Selasa, 02 November 2010

Makna Berkurban Untuk Kepedulian Sosial

Kita patut bersyukur, bahwa Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi1.9 juta mil persegi. Luas wilayah tersebut menjadikan Indonesia termasuk Negara besar di banding Negara lain. Apalagi luas wilayah tersebut dihuni oleh Penduduk Indonesia yang hingga tahun 2010 ini diperkirakan berjumlah 234.2 juta. Angka ini berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010), yang dicacah untuk penduduk yang bertempat tinggal disekitar 65 juta rumahtangga. Mereka tinggal di sekitar 17.504 pulau (menurut data tahun 2004), sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni tetap, menyebar sekitar katulistiwa, memberikan cuaca tropis. Cuaca tropis ini mampu menstimulir tumbuhnya hutan tropis seluas 162.290.000 hektar (Dinas Kehutanan Indonesia, 1950). Meskipun pada Tahun 2003 berkurang menjadi 110,0 juta Ha dan tahun 2005 tinggal 93,92 juta Ha, atau berkurang seluas 58 % ( World Resourches Institute, 1977).

Sudah barang tentu setiap anak bangsa pemerhati “Negara tercinta ini”, pasti akan kagum dan bangga, namun juga menangis pilu, apabila mereka mencermati realita yang ada. Betapa tidak kekayaan alam Indonesia ternyata tidak mampu menjadi daya dukung pensejahteraan kita sendiri. Hal ini bukan suatu isapan jempol belaka bila kita mencermati data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan bahwa jumlah penduduk miskin telah mencapai 31 juta penduduk atau 13, 3 persen pada bulan maret 2010. Penentuan kategori keluarga miskin oleh BPS tersebut berdasarkan asumsi penghasilan Rp 7.050 per hari untuk setiap jiwa yang sudah termasuk untuk makanan. Angka tersebut mampu berkembang lagi, apabila tolak ukur angka kemiskinan berdasarkan standar PBB sebesar dua dolar rupiah per hari maka jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat menjadi 34.03 persen atau 78.2 juta orang.

Lepas dari tolak ukur yang mana, realitas ini adalah menjadi milik kita bersama dan telah menjadi tugas kita bersma guna mencari peluang untuk pengentasan kemiskinan ini. Peluang yang mampu “membumi hanguskan” sikap pesimis tersebut muncul pada tahun 2010 ini berdasarkan analisa Ekonom Senior Bank Dunia untuk Indonesia Enrique Blanco Armas, yang menyatakan secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat telah memberi sumbangan atas pengentasan kemiskinan, dengan tingkat kemiskinan menurun menjadi 13,3 persen pada Maret 2010 dibandingkan 14,2 persen tahun lalu.

Sudah barang tentu, meskipun Negara telah menganggarkan alokasi anggaran pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan sosial 2010 sebesar Rp 70 triliun Namun anggaran tersebut terasa tidak berdaya lagi, lantaran beberapa tipe kemiskinan meghinggapi masyarakat kita, akibat tindakan sewenang-wenang penyelenggara Negara jaman orde baru, yang dengan life style bernegara yang tidak terkontrol sama sekali. Akibat pengebirian demokrasi, pembatasan pers dan parpol, tidak terjaminya kebebasan berpendapat dan pembagian kekayaan Negara hanya kepada beberapa komunitas yang memusari Soeharto. Sehingga terciptalah tipe-tipe kemiskinan yang mendarah daging, yang pertama adalah Kemiskinan Struktural. Kemiskinan ini disebabkan oleh kondisi struktur perekonomian yang timpang dalam masyarakat, baik karena kebijakan ekonomi pemerintah, penguasaan faktor-faktor produksi oleh segelintir orang, monopoli, kolusi antara pengusaha dan pejabat dan lain-lainnya. Intinya kemiskinan struktural ini terjadi karena faktor-faktor buatan manusia. Fenomena seperti ini telah menjadi cirri khas dari orde baru. Adapun kemiskinan kultural muncul karena faktor budaya atau mental masyarakat yang mendorong orang hidup miskin, seperti perilaku malas bekerja, rendahnya kreativitas dan tidak ada keinginan hidup lebih maju. Sedangkan kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi secara alami, antara lain yang disebabkan oleh faktor rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.

