Sabtu, 19 November 2011

ASEAN dan Perang Dingin Baru


Semangat persaudaraan “Bangsa Serumpun” lahir dari tangan Adam Malik, tepatnya saat dia membidani kelahiran ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967, berkat dedikasi dan kredibilitasnya yang piawai di politik internasional dan diplomasi sebagai Menteri Luar Negeri RI ( Kabinet Ampera II Orba )         dengan dibantu Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN lainnya.

Pada momentum ini sekaligus  Adam Malik berhasil mengendalikan Perdamaian Serumpun Melayu (Indonesia - Malaysia). Persaudaraan tersebut memang secara esensi perlu dicanangkan guna terbentuknya “jembatan emas” yang mampu menepiskan konfrontasi besar-besaran yang pernah mendera dua bangsa serumpun, yang disimbolkan dengan “Slogan Dwikora” ( Dwi Komando Rakyat) yang dicetuskan Presiden Soekarno  tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta).
Sejak dari awal berdirinya,  hubungan multilateral  antara  Negara Negara Asean berjalan mesra dan mulus hingga saat ini, meski melewati sejarah mencekamnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang terus memusarinya.  Sikap Negara Negara Asean saat itu lebih memfoluskan pada pembangunan ekonomi  ketimbang pembangunan militernya. Sikap ini telah jelas dimotori oleh Soeharto  yang dengan galaknya mencanangkan program pembangunan  jangka panjang berjenjang (Repelita) selama 32 tahun. Dalam hal ini Mantan Perdana Menteri Lee Kwan Yew menyatakan bahwa warisan yang berarti untuk Soeharto adalah “Asean yang konstruktif”.
Kesungguhan Soeharto semakin jelas dalam membawa ASEAN untuk memfokuskan  pembangunan ekonomi, perdamaian dan aspek lainnya, saat Indonesia memimpin GNB periode 1992 – 1995, meskipun pertentangan antara Blok Barat dan Timur, dekolonisasi telah lenyap. Salah satu contoh kiprah Ketua GNB tersebut  adalah manuver Soeharto yang secara khusus mengundang Brunei untuk turut serta dalam kerjasama selatan-selatan (Ningrum Natasya, Gerakan Non Blok dalam Masa Kepemimpinan Indonesia 1992 – 1995. Universitas Sumatra Utara, 2003).
***
Semangat ASEAN untuk mempererat kerjasama multilateral sama sekali tidak terpengaruhi sejak runtuhnya Uni Sovyet yang mulai menggejala sejak  Januari 1987, sejak Gorbachev menyerukan diadakannya demokratisasi: memperkenalkan unsur-unsur demokratis seperti misalnya pemilu dengan banyak kandidat di dalam proses politik Soviet. Pada Juni 1988, dalam Konferensi Partai ke-19 dari PKUS, Gorbachev meluncurkan pembaruan-pembaruan radikal yang dimaksudkan untuk mengurangi kontrol partai terhadap aparat-aparat pemerintahan (Wikipedia, 2011).
Uni Sovyet benar benar runtuh ketika Komite Sentral Partai Komunis US melepas Negara Negara yang dahulu di bawah kendalinya  pada 7 Pebruari 1990. Sehingga “domino principle” ambisi hegemoni komunis ke Negara Negara yang terpuruk ekonominya menjadi sirna,. Apalagi dengan berlangsungnya perubahan politik Negara Negara satelit Uni Sovyet di Eropa Timur. Namun demikian sikap Negara ASEAN yang akomodatif tidaklah semudah begitu saja untuk mampu menciptakan kawasan Asia Tenggara menjadi kawasan yang sejuk dan damai.
Ancaman baru telah berada di depan Negara Negara Asean karena adanya realisasi pembangunan militer China besar-besaran untuk mewujudkan “Negara Militer Modern” pada tahun 2020, dengan meningkatkan anggaran militer sebesar 300 %. Pada decade tersebut jadilah China sebagai Negara super power baru yang mampu mengungguli kecanggihan militer AS.
Dalam sejarah berlangsungnya KTT Asean,  baru  kali ini KTT Asian, yang digelar di Nus Dua Bali dihadiri Presiden AS Obama, setelah presiden -presiden AS sebelumnya memandang perhelatan fenomenal ini dengan sebelah mata. Namun ekspatasi luas di publikpun bergaung sehubungan kedatangan Obama tersebut. Apakah Obama berambisi mencari dukungan politik, fasilitas ataupun militer guna menghadapi militer China. Apakah juga Obama berambisi menciptakan Perang Dingin Baru di Laut China Selatan dengan menyeret Negara Negara Asean.
Perang Dingin baru di Laut China Selatan terindikasi dengan adanya ambisi Gedung Putih untuk menempatkan 2500 pasukan mariner AS di Darwin Australia paling lambat 2014 nanti.
Menanggapi masalah ini Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa menyambutnya dengan sikap diplomasi yang bersahabat. Marty tidak mempermasalahkan pangkalan milter tersebut, karena kekuatan militer AS diharapkan mampu menjadi perimbangan di kawasan Asia Tenggara dan mampu menciptakan iklim ekonomi yang kondusif. Kita mengharapkan bersama agar Indonesia tidak terpancing dengan Perang Dingin Baru di kawasan Laut China Selatan. Karena kita harus menunjukan sikap konsekuen kita dengan “Semangat Non Blok” yang pernah dinyatakan mantan Sekjen PBB Bouthros Ghali bahwa  Non Blok harus tetap pada 5 prinsip politiknya yaitu: “ Tidak bersekutu dalam konteks konfrontasi timur barat, bersekutu dengan perjuangan anti colonial,  tidak terlibat dengan persekutuan militer multilateral dan tidak terlibat persekutuan militer bilateral dengan suatu negara adidaya dan tidak memberi tempat pada suatu pangkalan militer suatu negara adidaya”

