Senin, 08 November 2010

Pencerahan Publik Tentang Mahalnya Energi

Terhitung mulai 1 Juli tahun 2010 ini, masyarakat mengalami satu lagi beban penghidupan berupa kenaikan TDL sebesar ± 10 %, kenaikan segala macam bentuk pajak, kita menjadi bertambah skeptis dan tidak tahu harus melontarkan kekesalan pada siapa. Hal ini disebabkan kita baru saja berhadapan dengan kontroversial dua sisi yang saling bertaut. Satu sisi adalah gambaran oknum pejabat/pemimpin yang menodai martabat bangsa dengan pendoliman uang negara secara beramai-ramai. Namun disisi lain rakyat kecil harus membayar harga mahal untuk sebuah energi, bahkan untuk harga gas elpiji ukuran 13 kg-pun dibeberapa daerah mengalami kelangkaan dan kualitis tabung yang tidak memenuhi syarat keselamatan.

Jangan diabaikan pula arah kebijakan lain, yang memiliki rating kompleksitas dan kesulitan yang cukup tinggi, yaitu “merekontruksikan nilai sosial yang tertanam kuat “di masyarakat yang bersemayam di Bumi Pertiwi ini. Karena sebenarnya tindak kekerasan yang sekarang marak terjadi adalah bersumber dari pergeseran nilai sosial ke arah yang dekstruktif, dengan meninggalkan nilai dan norma yang dipanuti leluhur kita.

Nilai sosial menurut David M. Messick dan Charles G. Mc.Clintock dalam "Motivational Bases of Choice in Experimental Games". Journal of Experimental Social Psychology 4: 1–25. adalah asumsi yang dimiliki semua individu guna menetapkan perananya di tengah masyarakat, nilai sosial juga disebut sebagai perangkat untuk membedakan kecenderungan perbedaan individu satu dengan lainnya. Disamping itu juga nilai sosial diartikan sebagai dasar asumsi “hasrat untuk mencapai tujuan” yang dimiliki oleh individu untuk menetapkan keputusan tanpa adanya efek yang timbul.

Nilai sosial yang membentuk psikhologI sosial dapat dikategorikan menjadi lima tipe, yaitu Altruistik: Hasrat untuk mencapai kebahagiaan hidup, Kooperatif: hasrat untuk menggapai tujuan secara berkelompok Individualistik: Hasrat untuk membahagian dirinya sendiri tanpa bantuan lainnya, Kompetitif: Hasrat untuk berkompetisi dengan lainnya dan Agresif: Hasrat untuk memenangkan lainnya.
Kelima kategori nilai sosial tersebut telah dimiliki oleh setiap individu sebagai perangkat lunak, yang secara komprehensif, selektif atau terfragmentasi diterapkan guna mencapai tujuan hidup dari individu tersebut, yang kemudian membangun konstruksi sosial suatu masyarakat. Dengan dasar karakteristik demikian, maka apabila timbul suatu niatan untuk mengkonstruksi kembali nilai sosial masyarakat yang dekstruktif, maka ke lima jenis nilai sosial tersebut menjadi fokus kita yang paling utama.

Sehingga justru masyarakat kecilpun bisa lebih berlapang dada dalam menghadapi keterpurukan ekonomi. Karena keterpurukan ekonomi inilah yang mengakumulasi dan menstranfer dalam perilaku amoralitas masyarakat. Meskipun IMF telah memprediksikan laju 5,5 % lebih baik ketimbang prediksi sebelumnya hanya 4,8 % PDB, seperti yang dituturkan pleh Division Chief IMF untuk Asia Pasifik Thomas R. Rumbaugh, karena adanya pemulihan pertumbuhan kredit, ekspor dan investasi yang ekspektasinya akan lebih baik. namun tetap saja kenaikan tersebut belum menetes hingga grassrote.

