Rabu, 16 Februari 2011

INDONESIA Dalam Blog

DARI AIR MATA BILQIS HINGGA CENTURY

Air mata hanya dimiliki oleh organisma hidup di dunia yang bernama manusia, yang bisa menetes atau bercucuran kala manusia mengalami emosi psikologis ketika menjumpai hal hal yang di luar kebiasaanya, karena perasaan empati, simpati, kesedihan, kebahagian dan kecintaan pada sesuatu yang mendalam. Namun kita sering melupakan berapa banyak air mata yang telah dicucurkan oleh Rakyat Injdonesia sebagai perwujudan suka atau duka, bahagia atau menahan kepriatinan dari dekade ke dekade selama perjalanan panjang kehidupan bangsa dan negara ini.

Berbahagialah Yani Abdurrahman beserta saudara - saudaranya, yang mampu meneteskan air mata kesedihan., sebagai ungkapan kerinduan yang mendalam kepada ayahanda tercinta, pada acara mengenang kepergian guru bangsa kita tercinta KH Abdurrahmad Wakhid , yang ditayang sebuah stasiun tv swasta,. Untuk menyambut Tahun Baru Imlek 2561, Sabtu 13 Pebruari 2010, pukul 17.00. Alangkah berbahagianya pula, bila saudara saudara kita masih mampu meritikan air mata kesedihan, kepedihan, kekecewaan atau bentuk bahasa hati lainnya, ditengah keterpurukan moralitas bangsa kita.


Semenatara itu nun jauh di seluruh pelosok tanah air kita, masih banyak kita temui Rakyat Indonesia yang sudah tidak mampu lagi menagis,, karena telah kering air matanya , lantaran telah habis tertumpah membasahi pangkuan Ibu Pertiwi . Hal ini disebabkan karena telah begitu lamanya kita mengalami kondisi, yang kita sendiri tidak tahu harus berbuat apa.

Sketsa humainora tersebut adalah sesuatu yang dapat dimaknai juga sebagai pertanda telah lengkapnya sebagian manusia Indonesia pada sense of belonging terhadap Bumi Pertiwi yang kita cintai ini. Maka wajar saja bila air mata kita pernah tertumpah dalam wujud coin untuk Prita, dan sekarang terulang lagi pada penderitaan bocah mungil Bilqis Anindya Passa ( ± 17 bulan ) , penderita atresia bilier yang dirawat di RS Dr Karyadi Semarang. Bocah yang malang ini harus menjalani operasi cangkok hati untuk menerima organ hati ibunya sebagai pendonor .

Bahkan bukan hanya itu saja , tatkala Rakyat Aceh dilanda bencana alam tsunami, yang menewaskan ± 500 ribu warga, dan rusaknya perumahan rakyat, kantor dan lebih mengenaskan lagi tangis warga yang mencari sanak keluarga yang hilang, ditengah-tengah kekurangan pangan, obat serta kebutuhan hidup lainnya. Disusul kemudian gempa bumi di Jogjakarta dan tsunami yang menerjang sudara kita di Jawa Barat. Air mata Indonesiapun tertumpah ruah yang diwujudkan dengan kepedulian yang mendalam dari seluruh Rakyat Indonesia.

Air mata bukanya mutlak milik kaum ibu dan wanita, yang selalu disimbolkan dengan ketidak mampuan dalam menerpa badai dan tantangan hidup atau tidak harus dikotasikan sebagai simbol kecengengan. Namun air mata juga, lebih jauh bisa dimaknai sebagai simbol kepedulian, keprihatinan dan lain sebagainya, yang sebaiknya dimiliki sebuah masyarakat yang didalamnya masih melanggengkan sosialisasi satu dengan lainnya. Bahkan dengan air mata ini pula, bisa saja kita mencoba untuk mengambil suatu hikmah tentang apa

saja yang membiuat kita prihatin dan tentunya air mata sanggup memberi kita kekuatan dan inspirasi untuk menemukan jakan keluar terhadap semua kendala.
Sering kita temui pula tetesan air mata kebahagian dan keterharuan, kala seseorang mendapatkan sesuatu yang telah lama menjadi obsesinya. Kita masih teringat air mata Susi Susanti dan Allan Budikusuma kala mendapatkan medali emas di Olimpiade Los Angeles beberapa masa yang silam. Namun jarang kita temui tetesan air mata sedih atau bahagia pada kejuaraan sepak bola di dalam negeri, seperti kejuaraan liga utama dan lain sebagainya. Karena pada hampir setiap even pertandingan tersebut, terkadang hujan botol, batu atau benda keras lainnya yang menggantikan hujan air mata..


Namun suatu keanehan terjadi tatkala kekisruhan politik telah menerpa bangsa dan negara ini dari tahun ke tahun hingga menapaki awal Tahun 2010 ini . Tiada setetespun air mata anak bangsa yang menetes.. Karena tak ada satupun pereseteruan antar elit politik terbukti demi memperjuangkan kepentingan rakyat kecil. Memang dalam proses pembentukan sistim politik yang mapan, yang akhirnya mengerecut menjadi mekanisme pembentukan demokrasi demi pemuasan semua pihak, tidak lepas dari silang pendapat, debat terbuka, transparansi, pers bebas, supremasi hukum, penegakan HAM dan lain sebagainya yang diwadahi dengan tekad Reformasi Rakyat Indonesia, tentunya akan banyak menimbulkan konflik antar kelompok. Dan lahirlah berbagai stereotype antar kelompok yang saling berseteru ini.

Karena lagi – lagi rakyat disodori dengan skenario penyalahgunaan uang negara yang jumlahnya sangat fantastik sekali, dan sekarang hingga mencapai 6 , 7 trilyun rupiah, yang dicuci lewat Bang Century melalui suatu konspirasi kelembagaan, politik yang sama sekali di luar jangkauan akal rakyat kecil, istilah bailout saja baru kita kenal sekarang ini. Konspirasi tersebut memang sangat mencengangkan kita, karena melibatkan penggede-penggede nasional yang seharusnya menjadi teladan bagi kita semua.

Jangan harap akan ada tetes air mata rakyat kecil yang mengharu-birukan nasib siapa saja yang bakal kena getah atas konspirasi di atas, karena hal ini telah melukai sanubari rakyat kecil hingga jauh ke dalam. Seberkas harapan telah lama menggumpal, agar kasus ini cepat diselesaikan lewat saluran hukum yang sebenarnya, meskipun harus menelibatkan para pemimpin nasional, sebelum nantinya membawa dampak yang lebih dalam lagi. Yang mengkhatirkan kita adalah seharusnya air mata rakyat kecil yang tertumpah ruah karena dalam rasa simpatik terhadap perjuangan para pemimpinya, kini akan menggumpal menjadi people power yang menakutkan.

Bukankah dalam sejarah dinamika politik Indonesia telah membuktikan bahwa poeple power yang tak terbendung sanggup menjatuhkan kebesaran figur seorang pemimpin nasional, seperti Soekarno ( Tahun 1966 ) yang kharismatik dan Soeharto ( 21 Mei 1997 ) dengan hegemoni kekuasaan , yang secara tragis lengser keprabon tanpa setetespun air mata rakyat kecil yang menyertai mereka.

ARTIS DAN POLITISI

Barangkali ini merupakan jalan pintas atau kefrustasian publik di negara kita, dalam meng-up load pemimpin/pejabat suatu daerah. Karena di tengah meradangnya moralitas, yang mencakup pendoliman uang negara, menguatnya tabiat perseteruan antar figur, perzinahan yang merajalela, miras oplosan, pencurangan Unas dan teatrikal tata laku publik. Masyarakat kita sudah tidak konsentrasi lagi dalam menentukan calon pimpinan mereka. Ibaratnya hanya bermodal sebuah popularitas, suatu figur artis telah mendapat dukungan publik yang meyakini kapasitasnya sebagai pemimpin daerah tersebut.

Memang bukan hal yang tabu, apabila seorang artis berkiprah di dunia politik di Indonesia dan membawanya ke kursi pemimpin daerah/nasional. Tentunya apabila mereka mampu memberi kontribusi yang signifikan terhadap pengentasan keterpurukan multidimensional rakyatnya dan yang lebih urgen lagi mendapat dukungan moril dari rakyat yang akan dipimpinnya.