Sabtu, 12 November 2011

Merajut Ulang Benang Sutra Pahlawan

Patriotisme anak bangsa yang pernah di tunjukan pada momentum yang paling heroik, yang terjadi pada 10 November 1945 silam di Surabaya. adalah  “epos kepahlawanan”  yang dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara Bangsa Indonesia, dianggap sebagai momentum yang belum mencapai puncak. Jika kita cermati begitu banyaknya tantangan yang harus dihadapi bangsa ini untuk menggapai masa depan yang cerah. Meski saat itu ribuan Pemuda Surabaya dan sekitarnya berjuang menyabung nyawa melawan  AFNEI yang tergabung dalam  Brigedir 49, Divisi 23 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby. Dengan keberanian yang  mengagumkan, pemuda kita berhasil mempertahankan Kota Surabaya dari sergapan AFNEI selama 1 bulan, jauh dari perkiraan AFNEI yang sesumbar mampu melumatkan Surabaya dalam 3 hari.

Tentunya kita bertanya pada diri kita masing-masing, mengapa epos kepahlawanan yang begitu heroik, dewasa ini hanya menjadi kenangan sejarah untuk generasi sekarang. Jangankan untuk mengorbankan  segalanya, untuk berpartisipasi pada upacara hari hari besar nasioanal secara khidmatpun, terkadang kita tidak mampu.  

Padahal dalam perjalanan hidup Bangsa Indonsia dari perguliran waktu demi waktu,  terdapat benang benang sutra kisah kepahlawanan. Dari koridor waktu perjuangan fisik (masa revolusi) hingga “pensejajaran” capaian jati diri dengan bangsa lain, penguasaan iptek, pengentasan kemiskinan dan pekerjaan rumah kita yang paling berat dewasa ini, yaitu merekontruksikan  nilai nilai luhur nenek moyang kita yang terhempas akibat merosotnya nilai nasionalisme. Tantangan seperti inilah yang menjadi alasan kita, mengapa “darah dan keringat” pahlawan kita tempo dulu belum mencapai puncak.

Rajutan benang sutra kepahlawanan dewasa ini memang sudah jauh berbeda ketimbang membungkam kanon-kanon AFNEI, atau mengenyahkan anjing anjing NICA dan lain sebagainya. Figure pahlawan yang tampil pada usia 70-an  tahun setelah merdeka, secara “garis besar “ adalah mereka yang mampu menepiskan “kerikil kerikil tajam” pada landas pacu menuju kemajuan  Indonesia segala bidang dan  mereka yang mampu menyingkap faktor penghalang kemajuan bangsa dan lebih jauh lagi memberikan partisipasinya pada laju kereta reformasi, atau mereka yang mampu memecahkan masalah-masalah yang terjadi seperti kemiskinan,  pendidikan, hingga lingkungan.