Namun waktu terus bergulir sebagai sinyalemen bahwa tidak ada keputusasaan pada diri kita dalam me-manage masyarakat sosial kita sebagai pilar utama penyokong eksistensi Negara ini. Penyebab utama timbulnya ke tiga gaya kemiskinan tersebut, sudah barang tentu akan tertepiskan dengan adanya era refofmasi, yang dewasa ini bisa kita cermati adanya berbagai kebebasan dalam bernegara. Faktor ini pula yang mampu menjadi stimulus perkembangan komunikasi sosial dengan instrumrn instrumenya, yang bisa memberi pembelajara kepada rakyat tentang nilai dasar multidimensi sosial. Sekaligus mampu memberi pembelajaran tentang motivasi pengentasan kemiskinan.

Apabila kita memang serius untuk menegakan era reformasi dengan cara supremasi hukum yang kokoh, maka tindakan korupsi, KKN, pungli dan eksploitasi sumber daya alam yang masih di tangani individu, birokrasi yang mempersulit rakyat bisa mencapai taraf minimalis. Maka akan terbuka lebarlah peluang bagi si kecil untuk mampu mengembangkan potensinya. Hal ini akan bertambah afdhol lagi, bila kesadaran tentang kepedulian sesama menjadi kokoh, sebagaimana agama apapun mengajarkan berkorban apa saja untuk kemaslahatan sesama.

Wujud kepedulian sosial sebagai “makna essensi dari ajaran berkurban”, adalah faktor utama yang perlu dikedepankan. Bukan berarti kepedulian ini hanya serta merta membagi bingkisan kepada kaum miskin atau pembagian BLT. Namun sebuah sikap sosial yang kokoh di masyarakat akan kepedulian terhadap nasib sebangsa dan setanah air, inilah yang paling penting. Sehingga pemerintah perlu mengkonsep secara sosiologis, tentang interaksi antar individu, kelompok masyarakat, antar institusi di berbagai bidang. Khusus mengenai kepedulian ini Prof Muladi, bahkan mengimbau (20 / 4 /20`0), agar penanganan masalah ini tidak hanya ditangani pemerintah sendiri. Melainkan sektor swasta dan stakeholder lainnya perlu dilibatkan. Kalau penyadaran akan kepedulian sosial atau aksi kepedulian sosial ditangani pemerintah, beban APBN akan berat sekali.

Minggu, 26 September 2010

Mengedepankan Keprihatinan Sosial Demi MASA DEPAN

Sejenak mari kita merenung kembali, bahwa dengan dalih apapun kita adalah tetap bagian masyarakat timur yang kental dengan budaya ketimuran yang konservatif. Budaya tersebut mengemasi sikap mental santun, malu, kaya akan nilai kesusilaan dan nilai serta norma lainnya yang melekat kuat pada sistim sosial Masyarakat Indonesia. Eksistensi karakteristik sosial ini telah kokoh dan tak tergoyakan hingga berabad- abad lamanya. Namun selaras dengan dinamika globalisasi, dimana jarak suatu tempat dan benteng moralitas masyarakat tidak menjadikan faktor pembatas berbagai interaksi yang menggelinding begitu saja. Maka moralitas masyarakat khususnya masyarakat Indonesia telah mengalami berbagai dinamika yang cukup signifikan.

Tentu saja wacana di atas lebih tepat bila kita memandangnya dari aspek moralitas masyarakat Indonesia. Moralitas, berasal dari bahasa Latin : moralities, yang berarti perilaku, karakter atau sikap yang benar . Dalam pembahasan ini, moralitas digambarkan sebagai suatu nilai yang tertanam kuat dalam individu, yang mampu membedakan tentang “benar dan salah” dalam kehidupan bermasyarakat, Meskipun dalam ruang lingkup ini kita tidak menuntut sesuatu menurut benar dan salah secara obyektif. Namun kami hanya sekedar mengetengahkan pertimbangan rasional yang dapat membimbing ke arah sesuatu yang benar atau salah, lepas dari sangsi norma bagi yang melanggar suatu moralitas tersebut.