Oleh karena aspek altruistik adalah aspek yang menjadi fitroh dalam kehidupan individu, maka aspek ini yang paling mendominasi ketimbang aspek lainya dalam fitur tingkah laku suatu masyarakat yang sedang meregang ini. Sehingga sebaiknya pemerintah jangan menutup mata terhadap kebutuhan “need of achievement “ rakyat kita, misalkan dengan mengedapankan proyek jangka pendek, padat karya namun bernilai strategis dan lain sebagainya. Inilah awal dari sebuah rekonstruksi nilai sosial, yang kemudian dibarengi dengan pencerahan publik lewat multi media, tentang nilai-nilai dasar sebuah “social community”.

Upaya ini memang terkesan tidak menyentuh essensi, tetapi sebaiknya kita bersedia mencermati pergeseran nilai ke arah modernisasi yang keliru yang menghinggapi masyarakat kita.

Sebagai studi banding marilah kita menganalisis pendapat Rubinstein, Kilbride, & Nagy, (1992) yang meniliti nilai dasar masyarakat USA yang disebutnya sebagai ”the individualist tradition”, yaitu tradisi hidup bebas tanpa ikatan, selalu mengambil kesimpulan tanpa bantuan orang lain, mencukupi kebutuhan hanya untuk dirinya sendiri. Selanjutnya cf. Lasch, 1979; Sampson (1988) mengemukakan bahwa sikap mental yang demikian justru sangat membuat peliknya sebuah masyarakat sosial.
Kita sebagai Bangsa Indonesia yang memiliki nilai budaya santun, peduli sesame, senang bergotong royong dan segala sesuatu diselesaikan dengan rembug tentunya sangat bersebrangan dengan itu semua. Oleh karena itu sudah seharusnya pergeseran nilai sosial kita segera direkonstruksi ke arah mainstay semula.

Selasa, 02 November 2010

Makna Berkurban Untuk Kepedulian Sosial

Kita patut bersyukur, bahwa Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi1.9 juta mil persegi. Luas wilayah tersebut menjadikan Indonesia termasuk Negara besar di banding Negara lain. Apalagi luas wilayah tersebut dihuni oleh Penduduk Indonesia yang hingga tahun 2010 ini diperkirakan berjumlah 234.2 juta. Angka ini berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010), yang dicacah untuk penduduk yang bertempat tinggal disekitar 65 juta rumahtangga. Mereka tinggal di sekitar 17.504 pulau (menurut data tahun 2004), sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni tetap, menyebar sekitar katulistiwa, memberikan cuaca tropis. Cuaca tropis ini mampu menstimulir tumbuhnya hutan tropis seluas 162.290.000 hektar (Dinas Kehutanan Indonesia, 1950). Meskipun pada Tahun 2003 berkurang menjadi 110,0 juta Ha dan tahun 2005 tinggal 93,92 juta Ha, atau berkurang seluas 58 % ( World Resourches Institute, 1977).

Sudah barang tentu setiap anak bangsa pemerhati “Negara tercinta ini”, pasti akan kagum dan bangga, namun juga menangis pilu, apabila mereka mencermati realita yang ada. Betapa tidak kekayaan alam Indonesia ternyata tidak mampu menjadi daya dukung pensejahteraan kita sendiri. Hal ini bukan suatu isapan jempol belaka bila kita mencermati data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan bahwa jumlah penduduk miskin telah mencapai 31 juta penduduk atau 13, 3 persen pada bulan maret 2010. Penentuan kategori keluarga miskin oleh BPS tersebut berdasarkan asumsi penghasilan Rp 7.050 per hari untuk setiap jiwa yang sudah termasuk untuk makanan. Angka tersebut mampu berkembang lagi, apabila tolak ukur angka kemiskinan berdasarkan standar PBB sebesar dua dolar rupiah per hari maka jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat menjadi 34.03 persen atau 78.2 juta orang.

