Betapa merananya hati “The Foundhing Father” Soekarno-Hatta bila mereka masih bersanding dengan kita saat ini. Dilain pihak mereka berdua akan berbangga hati dengan demokrasi, transparansi poltik, kebebasan pers dan lain sebagainya. Tetapi mereka tetap menangis pilu lantaran Indonesia dewasa ini berwajah muram, karena maraknya anarkis, criminal, pesta narkoba, miras dan kebebasan sek, perseteruan petinggi dan amoralitas lainnya. Apakah telah hilang budi pekerti yang telah mereka sayamkan di sanubari Indonesia. Merekapun langsung menudingkan telunjuknya pada sekolah yang bertebaran di Bumi Nusantara, yang dianggapnya gagal dalam pembentukan ini, karena sekolahlah yang paling kondusif dalam pembelajaran budi pekerti
Tiap kali kita berbicara tentang sekolah, yang menopang berbagai pembelajaran, pastilah kita akan berpikir tentang nilai-nilai sosial, budaya dan pedagogis. Terutama bagi kalangan orang tua yang akan menelisik dan menyekolahkan di satuan pendidikan tersebut. Pandangan kitapun langsung menuju suatu pepatah “ Pendidikan memang bukan segala-galanya, tetapi segala galanya bermula dari pendidikan”. Kitapun langsung memahami urgensi suatu lembaga sekolah.
Adalah suatu kemajuan bangsa yang sering kita cermati di dunia ini yang bermula dari sistim pendidikan yang mapan dan berkontinyuitas, tak lekang di makan zaman. Pandanglah Bangsa Jepang yang melekatkan nilai-nilai budaya yang luhur pada satuan pendidikan yang disebut dengan Terakoya, yang diberlangsungkan pada abad ke-18, pada jaman Kekaisaran Edu. Sistim pendidikan yang cukup sederhana namun sarat dengan nilai budi pekerti yang hidup di tengah kultur masyarakat Jepang.
Lain halnya dengan sistim pendidikan yang dicanangkan Taman Siswa di bawah asuhan Ki Hajar Dewantara, yang hidup di tengah kultur Masyarakat Indonesia yang sedang didholomi Bangsa Belanda yang mengungkung kita semua. Dalam hal ini, Ki Hajar menyelipkan pemahaman bahwa “Persamaan Derajat antara Sesama Manusia”. Oleh karena itu derajat masyarakat “inlander” tidak berada di bahwa orang Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Pandangan Ki Hajar tentang persamaan hak dituangkan dalam artikelnya yang berjudul “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Artikel tersebut di tayangkan Koran de Expres milik dr. Douwes Dekker.
Oleh karena itu aspek keteladanan yang direfleksikan melalui budi pekerti perlu dikedepankan oleh semua peserta didiknya. Salah satu nasehat Ki Hajar Dewantara melalui Pendidikan Taman Siswa kepada masyarakat Indonesia, adalah ungkapan “Milo Budi ingkang Utami” (Maka Budi Pekerti perlu diutamakan). Sehingga upaya pencapaian aspek kognitif untuk peserta didik kita bukanlah satu-satunya kebijakan pedagogis yang bijaksana, guna mengejar ketertinggalan sistim pendidikan kita dengan negara lain. Kadang dengan ketertinggalan tersebut kita menjadi kebakaran jenggot, lantas merancang upaya mengkonstruksikan kurikulum yang dianggapnya representative. Upaya tersebutpun menjadi hambar tanpa mengintensifkan pembentukan sikap menta (afektif) peserta didik.
Sebagai bukti akan hal ini , dewasa ini terjadilah ketimpangan pencetakan peserta didik yang kita harapkan bersama. Sebagai bukti adalah maraknya laku anarkis yang banyak dilakukan oleh generasi muda di berbagai perhelatan olahraga, konser, pesta narkoba dan miras serta perilaku sex-bebas diantara remaja.