Betapa tidak memprihatinkan, bahwa belakangan ini moralitas masyarakat kita dalam beberapa aspek telah terbukti mengalami pergeseran dan bahkan cenderung bersikap “non kompromis” (menepis) terhadap nilai yang telah ada. Kasus perseteruan antar/inter agama, tewasnya berpuluh puluh remaja kita yang menenggak miras oplosan yang tiada henti, yang justru menjadi ajang gagah-gagahan yang tak perlu, lahirnya gaya hidup generasi “menguras uang negara” demi kebutuhan prestisius dan pembiasaan membahanakan anarkis di jalan untuk hal-hal yang sebenarnya bisa dirundingkan di belakang meja serta tindakan representasi imarolitas lainnya.

Oleh karena itu sebuah harapan baru perlu disodorkan ke tengah Masyarakat Indonesia, untuk tidak melepas sematan bangsa yang menjunjung tinggi “budaya malu” (shame culture), yang pada gilirannya akan tetap melanggengkan “jati diri bangsa” yang sekarang sedang bercucuran air mata keprihatinan.

Dengan budaya malu inilah, sebuah masyarakat sosial akan terhindar dari rasa saling “melukai satu sama lainnya”, apabila moralitas benar benar diemban secara kokoh oleh masyarakat (Standford, 2010). Bahkan menurut Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, Bangsa Jepang bisa meraih prestasi yang baik , setelah terpuruk pada PD II, akibat “perasaan malu” yang tertanam pada masing-masing rakyatnya sejak dini. Demikian pernyataan mantan perdana mentri tersebut saat memberi orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancaila di Jakarta, Sabtu 10 Mei 2008 silam.

Budaya malu apabila tetap dikokohkan dalam sanubari kita, akan terbesitlah kepekaan sosial, sehingga merefleksasikan setiap anak bangsa untuk sadar hukum dan bagi penguasa enggan untuk menyelewengkan kekuasaan. Namun yang terjadi sebenarnya, adalah jauh panggang dari api. Hancurnya moralitas yang berujud lenyapnya budaya malu, menjadi sarapan kedua bagi setiap anak bangsa ini. Bagi anak bangsa yang masih memiliki moralitas dan “nasionalisme yang tak tergoyahkan”, yang sekarang jarang kita dapatkan, tentunya merasa geram bila menyaksikan para oknum petinggi yang melakukan pendoliman uang Negara, namun mereka tetap saja tidak memiliki “perasaan bersalah” (guilt culture).

Sebuah keprihatinan bersama adalah suatu sikap nasional yang membentuk social character yang minimal bisa kita jadikan acuan yang kokoh dan mampu menopang bangunan social masyarakat “madani di era modern”, yang di masa depan harus kita raih. Terutama keprihatinan dalam aksen pembentukan masyarakat madani Indonesia (Indonesia social society). Sebagai bangsa yang sejak dari awal terbentuknya hingga perkembanganya selalu berlandaskan pada konseptual berbagai aspek, tentunya harus memiliki pandangan ke depan yang ditekadi untuk segera terwujud, yaitu masyarakat madani dengan dasar dan ideologi yang telah kita sepakati bersama.

Berkaitan dengan wacana tersebut diatas. Dr. Nurcholis Madjid dalam Menuju Masyarakat Madani menyatakan, bahwa sudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama untuk mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, dinegara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lebih lanjut Nurcholis Madjid dalam menyodorkan teorinya mengenai masyarakat madani mengemukakan bahwa yang disebut masyarakat madani, adalah masyarakat yang berbudi luhur atau berakhlak mulia atau masyarakat berperadaban atau "civil society". Masyarakat Madani dapat kita contohkan adalah masyarakat yang dibangun Nabi Muhammad 14 abad yang lalu.

