Sabtu, 25 September 2010

Revitalisasi Nasionalisme Demi Eksistensi Bangsa Indonesia

Dari satu dekade hingga ke dekade lainnya, nasionalisme rakyat di Bumi Nusantara ini terhadap negara yang eksis kala itu (berbagai kerajaan yang berdiri) terbukti tidak pernah nihil. Selalu saja nasionalisme tertanam kuat di masing-masing dada rakyat, dari mulai rakyat jelata hingga para petinggi negara tersebut.

Sejak tahun 1293 hingga 2500 M, rakyat sepanjang kepulauan Nusantara ini bahu membahu mempertahankan kedaulatan dengan sebuah nasionalisme, demi eksistensinya sebuah negara/kerajaan yang disebut Majapahit, yang beribukota di Trowulan, Jawa Timur.

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya. Kerajaan ini dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Borneo, Kepulauan Sulu, Manila (Saludung), hingga Indonesia Timur, meskipun wilayah kekuasaannya hingga kini masih diperdebatkan. Bukankah dengan keagungan semacam ini, tiada lain hanya nasionalisme yang kokoh saja yang berperan dalam menjaga eksistensi negara besar ini.

Kerajaan Kadiri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222 M. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sedangkan Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari atau Singosari, adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang, Jawa Timur.

Bahkan lebih kurang 6 abad sebelum kerajaan di P. Jawa berdiri, telah berdiri terlebih dahulu Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya), adalah salah satu kerajaan maritim yang kuat di pulau Sumatra dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.

Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; ketika seorang pendeta Tiongkok, I-tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjut prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa ditahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Coladewa dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 Sriwijaya dibawah kendali Raja Dharmasraya mengakui kedaulatan Kerajaan Majapahit.

Bersamaan dengan itu di Bumi Pasundan berdiri Kerajaan Pajajaran (Kerajaan Sunda), disebut dengan Kerajaan Pajajaran karena kerajaan ini beribukota di kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat. Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 M oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak.

Dari tahun 923 M hingga kini, tentu saja seluruh individu yang bersemayam di “Negeri Rayuan Pulau Kelapa” ini, tiada pernah melewatkan makna sebuah nasionalisme, yaitu sebuah sikap mental yang selalu berorientasi kepada rasa ingin menciptakan dan mempertahankan kedaulatan negara (dalam bahasa Inggris "nation") yang pernah ada di Bumi Nusantara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk Bangsa Indonesia ( setelah Proklamasi 17 Agustus 1945). Dengan mencermati dinamika nasionalisme tersebut pada rentang waktu tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa nasionalisme lahir bersama dengan budaya yang membentuk suatu struktur masyarakat Indonesia.

Nasionalisme kerakyaan dalam suatu negara dapat ditafsirkan sebagai kesatuan masyarakat dalam persamaan hak berpolitik dan saling berbagi tujuan politik dalam prosedur aturan main berpolitik yang telah dibakukan. Apabila nasionalisme yang demikian mampu mengusung sebuah negara, maka akan terbentuklah negara yang multikultur, tidak berdasar etnik leluhur (ethnic ancestry ). Konsep nasionalisme demikan di canangkan oleh Ernest Renan (1882). Dengan demikian konsep negara tidak lebih dari hasil derivasi dari partisipasi legitimasi politik aktif dari warga negaranya.( Jean-Jacques Rousseau, 1762)

Namun bagaimana dengan nasionalisme rakyat dewasa ini, setelah memasuki kurun waktu “era reformasi” yang mewajahi tata kehidupan bangsa ini. Diawali dengan predikat negara terkorup di Asia, nasionalisme terujikan dengan budaya “pendoliman uang negara” yang dilakukan oknum pejabat negara, sekedar untuk tujuan hedonism yang menjadi suluh sebuah peradaban baru di negara yang kita cintai ini.
Kekecewaan demi kekecewaan “grassrote” terhadap mentalitas oknum petinggi, bisa saja menggumpal dan mengkristal ke dalam berbagai unsur separatis yang mengancam disintegrasi negara ini. Hingga sudah saatnya kita mulai dari diri kita masing-masing untuk menyelipkan nasionalisme demi langgengnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jumat, 24 September 2010