Sejarah telah mencatat bahwa seorang penyanyi panggungpun mampu berhasil menjadi pemimpin dan ibu negara yang dekat dengan rakyatnya.Sebut saja María Eva Duarte de Perón lahir di Los Toldos sebuah desa terpencil di Argentina Tahun 1919. Eva Peron merupakan istri ke dua dari President Argetina Juan Perón (1895–1974). Pada tahun 1934, tepatnya pada usia 15 tahun Eva hijrah ke Buenos Aires da berkarir di panggung hiburan dan menjadi aktris radio dan film. Pada Tanggal 22 Januari 1944 Eva berkenalan dengan Kolonel Juan Peron. Satu tahun kemudian merekapun menikah dan pada Tahun 1946 Juan Peron terpilih sebagai Presiden Argentina.

Selama 6 tahun mendampingi Juan Peron, Eva Peron menjadi ibu negara yang sangat berkuasa. Bahkan telah diberi amanah oleh Rakyat Argentina menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Kesehatan. Oleh karena itu dimanapun dia berada selalu menyerukan isu hak hak buruh.. Selain itu Eva Peronpun mendirikan Yayasan yang bergerak di perlindungan terhadap perempuan. Tak lama kemudian dia mendirikan Partai Perempuan Peron (Female Peronist Party ). Kiprah tersebut membuatnya dia terpilih menjadi wakil presiden Argentina pada Tahun 1951, untuk mendampingi suaminya sebagai Presiden Argentina.

Kemasyhuran Eva Peron rupanya tak berlangsung lama setelah diagnose dokter menemukan sebuah kanker ganas menyerang serviknya. Sehingga pada Tanggal 26 Juli 1952 Eva Peron meninggalkan Rakyat Argentina untuk pulang selama-lamanya. Menyisakan keharuan yang besar sekali bagi rakyatnya karena sentuhan kemanusiaannya yang begitu membekas selama memimpin mereka.

Namun masalahnya akan berbeda dengan Eva Peron, bila seorang artis selama berkarir di dunia hiburan, yang akan di-up load menjadi calon pemimpin, hanyalah seorang artis yang mengoyak moralitas dan banyak mengundang cibiran. Memang benar dalam seni terdapat filosofi mendasar yang terkenal dengan “art is art”, yang tiada lain adalah segala sesuatu hanya dipandang dari unsur estetika. Sehingga bila sebuah lukisan yang sarat nilai seni memampangkan wanita yang bugil, Maka itulah seni yang tidak pernah dicermati faktor edukasi yang terselip yang perlu dijadikan bahan pembelajaran. Sehingga bila putra-putra kita meniru gaya seperti dalam lukisan tersebut, adalah bukan salah siapa-siapa.

Wacana tersebut menggambarkan betapa ketidakmampuan kita dalam memberikan pembelajara kepada putra kita, atau lebih luas lagi kita jangan menampikan pembelajaran publik yang berhubungan dengan pembentukan jati diri bangsa, dalah hubungannya dengan seleksi calon pemimpin kita baik lokal ataupun nasional.
Sebab seorang calon pemimpin dengan kapasitas apapun harus sarat dengan muatan moralitas yang santun, sholeh sekaligus jujur Karakter tersebut mutlak diperlukan dalam hubungannya dengan penanaman sikap rakyatnya, yang harus diberi keteladanan dalam menggalang daya dukung terhadap pembangunan daerahnya. Apabila moralitas rakyat yang dipimpinya telah tenggelam, maka akan terhempaslah semua program pembangunan daerah yang kita impikan.

BANGUNLAH INDONESIA RAKSAKSAKU YANG LUMPUH


Panasnya lahar yang dimuntahkan gunung api atau panasnya hutan yang terbakar, akan terasa lebih dingin dibanding dengan panasnya para pemimpin nasional / mantan pemimpin nasional yang sekarang sedang berseteru di depan Pansus Hak Angket DPR untuk kasus Bang Centuri , yang saling menyalahkan satu dengan lainnya dan tiada henti – hentinya mendera wajah politik , ekonomi dan sosial dari bangsa dan negara ini di beranda Tahun 2010. Ditambah lagi stimulus-stimulus elite politik / petualang politik yang pandai mengambil kesempatan di tengah suasana panas tersebut

Blagi kekisruhan Bang Century terlarutkan dengan temuan siapa dalang yang paling bertanggung jawab terhadap dana bailout sebesar 6 , 7 trilyun Rupiah, kita dikagetkan dengan temuan simbol kekisruhan tatanan moral dan sosial kita , yang menyangkut moral para oknum pejabat kita. Betapa tidak seorang wanita pengusaha sukses yang berstatus narapidana bisa bergaya hidup layaknya tinggal di hotel berbintang , padahal hotel berbintang tersebut adalah kamar LP Pondok Bambu di lantai III. Menurut para saksi mata yang ada, wanita itu di dalam kamar tahanan juga mampu memimpin rapat perusahaannya yang memliki ± 70 ribu karyawan. Wanita itu tidak lain adalah Atalyta Suryani.

Menyikapi fenomena sosial tersebut, terbesitlah dalam benak kita siapa sebenarnya yang patut dipersalahkan. Lepas dari siapa yang bertangung jawab dengan kasus sepert itu, ada baiknya bila kita menggunakan logika yang mapan, mengapa hal ini perlu kita pertanyakan, karena masalah tersebut adalah mungkin kasus yang kebetulan bisa kita temui. Barangkali di luar masalah ini , masih bisa kita temukan kasus kasus yang lain yang sekali lagi menyangkut masalah kejujuran moral oknum pejabat dan lihainya konglomerat / pengusaha sukses yang bergelimang uang untuk membeli moral para okmum pejabat kita.

Masih dalam koridor perilaku para oknum pejabat kita diatas, sebagai anak bangsa kita bertambah menangsis pilu ketika mendengar laporan dari Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, yang telah menyerahkan data –data para makelar kasus di Komisi Pemberantasan Hukum lengkap dengan nama, tempat transaksi, kuitansi, tanda terima, alamat dan anak siapa ke Satgas Pembrantasan Hukum , Rabu 13 Januari 2010. Lebih lanjut Beliau juga melaporkan bahwa keterlibatan oknum pejabat di KPK tidak tanggung – tanggung dilakukan oleh jajaran aparat KPK dari mulai deputi hingga ke jajaran di bawahnya.

Lantas apabila kita menghaapi kondisi semacam ini bagaimana bisa tercipta iklim Supremasi Hukum yang kita damba-dambakan bersama. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa hukum adalah Lembaga Regulatif yang berfungsi multiguna dalam menciptakan kestabilan sosial, politik, ekonomi dan setiap unsur kehidupan lainnya yang bernaung dalam suatu kesatuan negara. Apabila hal ini telah nodai hanya untuk kepentingan pribadi, maka tentu saja akan tumpul pranata hukum tersebut, yang pada giliranya akan melumpuhkan setiap dinamika Bangsa Indonesia di dalam perjalanan menuju era masa depan yang kita damba-dambakan.

Lumpuhnya sebuah negara besar, yang memiliki wlayah geografis dari Sabang hingga Merauke, yang memiliki pulau sebanyak 17.504 buah, memiliki luas wilayah ± 5. 250. 053 km 2 ( Wikipedia, 2004 ) dan berpenduduk lebih dari 200 juta penduduk serta memiliki suku bangsa sejumlah 316 suku bangsa yang hidup saling berdampingan mesra, tentunya akan sama dengan lumpuhnya suatu Raksasa.

Bukankah dalam sejarah perkembangan bangsa ini selalu dihadapkan pada kebesaranya sejak jaman Majapahit hingga jaman Soekarno, yang disegani oleh bangsa- bangsa di Asia. Namun kebalikan dengan kenyataan yang aa di era sekarang, berdasarkan data yang diperleh dari survey Dirjen Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan melaporkan bahwa sebanyak 70 juta penduduk Indonesia tidak memiliki jamban. Kondisi ini bisa kita jadkan suatu barometer analisis sosial masyarakat kita, bahwa untuk kebutuhan yang vital saja kita masih jauh dari sejahtera. Sementara itu para oknum pejabat baik tingkat mentri / mantan menteri hingga bupati dan walikota kepala daerah banyak yang terlah terbukti menggasak uang negara hingga milyaran rupiah. Tentu saja kesenjangan semacam ini akan menghambat hjubungan serasi antar klas sosial sebagai modal dasar untuk menyeragamkan sinergi dalam menggapai masa depan yang kita inginkan.