Sehingga andaikan seorang pengusaha besar telah  berhasil membimbing perusahaan anak asuhnya hingga berhasil, seorang pendidik dengan penuh moralitas dan tanggung jawab membimbing peserta didiknya hingga menjadi pandai atau seorang pemeduli lingkungan yang berhasil memberi manfaat sosial pada masyarakatnya, apalagi seseorang yang berhasil dalam pembelajaran sosial menurut bidang dan kemampuanya adalah  seorang pahlawan.  Bagi figur pahlawan sejati seperti tersebut di atas,  pastilah akan menepis simbol atau emblem kepahlawanan, tak pernah memperdulikan pro- kontra definisi pahlawan dan tak kan pernah mencari tahu tentang distorsi definisi kepahlawanan.

Wacana di atas memang patut kita terima, sebab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa (1988), kata ’’pahlawan’’ berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Jadi ada tiga aspek kepahlawanan, yakni keberanian, pengorbanan, dan pembela kebenaran.  Lantas bagaimana mungkin kita kembali dalam rajutan benang sutra kepahlawanan, apabila sebesar 103,19 trilyun Rupiah  telah masuk ke perut perut oknum petinggi (laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran  sesuai temuan Badan Pemeriksa Keuangan ).  Padahal para koruptor
tersebut yang nota bone adalah para petinggi bangsa sangat diharapkan suri tauladanya dalam keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.

Kita mengharap dengan sungguh sungguh adanya rekonstruksi epos kepahlawanan yang hadir dalam sanubari setiap masyarakat Indonesia, yang berada dalam masa masa kritis dalam bidang integrasi (menghangatnya kembali tuntutan masyarakat papua untuk memisahkan diri), sikap skeptis dan anarkis rakyat dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan ajakan SBY  dalam sambutanya pada HUT Golkar yang ke- 47 di Gelora Bung Karno, Sabtu 29 Oktober 2011, yang menyatakan bahwa dewasa ini Indonesia telah memasuki “masa transformasi”, yang dicirikan dengan reformasi dan demokratisasi.  Untuk mewujudkan hal tersebutnya SBY mengajak  kita untuk meneruskan program pengentasan kemiskinan,  pembangunan daerah,  pembrantasan korupsi dan lain sebagainya.

Capaian keberhasilan kita di atas tentunya membutuhkan penyadaran bersama dan pembelajaran sosial untuk menyelipkan daya juang sama seperti daya juang pahlawan kita, yang berhasil dengan gemilang melawan tentara inggris di Surabaya 66 tahun silam. Kita perlu merajut kembali benang sutra kepahlawanan , sehingga Rakyat Indonesia mampu kembali mengusung keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.

Sabtu, 05 November 2011

Bunga Bunga Indonesiaku

sesar romadani aji
Sebuah Kisah tentang Negeri Bunga
Kala sang dewa membasuh wajahnya dari air  sejuk pancuran  sorga,
mengalirlah air kehidupan ,  sebening embun 
yang menepikan birama tanah  retak,
dari cengkeraman kemarau panjang.
Wajah sang dewapun kini menjadi cermin dari sekumpulan,
bunga bunga yang memegari halaman rumah ...
yang berjejer dari Andalas, Borneo hinggga Tanah Papua.

Saat itu teduh telah memenuhi langit biru,
meski “iri dan dengki”  dari Negeri Sinderella lama mengintip
dan mengokohkan jerat di Samudra Hindia, agar karang- karang kokoh
menjadi rapuh, serapuh kedurjanaan mereka.
Kawanan burung camar menjadi saksi
merapatnya  kapal kapal VOC yang bengis dan serakah,
menebas bunga bunga sorga dan memasangkan pada
sisi lambung kapal kapal mereka yang  pongah
bunga sorgapun terpingit dalam halimun kelam

Lengan lengan rapuh,  tak kuasa menyeka
air mata Ibu Pertiwi dan saat itu bertebaran memenuhi
sawah ladang  yang terinjak sepatu laras tuan tuan tanah,
yang menyeringai dari buritan kapal.
Namun busur waktu telah melontarkan detik demi detik
hingga  lengan lengan itupun perlahan menjadi tangkas
untuk memikul senapan dan menggenggam bara.
Untuk menghardik mereka semua kembali ke Istana Sinderalla.
indah mahanani