UNTUK KITA RENUNGKAN

Peduli terhadap realita yang mencuat di sekeliling kita, adalah salah salah satu pertanda “manusia yang menghayati semua peribadatan” . Bukan hanya kepedulian terhadap lingkungan sosial saja, tetapi kepedulian terhadap kerusakan lingkungan juga termasuk upaya manusia yang bermanfaat terhadap sesama, sebagai Khalifah di bumi. Bukankah kerusakan lingkungan yang terus ditelantarkan, pada gilirannya nanti bakal mengancam eksistensi kita semua.

Rasa khawatir kita sebagai organisma “Primata berderajat paling tinggi” kini merebak dan menggayuti hati kita semua. Bila kita mencermati sebuah realita tentang saudara saudara kita di Uni Sovyet yang sedang berkubang kerusakan iklim.Betapa tidak, menurut salah satu laporan televise swasta nasional, memaparkan bahwa mereka telah meradang di bawah temperature 38 derajat Celsius. Penyebab perubahan suhu yang tidak seperti biasanya ini, adalah sebagian dari menggejalanya kasus pemanasan global. (global warming).

Seperti kita ketahui bersama bahwa suhu rata-rata pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca” . Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8.. Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 hingga 2100. (Pemanasan Global, Wikipedia, 2010).

Dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh pemanasan global tersebut adalah
terjadinya kerusakan sirkulasi air laut, sehingga menimbulkan perubahan cuaca yang sulit dipredeksi., timbulnya gejala kekeringan yang lebih parah di daerah gurun , kegagalan panen yang terjadi di mana-mana sehingga menyebabkan terbatasnya persediaan pangan, kelangkaan air dan sumber-sumber air, kelapran yang melanda dunia dan menyebabkan banyak kematian, mebyebabkan perubahan cuaca yang ekstrim dengan cirri banyak terjadinya badai, menyebabkan berbagai penyakit baik untuk manusia maupun hewan, timbulnya gelombang panas yang mematikan, berkurangnya habitat hewan dan tumbuhan, menyebabkan emigrasi besar besaran manusia dari daerah tandus ke daerah yang lebih baik, bertambahnya konsumsi energi untuk kebutuhan rumah tangga, menyebabkan polusi udara dan menghilangnya lapisan es atau glaciers.( http : // epa.gov/ climate.change/emission ).

Perubahan cuaca tersebut di atas memang menimbuilkan konsekuensi logis yang negatif, terbukti dengan terjadinya cuaca yang ekstrim seperti yang kita rasakan mulai 2 bulan terakhir (Juli dan Agustus) di Indonesia. Bisa kita cermati juga contoh lain, yaitu terjadinya banjir bandang byang menerjang Pakistan barat laut tepatnya di Nowshera, pada hari Selasa (3/8) yang telah menyebabkan lebih dari tiga juta orang merana. Korban yang te¬was mencapai 1.400 orang . Menyusul kemudian banjir di Zhouqu,China yang menewaskan 1424 orang serta lebih dari 2000 dinyatakan hilang. Padahal pada bulan bulan itu, mereka biasanya hidup di bawah musim kemarau.

Lantas bagimana saudara kita yang di Uni Sovyet, mereka biasa hidup di tengah temperature udara 24 derajat Celsius. Selanjutnya dilaporkan bahwa dengan naiknya suhu udara, menyebabkan kenaikan 300 % kandungan CO (karbonmonoksida) di atmosfer. Padahal salah satu sifat CO di muka bumi ini adalah mampu menghalangi fiksasi “alveolus” terhadap Oksigen di paru paru organisme konsumen (manusia dan hewan).

