Rabu, 29 Februari 2012

Yang Muda Yang Miskin Kepedulian


Bagi Generasi ‘The Founding Father” bangsa dan negara ini, tentunya tidak mengenal Miranda Goeltom, Angelina Sondak, Gayus Tambunan dan Dhana Widiatmaka. Sebab beberapa nama tersebut di atas dalam blantika kehidupan bangsa dan negara ini, adalah termasuk generasi ‘The New Comer”. Beruntung sebagian besar Generasi The Founding Father tesebut tidak mengenyam pola kehidupan The New Comer tersebut di atas sebagai generasi penerus  yang eksis di era sekarang. Lantaran bila mereka menyaksikan sepak terjang perilaku mereka yang terdiferensiasi, tentunya mereka terus akan menyeka air mata. Karena sebuah keprihatin yang mendalam terus terselip di sanubari mereka.

Betapa tidak, untuk mengusung eksistensi Bangsa dan Negara Indonesia lengkap dengan kedaulatanya, tentunya memakan korban harta , air-mata atau nyawa mereka. Demi sebuah kehidupan anak cucu mereka yang merdeka dan bahagia. Telah lengkap sudah catatan sejarah tentang keberanian mereka dalam melawan setiap anasir yang berniat meluruhkan tekad berkehidupan sebagai Bangsa Indonesia.

Ataukah memang sudah menjadi kodrat sejarah, bahwa setiap kurun waktu akan lahir sebuah generasi yang bercirikan sesuai dengan jamanya masing-masing. Sebagai contoh, generasi Bangsa Indonesia yang hanya mengenal semangat nasionalisme lahir pada periode pertengah abad ke 20. Karena memang pada decade tersebut, terutama bangsa-bangsa di Asia Afrika mendapat pencerahan penuh tentang nasionalisme dari jamanya, yang distimulir perjuangan untuk merdeka melawan penjajah.

·         Era Berakhirnya PD II

Beberapa kurun waktu sesudahnya, bergeloralah jaman ekspansi ekonomi dari AS yang menapaki pertumbuhan ekonomi yang fantastis dengan capaian keunggulan iptek yang dipasarkan ke dunia timur. Demikian pula Jepang yang
bangkit setelah kekalahan mereka di PD II serta  Jerman yang bernasib sama dengan Jepang dan lain sebagainya. Saat itu mulailah lahir generasi yang berlomba mengusung iptek demi kenyamanan hidup manusia. Meskipun sebagian genarasi tersebut hidup di banyak negara tiran, yang belum mengenal demokrasi, transparansi dan supremasi hukum.

Dalam dinamika kehidupan di sebagian negara  di muka bumi ini, ekspansi dan kemajuan iptek sebagai kiat untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia, mampu selaras dengan wajah baru kehidupan politik  dengan mengedepankan aspek demokrasi dalam sistim politik negara mereka. Semangat nasionalisme dan kepedulian terhadap warga lainya di manifestasikan melalui saluran politik yang berujud partai.

·         Kepedulian yang Tak Mengenal Akhir
Berkat kemajuan iptek yang luar biasa di millennium ke-2 beberapa waktu silam, manusia mampu menghandling sebagian faktor kendala yang merintangi eksistensinya. Sehingga meledaklah pertambahan jumlah penduduk dunia yang tak mampu dihindari, yang ironisnya telah menurunkan daya dukung sumber daya alami yang semakin terpuruk. Sehigga tetap saja manusia menghadapi masa krisis terutama dalam pemenuhan enerji, kepemilikan lahan, moneter, laju pertumbuhan ekonomi, mahalnya biaya pendidikan dan lain sebagainya

Sebuah kepedulian yang terintegrasi dan totalitas dari kita semuapun tak kalah kualitasnya dibanding dengan berjuang jiwa raga demi merdekanya sebuah bangsa.

Namun apa mau dikata, jika yang terjadi hanyalah generasi “New Comer” di negara kita yang hanya menggeliat demi pemenuhan kebutuhan pribadinya dengan laku curang seperti korupsi dan lain sebagainya. Padahal kompleksitas hidup warga masyarakat negara kita semakin bertambah, yang justru membutuhkan petinggi, tokoh negara, komunitas intelektual yang berintegrasi dengan kompleksitas ini. Bahkan mereka sudah tidak mengenal rasa hormat pada dirinya sendiri, tak
mengenal kepedulian terhadap sesama Masyarakat Indonesia yang terus merosot daya belinya.Kepedulian bagi saudara kita yang menjadi petinggi dan penentu kebijakan serta cermat dalam meng-up load aspirasi masyarakat Indonesia adalah mutlak harus menjadi pilihan utama dalam mendharma baktikan mereka. Bukanya malah memberi pembelajaan sosial  yang tak terpuji.

Namun kitapun tidak terus larut dalam keprihatinan atas derasnya perilaku curang petinggi kita yang tiada henti. Kita masih menantikan adanya tindakan hukum yang tegas, adil dan transparan, guna merancang bangun optimisme masyarakat kita untuk pembangunan berkesinambungan di masa mendatang.