Lepas dari tolak ukur yang mana, realitas ini adalah menjadi milik kita bersama dan telah menjadi tugas kita bersma guna mencari peluang untuk pengentasan kemiskinan ini. Peluang yang mampu “membumi hanguskan” sikap pesimis tersebut muncul pada tahun 2010 ini berdasarkan analisa Ekonom Senior Bank Dunia untuk Indonesia Enrique Blanco Armas, yang menyatakan secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat telah memberi sumbangan atas pengentasan kemiskinan, dengan tingkat kemiskinan menurun menjadi 13,3 persen pada Maret 2010 dibandingkan 14,2 persen tahun lalu.

Sudah barang tentu, meskipun Negara telah menganggarkan alokasi anggaran pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan sosial 2010 sebesar Rp 70 triliun Namun anggaran tersebut terasa tidak berdaya lagi, lantaran beberapa tipe kemiskinan meghinggapi masyarakat kita, akibat tindakan sewenang-wenang penyelenggara Negara jaman orde baru, yang dengan life style bernegara yang tidak terkontrol sama sekali. Akibat pengebirian demokrasi, pembatasan pers dan parpol, tidak terjaminya kebebasan berpendapat dan pembagian kekayaan Negara hanya kepada beberapa komunitas yang memusari Soeharto. Sehingga terciptalah tipe-tipe kemiskinan yang mendarah daging, yang pertama adalah Kemiskinan Struktural. Kemiskinan ini disebabkan oleh kondisi struktur perekonomian yang timpang dalam masyarakat, baik karena kebijakan ekonomi pemerintah, penguasaan faktor-faktor produksi oleh segelintir orang, monopoli, kolusi antara pengusaha dan pejabat dan lain-lainnya. Intinya kemiskinan struktural ini terjadi karena faktor-faktor buatan manusia. Fenomena seperti ini telah menjadi cirri khas dari orde baru. Adapun kemiskinan kultural muncul karena faktor budaya atau mental masyarakat yang mendorong orang hidup miskin, seperti perilaku malas bekerja, rendahnya kreativitas dan tidak ada keinginan hidup lebih maju. Sedangkan kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi secara alami, antara lain yang disebabkan oleh faktor rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.

Namun waktu terus bergulir sebagai sinyalemen bahwa tidak ada keputusasaan pada diri kita dalam me-manage masyarakat sosial kita sebagai pilar utama penyokong eksistensi Negara ini. Penyebab utama timbulnya ke tiga gaya kemiskinan tersebut, sudah barang tentu akan tertepiskan dengan adanya era refofmasi, yang dewasa ini bisa kita cermati adanya berbagai kebebasan dalam bernegara. Faktor ini pula yang mampu menjadi stimulus perkembangan komunikasi sosial dengan instrumrn instrumenya, yang bisa memberi pembelajara kepada rakyat tentang nilai dasar multidimensi sosial. Sekaligus mampu memberi pembelajaran tentang motivasi pengentasan kemiskinan.

Apabila kita memang serius untuk menegakan era reformasi dengan cara supremasi hukum yang kokoh, maka tindakan korupsi, KKN, pungli dan eksploitasi sumber daya alam yang masih di tangani individu, birokrasi yang mempersulit rakyat bisa mencapai taraf minimalis. Maka akan terbuka lebarlah peluang bagi si kecil untuk mampu mengembangkan potensinya. Hal ini akan bertambah afdhol lagi, bila kesadaran tentang kepedulian sesama menjadi kokoh, sebagaimana agama apapun mengajarkan berkorban apa saja untuk kemaslahatan sesama.

