Senin, 02 Januari 2012

Ada Apa Dengan Bangsa Ini


Setiap saat di berbagai media kita mendengar dan melihat banyak sudah ahli politik/negarawan/sosiolog/budayawan/ahli hukum dan praktisi hukum yang menymbangkan pendapat/komentar dengan lagu yang merdu/sumbang perihal bangsa yang tiada menentu ini, dari masalah tebang pilih pembrantasan korupsi/gratifikasi/marking-up budget proyek/kenisbian supremasi hukum dan lain sebagainya. Namun masih saja terus dan terus kita saksikan peristiwa pelanggaran nlai dasar bebentuk apapun, baik itu hukum, nilai sosial, moralitas dan lain sebagainya yang dilakukan oleh banyak oknum petinggi bangsa ini, dari masalah Gayus, Centuy Bank, pelanggarn HAM di Bima dan lain sebagainya. Hingga akhirnya si keilpun menoba menyampaikan ide gagasan, meski dari sudut pandang tempurung otak yang tiada seberapa besarnya.

Rupa rupanya bukan hanya kepiawaian suatu disiplin ilmu saja yang dibutuhkan untuk meredakan semua perilaku yang mulai mengkhawatirkan ini. Setidak tidaknya sebuah keteladanan positif, tentang bagaimanan mrntalitas petinggi bangsa yang mengorbankan kepentingan pribadi demi negara,  karena dorongan nasionalisme tulen yang melekat. Dengan sebuah keteladanan yang manis inipun pada giliranya mampu menyedot dan menghipnotis “grass root”.

Indonesia adalah bangsa yang besar dari dimensi yang bervariasi , mulai dari kekayaan sumber daya hayati hingga kebudayaan yang tersebar mulai dari Sabang sampai Merauke.  Keberagaman tersebut tentunya menimbulkan “side effect” berbedanya pola pandang terhadap segala arah. Meskipun kita berbangga hati telah memiliki instrumen pemersatu bangsa Pancasila. Namun karena melekangnya kesejukan yang telah lama menerpa bangsa ini, instrumen penyatu itupun ikut terhempas menjadi hanya sebuah nama. Efek yang cukup mengkhawatirkan ini pada giliranya nanti jelas akan mengarah pada disintegrasi bangsa.

Meski wacana di atas adalah sebuah wacana yang usang, namun bila sebuah pencerahan publik harus terus dilakukan demi injeksi obat yang manjur untuk penyakit sosial/moralitas ini, maka tidak ada salahnya apabila media menyodorkan kepada publik secara terus menerus tanpa adanya rasa bosan. Hal ini bertepatan dengan fungsi sekunder dari media, yaitu untuk merancang bangun nilai nilai dasar kepada publik mereka sendiri.

  • Revitalisasi Nasionalisme
Kita akan terlalu banyak mengeluarkan peluh, pikiran, tenaga dan biaya apabila kita meraba dan mencari kiat untuk menghambat laju perubahan nilai baru,  yang sekarang menerpa masyarakat kita. Meski perubahan itu tiak mungkin kita bendung begitu saja, karena telah menyempitnya volume bumi ini atau telah bertambah dekatnya jarak antar ruang angkasa, akibat capaian tehnologi internet. Namun masalah nasionalisme yang direeransikan pada akar sejati nasionalisme kita harus kita tumbuh kembangkan tanpa mengenal langkah surut.
2
Nasionalisme tersebut adalah nasioanalisme yang secara menggelora timbul pada dekade tahun 45-an, dimana masalah negara adalah masalah hidup mati Rakyat dan Bangsa Indonesia.

Dengan landas pacu dan kemasan yang berbeda maka nilai itupun masih perlu kita jinjing,semata-mata demi penyadaran publik dan konsistensi pada langkah ke depan. Bukankah konsistensi ini dewasa ini menjadi sesuatu yang bermetamorfosis menjadi hanya ornamnen di dinding ruangan kantor atau di dinding kelas. Dengan menipisnya nilai nilai tersebut, lantas bagaimana kita mampu menyatukan kembali daerah/propinsi yang ingin lepas dari Pangkuan Ibu Pertiwi.