Oleh karena itu sebuah tekad bersamapun harus diikrarkan, yang didahului dengan pencerahan bangsa dalam wujud keprihatinan bersama untuk menginternalkan moralitas yang mapan sedini mungkin demi kehidupan Bangsa Indonesia di masa mendatang. Memang suatu perjuangan panjang untuk membentuk sebuah masyarakat madani di bumi nusantara ini, lantaran terlalu banyak keterpurukan yang harus dientaskan dari keranjang sampah yang saling bertumpuk dan terkait satu sama lain.

Namun dengan fitur masyarakat majemuk yang cukup luas variasinya dan berperan sebagai penyangga eksistensi bangsa di masa depan. Maka raihan prestasi menuju masyarakat idaman tersebut adalah suatu hal yang tidak dapat ditunda lagi. Hal ini telah seperti diakui oleh rohaniawan Nasrani Paul F. Knitter, yang menggambarkan perspektif masyarakat pascamodern justru terletak pada dominasi kemajemukan.

Mewujudkan keprihatinan bersama selayaknya dimulai dari hal yang paling essensi. Erich Fromm (Social and Character Changes, 1942) menjelaskan bahwa sebuah karakter individu banyak ditampilkan dari struktur karakternya sendiri, tetapi sebuah struktur sosial ditampilkan dengan perilaku emosional yang umum di dapatkan pada masyarakat sosial. Karakter sosial secara substansial dimulai dari karakter tiap keluarga yang menyusunnya dan peran keluarga ini sebagai agen perubahan sosial, disamping sekolahan dan lingkungan kerja.

Dengan rumusan tersebut di atas kenapa kita tidak segera berbenah diri dengan mengawali terwujudnya keprihatinan bersama untuk menyandang sebuah keadilan, kemakmuran dan kemerdekaan dari berbagai aspek untuk Masyarakat Indonesia.