Suatu perangkat sosial perlu terus tersemat dalam diri manusia Indonesia dari mulai bangku sekolah hingga dewasa, lepas dari kapasitas yang melekatnya, baik sebagai figure publik, pemimpin institusi atau apa saja. Perangkat ini disebut dengan “Budi Pekerti” yang memenuhi ruang sanubara tiap individu melalui saluran pembelajaran di sekolah, agama, informasi dari berbagai media ataupun tata-pergaulan dalam masyarakat. Semua saluran tersebut jelaslah di jaman modern ini bukan suatu bentuk yang memiliki nilai komersial yang tinggi. Asal kredibilitas saluran serta substansi pembelajaran harus kita cermati bersama.
Masa depan suatu bangsa, baik masa depan prestasi ekonomi, sosial, teknologi dan lain sebagainya sangatlah bergantung pada intensitas sistim pendidikan yang disematkan pada generasi muda pemikul kekayaan budaya para leluhurnya. Warisan budaya kita sungguh mampu membuat bangsa-bangsa lainnya berdecak kagum, Namun kadang kala kita menjadi bertanya mengapa mediasi untuk transfer ke generasi penerus mengalami kegagalan. Padahal pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral (Lickona, 1996 , P.1993).
Kita tidak usah menuduh siapa gerangan yang paling patut kita salahkan dalam hal kegagalan “Penyematan Generasi yang Berbudi Pekerti”. Lantaran budi pekerti adalah sesuatu yang hanya bisa terinternalisasi hanya dengan kinerja yang.mengambil andil bersama dari seluruh komponen bangsa ini. Sepintas memang pembelajaran agama di satuan pendidikan mendapat tudingan tajam. Namun hal inipun tidak serta merta dapat kita terima, karena pembelajaran agama di satuan pendidikan hanya berlangsung 3 jam per minggu. Padahal aktifitas setiap peserta didik di sekolah hanya berlangsung 6 jam, selebihnya mereka larut dalam kehidupan sosial di luar sekolah.
Namun kitapun masih tetap setia untuk menggaungkan Indonesia dengan masa depan yang prestisius, maka tentunya kita masih bertekad untuk merevitalisasi budi pekerti, yang pada gilirannya akan mengukuhkan kembali nasionalisme kita yang mulai tergoyahkan. Karena hanya dengan nasionalisme yang demikian mampu mengusung sebuah negara, maka akan terbentuklah Indonesia sebagai negara yang multikultur, tidak berdasar etnik leluhur (ethnic ancestry ). Konsep nasionalisme demikan di canangkan oleh Ernest Renan (1882).
Sehingga akan damai dan sejahtera negara “Rayuan Pulau Kelapa” yang terhampar di 17.508 pulau dan 162.290.000 hektar hutan yang dihuni 316 suku bangsa (Dari berbagai sumber).
Sabtu, 04 Desember 2010
Kamis, 25 November 2010
Merapi Di Tengah Nurani Kita
Sebenarnya sebuah Negara Kalulistiwa yang dilimpahi anugerah oleh Sang Pencipta dengan kekayaan sumber alam hayati dan non hayati, sudah seharusnya didiami oleh insan yang sarat dengan perlilaku moralitas sebagai rasa sukur kepada Sang Pencipta. Betapa tidak kita memiliki 400 gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif . Masihkah kita bersikap menepiskan moralitas kita, bila salah satu gunung tersebut menyelimuti hati kita dengan kepiluan.
Media mana yang tidak meliput specifikasi Merapi pada saat ini. Lengkap dengan predikat gunung tergarang di dunia, type gunung dan alas an geologis mengapa Merapi bertemperamen seperti ini, sejarah kapan Merapi menggegerkan masyarakat dunia dan dampak yang ditimbulkanya. Demikian juga letusan pada periode ini (meski kita tidak tahu pesti kapan perida berkutnya bakal meletus lagi) yang terjadi sejak akhir Oktober hingga mimggu ke dua Nopember 2010, masih saja Merapi membuat repot masyarakat Indonesia dan dunia. Hal ini wajar saja lantaran Merapi terletak di tengah pemukiman padat masyaralat yang tersebar di Kab Boyolali, Kab. Klaten. Kab Magelang Jawa Tengah dan Kab Sleman DI Jogjakarta.