Disamping itu juga bersama sama dengan CO2 (karbon dioksida) karbonmonoksida bakal menyerap kalor matahari. Hal ini menimbulkan perubahan temperature atmosfer meningkat dari tahun ke tahun. Dari realitas fenomena di atas pasti akan timbul pertanyaan dalam benak kita, akankah eksistensi manusia tetap berlangsung seratus tahun ke depan bila fenomena ini terus berlangsung, atau mungkin pula akan lahir organisma manusia straint baru, yang mengalami mutasi genetic. Hal ini wajar saja bisa terjadi, karena manusia adalah organisma yang memiliki daya adaptasi yang paling comfortable dibanding dengan organisma lainnya. Ditambah lagi manusia memiliki software dengan iptek sebagai hasil cipta dan karsa mereka. Namun demikian hingga kini belum ada satu laporan ilmiahpun yang memprediksi fenomena mutan tersebut. Karena memiliki kompleksitas yang tinggi.

Oleh karena itu sebuah tindakan manusia dalam upaya pencegahan ini semua perlu dikedepankan sebagai upaya yang paling bijak dan masuk akal. Fenomena yang mengancam eksistensi hidup manusia adalah dimulai dengan tindakan sembrono manusia itu sendiri yang tidak memperhitungkan dampaknya di kemudian hari. Hingga generasi sekaranglah yang harus mewarisi bumi yang sudah tidak ramah lagi.

Dengan sebuah asumsi yang kasar, kita bisa mendeskipsikan bahwa temperature bumi di tahun 2112 adalah sekitar 43 ° C. Di tengah temperatur udara setinggi itu, maka jelas sudah species manusia bakal menemui kepunahan, kecuali bagi mereka yang mengalami peruabahan anatomis, fisiologis dan kriteria biologis lainnya.

Atau dengan olahan cipta dan karsanya manusia mencoba merekayasa lingkungan hidup sedemikian rupa hingga mampu eksis entah sampai kapan atau bahkan dengan ilmu genetic yang telah maju dengan pesat, manusia mampu menciptakan strain manusia mutan yang telah direkayasa genetiknya. Dengan teknik tambal-sulam ikatan DNA yang terdapat pada kromosom manusia atau kromosome hewan. Sehingga manusia mampu mengkombinasikan peta-genetik hewan dan manusia demi daya tahan manusia terhadap change of climate tersebut.

Benarkah fenomena tersebut bakal terjadi di masa depan. Mengacu pada kerusakan iklim yang ekstrim sekarang maka fenomena tersebut bukan isapan jempol biasa. Hanya rasa tunduk kita kepada Tuhan yang Kuasa yang direfleksikan dengan perlakuan santun terhadap alam semesta inilah yang bakal menjadi penyelemat keberlangsungan hidup kita.

Jumat, 17 September 2010

Mendambakan KOTA SEMARANG Yang Nyaman


(SEBUAH SARAN UNTUK PAK WALI YANG BARU)

Memasuki hari ke dua setelah Pilwakot Semarang Th 2010 = 2015, sebuah pandangan ke depan yang optimis langsung merebak dari hati penulis, setelah mengetahui kemenangan yang diraih pasangan MARHEN. Perasaan ini tidak timbul lantaran simpatik yang berlebihan, tetapi semata niatan merefleksasikan urgensi Kota Semarang sebagai kota metropolitan yang sejuk, asri, aman, maju serta memliliki drainage yang representatif, yang cukup dikonotasikan dengan predikat “kota nyaman”, yang kita dambakan.

Tentunya Marhen harus mampu menautkan semua institusi yang terlibat agar mampu bergerak selaras, bagaikan mesin sebuah arloji yang harus kompak berputar demi sang waktu. Kita sambut gembira pernyataan pasangan Marhen yang akan menerapkan aspek kebersamaan sesuai janjinyaya, untuk membentuk stakeholder baik perorangan maupun lembaga untuk bersama-sama membangun Kota Semarang.

Sebagai ibu kota Provinsi Jateng, tentu pembangunan Kota Semarang harus memfokuskan pada specifikasi yang dimiliki kota Semarang yaitu adanya prediksi ilmiah Dr. Ir. Suripin M.Eng, yang dikutip dari abstraksi Dwiyanto, Agung (2009) Stasiun Tawang Yang Terdholim, yang diterbitkan Jurnal Nasional, menyatakan bahwa topografi wilayah Semarang memiliki kemiringan antara 0 sampai 2% dan ketinggian ruang antara 0-3,5 mdpl. Adapun Semarang bagian atas dengan ketingggian antara 90-200 meter dari permukaan laut. Semarang sudah menjadi langganan banjir dan rob sejak beberapa tahun yang lalu. Jika penanganan banjir tidak sistimatis, diperkirakan pada 2019. Semarang bawah akan tenggelam. Prediksi itu didasarkan pada penurunan lahan yang terjadi tahun demi tahun, yang semakin lama semakin mengkhawatirkan.