Jangan kau remehkan  tumbuhnya bunga,
meski kelopaknya telah kau sayat di Tanah  Digul, Ende dan Bengkulu
meski lengan lengan ini hanya mampu menerkam sebungkus nasi
dan adonan daun pepaya dan ketela. Langitpun menyodorkan catatanya,
telah terbukti lengan lengan itu  mampu menelikung sayap sayap Fighting Cock
dan Mallaby  yang terpincing matanya. Dan kala Palagan Ambarawa serta
Medan Area telah menjadi bukti meradangnya lengan lengan
yang lama terpingit ketidakadilan.




Setiap sari bunga sorga menjadi beterbangan memenuhi
ruang di bawah langit,
kala bunga Sakura dari Timur berhasrat meminang
bunga bunga dalam karangan berduri dan mengiris luka,
bunga bunga sorga yang  lemah  santun menjadi saling pandang
Betapa kekarnya bunga sakura, yang mengusung hasrat  bersemi
dalam pijakan yang dalam, di sawah ladang Asia Pasifik

Perahkah kau dengar cerita dari sekumpulan  awan ?....
yang tergelar karena bunga yang  “murah senyum”
lantas menebas leher “bunga merah”, yang menjinjing
tempayan berisi air mata.
 membuat angin padang tak ramah melaju
menerbangkan debu debu
pada jalan yang panjang dan berkabut

Kita tak mampu lagi menampung air mata
yang tercecer di aspal jalan dan halaman kantor negeri
lantaran bunga bunga itu telah melonggarkan teriakanya
dan menyumbatkan nadi jantungnya, hingga berisi
makian, cercaan ....tak ada lagi beranda hati
yang ditumbuhi ranum mentimun, air mawar, segarnya air Danau Toba
untuk sekedar  mandi anak cucu kita di pancuran sorga.

Bunga bunga kini menghitam putiknya,
Melepuhkan juga kulit kulitnya
lantaran terhempas asap kereta reformasi
yang melaju terbata di rel depan rumah bambu mereka.
Lantas mengapa hanya di halaman  rumah bambu,
yang ditumbuhi bunga bangkai,hingga pelangi menjadi
pudar warnanya.

Kita tak perlu lagi saling beradu sorot mata
bila angin segar dari ketiak langit
masih mampu kita jaring untuk menyemai padi, palawija
dan anak  cucu kita yang bersekolah
di gedungin gedung yang retak dindingnya.



Kita atur langkah kita dan hembuskan nafas yang bersih
Agar bunga bunga sorga masih bisa tumbuh
Memagari punggawa punggawa yang membengkak perutnya
berisi ketamakan dan nafas busuk
meski halaman rumahnya telah terpancang
rimbunya tanda jasa dan kemegahan.  (Semarang, 27 Oktober 2011).

Merajut Pagi di Bumi Nusantara

Benang sutra kini sudah rapuh,
untuk  merenda pagi dalam kanvas
yang berukir mozaik  wajah wajah tunduk,
betapa tingginya bunga ilalang menggapai langit biru
di negeri berpagar kemarau panjang

Telah kering air kali sejuk membius
angin  benuapun lebih memilih melajukan prahara
sementara petinggi negeri
hanya duduk melamun dengan taring menjulur tajam
dan siap merobek wajah pagi yang santun,
sehalus sutra dan sesejuk
buih Danau Toba

Kita telah berada di beranda jaman
yang berisi dunia maya dan “solar flare”
mampukah kita menyobek kelambu dan tabir
yang mengungkungkan kita di kamar ketertinggalan
maka tiada guna lagi tangan menggapai liar
bila rajutan pagi tak membutuhkan lagi  (Semarang, 27 Oktober 2011).

Dalam Doa

Dalam doa kita tak sendiri.....
Sayap sayap malaikat telah merentang
yang berisi gambaran perjalanan panjang
menuju Istana Megah di ufuk timur


Dalam doa, tak  ada saksi lagi
mengeringnya air mata...untuk  membungkam
teriakan panjang di jalan jalan
pertikaian di gedung gedung terpandang
Tuhan, lindungilah negeri seribu bunga ini (Semarang, 27 Oktober 2011).