Namun marilah kita bersama mengambil tindakan yang sigap, bijak dan jernih dalam mengurai satu demi satu krisis multidimensional yang menghanyutkan kita hingga menjadi tertinggal jauh dibanding dengan negara-negara ASEAN lainnya. Kita beri kesempatan kepada setiap insttusi yang berwenang menyelesaikan permasalahnya secvara porposional dan profesional, sehingga satu demi satu krisis yang ada tidak meluas hingga terjadinya social conflict yang parah. Sehingga perlahan lahan Raksasa ini bisa berdiri tegak lagi dan mulai berjalan menuju happy ending, meski tertatih – tatih.


KONFLIK SOSIAL DI INDONESIA


North, Koch, and Zinnes, 1960 menyatakan bahwa konflik sosial yang umum terjadi di suatu wilayah adalah bersumber pada pembagian kekuasaan distribution of power ) yang berlangsung di wilayah tertentu. Konflik sosial ini biasanya berbentuk upaya – upaya pemaksaan kekuasaan, yang diharapkan mampu memenuhi hasrat para pemeran konflik itu sendiri. Sehingga sudah barang tentu, konflik akan melahirkan intrik yang beruang- lingkup pada pemaksaan hak terhadap orang lain.

Lebih jauh North etc. menyatakan bahwa konflik adalah pertentangan kekuasaan . Kekuasaan itu sendiri dapat diartikan sesuatu yang diperoleh dari persetujuan bersama, mengedepankan kepentingan khalayak, bahkan bisa diartikan sebagai upaya pemaksaan dan benturan fisik dan lain sebagainya. Sehingga pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa kekuasaan itu sendiri adalah sebuah konflik, atau sesuatu yang sarat dengan konflik.

Sepanjang berlangsungnya peradaban manusia di muka bumi ini, konflik sosial tidak pernah lenyap, bahkan telah menjadi suatu unsur kehidupan sosial. Apalagi di kehidupan sosial masyarakat yang sarat dengan variasi kultur yang tinggi ( social multiculture ). Sehingga wajar saja apabila konflik sosial yang lahir di masyarakat memiliki implikasi yang sangat luas.

Selain alasan tersebut diatas kita harus pula teliti dalam mengamati perkembangan konflik yang ada di dalam masyarakat, karena selama berlangsungnya konflik sosial tersebut , selalu menimbulkan sikap permusuhan yang meluas tiada batas, yang tentunya akan sulit diredakan oleh autoritas yang merasa dirugikan. Hal ini memang cukup beralasan, karena konflik yang berujung-pangkal pada pusaran kekuasaan, memang diperankan oleh banyak tokoh intelektual, yang mendalanginya dengan cara perdebatan politik, saling adu argumentasi, perebutan dan negosiasi kekuasaan secara licik , memfitnah, menjatuhkan dan melakukan kampanye hitam semata-mata untuk menjatuhkan lawan politiknya.

Telah kita ketahui bersama bahwa pada dekade setelah lengsernya Soeharto, konflik sosial yang berbentuk pertentangan politik yang meluas selalu saja merebak di tengah masyarakat kita. Konflik sosial yang hingga kini masih saja mewarnai kehidupan sosial telah disodorkan masyarakat dengan struktur yang beragam dan cenderung jarang terjadi pada era Soeharto. Hal ini disebakan karena konflik itu sendiri hanya terbatas pada kepentinghan politik belaka, Meski kita tahu bahwa menurut North etc. ( 1960 ), bahwa kekerasan sosial yang muncul dipermukaan belum merupakan jaminan berlangsungnya suatu konflik sosial.

Hal ini bukan berarti karena lantaran gemilangnya prestasi Soeharto dalam memimpin bangsa ini. Hanya saja konflik sosial pada jamannya tidak mencuat ke permukaan dalam bentuk aksi demo / mimbar politik / ajang debat dan lain sebagainya karena ketatnya pengawasan dalam bentuk mekanisme kontrol yang ketat melalui institusi / perangkat perundang-undangan yang menjadi alat-alat kepentingannya. Termasuk lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. Tentang pembatasan kebebasan pers. Termasuk juga pengetatan opini publik yang disalurkan melalui media cetak dan elektronik.

Tidak tanggung – tanggung lagi pada tahun 1978 Soeharto menerapkan Normalisasai Kehidupan Kampus yang mengebiri aktifitas dan dinamisasi mahasiawa sebagai salah satu alat kontrol pemerintah dalam bentuk pembatasan organisasi mahasiswa melalui birokrasi rektorat yang ketat. Sehingga konflik sosial yang berlangsung di masyarakat, konflik antar birokrat, politisi, elit opportunis tidak direpresentatifkan melalui hingar bingarnya perseteruan politik, adu argumen di media massa dan lain sebagainya.

Konflik demi konflikpun dilewati Soeharto dengan performance politik nyang dingin, tenang tetapi menghanyutkan. Soeharto tidak segan segan untuk menyingkirkan dan mencekal siapa saja yang dianggap duri dalam daging terhadap otoriter politiknya. Sikap ini jelas kentara ketika putra-putra bangsa yang berstatus purnawirawan, tokoh nasional maupun tokoh agama telah mengukuhkan sikap ketidaksetujuannya dengan sikap otoriter dan sistem politik Soeharto yang non demokratis. Mereka menuangkan sikap keprihatiannya dengan bentuk Petisi 50.

Sudah barang tentu para tokoh nasional ini yang telah berjasa dalam perjalanan pembentukan bangsa inipun merasakan getah tangan besinya Soeharto dengan bentuk pencekalan di segala aspek kehidupan mereka. Inilah salah satu cara Soeharto dalam meredam konflik sosial yang banyak merebak kala itu, tanpa melalui mekanisme yang ada.

Sekilas kita bisa menyimpulkan bahwa konflik sosial di era Soeharto tidak kalah maraknya dengan konflik sosial yang sekarang selalui mewarnai kehidupan sosial Bangsa Indonesia. Namun perlu pula digarisbawahi bahwa konflik di era SBY sekarang, adalah konflik yang berseputar pada percaturan politik antara pelaku elit politisi sekaligus oprtunis, kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang dan kasus-kasus sectoral, individual dan non prinsipil. Jarang kita dapatkan konflik sosial yang berpokok pangkal pada pelanggaran demokrasi. Bahkan jarang kita temui pula konflik sosial yang bersumber pada perbedaan ideologis, perbedaan azas-fundamental keagaamaan.

Konflik sopsial itu sendiri memang sangat berkaitan erat dengan struktur dan sistim sosial dari masyarakat yang mengadopsinya. Padahal stuktur dan sistem sosial sedikit banyaknya dipengaruhi oleh dinamika masyarakat sosial itu sendiri, yang mencakup aspek inovasi, iptek termasuk juga sistim informatika yang mampu berkembang bebas di masyarakat dan tak kalah pentingnya adalah sistim politik yang berkembang,

Hal ini dapat kita cermati pada kasus dekade akhir Desember tahun 2009, opini publik yang setia turut mengawal perkembangan kasus berlabel Cicak dan Buaya itu terus saja bergulir yang mengakibatkan terseretnya kasus Bang Century. Sehingga melahirkan ide pengajuan Hak Angket oleh Tim 9 dari kalangan anggota DPR.

Salah satu ciri yang specifik, yang telah mengukuhkan perubahan sistem demorasi yang signifikan pada era SBY di banding dengan masa sebelumnya, adalah mekanisme keterlibatan publik terhadap segala yang berbau konflik sosial. Hal ini memang bukan isapan jempol biasa, Terbukti pada saat kasusu kriminalisasi KPK oleh suatu lembaga, maka sebanyak satu juta lebih facebookers turut aktif dalam mengawal kasus itu. Hingga dikeluarkannya SKKP No. Tap 01 / 01 . 14 / FD.1 / 12 / 2009, tanggal 1 Desember, atas nama Chandra M. Hamzah dan Tap 02 / 01. 1 4 / FD. 1 / 12 / 2009 AN Bibit R. Riyanto oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Bahkan untuk pembahasan Hak Angket di DPR inipun tidak main-main sejumlah 25 juta pengguna internet melalui facebookerpun turut mengawal dan mencermati agenda sidang tersebut, Sehingga penanganan konflik sosialpun tidak bisa hanya dengan sebelah mata menurut kehendak sang penguasa yang otoriter. Barangkali ini adalah perubahan sistem politik dan demokrasi yang kita dambakan untuk menuju kehidupan berbangsa dan negara di tanah air kita.