  • Pendekatan Agamis yang Konkrit
Benang hitam yang terulur di tahun 2011 telah menimbulkan aspirasi kita semua mengenai bagaimana kita menguntai benang lembut sehalus sutera di tahun 2012. Demi revitalisasi kejayaan bangsa kita yang disuriteladani pendahulu kita,tentunya kita tidak malas dan tidak setengah hati untuk menepis kebobrokan bangsa ini lebih dalam lagi. Untuk itu pendekatan agama sebagai nilai dasar dan essensi bagi seluruh manusia Indonesia perlu dikonsepsi lebih real lagi, bkan semata-mata aspek formalitas saja.

Penyaringan bakal calon semua petinggi bangsa perlu lebih menelibatkan publik dalam aspek agama. Sehingga noda hitam sekecil apapun bisa kita ketahui dan mampu kita inventarisasikan ketimbang nantinya menjadi oknum petinggi bangsa yang korup dan berbuat amoralitas lainnya.

Disamping itu pembelajaran agama yang selama ini hanya pelengkap saja di sekolah umum harus dilangsungkan lebih besar lagi porsinya dengan aspek Affektif (sikap mental) peserta didik yang paling ditonjolkan. Oleh karena itu tindak pencurangan UN yang selama ini terjadi menyeluruh dan kita biarkan saja harus segera dihentikan dengan cara pembatalan UN dan diganti sistim evaluasi yang representatif seperti sebelumnya (Ebtanas). Sehingga ancaman jati diri bangsa bakal lenyap. Bayangkan saja bila32.317.989 peserta didik kita dari jenjang SD hingga SMA yang tersebar di 141.089 sekolah negeri dan 36.890 sekolah swasta kita teladani dengan tindak pencurangan. Maka akan menjadi apa generasi ini nantinya ?.

  • Tekad Bersama
Siapa saja yang menyimak wacana tersebut di atas pastilah akan terselip rasa khawatir di hati sanubari masing-masing. Kita tidak mengharapkan bila sebagian besar masyarakat Indonesia hanya duduk berpangku tangan, atau para oknum petinggi bangsa hanya mampu berdebat demi kepentingan pribadi/partai/organisasi/komunitas mereka saja seperti yang terjadi belakangan ini.

Namun sebah tekad bersama perlu kita usung, seperti tekad Rakyat AS dengan tekad “New Deal “ yang dimotori oleh Franklin Delano Roosevelt (January 30, 1882 – April 12, 1945) , yang dicanagkan pada Tanggal 4 Maret 1933. Sesuatu apapun tidak akan bakal terjadi sama seperti sekarang apabila kita betul betul sepakat dalam tekad bersama untuk menyelamatkan kekayaan dari Anugerah Tuhan yang Kuasa berupa Bangsa dan Negara Indonesia.

Kamis, 15 Desember 2011

Media ON LINE


Posted on 27 April, 2010 by admin
Ditayang Harian Sumut Pos
 
Memasuki era peradaban baru, media online sudah menjadi kebutuhan. Tak terkeculi di dunia pendidikan. Pasalnya media online dinilai mampu mentrasfer informasi secara cepat dan tepat. 

Dalam sejarah pembentukan peradaban manusia yang humanis yang dijinjing oleh corak hidup modernis, telah tercatat banyak sudah negarawan yang mengabdikan diri guna membasmi ketidak adilan suatu masyarakat dengan gaya dan kemampuan masing-masing.

Sebagian dari mererka adalah Mahatma Gandhi sang Ahimsa. Gandhi menitikberatkan perjuangan Bangsa India dengan nasionalisme sebagai suatu kodrat dan anugerah dari Tuhan yang Maha Kuasa. Sebagian besar perjuangan Gandhi yang mengedepankan Ahimsa itupun ditulis dalam beberapa media yang eksis kala itu.
Bahkan Soekarno The Founding Father untuk Bangsa Indonesia banyak menyodorkankan ide gagasanya guna membangun struktur berpikir masyarakat, melalui tulisan-tulisannya di berbagai media. Gaungpun bersambut  dengan ketajaman dan gaya tulisanya yang spesifik. Soekarno berhasil menghantarkan rakyat Indonesia menuju penetrasi ideologi, politik, naluri kebersamaan, patriotisme dan nasionalisme yang mewujud dalam pembentukan negara Republik Indonesia.