Dengan prediksi ilmiah tersebut, maka tentunya akan menimbulkan perasaan masyarakat yang tidak nyaman untuk bermukim di Semarang. Apalagi bila kita menyaksikan realisasi penyelamatan kota Semarang oleh autoritas yang masih belum mengenai sasaran (pembangunan polder di depan Statiun tawang, rumah pompa tlogosari yang belum berhasil guna). Apalagi dengan timbulnya dampak yang nyata akibat terjangan rob, yaitu rusaknya Jalan Barito dan ruas jalan lainnya yang belum terbenahi.

Apabila kelak terjadi kota yang hilang akibat terambahnya banjir rob, maka tentu saja sebagian besar warga Semarang yang berdomisili di Semarang Utara tidaklah mungkin mempertahankan tempat tinggalnya, terutama bagi yang mampu. Namun masalah pelik mulai muncul bila ancaman itu mendera masyarakat menengah ke bawah, yang tidak memiliki tempat pemukiman lainnya, Maka menjadi tantangan yang berat bagi Marhen untuk peduli wilayahnya, masyarakat serta amanat yang diembanya.

Namun disamping itu, specifikasi lainnya pun dimiliki kota Semarang dengan topografi nya unik, yaitu perbedaan yang signifikan antara topografi pantai (sebelah utara) dengan daratan berbukit di bagian selatan Kota Semarang. Dengan demikian Semarang bagian bawahlah yang menjadi penampungan air hujan dari bagian selatan. Tentu saja Marhen disarankan untuk mengkonsep lagi sistim drainage kota yang serius, setidak-tidaknya merehabilitir drainage yang pernah dikonsep pemerintah kolonial dulu. Karena banyak sistim drainage peninggalan kolonial yang sekarang tak berfungsi optimal karena sedimentasi.

Rasa heran bercampur prihatin mengganjal dalam benak kita semua, tatkala kita menyaksikan Kota Semarang bagian atas yang telah disulap menjadi tempat pemukiman komersil oleh pihak pengembang (Jati Sari, BSB dan lain sebaganya) yang menonfungsikan reservoir raksasa air hujan alami, berupa pohon-pohon taunan yang kini rata dengan tanah. Tentunya sikap ini sama saja dengan menelantarkan anak cucu kita sendiri, karena kita tak mampu memegang amanat mereka. Padahal luas tanah 1 m persegi mampu menyimpan air tanah sebanyak 4,000 liter. Fenomena ini menggambarkan betapa terancamnya kehidupan warga Kota Semarang di decade mendatang.

Namun demikian merealisasikan Semarang Kota Nyaman tidak serta merta mengatasi tantangan alamiah belaka. Dengan penerapan teknologi yang telah diraih ahli Planalogi tantangan seperti itu bisa diatasi. Tetapi mentalitas dan moralitas warga Semarangpun harus mendapat kajian yang professional dan proporsional dalam kaitanya dengan kenyamanan hidup masyarakat sosial. Apabila kita mencermati kehidupan social Kota Semarang tentunya kita akan dihadapka pada kompleksitas yang tinggi, untuk menorehkan skala prioritas pemberdayaan potensi yang ada sekaligus factor pengendala yang paling domnan terhadap kemajuan sebuah masyarakat.

Namun lepas dari itu semua, terdapan nilai mendasar yang wajib Marhen perhatikan dalam pengentasan Kota Semarang, yaitu peningkatan laju ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Dengan adanya perhatian tiga komponen tersebut maka bila kebutuhan mendasar sebuah masyarakat social akan terpenuhi pada gilirannya nanti akan terealisasi Kota Seamarang yang Nyaman sebagai Impian kita bersama.