Indonesia Di Tengah Benang Waktu
Kala pagi halimun masih kentara, menghitami
hamparan sawah ladang, dan menenggelamkan
kuning permadani padi, dan hijau kecoklatan
palawija. Belalang belalang masih meneriaki makian
panjang, di tengah perut  mereka yang meradang
seakan menggenggam hasrat, untuk membelah
dinding perut mereka sendiri.....
di tengah mereka itulah Indonesiaku berdiri kokoh

Telah beberapa lama pagi itu, mereka
yang bertopi “caping” dan bercelana kumal
telah lalai membenahi  pagi, dengan sarapan nasi hangat
dan sajian teh manis.

Namun mereka malah bersikokoh untuk
menghempaskan pagi dan memaksa ilalang lemah
menelan ludah mereka mentah mentah
bukankah gubug bambu, yang berangin sejuk dan nyaman
adalah rumah tempat bersemayam ilalang
yang ada di  Ibu Pertiwi


Mengapa atap rumbai rumah- rumah ilalang sepanjang
“Bukit Barisan” dan “Pegunungan Kidul” yang tersambung dengan
“Waisor” dan “Timika” bersatu dalam seduhan
cincin api....lantas akan kau ubah
menjadi naga-naga bertaring merah, penghisap darah...
di atas “meja korban”  dalam tragedi kemanusian paling
pengap dan mengiris bulu kuduk.....

Saat  relung  waktu masih  melilit perjalanan panjang kita
hingga berada tepat  di depan kaki kita yang melipat,
ilalang itupun masih  menggapai kedua tanganya
lantaran  atmosfer  di atas “Negeri Krakatau”
telah berwajah garang, tanpa berdandan ramah (Semarang, 23 Oktober, 2011).

Meniti Awan- Awan Hitam

Kita rapikan awan- awan dalam rentang perjalanan kita
agar tidak berselingkuh dengan gelap dan hitam
jangan kita pasang gendang telinga
pada lidah lidah kelu,  yang berkerah putih
dan bersepatu “pantofel” dengan senyum “perlente”

Di tengah perhelatan sumbang
dari anak negeri...dengan kepalan tangan mengencang
tapi bersorot mata menghadap rumah berarsitek
negeri impian, mereka sempat bergumam
“biar saja sang abang becak menghangus diterkam
panasnya mentari...biar saja semua si miskin
terjerambab dalam kubangan lumpur menghitam

Kita adalah anak negri, yang bermandi kuning
sinar sang mentari di hulu ”Sungai Kapuas, Mahakam dan Musi”
bertatap pada “Puncak Jaya Wijaya”
namun kita harus  tetap mentautkan benang sutra titian
menuju cakrawala yang ditengahnya berdiri
rumah sederhana namun kokoh
tempat bermain anak anak kita..

Jangan kita  surutkan apa yang kita miliki
hanya karena  awan hitam yang menutup kening kita
serta membuat kita terpagut pada asa yang samar  (Semarang, 23 Oktober, 2011).

Takan Pernah Usai
Bergeraklah dan terus bergerak
daun nyiur di tepi pantai,
agar angin kemarau,
mampu mengipasi bidadari
yang melepas dahaga
di tepi pantai, pada muara sungai sungai
bening beraroma khatulistiwa

Teruslah melejit seperti anak panah
pergantian arah angin muson
karena dari sinilah, kita menjadi “Negri Santun”
yang tak kan pernah mengusung teriakan panjang
yang tak pernah membusung dada kita

kita takan pernah berhenti......
menghembuskan iklim sejuk dan bij-i biji kering
agar bersemi, di sawah ladang,
tanpa prahara dan suara burung sumbang.  (Semarang, 23 Oktober, 2011).