Maka lengkap sudah penderitaan masyarakat kita bila kita mencemati laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang meriliskan merilis data bahwa 83 persen wilayah Indonesia rawan bencana alam. Mulai dari banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, angin topan, letusan gunung berapi, hingga kebakaran hutan dan sejak 10 tahun terakhir, telah terjadi 6 ribu bencana alam.
Setelah bencana alam tsunami yang melanda masyarakat Aceh tahun 2004 silam, bencana letusan Gunung Meapi yang terhebat selama 100 tahun ini sangat menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Hal ini tentu saja bila kita membayangkan betapa besar kerugian harta benda (rumah,sawah dan ladang, ternak dan lain sebagainya), belum lagi korban jiwa yang mendekati 190 korban jiwa dan ratusan ribu warga yang mengungsi di daerah yang aman ( diluar radius 25 km dari Merapi).
Tetapi bukan itu saja yang seharusnya melatarbelangi suatu upaya dan kepedulian yang besar dari kita semua, yaitu sebuah latarbelakang yang berhubungan dengan karakter Gunung Merapi yang susah ditebak, tetapi letusanya mampu membawa dampak sistemik bagi masyarakat yang memusarinya. Akhirnya sebuah alternatif yang paling memungkinkanpun bisa kita rencanakan dengan sebuah relokasi menyangkut ratusan ribu warga. Dengan alasan kita tidak mungkin membiakan sekali lagi bila mereka menjadi korban keganasan Merapi.
Merekolasi mereka tentu saja kita harus pula memberikan kepedulian tentang masyarakat sekitar Merapi sebagai masyarakat sosial, yang mengais hidup dari bertani dan beternak. Sebagian besar dari mereka hanya memiliki ketrampilan bertani sayuran di ladang sebagai petani gurem. Hal ini membawa sebah konsekuensi bahwa tehnik bertani dengan sistim pertanian di sawah irigasi masih asing bagi mereka. Dengan kehidupan social tersebut maka mereka bukan tidak mungkin untuk menolak relokasi di kawasan baru. Mereka lebih memilih untuk kembali ke tempat asal semua, karena mereka merasa telah mengenal persis karakter Merapi. Bahkan meski Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum menurunkan status Gunung Merapi, sebagian dari mereka bersikeras untuk kembali ke kampungnya guna melanjutkan hidup bertani.
Kontadiksi social inilah yang hendaknya mampu dijadikan stimulir untuk mengulurkan kepedulian yang nyata kepada mereka, yang mencakup pendanaan, konsep, tenaga, pemikiran atau apa saja yang mampu mensinerjikan langkah yang taktis, akuran dan tidak menyisakan permasalahan yang baru. . Contoh kasus seperti ini pernah melanda masyarakat Pulau Mentawai yang pernah menuntut relokasi jauh dari daerah pantai, namun tuntutan mereka hingga tahun 2010 belum terealisir hingga terjadilah tsunami yang kedua kali, yang memakan korban jiwa.
Mampukah kita mengusung sebuah langkah penuh nurani seperti 300 relawan yang larut dengan penderitaan mereka, yang sebagian public melabelkan sebagai pahlawan bangsa masa sekarang. Tentu saja bila panggilan nurani ini menyeruak ke semua anak bangsa, maka derita pengungsi Merapi dan korban bencana alam lainnya akan berkurang kepiluannya.
Media mana yang tidak meliput specifikasi Merapi pada saat ini. Lengkap dengan predikat gunung tergarang di dunia, type gunung dan alas an geologis mengapa Merapi bertemperamen seperti ini, sejarah kapan Merapi menggegerkan masyarakat dunia dan dampak yang ditimbulkanya. Demikian juga letusan pada periode ini (meski kita tidak tahu pesti kapan perida berkutnya bakal meletus lagi) yang terjadi sejak akhir Oktober hingga mimggu ke dua Nopember 2010, masih saja Merapi membuat repot masyarakat Indonesia dan dunia. Hal ini wajar saja lantaran Merapi terletak di tengah pemukiman padat masyaralat yang tersebar di Kab Boyolali, Kab. Klaten. Kab Magelang Jawa Tengah dan Kab Sleman DI Jogjakarta.