Namun demikian rasa was-was dan keprihatinan yang mendalampun kini menghinggapi semua anak bangsa. Lantaran Gedung DPR/MPR di Senayan Jakarta telah memanas dengan perseteruan politik antara anggota Pansus dan para pejabat nasional/ mantan pejabat nasional yangh berkisar dengan bailout Bang Century yang disaksikan oleh semua anak bangsa. Hal ini tentunya merefleksasikan betapa tidak siapnya semua figure pejabat/ politisi nasional untuk memikirkan nasib bangsa yang kian terpuruk.

Memang barangkali saja mereka semua memiliki visi yang mulia untuk segera memunculkan siapa dalang yang paling bertanggung jawab/ dipersalahkan dalam kasus Bang Century. Namun cara mereka dalam menelisik tabir kasus terbukti telah mengabaikan nilai kesantunan yang selama ini telah menjadi jati diri bangsa. Bahkan semakin menimbulkan kekeaburan tentang visi semula yang sempat diprediksi oleh semua publik, dengan alur yang semakin melebar tidak karuan.

Bukankah bisa saja hasil akhir dari Kiprah Pansus ini mengarah ke Impeachment SBY yang telah mendapat simpatik dar 60 % bangsa Indonesia. Akan SBY dalam hal ini akan bertindak diam saja. Terbukti di dekade akhir Januari 2010 ini, SBY telah memanggil 7 petinggi negara di Istana Bogor dan berhasil menyepakati agremen bersama tentang tidak akan pernah ada impeachment di kabinetnya. Marilah kita tunggu saja kprah Pansus Centuri denga hati jernih dan kepala tetat dingin. Sebab apapun manuver politik yang dilakukan institusi yang terlibat perseteruan politik tersebut, tidak akan menimbulkan ekses apapun bila kita bersikap seperti di atas.
Konflik memang tidak pernah mereda, setelah sejenak Pansus Century beristirahat sejenak, munculah testimoni dari Mantan Kepala Barekrim Mabes Polri Komjen Susno Duadji ( 20 Januari 2010 ) yang membeberkan penangguhan kasus bailout Bank Century yang akan melibatkan Boediono kala itu, dengan alasan politik.

Testimoni tersebut hingga dan berbagai opini publik lainnya pada akhirnya tak pelak lagi menyebabkan munculnya demo besar-besaran ( 10.000 pendemo ) pada Hari Kamis 28 Januari 2010

Kita hendaknya tetap mengemasi semua permasalahan tersebut di atas dalam ruang lingkup kebebasan berpolitik dan berdemokrasi di negara yang baru saja mengenal demokrasi, setelah 32 tahun terbelenggu di bawah tangan-tangan besi Soeharto. Sehingga apapun alasannya kita tetap saja harus bersyukur dan bersedia menyiapkan diri kita masing-masing untuk ikut aktif terlibat di dalamnya secara santun, humanis dan bermoral.

Sehingga jadilah Indonesia sebagai Negara Besar yang memilki energi demokrasi yang sanggup membawa gerbong kesejahteraan rakyatnya dan dapat dijadikan teladan bagi negara lain, untuk mengkonsep demokrasi yang benar.

Indikasi keberhasilan ke arah realisasi keberhasilan seperti di atas memang telah berada di ambang pintu. Betapa tidak, telah kita ketahui bersama bahwa dengan dimulainya sistim demokrasi yang menjadi roh sistem politik kita. Maka telah muluslah aspirasi rakyat dalam segala hal yang berhubungan dengan kehidupan ketatanegaraan. Bahkan menurut Pri Sulistio, Ketua Asosiasi Konsultan Politik Asia Pasifik (APAPC ) menyatakan bahwa demorasi yang berjalan di Indonesia telah menjadi contoh teladan bagi sistim demokrasi negara – negara lain di Asia yang masih belum sehat. Prestasi ini pun telah membuat Anwar Ibrahim Perdana Menteri Malasia menjadi kagum. Karena Indonesia dengan jumlah penduduk nomor 4 di dunia berhasil menjalankan demokrasi yang sehat.

Hal ini tentunya akam membawa implikasi semakin mengerucutnya konflik sosial ke ranah yang tidak lagi mengancam stabilisasi dan integritas kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukankah dalam pembentukan demokrasi telah bahu membahu dalam menegakan integritas bangsa ini, baik dari kaum agama, modernis, kaum minoritas, tokoh nasional dan lain sebagainya. Sehingga pada gilirannya nanti kita lebih berhasil mnyiapkan masa depan yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Manusia Fitri Untuk MASYARAKAT MADANI

Raihan masyarakat di Negara Archipelago yang bersemayam di bagian Nusantara yang tentram dan damai di usianya yang ke-65 tahun, adalah bukan hanya sematan akedemis, dongeng dan legenda rakyat kecil atau hanya illustrasi dari si kecil yang terpuruk saja, tetapi harus menjadi suatu kebutuhan yang mendesak dan segera direalisasi, demi menuju Indonesia yang berkeadilan. Masyarakat dambaan si kecil yang tak kunjung wujud, dalam dasa warsa ini disebut dengan masyarakat madani. Meskipun. teori tentang masyarakat madani telah kita kenal dari berbagai media, namun aksen pada usia negara kita yang ke 65 perlu disodorkan lagi, guna me-refresh semangat kita menggapai cita cita bersama.

Dr. Edi Suharto M.Sc. dalam makalahnya yang berjudul “Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers dalam Mewujudkan Masyarakat yang Berkeadilan”, yang disajikan pada Orasi Ilmiah dalam Pembentukan HIMA Jurusan Pengembangan Sosial Masyarakat (PSM) STKS Bandung, Senin 21 Oktober 2002, menjelaskan bahwa “masyarakat madani” merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer.

Definisi tersebut setara dengan Rully Indrawan dalam “Masyrakat Madani “( tripod.com, 2010) yang memaparkan bahwa Masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society) dalam wacana baku ilmu sosial pada dasarnya dipahami sebagai antitesa dari “masyarakat politik” atau negara. Pemikiran itu dapat dilacak dari pendapatnya Hobbes, Locke, Montesquieu, Hegel, Marx, Gramsci dan lain-lain. Sedangkan. Nurcholis Madjid (1999:167-168) menyebut dengan semangat rabbaniyah atau ribbiyah sebagai landasan vertikal, sedangkan semangat insyanyah atau basyariah yang melandasi komunikasi horizontal inilah yang menjadi sendi dasar Masyarakat Madani.

Dalam perkembangan sejarah civil society, gambaran actual dari sistim sosial yang sesuai dengan pendekatan masyarakat madani, adalah sistem sosial madani ala Nabi s.a.w, yang memiliki ciri unggul, yakni kesetaraan, istiqomah, mengutamakan partisipasi, dan demokratisasi. Esensi ciri unggul tetap relavan dalam konteks waktu dan tempat berbeda, sehingga pada dasarnya prinsip itu layak diterapkan apalagi di Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim tanpa mengusik kepentingan dan keyakinan kelompok minoritas. Mengenai hal yang terakhir ini Nabi s.a.w telah memberi cotoh yang tepat, bagaimana sebaiknya memperlakukan kelompok minoritas ini.
Sehingga perilaku sosial jaman Nabi Muhammad s.a.w. semakin menjadi gamblang dalam konteks demokratisasi, sebagai syarat utama pembentukan masyarakat madani , sesuai dengan pendapat Neera Candoke (1995:5-5), yang menyatakan bahwa social society berkaitan dengan public critical rational discource yang secara ekplisit mempersyaratkan tumbuhnya demokrasi. Dalam kerangka itu hanya negara yang demokratis yang menjamin masyarakat madani.