Sebuah Pesan untuk Saudaraku
Sudah berabad lamanya, nenek moyang kita....
mengikat  pagi,siang dan senja hari
dengan  jagung, ketela rambat dan bayam
tak ada duri tajam di sawah ladang mereka....

mereka siram dengan air Anugerah dari
Yang Kuasa.
Tiada gemercik air kali yang membawa aroma
kemunafikan  dan durjana,  sawah merekapun ditanami
“tanaman kebajikan” hingga menumbuhkan semai
kebijakan.
Tiada pernah ada makar, anarkis  dan mesiu


Mari kita menambatkan perahu di  pantai mereka
meski  akan kita temui jalan dari tanah liat yang
licin, lembab namun bertepi wangi bunga
berpagar bambu dengan anyaman yang rapi dan kokoh
dengan “sang  gula kelapa” melekat kuat di pilar
kayu pintu depan rumah gubug mereka.

Kita sapa punggawa, hulubalang serta para menteri
Yang berjejer rapi di cakrawala mereka
Yang berangin sepoi, bukan angin yang berdebu,
yang menderu  memburu, halaman depan gedung loji
beratap kayu cendana dan bertembok tulang belulang
dari belukar ,  yang tumbuh di tengah padang penuh batu
bergerigi.

Kita sisipkan satu halaman buku catatan kita
Agar terbaca bintang, halimun dan tepi langit
Sehingga mereka berhasrat datang ke Bumi Nyiur di Pantai
Dengan mengemudikan angin fajar.

Mari kita benamkan, segala bara, hempasan prahara
Yang datang dari sudut langit, yang kau penuhi dengan
iri  dengki dendam dan hasut
tiadakah pagi, tempat  memainkan buluh kembang tebu
untuk dijadikan seruling.

Atau kita hanya diam....
Sepi.  Semarang, 29 Oktober 2011.


Prosa untuk Negeriku

Bila kita untai sepotong sajak dari guratan alam
yang terhampar  pada kubangan antara dua benua,
melajulah Pinisi, yang membuang sorot mata jauh
ke Selat Malaka,
yang berombak sejuk, penuh  “susul menyusul”
lagu rakyat tentang pantai, lembah  dan gunung.

Meski ‘Wedus Gembel” pernah menyalak keras,
Namun dia tetap mengokohkan
Tebing tebing yang memagari sawah ladang
Agar tetap betumbuh hijauan,  yang tak pernah
melangkah surut ,  meski prosa ini
telah kehilangan birama tentang “untaian kasih”

Dari kumpulan kembang sepatu ,beluntas dan kayu manis
Mereka saling melilitkan akarnya agar kokoh berjejer
sepanjang relung waktu...memenuhi megahnya
hingga pujanggapun tak lagi mampu
menyusun prosa  (Semarang, 29 Oktober 2011)


Aku tak Ingin Pulang

Aku belum mampu meninggalkan jejak kaki
Agar dipunguti anak cucu
Yang memburu belalang liar...
dan tidur di ilalang yang mengering

Baru saja udara yang pengap
Berselingkuh dengan rongga dadaku,
Hingga penat menyelinap seluruh sendiku
Karena aku berusaha ingin tahu, tentang teriakan
panjang para anak bangsa yang menyelipkan
segudang geram,  mampu merobohkan
Anak Krakatau dan Rinjani

Aku tak ingin pulang
Sebelum bunga bunga  kering di tengah jalan
yang ditebar dengan sebelah mata
menjadi bersemi lagi
harum mewangi...menghiasi puncak
Jaya Wijaya.  (Semarang, 29 Oktober 2011)


Dendam Rindu

Kekasih yang menyimpan rindu,
adalah dia yang memegang erat semua
yang singgah di bilik jantung

Sang putri yang menawan, bersenyum ceria yang
disemai “Caldera Gunung Bromo”,
menopangkan hidupnya dengan bergayut
pada sejarah yang ditoreh tinta emas
pejaka yang merindu
yang selalu berikrar menyatukan semua
kaldera,kawah belerang, fumarol dan
hiasan alam
yang bersama dipikaji dengan dendam rindu

Luruhkan dahulu dendam rindu
Agar mengatur nafas
Dan beristirahat di Bumi Nusantara   (Semarang, 29 Oktober 2011)