Sebuah idealisme bukan hanya mutlak milik negarawan kondang saja,  bukan pula milik figur kharismatik ataupun figur central lainnya. Namun yang jelas setiap suatu idealisme apapun yang bersemayam kuat di tiap benak manusia, tentunya memiliki naluri agar ide dan gagasannya dibaca/didengar/dipatuhi oleh publik. Sehingga individu yang terselip di grassrote-pun berhak pula untuk menyampaikan ide gagasanya dalam suatu tulisan.

Hingga dekade tahun 2010 ini, peranan media on-line masih menjadi media kelas dua dibanding dengan media cetak. Hal ini disebabkan karena faktor pendukung utama belum seluruhnya mampu diadopsi setiap masyarakat,  karena daya beli, minat baca, kultur dan faktor lainya. Padahal meski sepintas lebih ribet, namun publikasi media on-line mampu menjangkau masyarakat dunia. Inilah salah satu kelebihan media on-line ketimbang media cetak.

Dengan  keunggulan seperti tersebut di atas, tidak menutup kemungkinan di decade mendatang, Penyelenggaraan UN untuk SMP/MTS dan SMA/MA/SMK menggunakan jasa media on-line untuk tampilan soal-soal ujian tersebut, agar lebih mampu menjamin masalah kejujuran UN,  karena lebih pendeknya mata rantai pengadaan soalnya. Tidak menutup kemungkinan di decade mendatang Kementrian Pendidikan melibatkan media on-line guna kegiatan pembelajaran di sekolah.

Diharapkan media on-line ini akan lebih berkiprah dalam hal publikasi dinamika social. Sebagai suatu kiat manusia modern dalam menggapai pemenuhan informasi dalam ranah apa saja. Mengingat keunggulan aspek cakupanya baik dari substansi dan area-publishnya. Hal ini tentunya akan meningkatkan peluang masyarakat modern Indonesia dalam pencapaian kompetensi yang tidak disodorkan pada satuan pendidikan atau perguruan tinggi atau institusi edukasi lainnya. Bukankah dengan demikian peranan media on-line akan lebih signifikan lagi dalam pencerahan public.

Betapa tidak media on-line yang sekarang bisa kita dapatkan di internet bisa langsung menyodorkan input public secara komprehensif yang mencakup aspek edukasi, featur, kriminal, opini, sosial dan politik, hukum, news and views, sastra, anak anak, remaja dsb. (*)
Oleh:
Ir Bambang Sukmadji
 Guru MA Futuhiyyah 1 Mranggen Demak Jateng

Membentuk Generasi Wanita Ideal


MENYAMBUT HARI IBU 2011

sri wahyuni

Memasuki minggu-minggu terakhir Bulan Desember 2011 ini, kita hendaknya  bersiap untuk berbenah menyambut tahun baru 2012. Perubahan positif mestinya telah kita tekadi dengan memfokuskan sebuah pembentukan mentalitas dan moralitas, untuk mengusung sebuah life-style. Perubahan di atas semestinya pula direalisasi dengan menelibatkan  semua komponen masyarakat dalam  acuan “sebuah kepentingan bersama “ yang kita harapkan. Sehingga berhasilah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara yang sukses dalam pemberdayaan  “asset sumber daya manusia” untuk bertanggung jawab dalam pembangunan sebuah bangsa.