Maka lengkap sudah penderitaan masyarakat kita bila kita mencemati laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang meriliskan merilis data bahwa 83 persen wilayah Indonesia rawan bencana alam. Mulai dari banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, angin topan, letusan gunung berapi, hingga kebakaran hutan dan sejak 10 tahun terakhir, telah terjadi 6 ribu bencana alam.
Setelah bencana alam tsunami yang melanda masyarakat Aceh tahun 2004 silam, bencana letusan Gunung Meapi yang terhebat selama 100 tahun ini sangat menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Hal ini tentu saja bila kita membayangkan betapa besar kerugian harta benda (rumah,sawah dan ladang, ternak dan lain sebagainya), belum lagi korban jiwa yang mendekati 190 korban jiwa dan ratusan ribu warga yang mengungsi di daerah yang aman ( diluar radius 25 km dari Merapi).
Tetapi bukan itu saja yang seharusnya melatarbelangi suatu upaya dan kepedulian yang besar dari kita semua, yaitu sebuah latarbelakang yang berhubungan dengan karakter Gunung Merapi yang susah ditebak, tetapi letusanya mampu membawa dampak sistemik bagi masyarakat yang memusarinya. Akhirnya sebuah alternatif yang paling memungkinkanpun bisa kita rencanakan dengan sebuah relokasi menyangkut ratusan ribu warga. Dengan alasan kita tidak mungkin membiakan sekali lagi bila mereka menjadi korban keganasan Merapi.
Merekolasi mereka tentu saja kita harus pula memberikan kepedulian tentang masyarakat sekitar Merapi sebagai masyarakat sosial, yang mengais hidup dari bertani dan beternak. Sebagian besar dari mereka hanya memiliki ketrampilan bertani sayuran di ladang sebagai petani gurem. Hal ini membawa sebah konsekuensi bahwa tehnik bertani dengan sistim pertanian di sawah irigasi masih asing bagi mereka. Dengan kehidupan social tersebut maka mereka bukan tidak mungkin untuk menolak relokasi di kawasan baru. Mereka lebih memilih untuk kembali ke tempat asal semua, karena mereka merasa telah mengenal persis karakter Merapi. Bahkan meski Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum menurunkan status Gunung Merapi, sebagian dari mereka bersikeras untuk kembali ke kampungnya guna melanjutkan hidup bertani.
Kontadiksi social inilah yang hendaknya mampu dijadikan stimulir untuk mengulurkan kepedulian yang nyata kepada mereka, yang mencakup pendanaan, konsep, tenaga, pemikiran atau apa saja yang mampu mensinerjikan langkah yang taktis, akuran dan tidak menyisakan permasalahan yang baru. . Contoh kasus seperti ini pernah melanda masyarakat Pulau Mentawai yang pernah menuntut relokasi jauh dari daerah pantai, namun tuntutan mereka hingga tahun 2010 belum terealisir hingga terjadilah tsunami yang kedua kali, yang memakan korban jiwa.
Mampukah kita mengusung sebuah langkah penuh nurani seperti 300 relawan yang larut dengan penderitaan mereka, yang sebagian public melabelkan sebagai pahlawan bangsa masa sekarang. Tentu saja bila panggilan nurani ini menyeruak ke semua anak bangsa, maka derita pengungsi Merapi dan korban bencana alam lainnya akan berkurang kepiluannya.
Senin, 15 November 2010
Keterpurukan Di Tengah Cincin Api
Bencana letusan G.Berapi yang Mengusung Pilu |
Hujan yang terus sepanjang tahun tentunya mengkhawatirkan semua penduduk yang bermukim di seputar Merapi, karena ancaman banjirnya lahar dingin yang menakutkan, yang dimuntahkan oleh Si Garang Merapi sejak akhir Oktober hingga awal Nopember 2010. Dan bukan itu saja, sebagian masyarakat kita yang bermukim di wilayah rawan banjirpun menjadi tidak bisa hidur nyenyak. Terlebih lebih bagi penduduk Jakarta yang bermukim di daerah langganan banjir karena banjir besar diprediksi kembali menggenangi Jakarta akhir tahun ini. Hal tersebut didasari penelitian yang dilakukan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geografi (BMKG).