Minggu, 19 Februari 2012

Premanisme



Sebuah konflik sosial yang merupakan ciri khas dari  negara-negara berkembang yang padat penduduknya, kembali menguat belakangan ini, yaitu menggilanyanya praktek premanisme di Jakarta yang telah begitu meresahkan  masyarakat yang sedang menggeliat berjuang melawan daya beli yang terus merosot. Mereka “yang sebenarnya dari usia dini telah mendapatkan pembelajaran budi pekerti yang baik di sekolah dan lingkungan sosial” sebenarnya  adalah anggota masyarakat yang  memaksakan nyalinya sendiri, dan menjual hidupnya demi upah yang tidak seberapa harganya dibanding dengan “moralitas sebagai manusia Indonesia yang Berbudi Luhur”, yang sebenarnya bisa mereka jadikan aset sosial untuk menjual jasa mereka dengan baik, santun dan terpuji.

Mereka sudah tidak lagi remaja yang penuh symbol kegagahan dan memaksakan diri untuk menjual dirinya sendiri demi pengakuan komunitasnya yang konyol. Namun apa sebabnya mereka menjadi sebagian kecil masyarakat yang nanar dan meradangkan amarah demi profesi mereka yang kerap melanggar hukum. Mereka identik dengan pelaku kekerasan dan  bila mungkin tak segan untuk menghilangkan nyawa sasaran yang dituju. Sehingga jadilah negara kita seakan akan tidak memiliki paying hukum lagi. Aksi mereka mirip dengan gangster di abad cowboy yang pernah terjadi di negara Amerika beberapa abad silam.

Dalam tayangan media elektronik, kita saksikan sendiri bahwa mereka dengan leluasa menguasai jalan-jalan di ibukota dengan mengacung-acungkan parang dan senjata api rakitan. Apakah mereka tidak sadar bahwa aksi mereka sebanarnya hanya “sebutir pasir di tengah padang pasir” bila dibanding dengan kekuatan personil apart kekuatan yang kita miliki, pabila memang institusi lembaga berwajib elah sigap, siap dan professional dalam menindak tegas mereka. Kekuatan merekapun akan tidak berarti apa-apa apabila nurani seluruh Rakyat Indonesia “sebagai power people” berniat untuk melindas mereka. Meski premanisme kini telah bermetamorfosis menjadi bentuk baru, yaitu merebaknya organisasi kemasyarakatan yang resmi.

·         Pendekatan Komprehensif

Setiap anggota masyarakatpun telah tahu, bahwa untuk mengatasi premanisme yang membenalu di sekujur tubuh bangsa ini, adalah dengan pendekatan sosial yang komprehensif. Hal ini berarti bahwa apa, siapa dan bagaimanapun anggota masyarakat di sekitar kita wajib kita pandang dari aspek yang menyeluruh dan bukan hanya terhadap preman yang mengumbar bafsu amarah di jalan jalan saja.

2
Namun dengan menyunting pendapat Dr Sodharto MA, tokoh masyarakat Jawa Tengah yang menyiratkan  bahwa masyarakat kita dewasa ini telah mengalami perubahan sikap hidup dan budi pekerti. Dengan distorsi sosial yang terjadi seperti sekarang ini, bagaimana kita mampu mencanagkan program pembangunan Masyarakat Indonesia seutuhnya yang telah dipoles dengan pembelajaran di sekolah dan lingkungan sosialnya. Bila telah terbukti secara hukum, banyak oknum petinggi kita yang telah massuk penjara akibat laku tidak terpuji berupa korupsi.

Padahal dewasa ini masyarakat Indonesia telah menempati strata diversifikasi sosial yang beragam, yaitu sebagian masyarakat kita yang telah  mengenyam pendidikan tinggi dan berprofesi formal. Sehingga mampu menempatkan diri dan memiliki pengakuan sosial di tengah masyarakat. Sedangkan sebagian lainya menempati strata buruh, yang berpendidikan formal layak serta memiliki profesionalisasi di bidang yang ditekuni, baik berkecimpung di sector formal maupun nonformal. Sedangkan sebagian besar lainya memiliki pendidikan yang belum memadai dan berkecimpung di dalam sector non formal.

Meskipun diversifikasi tersebut digambarkan dengan asumsi yang kasar, namun tetap saja bahwa untuk strata yang terakhir di atas masih menempati proporsi yang tinggi , maka wajar saja pada strata ini terjadilah potensi laten yang mampu berdinamika seperti bola liar yang dapat bergejolak sesuai dengan kondisi masyarakat. Apabila mentalitas dari kita yang tidak mampu member keteladanan pada mereka semua, maka mencuatlah potensi laten ke permukaan dalam bentuk premanisme, demo anarkis, kerusuhan dan tindakan masyarakat kita lainnya yang muncul di hampir dua dasa warsa ini.

Sebuah konsep sosial yang cemerlang, handal dan real butuh segera diusung demi menepis arogansi premanisme yang seenaknya seperti di abad “The Wild Wild West”.Minimal dimualai denga memutuskan link antara organisasi preman, pengusaha dan oknum pejabat yang membentengi organisasi preman tersebut. Dan yang lebih penting lagi, adalah supremasi hukum untuk mereka yang tidak hanya “anget tahi ayam”. Hal ini pelu dikedepankan sebelum munculnya gejolak sosial yang lebih rumit lagi, yaitu tindakan brutal masyarakat luas terhadap mereka, ataupun pertikaian berujud sara yang dipicu oleh premanisme.