Sabtu, 25 September 2010

Martabat Bangsa Yang Ditepis Hedonisme

Adalah salah satu simbol kenikmatan duniawi, apabila kala itu manusia di peradaban pramodern (Jaman Majapahit), yang menghuni wilayah Nusantara mengkonsumsi gula dan kelapa ( gulo klopo) untuk konsumsi di tiap perhelatan atau dalam kehidupan sehari-hari. Karena hanya dari dua jenis bahan tersebutlah sebagian besar panganan diolah. Kedua bahan tersebut berasal dari tanaman nyiur yang banyak tumbuh di sepanjang pantai Kepulauan Nusantara. Jadilah suatu keindahan Kepulauan Nusantara, yang jarang ditandingi oleh bangsa lainnya, seperti yang tersirat dalam lagu ‘”Rayuan Pulau Kelapa”.
Namun lain halnya dengan Patih Kerajaan Majapahit, Gajah Mada yang menahan nafsu duniawi tersebut sebelum mampu menaklukan Bumi Nusantara. Sikap Gajah Mada tersebut dikenal sebagai Sumpah Palapa, sebagai peletak dasar nasionalisme yang tertanam kuat di setiap kalbu Rakyat Indonesia. Meski pada dekade sekarang, sikap ini telah terlantar dan tererosi oleh badai perseteruan, ego, hedonisme, pendoliman uang negara, manipulasi jabatan, aksi bonek, miras oplosan, demo anarkis dan tindakan amoralitas lainnya.
Hanya kebesaran jiwa dan kejernihan hatinya disertai tindakan patriotisme yang tulus saja, yang mampu menginspirasikan negarawan besar ini untuk menggemakan sumpah itu. Sebab Patih Gajah Madapun tahu persis betapa mahal harganya apabila semua rakyat yang menghuni persada “Rayuan Pulau Kelapa” tersebut mau bersatu, saling berkorban demi negara, santun, inovatif dan terbuka dengan siapapun serta toleran. Membentuk suatu bangsa yang berdaulat, mandiri sekaligus bermartabat. Sebuah bukti telah ditorehkan dalam catatan sejarah, bahwa dengan sikap seperti itulah kita berhasil menjadi negara yang merdeka, yang pada hakekatnya adalah anugerah yang dilimpahkan oleh Tuhan Yang Kuasa.
Martabat yang dimiliki suatu bangsa bisa juga dikaji dari aspek kemampuan bangsa itu sendiri dalam mengembangkan ketahanan yang komprehensif. Pertahanan suatu negara merupakan faktor utama dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Suatu negara tidak akan bisa menjaga eksistensinya dari ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri apabila belum mampu untuk mempertahankan diri dari ancaman tersebut. Oleh karena eratnya kaitan pertahanan negara dengan harkat dan martabat suatu bangsa, maka dengan adanya pertahanan negara yang memadai (Postur Pertahanan yang Kuat) akan membuat bangsa lain tidak memandang sebelah mata terhadap bangsa kita ( Mayor Laut (P) Salim, Komandan KRI Untung Suropati, 2009).
Namun demikian rongrongan dari aspek potensi ekonomi juga tidak kalah berpengauhnya terhadap kredibilitas sebuah martabat bangsa. Semakin rendahnya kualiatas SDM bangsa kita, semakin pula kita bergantung kepada pihak luar negeri dalam banyak hal. Bahkan kita cenderung memiliki persepsi bahwa ketergantungan kita terhadap luar negeri adalah sama dengan “neo-kolonialisasi “ yang bertopeng globalisasi , yang semakin dalam menghisap darah rakyat kita ketimbang nafsu tamaknya VOC sejak Tahun 1602.
Mohammad Hatta dengan tajam dan dalam, mengungkapkan suatu prediksi ke depan mengenai sandungan ekonomi yang kita alami. Pandangannya yang berorientasi pada kekuatan pasar dalam negeri yang didukung oleh tenaga beli rakyat, tidak menjuruskannya terperosok ke dalam paham isolasionisme ekonomi. Ia bahkan telah meramalkan globalisme dan globalisasi masa depan. Ia tidak menolak interdependensi ekonomi internasional, yang ia tentang adalah dependensi ekonomi nasional Indonesia terhadap ekonomi internasional yang selalu diwaspadainya (Sritua Arief, Pemikiran Pembangunan Bung Hatta, (Jakarta: LP3ES), hlm. 99-118 ).
Namun pandangan seorang “Faundhing Father” tersebut tidak serta merta mampu direalisasi oleh generasi penerusnya yang telah kehilangan nasionalisme dan jati dirnya, yang pada gilirannya nanti bisa mengkhawatirkan kredibilitas martabat bangsa ini. Pandangan Beliau tentang sebuah perekonomian rakyat, terganjal keras oleh pendoliman dan penjarahan uang negara oleh oknum pejabat yang sudah tidak bermoral lagi. Lantaran diantara oknum tersebut sudah tidak ada lagi persepsi pelanggaran aturan negara melainkan hanya sebagai “life-style” belaka. Maka tidak heran mereka telah kehilangan kepedulian tentang nasib si kecil yang meng-grassrote. Dengan perilaku seperti inilah, dari seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah.
Urgensi yang terselip tapi mendasar di balik wacana tersebut di atas, adalah revitalisasi nilai martabat bangsa ini yang telah terpuruk dari semua sudut pandang. Mulai senjata hukum yang tegas, pencabutan gelar akademis dari institusi yang menyematkan, internalisasi tentang martabat bangsa di jalur pendidikan sedini mungkin, inensifikasi gerakan sadar berkehidupan berbangsa dan bertanah air di semua kalangan dan uji moralitas yang cermat bagi setiap calon pemimpin. Dengan demikian martabat Bangsa Indonesia yang Luhur akan berdengung lagi seiring dengan nyanyian “Rayuan Pulau Kelapa”.