Distorsi cuaca semacam di atas memang menimbulkan dampak sistemik bagi kehidupan sebagian masyarakat kita. Kita bisa mencermati seringnya laporan MBG, yang memprediksi tingginya gelombang lautan yang membuat masyarakat nelayan tidak melaut. Sementara itu di bagian wilayah lainnya petani tanaman primadona tembakau di wilayah sentra tembakaupun menjadi membatalkan niatnya untuk menanam tembakau, lantaran tanaman ini tidak tahan terhadap curah hujan yang tinggi.
Lain halnya dengan hujan sehari hari yang tiada pernah berakhir, tanah yang kita injakpun pada decade sepuluh tahun ini sering menunjukan kegaranganya, terbukti dengan seringnya mereka berulah dalam wujud gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi dan pernah pula terjadi prahara Kawah Sinila yang menimbulkan kejadian luar biasa pada 20 Februari 1979 karena mengeluarkan gas beracun melalui retakan-retakan tanah sehingga menewaskan 149 warga sekitar yang menghirupnya. Kawah Sinila terletak di dataran tinggi Dieng, Kab, Wonosobo Jawa Tengah yang berada di ketinggian
2.565 mdpl (meter di atas permukaan laut).
Bencana demi bencana disebabkan karensa kita memiliki 400 gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif dan gunung berapi tersebut telah memusariWilyah Indonesia. Sehingga Indonesia dinyatakan sebagai sebuah negeri yang berada di jalur gempa dan gunung api. Lantaran kita bertempat tinggal di lempengan yang merupakan bagian dari Cincin Api (Ring of Fire) Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik. Itu berarti bahwa kita (Indonesia) hidup di atas Cincin Api. Atau diistilahkan bahwa kita hidup di atas bara, tetapi berpagar hujan setahun. Sehingga wajar saja menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia bahwa kita memliki 83 titik di seantero wilayah Indonesia yang rawan bencana, tidak tanggung tanggung bahwa sebanyak 6.000 bencana alam telah terjadi selama sepuluh tahu ini.
Bara yang mengelilingi kehidupan kita itu ternyata juga bukan hanya berasal dari tenaga endogen (tenaga dari dalam bumi) saja. Tetapi kehidupan sosial politik anak bangsa telah melabelkan saratnya pertikaian politik, tindakan korupsi oknum petinggi atau Gayusmania, anarkisme, penyimpangan tugas dan wewenang aparat penegak hukum, tindakan anarkis beberapa pihak dan lain sebagainya juga telah membuat gerah masyarakat kecil, yang diibaratkan bertempat tinggal di rumah bara. Adanya tindakan amoralitas sejumlah oknum yang menyebabkan menganganya kesenjangan juga menambah bara ini.
Betapa tidak seorang warga Indonesia yang berstatus terpidana yang harusnya mendekam dalam sel, tetapi secara kontroversi mampu melihat pertandingan tennis di Bali. Sementara itu sejumlah 4.000 KK korban bencana Merapi, Mentawai dan Waisor harus direlokasi di bumi ransmigrasi atau relokasi lainnya. Bukankah tindakan yang tidak perlu itu telah menyayat luka lebih dalam lagi bagi si kecil yang terpuruk. Keterpurukan ini telah ditengarai oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yang menginformasikan bahwa angka kemiskinan pada 2010 tidak banyak berubah dengan 2009 yakni 14,15 persen.
Lengkap sudah kini nasib rakyat kecil yang hidup di tengah bara aktifitas endogen maupun bara yang durefleksikan dengan berbagai ketimpangan hidup rakyat itu sendiri serta dipusari distorsi cuaca yang ekstrim. Sehingga janya jiwa masionalis yang tersemat kokoh di dada Bangsa Indonesia yang bakal menjamin eksistensi negeri Rayuan Pulau Kelapa ini.
Langganan:
Postingan (Atom)