Namun untuk menggapai sebuah predikat semua komponen masyarakat sosial yang “ready to use” tersebut, memang bukan masalah  yang gampang, dalam artian tekad itu harus diwujudkan dengan sebuah tekad yang dikonsep dengan cermat, bersinergi tinggi dan penuh tanggung jawab, taktis dan sungguh-sungguh.  Termasuk salah satu diantaranya adalah pemberdayaan Perempuan Indonesia yang berkomposisi sebesar 50,3% dari 238,452,952 total penduduk. Dari jumlah tersebut 58 % diantaranya tinggal di pedesan dan menempati posisi buruh tani dan kebon sebesar  69,32% dari 47,67 % tenaga kerja di pedesaan.

·         Jebakan Kultur

Segmentasi kontribusi perempuan Indonesia dalam menggapai kemajuan bangsa, memang belum optimal bila kita korelasikan dengan jumlah pengusaha wanita di Indonesia yang masih minim yakni hanya 0,1 persen dari total penduduk. Hal ini sesuai pernyataan  Menteri Pemberdayaan Perempuan, Linda Amalia Gumelar, di Bandung pada bulan Januari 2011 silam.  Data statistik di atas turut pula meyakinkan kita, bahwa sebagian besar wanita di Indonesia masih belum mengenyam kriteria sumber daya manusia yang dituntut ‘up to date”. 

 Meski jumlah wanita karir terus merangkak  di tengah masyarakat dari tahun ke tahun, namun peningkatan ini hanya terjadi di kota-kota karena kondisi sosiologis yang menuntut dan memungkinkan segmentasi ini berlangsung. Bagaimana dengan kiprah wanita di pedesaan, yang memerankan 69,32% dari 47,67 % tenaga kerja di pedesaan. Jebakan kultur telah menghisapnya dari tuntutan semua pihak agar wanita lebih signifikan berperan, sesuai dengan teori Myers, (1995), yang mengemukakan tentang pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, bahwa dalam satu keluarga ada dua fungsi yang harus dikembangkan secara khusus yaitu mendidik anak dan memproduksi makanan. Sebuah rancangan keluarga yang terdiri dari seorang laki-laki dan seorang wanita, maka akan sangat menguntungkan apabila salah satu fungsi dalam keluarga tersebut diberikan kepada satu jenis kelamin dan fungsi lainnya kepada jenis kelamin yang lain.
Namun sebuah realita lainya tidak mampu ditepis, bila kita mengamati kehidupan pasutri  muda di kota yang bersama terlibat dalam meniti karir di berbagai bidang jasa, tanpa menepiskan fungi kodrati gender tersebut.  Hal ini disebabkan lantaran kehidupan modern memang menantang pasutri muda untuk terlibat di kancah hidup yang kompetitif, profeionalisasi, inovatif dan totalitas. Dengan demikian teori dari Myers, (1995) tersebut bukan merupakan life-style yang sacral lagi. Lantas bagaimana fungsi dan peranan Wanita Indonesia yang hidup di pedesaan yang agraris.

·         Pendidikan Gratis

Pengentasan peran wanita yang kita harapkan tidak bisa kita lepas begitu saja pendidikan formal dan informal yang memadai dan murah, bahkan belakangan ini telah mencuat wacana pendidikan gratis. Dengan dana pendidikan sebesar lebih dari Rp.200 Trilyun Rupiah bukan hal yang mustahil untuk penggratisan pendidikan dari mulai SD hingga PT guna pemberdayaan Wanita Indonesia. Sehingga minimal Wanita Indonesia telah menapaki type generasi yang smart, inovatif , terbuka serta bermentalitas “up to date”.

Agar lebih menggigit lagi peran sebuah generasi wanita, maka pelatihan-pelatihan dasar pebisnis dalam suatu kelompok kerja harus direalisasi dengan serius, terutama di pedesaan. Pelattihan ini difokuskan pada agribisnis sekaligus menciptakan sebuah peluang ekspor komoditi yang di Indonesia masih menjadi mimpi panjang. Peluang tersebut sebenarnya masih terbuka luas bila kita kaitkan dengan masih tersedianya lahan yang luas di bumi kita, ditambah dengan kekayaan hayati yang berlimpah ruah. Apabila pendidikan gratis untuk pendidikan dan pelatihan gratis untuk wacana tersebut di atas tentunya mampu menambah nilai plus untuk wanita kita.***