kita,
maka tidak menutup kemungkinan akan timbul dampak “distorsi nasionalisme”,
seperti timbulnya konggres Papua
Merdeka, yang dihadiri 300 simpatisannya. Atau timbulnya bentuk radikalisme
baru di Indonesia yang lepas dari sumbu “primordialisme” di tanah air kita.
Padahal semakin modernya peradaban
yang memusari kita, semakin kompleks pula dinamika perubahan sosialnya.
Sehingga pembelajaran sosial tentang pembentukan karakter sosial perlu dicanangkan oleh semua pihak. Karena salah
satu ciri orang hidup di komunitas modern, bukan saja orang yang mampu
menguasai iptek/sain saja, tetapi adalah manusia yang mampu memberi
pembelajaran bagi siapapun, tentang keadilan sosial, kehidupan bernegara, kepedulan dan rasa
tanggung jawab terhadap lingkungan sosialnya. Sehingga apabila sikap ini telah
“jauh panggang dari api” untuk semua masyarakat, maka jangan diharap Indonesia
bakal memiliki generasi penerus yang hidup di tengah realita hasil kerja
generasi sekarang. Mampukah hal ini kita wujudkan.
Sudah barang tentu semua petinggi
bangsa, baik menteri yang baru ataupun para wakil menteri adalah putra putra
bangsa yang terpilih dan terpanggil, karena aspek kapabilitsnya ataupun
cerminan karakter yang bisa dijadikan teladan bagi semua masyarakat Indonesia.
Maka sebaiknya demi keberlanjutan pembangunan dan menjaga eksistensi “Bangsa yang Santun”,
sebaiknya kinerja yang handal tanpa disertai sikap lancung/khianat kepada
bangsa dan negara, adalah modal utama dalam merealisasikan cita cita bersama.
Inilah pembelajaran sosial yang paling efektif ketimbang pembelajaran di
sekolah ataupun perguruan tinggi.
Sehingga nantinya kita tidak terus
berkubang dengan sikap mental negatif, yang oleh Amin Rais disebut dengan
istilah Sindrome Inferior Komplek yang
sangat memalukan, apabila kita hubungkan dengan kejayaan nenek moyang kita.
Nenek moyang kita adalah masyarakat yang belum ber-iptek dan jauh dari
modernisme saja mampu menjadi “Macan
Asia”, mengapa kita sebagai generasi penerus yang ber-iptek tidak mampu merealisasikan.