Dalam kaitannya pembentukan masyarakat madani di Indonesia, maka warga negara Indonesia perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius dengan bercirikan imtak, kritis argumentatif, dan kreatif, berfikir dan berperasaan secara jernih sesuai dengan aturan, menerima semangat Bhineka Tunggal Ika, berorganisasi secara sadar dan bertanggung jawab, memilih calon pemimpin secara jujur-adil, menyikapi mass media secara kritis dan objektif, berani tampil dan kemasyarakatan secara profesionalis,berani dan mampu menjadi saksi, memiliki pengertian kesejagatan, mampu dan mau silih asah-asih-asuh antara sejawat, memahami daerah Indonesia saat ini, mengenal cita-cita Indonesia di masa mendatang dan sebagainya (Ciri cirri Masyarakat Madani, Crayonpedia, PKN, 19 Agustus, 2008).
Masyarakat Indonesia lebih lanjut memiliki kondisi yang mengacu pada aspek substansialnya untuk mampu merengkuh realisasi masyarakat madani, lantaran baru saja lepas dari sistim politik orde baru, yang membelenggu tiap aspek kehidupanya. Bahkan dengan latar belakang seperti itulah lahir konsep social society madani. Namun demikian realisasi tersebut tidak serta merta menunggu adanya stimulir yang lahir dari dinamika sosial, melainkan harus mulai dari tekad dengan penyadaran dan pencerahan timbulnya kepedulian sesama dan “internalisasi kehidupan berdemokrasi.
Khusus bagi masyarakat Islam di Indonesia (dengan tidak menepiskan kaum minoritas), karakter karakter dasar yang dibutuhkan sebagai pilar refleksi masyarakat madani adalah dapat digali dengan pelaksanaan ibadah puasa secara inten sesuai dengan aqidah Islam.

Puasa dalam agama Islam (Ṣaum) artinya menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. Perintah puasa difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183. Sedangkan perilaku yang merupakan cerminan dari hasil kekotoran jiwa setiap insan termasuk hal yang membatalkan piuasa . Dengan demikian pasa adalah “training sistym” bagi jiwa sehingga mampu menahan berbagai bentuk nafsu .

Kepeduilian kita bersama terhadap esama telah berfungsi sebagai pilar utama dalam pembentukan masyarakat madani, yang hingga kini hanya merupakan cita-cita kita bersama tanpa mengetahui kapan akan terealisir. Bukankah perintah puasa turun di Kota Madinah., yang kala itu terkondisikan ummat islam baru saja hijrah dari Mekkah setelah di tekan dari berbagai sisi kehidupan”.. Dengan tempaan ibadah puasa terlihatlah sifat kesabaran (tidak lemah, tidak lesu, pantang mundur) dari semangat ummat islam untuk bangkit menyebarkan ayat-ayat Allah.ke seluruh wilayah. Secara eksplisit untuk masyarakat Islam di Indonesia pengamalan tersebut adalah berbentuk saling menjaga ketertiban dan kondisi yang kondusif demi tercapainya cita cita menuju masyarakat madani (Dari beberapa sumber).


MEREKONTRUKSIKAN MORALITAS BANGSA

Bila sepasang sejoli dari Amerika berciuman dengan seenaknya di pusat keramaian, maka publikpun tak lebihnya hanya menilai sebagai privasi kedua sejoli tersebut. Tetapi bila fenomena tersebut dilakukan oleh saudara kita di tengah pasar yang ramai, maka publikpun akan membidiknya dengan gunjingan dan caci maki, sebagai protes terjadinya pelanggaran susila. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa sistim dan struktur suatu masyarakat satu dengan lainnya adalah berbeda, yang pada gilirannya membentuk budaya yang bervariasi antara masyarakat satu dengan lainnya.
Sejenak mari kita merenung kembali, bahwa dengan dalih apapun kita adalah tetap bagian masyarakat timur yang kental dengan budaya ketimuran yang konservatif. Budaya tersebut mengemasi sikap mental santun, malu, kaya akan nilai kesusilaan dan nilai serta norma lainnya yang melekat kuat pada sistim sosial Masyarakat Indonesia. Eksistensi karakteristik sosial ini telah kokoh dan tak tergoyakan hingga berabad- abad lamanya. Namun selaras dengan dinamika globalisasi, dimana jarak suatu tempat dan benteng moralitas masyarakat tidak menjadikan faktor kendala, moralitas masyarakat khususnya masyarakat Indonesia telah mengalami degradasi yang cukup signifikan.

Tentu saja wacana ini di atas lebih tepat bila kita memandangnya dari aspek moralitas suatu masyarakat. Moralitas, berasal dari bahasa Latin : moralities, yang berarti perilaku, karakter atau sikap yang benar . Dalam pembahasan ini, moralitas digambarkan sebagai suatu nilai yang tertanam kuat dalam individu, yang mampu membedakan tentang benar dan salah dalam kehidupa bermasyarakat, Meskipun dalam ruang lingkup ini kita tidak menuntut sesuatu menurut benar dan salah secara obyektif. Namun kami hanya sekedar mengetengahkan pertimbangan rasional yang dapat membimbing ke arah sesuatu yang benar atau salah, lepas dari sangsi norma bagi yang melanggar suatu moralitas tersebut.

Betapa tidak memprihatinkan kita, bahwa belakangan ini moralitas masyarakat kita dalam beberapa aspek telah terbukti mengalami pergeseran dan bahkan cenderung bersikap “non kompromis” (menepis) terhadap nilai yang telah ada. Kasus “seks bebas” yang direkam dengan media tertentu dan menjadi tontonan publik telah merebak dan membahana ke tiap penjuru tanah air. Bukan hanya masyarakat selebritis, pelajar atau remaja saja yang melampiaskan nafsu durjananya. Bahkan tokoh sentral publikpun pernah terjebak di dalamnya. Yang lucu lagi tatkala kita mencermati bahwa salah satu pemeran adegan tersebutpun pernah mencalonkan diri dalam bursa calon pemimpin daerah.

Dan lebih memprihatinkan kita bahwa berkat raihan tehnologi, akses mesum terebut bisa dengan mudahnya diakses oleh anak-anak kita di sekolah. Apalagi sang pemeran utama “adegan tak bermoral” tersebut adalah Ariel sang penyanyi pujaan mereka.
Oleh karena itu sebuah harapan baru perlu disodorkan ke tengah Masyarakat Indonesia, untuk tidak melepas sematan bangsa yang menjunjung tinggi “budaya malu” (shame culture), yang pada gilirannya akan tetap melanggengkan “jati diri bangsa” yang sekarang sedang bercucuran air mata keprihatinan.

Dengan budaya malu inilah, sebuah masyarakat sosial akan terhindar dari rasa saling “melukai satu sama lainnya”, apabila moralitas benar benar diemban secara kokoh oleh masyarakat (Standford, 2010). Bahkan menurut Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, Bangsa Jepang bisa meraih prestasi yang baik , setelah terpuruk pada PD II, akibat “perasaan malu” yang tertanam pada masing-masing rakyatnya sejak dini. Demikian pernyataan mantan perdana mentri tersebut saat memberi orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancaila di Jakarta, Sabtu 10 Mei 2008 silam.

Budaya malu apabila tetap dikokohkan dalam sanubari kita, akan terbesitlah kepekaan sosial, sehingga merefleksasikan setiap anak bangsa untuk sadar hukum dan bagi penguasa enggan untuk menyelewengkan kekuasaan. Namun yang terjadi, adalah jauh panggang dari api. Hancurnya moralitas yang berujud lenyaknya budaya malu, menjadi sarapan kedua bagi setiap anak bangsa ini. Bagi anak bangsa yang masih memiliki moralitas dan “nasionalisme yang tak tergoyahkan”, yang sekarang jarang kita dapatkan, tentunya merasa geram bila menyaksikan para oknum petinggi yang melakukan pendoliman uang Negara, namun mereka tetap saja tidak memiliki “perasaan bersalah” (guilt culture).

Oleh karena itu sebuah tekad bersamapun harus diikrarkan, untuk menginternalkan moralitas yang mapan sedini mungkinm demi kehidupan Bangsa Indonesia di masa mendatang.

PENDZOLIMAN MORALITAS BANGSA Akibat Ulah Petinggi

Belum hilang betul dari ingatan kita tentang nyanyian Susno yang menyeret Gayus dan mengelindingkan Syrus Sinaga, Edmund Ilyas, Syarif Johan dan petinggi /pemimpin publik lainnya menjadi pesakitan hukum., hingga ditahanya Susno yang disinyalir publik penuh kejanggalan. Kita kembali tercengang dan menarik nafas dalam -dalam setelah mendengar laporan Internationmal Coruption Watch tentang “Sang Dalang” pendoliman hutan negara yang ternyata juga oknum petinggi negara. Oleh karena itu hingga kinipun kita tak tahu kapan Indonesia terentaskan dari sematan Negara terkorup se Asia Pasifik.