Wujud kepedulian sosial sebagai “makna essensi dari ajaran berkurban”, adalah faktor utama yang perlu dikedepankan. Bukan berarti kepedulian ini hanya serta merta membagi bingkisan kepada kaum miskin atau pembagian BLT. Namun sebuah sikap sosial yang kokoh di masyarakat akan kepedulian terhadap nasib sebangsa dan setanah air, inilah yang paling penting. Sehingga pemerintah perlu mengkonsep secara sosiologis, tentang interaksi antar individu, kelompok masyarakat, antar institusi di berbagai bidang. Khusus mengenai kepedulian ini Prof Muladi, bahkan mengimbau (20 / 4 /20`0), agar penanganan masalah ini tidak hanya ditangani pemerintah sendiri. Melainkan sektor swasta dan stakeholder lainnya perlu dilibatkan. Kalau penyadaran akan kepedulian sosial atau aksi kepedulian sosial ditangani pemerintah, beban APBN akan berat sekali.

Minggu, 26 September 2010

Mengedepankan Keprihatinan Sosial Demi MASA DEPAN

Sejenak mari kita merenung kembali, bahwa dengan dalih apapun kita adalah tetap bagian masyarakat timur yang kental dengan budaya ketimuran yang konservatif. Budaya tersebut mengemasi sikap mental santun, malu, kaya akan nilai kesusilaan dan nilai serta norma lainnya yang melekat kuat pada sistim sosial Masyarakat Indonesia. Eksistensi karakteristik sosial ini telah kokoh dan tak tergoyakan hingga berabad- abad lamanya. Namun selaras dengan dinamika globalisasi, dimana jarak suatu tempat dan benteng moralitas masyarakat tidak menjadikan faktor pembatas berbagai interaksi yang menggelinding begitu saja. Maka moralitas masyarakat khususnya masyarakat Indonesia telah mengalami berbagai dinamika yang cukup signifikan.

Tentu saja wacana di atas lebih tepat bila kita memandangnya dari aspek moralitas masyarakat Indonesia. Moralitas, berasal dari bahasa Latin : moralities, yang berarti perilaku, karakter atau sikap yang benar . Dalam pembahasan ini, moralitas digambarkan sebagai suatu nilai yang tertanam kuat dalam individu, yang mampu membedakan tentang “benar dan salah” dalam kehidupan bermasyarakat, Meskipun dalam ruang lingkup ini kita tidak menuntut sesuatu menurut benar dan salah secara obyektif. Namun kami hanya sekedar mengetengahkan pertimbangan rasional yang dapat membimbing ke arah sesuatu yang benar atau salah, lepas dari sangsi norma bagi yang melanggar suatu moralitas tersebut.

Betapa tidak memprihatinkan, bahwa belakangan ini moralitas masyarakat kita dalam beberapa aspek telah terbukti mengalami pergeseran dan bahkan cenderung bersikap “non kompromis” (menepis) terhadap nilai yang telah ada. Kasus perseteruan antar/inter agama, tewasnya berpuluh puluh remaja kita yang menenggak miras oplosan yang tiada henti, yang justru menjadi ajang gagah-gagahan yang tak perlu, lahirnya gaya hidup generasi “menguras uang negara” demi kebutuhan prestisius dan pembiasaan membahanakan anarkis di jalan untuk hal-hal yang sebenarnya bisa dirundingkan di belakang meja serta tindakan representasi imarolitas lainnya.

Oleh karena itu sebuah harapan baru perlu disodorkan ke tengah Masyarakat Indonesia, untuk tidak melepas sematan bangsa yang menjunjung tinggi “budaya malu” (shame culture), yang pada gilirannya akan tetap melanggengkan “jati diri bangsa” yang sekarang sedang bercucuran air mata keprihatinan.

Dengan budaya malu inilah, sebuah masyarakat sosial akan terhindar dari rasa saling “melukai satu sama lainnya”, apabila moralitas benar benar diemban secara kokoh oleh masyarakat (Standford, 2010). Bahkan menurut Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, Bangsa Jepang bisa meraih prestasi yang baik , setelah terpuruk pada PD II, akibat “perasaan malu” yang tertanam pada masing-masing rakyatnya sejak dini. Demikian pernyataan mantan perdana mentri tersebut saat memberi orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancaila di Jakarta, Sabtu 10 Mei 2008 silam.

