Setiap saat di berbagai media kita mendengar
dan melihat banyak sudah ahli politik/negarawan/sosiolog/budayawan/ahli hukum
dan praktisi hukum yang menymbangkan pendapat/komentar dengan lagu yang
merdu/sumbang perihal bangsa yang tiada menentu ini, dari masalah tebang pilih
pembrantasan korupsi/gratifikasi/marking-up budget proyek/kenisbian supremasi
hukum dan lain sebagainya. Namun masih saja terus dan terus kita saksikan
peristiwa pelanggaran nlai dasar bebentuk apapun, baik itu hukum, nilai sosial,
moralitas dan lain sebagainya yang dilakukan oleh banyak oknum petinggi bangsa
ini, dari masalah Gayus, Centuy Bank, pelanggarn HAM di Bima dan lain
sebagainya. Hingga akhirnya si keilpun menoba menyampaikan ide gagasan, meski
dari sudut pandang tempurung otak yang tiada seberapa besarnya.
Rupa rupanya bukan hanya kepiawaian suatu
disiplin ilmu saja yang dibutuhkan untuk meredakan semua perilaku yang mulai
mengkhawatirkan ini. Setidak tidaknya sebuah keteladanan positif, tentang
bagaimanan mrntalitas petinggi bangsa yang mengorbankan kepentingan pribadi
demi negara, karena dorongan
nasionalisme tulen yang melekat. Dengan sebuah keteladanan yang manis inipun
pada giliranya mampu menyedot dan menghipnotis “grass root”.
Indonesia adalah bangsa yang besar dari
dimensi yang bervariasi , mulai dari kekayaan sumber daya hayati hingga kebudayaan
yang tersebar mulai dari Sabang sampai Merauke.
Keberagaman tersebut tentunya menimbulkan “side effect” berbedanya pola
pandang terhadap segala arah. Meskipun kita berbangga hati telah memiliki
instrumen pemersatu bangsa Pancasila. Namun karena melekangnya kesejukan yang
telah lama menerpa bangsa ini, instrumen penyatu itupun ikut terhempas menjadi
hanya sebuah nama. Efek yang cukup mengkhawatirkan ini pada giliranya nanti
jelas akan mengarah pada disintegrasi bangsa.
Meski wacana di atas adalah sebuah wacana
yang usang, namun bila sebuah pencerahan publik harus terus dilakukan demi
injeksi obat yang manjur untuk penyakit sosial/moralitas ini, maka tidak ada
salahnya apabila media menyodorkan kepada publik secara terus menerus tanpa
adanya rasa bosan. Hal ini bertepatan dengan fungsi sekunder dari media, yaitu
untuk merancang bangun nilai nilai dasar kepada publik mereka sendiri.
- Revitalisasi
Nasionalisme
Kita akan terlalu banyak mengeluarkan peluh, pikiran,
tenaga dan biaya apabila kita meraba dan mencari kiat untuk menghambat laju
perubahan nilai baru, yang sekarang
menerpa masyarakat kita. Meski perubahan itu tiak mungkin kita bendung begitu
saja, karena telah menyempitnya volume bumi ini atau telah bertambah dekatnya
jarak antar ruang angkasa, akibat capaian tehnologi internet. Namun masalah
nasionalisme yang direeransikan pada akar sejati nasionalisme kita harus kita
tumbuh kembangkan tanpa mengenal langkah surut.
2
Nasionalisme tersebut adalah nasioanalisme yang
secara menggelora timbul pada dekade tahun 45-an, dimana masalah negara adalah
masalah hidup mati Rakyat dan Bangsa Indonesia.
Dengan landas pacu dan kemasan yang berbeda maka
nilai itupun masih perlu kita jinjing,semata-mata demi penyadaran publik dan
konsistensi pada langkah ke depan. Bukankah konsistensi ini dewasa ini menjadi
sesuatu yang bermetamorfosis menjadi hanya ornamnen di dinding ruangan kantor
atau di dinding kelas. Dengan menipisnya nilai nilai tersebut, lantas bagaimana
kita mampu menyatukan kembali daerah/propinsi yang ingin lepas dari Pangkuan
Ibu Pertiwi.
- Pendekatan Agamis
yang Konkrit
Benang hitam yang terulur di tahun 2011 telah
menimbulkan aspirasi kita semua mengenai bagaimana kita menguntai benang lembut
sehalus sutera di tahun 2012. Demi revitalisasi kejayaan bangsa kita yang
disuriteladani pendahulu kita,tentunya kita tidak malas dan tidak setengah hati
untuk menepis kebobrokan bangsa ini lebih dalam lagi. Untuk itu pendekatan
agama sebagai nilai dasar dan essensi bagi seluruh manusia Indonesia perlu
dikonsepsi lebih real lagi, bkan semata-mata aspek formalitas saja.
Penyaringan bakal calon semua petinggi bangsa
perlu lebih menelibatkan publik dalam aspek agama. Sehingga noda hitam sekecil
apapun bisa kita ketahui dan mampu kita inventarisasikan ketimbang nantinya
menjadi oknum petinggi bangsa yang korup dan berbuat amoralitas lainnya.
Disamping itu pembelajaran agama yang selama
ini hanya pelengkap saja di sekolah umum harus dilangsungkan lebih besar lagi
porsinya dengan aspek Affektif (sikap mental) peserta didik yang paling
ditonjolkan. Oleh karena itu tindak pencurangan UN yang selama ini terjadi
menyeluruh dan kita biarkan saja harus segera dihentikan dengan cara pembatalan
UN dan diganti sistim evaluasi yang representatif seperti sebelumnya (Ebtanas).
Sehingga ancaman jati diri bangsa bakal lenyap. Bayangkan saja bila32.317.989 peserta didik kita dari jenjang SD hingga
SMA yang tersebar di 141.089 sekolah negeri dan 36.890 sekolah swasta kita
teladani dengan tindak pencurangan. Maka akan menjadi apa generasi ini nantinya
?.
Siapa saja yang menyimak wacana tersebut di
atas pastilah akan terselip rasa khawatir di hati sanubari masing-masing. Kita
tidak mengharapkan bila sebagian besar masyarakat Indonesia hanya duduk
berpangku tangan, atau para oknum petinggi bangsa hanya mampu berdebat demi
kepentingan pribadi/partai/organisasi/komunitas mereka saja seperti yang
terjadi belakangan ini.
Namun sebah tekad bersama perlu kita usung,
seperti tekad Rakyat AS dengan tekad “New Deal “ yang dimotori oleh Franklin Delano Roosevelt (January 30,
1882 – April 12, 1945) , yang dicanagkan pada Tanggal 4 Maret 1933.
Sesuatu apapun tidak akan bakal terjadi sama seperti sekarang apabila kita
betul betul sepakat dalam tekad bersama untuk menyelamatkan kekayaan dari
Anugerah Tuhan yang Kuasa berupa Bangsa dan Negara Indonesia.