Sabtu, 26 Mei 2012

Korupsi


Kita tidak mampu membayangkan lagi berapa korban jiwa, harta dan air mata guna eksistensi Merah Putih di Bumi Pertiwi ini, sejak merah putih menjadi salah satu simbol kenegaraan kita. Kegagahannya hingga kini masih tertoreh di sejarah berlangsungnya kehidupan bangsa ini. Namun kejernihan warna merah dan putihnya telah dilusuhi segenap anak bangsa yang telah kehilangan moralitasnya.
           
Yang lebih memprihatinkan tentang realitas di atas, adalah hilangnya moralitas pada oknum pejabat/ pemimpin/tokoh  nasional yang telah membumikan budaya malu  yang seharusnya justru dikedepankan. Padahal modal moralitas malu tersebut, sebenarnya suatu instrument yang mampu dijadikan senjata tajam demi membela nasib si kecil yang sedang terhimpit hidupnya. Padahal  performan moralitas ini telah berlangsung hampir setengah abad. Salah satu indikator sosial yang mampu dijadikan potret sosial terhadap distorsi nilai luhur bangsa kita seperti di atas, adalah realitas tendensius adanya perilaku anarkis dari masyarakat, bila mereka harus membela kebutuhan hak hajat hidup mereka yang dilakukan dengan cara anarkis, entah itu upaya penuntutan hak mereka yang telah diambil paksaoleh pihak tertentu atau bila mereka merasa terbebani dengan adanya kebijakan pemerintah yang kontroversi, misalnya kenaikan BBM pada beberapa bulan silam.

  • Korupsi

Hampir di setiap lini kehidupan anak bangsa ini selalu direbaki korupsi,  yang terbentang dari orde ke orde, rezim ke rezim pemerintahan. Hingga dari mulai Gayus hingga Angelina Sondakh dan oknum petinggi Partai Demokrat lainnya. Nampaknya korupsi adalah way of life anak bangsa, yang justru bermentalitas mengedepankan kekayaan pribadinya ketimbang mewujudkan amanha rakyat kecil yang berada di pundaknya. Ataukah amanah ini telah tidak lagi menjadi tugas utama seorang petinggi yang dipilih rakyat, yang hanya dijadikan sebuah “lagu kuno” yang tidak up to date lagi. Tebukti selama ini perilaku korupsi menjadi perilaku yang menjadi trade mark para oknum petinggi.

Wacana demi wacana mampu  kita peroleh dari multi media tentang korupsi hampir tiap hari, rating berta inipun telah menurun dibandingkan dengan laporan telisik kehidupan selebritis. Hal ini dikarenakan kita sudah bosan mendengar tentang tindakan korupsi ini. Namun hingga kini suatu langkah yang stategis dan ambisius untuk menepisnya tidak tampak sama sekali. Karena memberangus suatu distorsi nilai luhur yang sudah membudaya, tidak cukup hanya dari aspek yuridis saja. Tetap harus mengikis benih korupsi yang telah bergayut di akar hidup secara kokoh, sehingga penanganan korupsi inipun harus mampu memberlangsungkan tindakan dari upaya penjernihan akar  akar hidup bangsa kita, dengan merekonstruksikan nial nilai luhur yang telah terkubur jauh di dalam bumi kita.

Bukan hanya diera reformasi sekarang saja pendoliman uang negara semacam ini berlangsung, Tetapi sudah sejak jaman Orde Lama Tahun  1951 – 1956, wartawan  Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. mengendus sebuah tindak korupsi yang dilakukan Ruslan Abdulgani (Menteri Luar Negeri era PM Ali Sastroamidjojo). Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan sebuah koran yang mengeksposenya  kemudian di bredel. Pendoliman yang dilakukan sang menlu itu, adalah berdasarkan pengakuan Lie Hok Thay yang memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, untuk mendapatkan tender  ongkos cetak kartu suara pemilu. Kasus tersebut disemat sebagai Kasus14 Agustus 1956.
           
Tindak pidana korupsipun tak luput dilakukan oleh negarawan besar  pendiri Orde Baru. Kita akui bersama bahwa kala itu Soeharto berhasil  melakukan perubahan besar pada beberapa sektor, seperti  pendidikan, keluarga berencana, kesehatan , keamanan dan stabilitas politik,  keutuhan wilayah Indonesia.

Selama negarawan yang piawai ini menanamkan rezimnya terdapatnya kebocoran anggaran negara sebesar 30 % , sebagai akibat budaya korupsi yang  diidap  oknum mpejabat negara dari bawah hingga pusat, menyebabkan kian terperosoknya  Indonesia  dalam badai krisis dan Soehartolah yang  pertama kali dituding sebagai penyebab kehancuran ekonomi Indonesia.. Sehingga  pada Tahun 1977  terjadilah gelombang demo besar – besaran yang menuntut pengunduran diri Soeharto.  Termasuk tuntutat Soeharto atas tuduhan korupsi selama 30 tahun, melalui yayasan – yayasan yang didirikan keluarga Soeharto.

Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999. Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.

  • Jangan Menengok ke Belakang

Demikian mudah dan enjoynya para koruptor di negeri ini terus saja membahana di persada ini. Mereka sama sekal tidak terbebani dengan berbagai dimensi nilai norma.  Hal ini diharapkan mampu menyadarkan kita bersama bahwa internalisasi sikap anti korupsi atau menganggap korupsi adalah perilaku berdosa kepada Tuhan yang Maha Kuasa atau dosa terhadap nilai luhur telah gagal. Karena secara dini kita telah gagal melengkapkan pada hati nurani mereka.
Sudah sepantasnya dan seharusnya kita bersama mengambil langkah sigap, taktis, transparans dan penuh dengan supremasi hukum untuk memberangus korupsi, bukan dengan meratifikasi regulasi yang baru tentang anti korupsi. Tetapi kita perlu menstimultankan pembentukan karakter anti korupsi sejak dini, dengan mengoptimalkan fungsi edukasi yang mampu berakibat timbulnya perasaana anti korupsi sejak anak anak kita duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atau hingga perguruan tinggi ***