• Sebuah keprihatinan

Seperti diketahui bahwa baru saja beberapa pekan yang lalu sebuah tragedi yang memprihatinkan kembali menggugah hati kita, seperti juga kejadian-kejadian lainnya yang membahana di berbagai tempat di negara kita., seperti belum lama ini terjadi pertikaian antara Satpol PP dengan Masyarakat Koja Jakarta Utara. Perseteruan etnis di Batam yang berakhir dengan amuk masa. Sehingga kita hanya mampu mengelus dada kita, pertanda munculnya keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak, pada enam bulan pertama tahun 2008 lalu, Polri sudah mencatat ada 2.486 aksi demo dengan berbagai latar belakang dan kepentingan. Mulai dari aksi demo untuk kepentingan politik, ekonomi, sampai soal agama. Jumlah aksi demo itu meningkat sebanyak 34,38 persen dibanding tahun 2007, yang jumlahnya hanya mencapai1.850 aksi.

Ataukah memang telah terjadi di tengah kita sebuah generasi yang nonkompromis ( tidak menerima lagi nilai lama ) dari perubahan sosial masyarakat Indonesia, yang sangat pesat di era globalisasi ini, sebagaimana dialami oleh bangsa – bangsa lain di dunia. Sebuah generasi bertipe “life-style hedonisme “ dan menyingkirkan jauh jauh sebuah amanat luhur, karena sebuah konsekuensi logis menjadi pemimpin/pejabat/ tokoh sental figur salah kaprah. Atau mungkin sebuah generasi yang telah kehilangan etika moralnya.

Maka yang menjadi nyanyian sumbang pada segmen grassrote, adalah pada era reformasi ini mereka diberi keteladanan negatif oleh beberapa oknum pejabat / pemimpin nasional yang banyak menyelewerngkan jabatan demi kepuasan pribadi. Maka secara langsung mereka semua turut serta dalam menyebabkan degradesi moralitas bangsa, bahkan dengan maraknya kekisruhan di tingkat elit politik di atas sana menambah penetrasi moralitas pada tiap individu menjadi semakin kabur.
• Makna sebuah moralitas

Padahal moralitas yang kokoh dan telah menyatu dengan sistim nilai dan norma sosial di masyarakat kita akan memberikan kontribusi nyata dalam membentuk jati diri bangsa. Bukankah jati diri inilah yang berhasil menyatukan semua budaya , suku bangsa dan etnis dalam satu susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang termasuk bangsa yang multiculture dan terkenal sebagai bangsa yang santun.
Moralitas itu sendiri adalah penyertaan secara bareng semua nilai essensial yang ada di masyarakat social, yang digunakan sebagai patokan manusia yang bermartabat. Dan dengan moralitas itulah seorang individu mampu mengejawantahkan semua pandangan ke depannya.

Moralitas juga bisa dinyatakan sebagai sistim aplikasi publik untuk pembentukan semua nalar manusia, Sehingga dengan perangkat moralitas ( morality ) individu mampu memilah baik dan buruknya sesuatu niatan. Apabila moralitas ini diemban dengan kuat maka jadilah individu tersebut sebagai insan mulia. Istilah moralitas pada akhirnya dapat digunakan sebagai faktor pembeda, perilaku bermoral atau tidak. Pada akhirnya moralitas dapat digunakan sebagai pengejawantahan nilai normatif. Jadilah moralitas sebagai sesuatu yang wajib diembang oleh para petinggi kita.
Bila kita hadapkan moralitas pada para oknum petinggi kita, tentunya kita akan merasakan keprihatinan yang mendalam. Betapa tidak, salah satu moralitas yang wajib diemban oleh mereka adalah kejujuran, rela berkorban, peduli terhadap orang kecil yang lagi kelimpungan, Namun sebuah realita menyatakan jauh panggang dari api. Justru perseteruanlah yang ditampilkan antar mereka. Sejak dari mencuatnya kasus Antasari di akhir tahun 2009, bailout Bank Century di awal tahun 2010. Disusul kemudian nyanyian Susno dan terus menggelinding tak berarah.

Dikhawatirkan apabila konflik interpersonal / institusi ini terus bergulir, maka keterpurukan kita menjadi tambah dalam dan tak satupun persepsi anak bangsa yang menilai mahalnya sebuah persatuan dan kesatuan. Dengan terkoyaknya moralitas ini maka terbenam pula nasionalisme yang secara fitroh telah kokoh bercokol di tiap dada anak bangsa ini. Bila stadium penyakit sosiologis kita telah sampai pada tahan ini, maka tidak ada resep yang mujarab, pakar yang piawai ataupun bentuk “miracle: lainnya. Yang ada hanyalah rekonstruksi moralitas di dada kita masing-masing.


SEBUAH EPISODA DI NEGERI HUJAN

Ketika sang waktu telah menyelinap di antara hamparan Antartika hingga Gurun Sahara, kemudian meletakan sayapnya di Archipelago, yang kelihatan dari angkasa kini terbuai bermandi buih lautan. Lantas kawanan sang bidadari mengipasinya dengan angin pasat, pertanda nafas sang waktupun telah menyesak di dada. Maka segenap penghuni kahyangan menjadi tersenyum ceria, betapa syahdu dan indahnya negeri itu, demikian guman hati para dewa. Segera dari langitpun bertebaran bunga warna-warni yang semerbak harum mewangi.

Kini dihamparan dua samudra, telah melambai sejuta nyiur yang berjejer di pantai negeri itu. Sembari memberi kabar kepada bioma bioma nun jauh disana, agar mau berguyur mandi air hujan yang terkucur dari mata air Cupu Manik Astagina yang digenggam tangan Sang Hyang Pramesthi Bathara Guru, pemimpin para dewa di Kahyanga Suralaya. Sambil bermesraan menonton sendratari Ramayana di halaman Candi Prambanan yang mencakar langit, dengan puja dan puji untuk meminta kemurahan sang dewa. Konon menurut legenda, para dewa di Kahyangan Suralaya menjadi berselimut derai tawa. Pertanda pralaya hanya mampu mengintip dari balik awan. Entah dalam perjalanan sang waktu natinya.

Sang Pralayapun lebih senang bersemayam di Mahameru, simbol “derajat pangkat” negeri yang sejuk dengan terpaan hujan sepanjang tahun.

“Hai, sang pralaya, kuatkan peganganmu di puncak Mahameru, jangan dulu engkau terlena dengan tarian para bidadari yang sedang bercengkerama di tepi telaga.
Biarkan saja semua yang hidup di negri yang tak pernah lekang itu, mampu tersenyum ceria. Biarkan dahulu bocah desa bertiup seruling bambu di atas kerbau.
Biarkan dulu permadaniku berwarna kuning di hamparan sawah yang sejuk da mengalir air yang bening sepanjang tahun “ Demikian titah Sang Hyang Wenang.

“Akupun akan turun ke tengah mereka bersama denga luapan magma, tsunami, gempa dan badai petir, bila aku sudah merasakan gerah di sini. Lantaran banyak diantara manusia yang saling melempar ego, saling merugikan lainya. Bila pula mereka sudah tidak mau lagi tawajuh marang sesembahan.

Sang Hyang Wenangpun kembali ke kahyangan Awang-Awang Kumitir dengan senyuman tersungging di wajahnya yang putih bersih, tanpa suatu patah katapun dilontarkan. Sang pralaya segera mengencangkan sayapnya yang bertaut erat di puncak Mahameru. Sesekali diapun bergumam dalam hatinya. “Hai manusia di negeri hujan, akupun akan menelanmu bila memang saatnya aku menjalankan tugas. Bila pula para dewa di Suralaya sudah merasa gerah dengan budi candolo yang menjadi panutan kalian semua. Tiadakah diantara engkau yang lebih memberi manfaat pada lainnya ?, agar aku mampu memejamkan mataku di Mahameru ini.”

Angin Pasat, angin Kumbang, angin Gending ataupun angin Bahorok yang lahir dari kipas para bidadari terus saja setia menyertai kehidupan di sela jajaran nyiur. Semai padi dan palawija saling bertautan dengan panen tanaman itu. Demikian seterusnya dari masa ke masa. Hujanpun masih setia mungusung kehidupan mereka, tidak ketinggalan pula metamorfosis hidup dan suratan takdir diantara penghuni negeri, tiada pernah terhalang oleh nafsu durjana mereka sendiri. Alam para dewapun menjadi damai tentram.Dalam pakeliran agung semua titah sawantah tiada satupun yang bergeming. Tiada busur panah yang meregang, tiada satupun pedang yang tak bersarung, tiada satupun tombak yang njati ngarang. Semua berbudi santun yang kondang kawentar hingga ke bioma gurun dan padang rumput serta nunjauh di sana.