Budaya malu apabila tetap dikokohkan dalam sanubari kita, akan terbesitlah kepekaan sosial, sehingga merefleksasikan setiap anak bangsa untuk sadar hukum dan bagi penguasa enggan untuk menyelewengkan kekuasaan. Namun yang terjadi sebenarnya, adalah jauh panggang dari api. Hancurnya moralitas yang berujud lenyapnya budaya malu, menjadi sarapan kedua bagi setiap anak bangsa ini. Bagi anak bangsa yang masih memiliki moralitas dan “nasionalisme yang tak tergoyahkan”, yang sekarang jarang kita dapatkan, tentunya merasa geram bila menyaksikan para oknum petinggi yang melakukan pendoliman uang Negara, namun mereka tetap saja tidak memiliki “perasaan bersalah” (guilt culture).

Sebuah keprihatinan bersama adalah suatu sikap nasional yang membentuk social character yang minimal bisa kita jadikan acuan yang kokoh dan mampu menopang bangunan social masyarakat “madani di era modern”, yang di masa depan harus kita raih. Terutama keprihatinan dalam aksen pembentukan masyarakat madani Indonesia (Indonesia social society). Sebagai bangsa yang sejak dari awal terbentuknya hingga perkembanganya selalu berlandaskan pada konseptual berbagai aspek, tentunya harus memiliki pandangan ke depan yang ditekadi untuk segera terwujud, yaitu masyarakat madani dengan dasar dan ideologi yang telah kita sepakati bersama.

Berkaitan dengan wacana tersebut diatas. Dr. Nurcholis Madjid dalam Menuju Masyarakat Madani menyatakan, bahwa sudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama untuk mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, dinegara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lebih lanjut Nurcholis Madjid dalam menyodorkan teorinya mengenai masyarakat madani mengemukakan bahwa yang disebut masyarakat madani, adalah masyarakat yang berbudi luhur atau berakhlak mulia atau masyarakat berperadaban atau "civil society". Masyarakat Madani dapat kita contohkan adalah masyarakat yang dibangun Nabi Muhammad 14 abad yang lalu.

Oleh karena itu sebuah tekad bersamapun harus diikrarkan, yang didahului dengan pencerahan bangsa dalam wujud keprihatinan bersama untuk menginternalkan moralitas yang mapan sedini mungkin demi kehidupan Bangsa Indonesia di masa mendatang. Memang suatu perjuangan panjang untuk membentuk sebuah masyarakat madani di bumi nusantara ini, lantaran terlalu banyak keterpurukan yang harus dientaskan dari keranjang sampah yang saling bertumpuk dan terkait satu sama lain.

Namun dengan fitur masyarakat majemuk yang cukup luas variasinya dan berperan sebagai penyangga eksistensi bangsa di masa depan. Maka raihan prestasi menuju masyarakat idaman tersebut adalah suatu hal yang tidak dapat ditunda lagi. Hal ini telah seperti diakui oleh rohaniawan Nasrani Paul F. Knitter, yang menggambarkan perspektif masyarakat pascamodern justru terletak pada dominasi kemajemukan.

Mewujudkan keprihatinan bersama selayaknya dimulai dari hal yang paling essensi. Erich Fromm (Social and Character Changes, 1942) menjelaskan bahwa sebuah karakter individu banyak ditampilkan dari struktur karakternya sendiri, tetapi sebuah struktur sosial ditampilkan dengan perilaku emosional yang umum di dapatkan pada masyarakat sosial. Karakter sosial secara substansial dimulai dari karakter tiap keluarga yang menyusunnya dan peran keluarga ini sebagai agen perubahan sosial, disamping sekolahan dan lingkungan kerja.

Dengan rumusan tersebut di atas kenapa kita tidak segera berbenah diri dengan mengawali terwujudnya keprihatinan bersama untuk menyandang sebuah keadilan, kemakmuran dan kemerdekaan dari berbagai aspek untuk Masyarakat Indonesia.