Pejuang Terakhir
Lelaki  tua itu telah redup sorot matanya,
mengais  angin sejuk,  menyisir  duka
di pinggiran jalan protokol beraspal kepongahan,
di sampinya meluruskan kaki,  berbaju compang camping
milik anak jaman                                 
seorang pengemis muda…
“aku dulu mampu membungkam  howitzer Anjing NICA”
seru laki laki tua itu, seraya menunggu kekaguman
pengemis muda mencibirkan bibir, membeku lidahnya

dengan mendengus nafas
pengemis muda menikamkan sebuah seloroh
“mengapa tak kau kenakan kerah baju jendral”
batu batuk kecil dan dalam menjawabnya
menyelipan kata, “usai sudah yang aku mampu…..
dadaku tak cukup bidang untuk menggayutkan
bintang jasa”

di pinggir jalan berumbai langit biru
adalah milik lelaki tua itu…yang mengungkung hatinya
tidak segentar membungkam “Water Mantel”
di genggaman “Gurkha”  yang perkasa
semakin perlahan dia menyusuri jalan itu
kini sepi, dalam keranda tak berkemas
merah hati namun berkibar di hatinya

dalam keranda dia membawa tanah Sang Ibu Pertiwi
untuk di semai di halaman langit  (Semarang, 3 November 2011).

Sebuah Epos Yang Hilang

Tidakah kau pernah tahu ?
mereka datang dari jauh hanya membawa bara
untuk  menghanguskan setiap lekuk tubuh
Sang Ibu Pertiwi, aku  menggenggam pilu
Aku  mengencangkan urat nadi
tidakah kau tahu  pula,  anak- anaku?
Kita hanya memiliki
rembulan dan matahari yang saling berkejaran
untuk menguningkan padi dan tanaman jagung
agar perut kita tak menghempaskan deru

Namun mengapa mereka
menjaring angin kembara dan mengaitkan
pada sisi “negeri santun berpantai nyiur”
kita tak akan melipatkan lengan
meski kita hanya  bertelanjang dada
namun degup jantung mampu merobohkan tebing
yang mereka kokohkan
sepanjang Bukit Barisan hingga Cendrawasih

Anaku,
bila kokok ayam jantan di tebing ufuk timur
pagi berhias mentari, burung berpantun ria
dengan bulu warna warni
berbicaralah pada hari hari yang membisu
tentang lengan lenganku yang menghilang
kala memburu mentarimu,  agar tetap terjaga  (Semarang, 4  November 2011).


Manifesto Untuk Hantu Berkerah Putih

“Altar  yang kau lebarkan hingga menepi di batas Laut Kidul, gigimu menyeringai, nampaklah tangan kecil menggelepar meradang nyawa namun menepis nafas mereka sendiri. Sekawanan hantu terus saja membaca mantera, dengan jas hitam berkerah putih, hingga Nampak langit berpoles warna kebiruan namun masih berenda awan hitam”  
Pohon perdupun menyimak, meski belukar mencibir, rumput tetap saja mengokohkan sepatu  laras untuk menunjam bumi, bila sang Pemeran Jaman terpelanting dalam jurang,
Namun berjuta raut, mempersembahkan protes terhadap “mantra sang hantu”
Yang hendak mengoyakan langit.

Dan  mengusung awan hitam, bertepi racun, onak bulu bambu.
Untuk mengusir nyamuk nyamuk bertulang iga rapuh di bawah gubug bambu
Jangan kau hadapkan punggungmu, sang hantu !. Bila liuk puting beliung menghimpitmu,
Hingga melemparnu ke Puncak Tanguruhua atau Pinistubo,
Agar kau lebih akrab dengan tabir yang dulu kau pintal setebal belacu,
Kau boleh mengajak semua yang ada di kantong bajumu
Untuk menjadi teman kala kau tersudut di sudut tragedi

Apakah belum pernah kau dengar lagi,
Saat ibu ibu di desa membawa anaknya untuk melihat dunia
Mereka bersekolah di bangunan kardus, bersandar pada
keramahan angin gunung, untuk menyisir daun daun sayur yang tumbuh
Di sepanjang  kebun penuh harap, sedangkan atap sekolah mereka
selalu bergoyang ditiup angin ketidaktahuan

Atau kau lebih memilih
Bernyanyi simphoni riuh rendah yang mampu merobohkan warna pelangi
Kala hitam tidak sepantasnya bertaut dengan jingga,
Atau biar saja “wedus gembel”  menjadi merah membara
Menyodorkan sudut jantung yang berkawan sembilu
Kemudian menusuk tiap yang kita miliki    (Semarang, 4  November 2011).