Sesaat tangan Sang Hyang Pramesthi Bathara Guru yang menjinjing pusaka Trisula dan Jaludara lambang kekuasaan yang terlimpahkan kepada titah sawantah bergetar hebat,
Singasana Marcu Pundhamanik tempat pemimpin dewa tersebut memimpin alam raya terasa memanas. Hal ini telah membuat gusar para dewa, sehingga Bathara Bromo, Endro, Kamajaya, Yamadipati, Surya, Indra, Bayu bergegas menghadap pemimpin mereka Sang Hyang Pramesthi Bathara Guru untuk meneliti bencana besar yang melanda mercopodo.

Lantaran hinggapnya penasaran yang mengganjal di dada Bathara Guru, maka diapun segera membuka langit untuk mengamati sumber penyebab kegoncangan kahyangan. Sang Bathara Guru menjadi bersungut sungut wajahnya, yang kini terlihat memucat. Dilihatnya Bathari Durga dan Bathara Kala dari Kahyangan Gondomayit telah melepas ikatan Sang Pralaya, untuk menyebarkan angkara murka di negeri hujan itu.

”Bathari Durga dan Kala ! dan kau Pralaya, bukankah bukan tempatmu bermukim di negeri hujan ini. Dan mengapa kalian bertiga menyebar angkara di negri hujan tempat mandi bidadariku ?” ujar Sang Bathara Guru.

”Hai kau Guru pemimpinku. Kau lihat kini negeri hujan berisi hanya petir, akibat panasnya mercopodo dibakar oleh hawa nafsu para titah sawantahnya, yang saling melempar kebencian satu dengan lainnya. Tiada lagi tarian santun atau tegur sapa yang lembut, semuanya kini berhamburan ke jalan dengan menghunus pedang. Pemimpin mereka hanya mampu mengumbar kepuasan dia sendiri”

”Tapi hentikan dulu ulah kalian semua”
”Aku bertiga sudah tidak mampu lagi menundanya, sang pralayapun telah lepas ikatanya”
”Bukankah para pemimpin mereka telah menerima petuah Kakanda Bathara Ismoyo ?”
”Kakanda Ismoyo sudah tidak digubris lagi, lantaran mereka telah menjadi titah yang angkuh”
”Tetap aku akan ke Awang Awang Kumitir menghadap Romo Syang Hyang Wenang”
”Percuma saja, kakaku !, Karena Sang Hyangpun takan mampu menolongnya. Karena ini telah menjadi suratan takdir Gusti Ingkang Makaryo Jagad, maka hanya dialah yang mampu memutuskan ”

Hening suasana mercopodo saat itu, lantaran untuk sejenak Bathari Durga dan Kala menangguhkan dulu misi mereka, mereka kini hanya melihat kilatan cahaya menuju Awang awang Kumitir tempat bersemayamnya Sang Hyang Wenang, yang kini terlihat duduk memagut di hadapan Bathara Ismayo yang juga hanya menundukan kepala.

”Sabarlah dulu, Manikmaya. Aku tahu betapa gundahnya hatimu mendengar geger di negara hujan.Ketahuilah bukan hanya engkau saja.Perhatikan bagaimana kau lihat sedihnya kakakmu Ismoyo, yang sangat dalam penyesalannya mengenai marcopodo” Demikian petuah sang panutan para dewa kepada Manikmaya. Dengan suara datar namun menyentuh Bathara Guru, hingga kedua matanya kini mengucurkan air mata kesedihan

”Betul dinda !. Sejak jaman Palasara hingga Bambang Wisanggeni, mereka sangat patuh dan mau mendengarkan nasehat-nasehatku.Tapi entah titah mercopodo di negeri hujan. Mereka sama sekali tidak mau mendengarkanku lagi, terutama para petingginya yang angkuh dan kaya raya. Negara hujan kini berganti warna menjadi negara merah membara. Maka wajar saja banyak titah yang saling bunuh, saling fitnah ,saling serang dan saling hasut atau mereka banyak yang bunuh diri. Bahkan banyak diantara mereka yang tega membuang bayinya”, Sang Ismoyo kini ikut berusaha menentramkan hati pemimpin para dewa itu.

”Akupun kini sudah tidak mampu berbuat apapun. Ke empat pusakaku telah aku turunkan agar mereka kembali menjadi negara santun, saling peduli, saling memberi manfaat dan memberikan sebagian kekayaannya kepada yang miskin. Namun tetap saja sekarang mereka senagnbebrbuat onar” Tutur Baathara Guru.

’Ya, akupun memakluminya. Aku akan turunkan Ismoyo dalam wujud seribu bayang-bayang yang mampu menyusup ke tengah hati mereka semua. Teutama untuk para pemimpinya. Sehingga mereka menjadi sejuik hatinya kembali. Tidak ada lagi ontran ontran yang menjadi sarapan kedua mereka”

”Akuipun memiliki satu permohonan, Romo Pukulun !”
”Sampaikanlah. Ananda Manikmaya ?”
”Aku mohon, turunkan segera satria piningit ke negeri hujan ?”

Sang Hyang Wenagpun bangkit dari singasananya, di dekatinya putra kesayanganya yang didamba menjadi penerus kepemimpinan para dewa. Dipegang erat kedua pundak pujaan hatinya itu. Dengan senyum manis yang hinggap di wajahnya, panutan para dewa itu berkata :

”Satria piningit itu telah aku turunkan jauh jauh hari, yaitu kepatuhan mereka pada darma kebajikan yang sudah diajarkan para nenek moyang mereka. Itulah sebenarnya satria piningit. Anaku kini tugasmulah dan dibantu Ismoyo untuk segera melahirkan satria piningit ”

Sang dalangpun segera menutup pakeliran drama kehidupan,lantaran hari sudah beranjak fajar. Sementara itu semua penonton telah berada di peraduan mereka masing-masing. Panggung sketsa negeri hujan kinipun lengang.


SELAMAT JALAN SRI MULYANI
Kita tidak perlu untuk mencermati seberapa jauh profesi atau keahlian seorang pemimpin nasional, bila kita sudah tahu sumbangsih figur tersebut terhadap kemajuan atau langkah gemilang dari bangsa kita. Apalagi bila gagasan, konsistensi serta kepiawaianya telah diakui oleh seluruh dunia dan mampu mengangkat nama bangsa kita di khasanah pergaulan dunia. Dengan demikian kita sudah tidak mampu lagi untuk menelisik kekurangan figur itu di masa lalu, tetapi lebih senang untuk mengikuti ukiran prestasinya hingga ke puncak.
Wacana inilah yang sekarang menghangat di tengah publik tentang Mantan Menkeu Keungan Kabinet Indonesia Bersatu pemerintahanan SBY, yang kala itu menggantikan Yusuf Anwar dalam reshuffle KIB yang diumumkan 5 Desember dan dilantik 7 Desember 2005 oleh SBY, setelah setahun sebelumnya menjabat Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas. Figur tersebut tidak lain adalah Dr. Sri Mulyani. Berkat ketajaman analisis moneter dan prediksinya yang akurat, putra Indonesia inipun melambung mendunia, terbukti dia sempat menjadi konsultan di USAid, kemudian Executive Director IMF. Bahkan Iapun dinobatkan sebagai Menteri Keuangan terbaik Asia untuk tahun 2006 oleh Emerging Markets pada 18 September 2006 di sela Sidang Tahunan Bank Dunia dan IMF di Singapura.

Wanita yang tangkas dalam setiap menjawab pertanyaan audience di forum apapun meraih gelar Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia pada Tahun 1981 – 1986. Karir pendidikanya itu diteruskan pada Tahun 1988 – 1990 di University of lllinois Urbana Champaign, U.S.A dan mendapat gelar Master of Science of Policy Economics dan selama 1990 – 1992 meneruskan karir pendidikannya di University of lllinois Urbana-Champaign, U.S.A. dan meraih gelar Ph. D of Economics.

Namun wanita kelahiran Tanjung Karang, 26 Agustus 1962 dalam karirnya tersandung dengan skandall bail-out Bank Century sebesar Rp 6,7 trilyun rupiah yang diisukan untuk kepentingan Cikeas guna menggenapkan jabatan presiden SBY ke II. Dengan durasi sejak akhir tahun lalu,kasus ini belum kunjung usai, keburu nama besarnya Sri Mulyani Sang Rudy Hartono bidang ekonomi menenggelamkan isu tersebut.
Untuk itu marilah kita mendinginkan panasnya opini publik dengan menilik prestasi Sri Mulyani saat menjabat Menkeu di KBI I. Prof. DR. Sri Mulyani dengan prestasi terbaik berhasil melunasi utang negara kita ke IMF. Kemudian langkah selanjutnya adalah mengutang ke World Bank & lembaga keuangan dunia lainnya sebesar 465 Triyun dengan bunga komersial 12%-13%. Disamping itu Prof Dr Sri Mulyani (menteri Perekonomian) berhasil juga menumbuhkan perekonomian Indonesia di atas 4 % meskipun saat itu krisis ekonomi melanda dunia.
Sri Mulyani dinilai telah mampu menangani perekonomian Indonesia yang merupakan salah satu yang terbesar di dunia hingga mampu melampaui krisis, mengimplementasikan reformasi, dan mendapatkan respek dari berbagai belahan dunia.
Ternyata kepiawaian dalam bidang moneter menghantarkan Sri Mulyani untuk mendapat tawaran jabatan Managing Director Bang Dunia untuk wilayah Amerika Latin, Karibia, Asia Pasifik dan Afrika Utara, menggantikan Juan Jose Daboub, yang akan habis masa kerjanya pada 30 Juni 2010. Sri Mulyani disebut-sebut mulai bergabung dengan Bank Dunia pada 1 Juni 2010.
Yang jelas figure Sri Mulyani inilah mampu untuk sedikit mengentaskan citra buruk bangsa ini, dari sematan negara terkorup, terpuruknya pendidikan dan maraknya aksi anarkis dan tindak amoralitas lainnya, sekaligus dialah wakil “The Indonesian Smart Generation”


SKETSA SEBUAH NEGERI IMPIAN


Suluk Sang Dalang sudah digemakan memenuhi pelataran pentas seni teatrikal kehidupan ini. Gunungan besar warna warni telah berada di tengah panggung, tegak lurus menghadap langit yang hitamn pekat, sementara kakinya tertancap kuat-kuat di pijakan yang licin dan kapan saja bisa menggelincirkanya. Sang Dalang telah melantunkan babak nunggil panggenan gantos cerios. Setelah berpupuh – puluh babak telah dilewati. Patetpun kini telah berubah menjadi patet goro-goro. Pertanda suatu perubahan besar-besaran bakal berlangsung sepanjang berlangsungnya kehidupan di negara “antah berantah”.

Goro goro diawali dengan pentas sebuah fenomena alam yang berujud segara kocak, gunung mledos, bumi bengkah. Kahyangan jogring saloka gonjang ganjing. Tsunami Aceh, Lumpur Lapindo, Gempa Jogja, Gempa Padang dan akhir – akhir ini longsor di Bandung Jabar juga turut serta tergambar di dalamnya . Keadaan kacau tersebut lantaran banyaknya manusia yang meninggalkan kewajibanya dalam manembah kepada Tuhan yang Maha Kuasa, bukanya karena disebabkan prabowo sang satria piningit yang telah menampakan figur sebenarnya di tengah parodi kehidupan anak bangsa ini dan disimbolkan dengan kekonyolan para punakawan, yang mengocok perut semua hadirin. Hanya sang waktu sajalah yang akan mengkondisikan kehadiran sang satria pinngit sebenarnya.

Sementara itu waktu semakin beranjak malam, sang rembulan lebih memilih menyelipkan wajahnya di balik awan hitam yang bertambah pekat . Hiruk pikuk , tepuk sorak bahkan terkadang terdengar caci maki dari para penonton terus saja mencibirkan lagak, lagu dan lagon sang punakawan . Yang memainkan parodi lakon apa saja, bahkan sampai dengan luwesnya memainkan lakon hidup yang terjadi dewasa ini. Kontan penontonpun bertambah mulas perutnya, karena terlalu keras terkocok. Namun anehnya pula caci dan makian para penontonpun kiri terbius dengan pesta tari rame-rame mengikuti para punakawan tersebut.

Alunan suara gamelan menjadi bertambah kencang sekencang gerak tari punakawan di atas panggung menyambut sang satria piningit yang bertambah lama bertambah kental candanya. Lantunan suara sindenpun tidak kalah kerasnya, meski suaranya kini terdengar serak dan parau.Suara gegap gempita sontak lenyap berganti dengan suara gamelan yang mampu membangkitkan nilai-nilai manusiawi seiring dengan munculnya Ki Bodronoyo, Ki Lurah ” Negeri Impian ” Karang Kedempel. Seorang dewa yang memilih menghuni marcopodo ketimbang kahyangan, dengan wujud yang jelek, agar orang lain tidak perlu memandangnya, karena memang Ki Lurah ini tidak perlu pujian orang lain.

Cukuplah dia mengedepankan sense of human being tiap menjumpai permasalahan yang menimpa para petinggi negara antah berantah tersebut.Di Negeri Impian Karang Kedempel inilah Sang Maestro Kemanusian Ki Lurah Semar memimpin dengan bijak. Meski sebuah negeri yang terpencil, yang tak mungkin diinvasi bisnis oleh Bang Century. Sebuah negeri yang telah jauh dari jamahan tangan-tangan jahil penuh nafsu serakah., jangankan untuk terjadinya sebuah perseteruan politk antar warganya, untuk bermalas-malasan menelantarkan sawah ladangnyapun pantang bagi mereka.

Sehingga Ki Bodronoyo tidak pernah sekalipun mencanangkan program pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja yang baru.Pantang bagi seluruh warongko ndalem Negeri Impian ini untuk menggunakan kekayaan negara semata-mata demi keuntungan pribadi. Hal ini wajar saja lantaran semua aparat di kawasan tersebut telah tercukupi kebutuhan lahir batinnya, akibat dari piawainya sang begawan dalam me-manage .

Maka yang kita lihat sehari-hari hanyalah kerja keras dar i semua kawula yang berkiprah di specialisasinya sendiri-sendiri. Tidak pernah terdapat mekanisme aspirasi kawula alit yang bertepuk sebelah tangan , karena semua aspirasi rakyanya mampu diakomodasikan oleh Ki Lurah Semar, melalui instrumen-instrumen yang ada. Lantaran Ki Lurah Semarpun tahu persis, apabila aspirasi rakyatnya sampai terganjal di tengah jalan, maka Bumi Karang Kedempelpun akan menjadi sebuah karang abang. Bahkan bukan itu saja yang mendapat prioritas utama Ki Lurah., melainkan refleksi simetris harus didapatkan antara kawula alit dan perangkat-perangkat yang mewakili kawulanya.

Ki Lurah telah banyak wanti-wanti kepada warongko ndalem-nya jangan sampai permasalahan yang ada di kawulanya terlewatkan begitu saja, meski permasalahan yang besarnya hanya sehelai rambut. Sehingga tidak bakal terjadi polarisasi antar petinggi karena urgensi politik. Sementara di lain pihak kawula alit yang berposisi sebagai grassroote hanya membutuhkan kebutuhan hidup pokok yang semakin menjepitnya. Hal inipun telah diinternalisasikan kepada seluruh petinggi, sehingga tidak mengikuti langkah yang sama dengan negeri-negeri tetangganya, yang hingga sampai kini masih didera berbagai kekisruhan .Memang begitulah Ki Ismoyo Sang Pamomong yang terkenal di jagat anta beratah sebagai seorang filsuf multidimensional, sehingga banyak kepala negara dari negeri manapun pernah duduk di serambi rumahnya yang hanya berpagar bambu dan beralas tikar bambu.

Mendengarkan wejangan dan fatwanya tentang kemanusiaan, cara men-handling internal conflict dan lain sebagainya. Termasuk juga pada pentas malam itu, semua kemampuan Ki Bodronoyo telah dicurahkan untuk membekali sang satria yang sedang menghadap konflik institusi di negaranya, di tengah kebisuan gamelan, sinden dan penonton yang terkesima dengan wejanganya.Sehingga diharapkan sang satria tersebut mampu memperoleh pencerahan untuk bersikap sebagai mana mestinya dalam menghadapi kemelut poltik di negaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar