Kamis, 12 Agustus 2010

URGENSI Pendidikan KARAKTER

Hingga sampai kapankah anak bangsa yang bersemayam di Kepulauan Nusantara ini akan kembali mendinginkan sikap, agar tidak lagi mudah melampiaskan ketidakpuasan yang direfleksikan dengan demo anarkis, kericuhan masa karena ketidakpuasan hasil pilkada, mencoba bunuh diri untuk menarik perhatian publik karena keterpurukan ekonomi, pemalsuan seputar peralatan tabung gas 3 kg hingga telah banyak memakan korban jiwa, penggemukan rekening pribadi demi kepentingan oknum itu sendiri dan perseteruan antara petinggi serta tindakan amoralitas lainnya yang terus saja membahana di wajah Indonesia.

Untuk mengurai benang kusut tersebut tidak serta merta dapat dilakukan dengan penyempurnaan regulasi seberapa canggihnya untuk menyisipkan aspek jera pada oknum pelanggaran amoralitas tersebut di atas. Tetapi lebih berdaya guna untuk melengkapi aspek “budaya malu” pada masing-masing sanubari anak bangsa.

Sebegitu urgennya budaya malu sehingga Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, menyatakan bahwa perasaan malu selayaknya disemai sejak awal, agar kita bisa maju dan terus memperbaiki kualitas hasil kerja. "Contohlah orang Jepang," ujarnya saat memberi orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancasila di Jakarta Sabtu 10 Mei 2008 silam. Rasa malu hanyalah satu contoh nilai hidup yang dapat memajukan suatu bangsa.

Menindaklanjuti pernyataan mantan Perdana Mentri Malaysia tersebut terutama dalam aspek “character building” sejak dini, kitapun menjadi bertambah terimajinasi bahwa sudah selayaknya kita tidak hanya mengedepankan hanya aspek kognitif saja dalam mengantarkan peserta didik menjadi generasi insani seutuhnya. Meski di dalam laporan hasil evaluasi prestasi peserta didik yang disodorkan kepada orang tua murid terdapat sertaan aspek psikomotor dan afektif, namun sebagian besar pendidik cenderung menyematkan siswa berhasil dan tidak sebuah pembelajaran hanya dari aspek kognitif, tanpa mengindahkan aspek bentukan karakter peserta didiknya.

Sebuah karakter yang dicetak dari pendidikan karakter adalah sesuatu yang biasa dilakukan guna mencapai budi pekerti yang baik, yang didukung oleh nilai sosial yang melingkunginya. Sehingga mampu mengantarkan setiap peserta didik dalam bentukan individu yang berperan baik di tengah masyarakatnya kelak di kemudian hari. Hal inilah yang menjadi tujuan utama pendidikan karakter.

Hal ini disebabkan karena perkembangan karakter seorang individu tidak bisa lepas dari culture sosial yang melingkunginya, yang kemudian mmenjadi nilai hidup yang jauh terpatri dalam lubuk hatinya. Oleh karena fenomena perkembangan karakter suatu individu yag bersosialisasi di peradaban timur akan berbeda dengan peradaban barat. Sebagai contoh ciri dasar karakter individu yang bersosialisasi di peradaban timur adalah karakter tenang dan pendiam (quiet and calm). Namun karakter dasar ini akan bergeser menjadi bentuk lain apabila terinfiltrasi nilai sosial dari peradaban barat atau peradaban lainnya. Namun karakter individupun mampu bergeser ke bentuk lain lantaran terjadi pergeseran nilai yang terjadi di tengah masyarakat sosialnya sendiri.
Karena fitur sosial masyarakat modern Indonesia yang mencirikan peran pria dan wanita tanpa perbedaan, maka pandangan tentang perkembangan karakter menurut Aristoteles yang mensentralkan pada nilai dasar, kini telah berkembang pesat ke arah multifilosofi, seperti politik, pendidikan, gender dan lain sebagainya.
Padahal dalam upaya merekonstruksikan sematan “bangsa yang berbudaya luhur” sebuah pembelajaran karakter peserta didik perlu ditanamkan bersamaan dengan dinamisasi perkembangan kepribadian peserta didik
Oleh karena itu sebuah pendidikan karakter dalam arti luas perlu dikurikulumkan guna revitalisasi pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik tentang kesiapan pola sikap laku untuk mengembangkan berbagai aspek moralitas, kemasyarakatan, sikap yang baik, kejujuran, kesehatan, sikap kritis dan keterbukaan. Bahkan menurut konsep pendidikan karakter yang mutakhir, pembelajaran tentang sosial dan emosional, perkembangan kognitif, ketrampilan, pendidikan kesehatan, sikap anti kekerasan, etika dan mencegah serta mampu bertindak sebagai mediator setiap bentuk konflik.

Sekedar hanya untuk studi banding, dewasa ini terdapat sejumlah program pendidikan karakter yang bervariasi bergantung dengan tujuan dunia pendidikan atau dunia usaha yang diselenggaran di Amerika Serikat. Tetapi pendekatan yang umum sering diterapkan untuk dua tujuan tersebut di atas, adalah principles ( pokok utama tentang karakter), pillars (factor pendukung) dan values atau virtues ( nilai dasar). Tetapi dari tiga aspek pendukung pemberlangsungan pendidikan karakter, aspek nilai dasar yang paling mendominasinya.

Sebagai langkah awal pemberdayaan pendidikan karakter adalah diterapkan semua satuan pendidikan meneriwa calon peserta didik di tahun ajaran baru ini dengan memfokuskan system penerimaan “the best process”, yaitu sistim yang menerapkan penyaringan bukan hanya dari aspek kognitif, yang biasa diterapkan pada masa ebelumnya dengan sistim ”the best input”. Dengan the best process inilah suatu sekolah yang baik bisa saja menerima calon peserta didik yang harus dibenahi karakternya. Sehingga fungsi satuan pendidikan lebih kea rah bengkel mesin, dan pada akhirnya mampu berhasil guna sebagai “show room mobil” yang memajangkan mobil yang mengkilap dan siap pakai setelah dipermak.

Permakan tersebut diperoleh karena telah tuntasnya Multiple Intelligences Reseach (MIR) secara tuntas dan akurat kepada semua peserta didik. Sehingga bahan ajar yang disodorkanpun mampu dikompetensi oleh siswa setara dengan perkembangan karakternya yang ditampilkan.

Demi eksisnya bangsa yang santun, ramah, terbuka, mendahulukan rembug ketimbang beranarkis demo maka tidak ada salahnya kita meroknstruksi sesuatu yang hilang, yaitu revitalisasi “budaya malu” yang pernah tersemat di bangsa yang sedang meradang ini dan mampu menjadi identitas dunia internasional(Dari berbagai sumber)

Meramu Sistem PENDIDIKAN MODERN

Sejak umat manusia menghuni bumi ini, ada satu hal yang tidak pernah tertinggalkan sejalan dengan dinamilka peradaban yang telah eksis, yaitu pencerahan terhadap generasi penerusanya perihal nilai hidup, knowledge (pengetahuan), religi-spiritual atau kepercayaan kepada sesuatu yang mereka sembah, sebagai kekuatan di luar dimensi mereka. Pencerahan tersebut dilakukan oleh peradaban yang kala itu sedang eksis dengan metoda informal pada peradaban prasejarah hingga sistim pendidikan modern untuk peradaban manusia di abad millennium ini.
Hal ini dikarenakan pendidikan adalah salah satu “social institution” (pranata social) yang bersifat alamiah bersama dengan nilai agama, hak milik dan lembaga perkawinan. Dengan berhasilnya lembaga pendidikan yang dilangsungkan oleh setiap komponen dalam suatu struktur social, maka akan majulah peradaban masyarakat tertsebut, sehingga pada akhirnya mereka mampu menjadi “komunitas social yang berjati diri” dengan seabreg prestasi dibidang ekonomi, teknologi dan nilai lainnya.
Persepsi generasi penerus masyarakat tersebut akan urgensitas untuk menggali nilai hidup beserta komponen yang meng-suport-nya, seperti teknologi, nasionalisme, tanggung jawab moral terhadap profesi yang diemban, disiplin dan menghargai waktu, kejujuran, termasuk juga tanggung jawab mereka terhadap lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sekitarnya, begitu kuatnya melelkat dalam tiap sanubari mereka masing-masing. Secara sederhana kita bisa mendeteksi mentalitas anak bangsa tersebut dengan mencermati minat baca mereka terhadap “bahan ajar berbagai disiplin ilmu atau bacaan lainnya”,
Tentang minat baca kita patut berprihatin sebagaimana yang dikemukakan oleh Suayatno (praktisi pendidikan YLPI Duri), menurut laporan Bank Dunia No. 16369-IND, dan Studi IEA (International Association for the Evalution of Education Achievement ) di Asia Timur, tingkat terendah membaca anak-anak di pegang oleh negara Indonesia dengan skor 51.7, di bawah Filipina (skor 52.6); Thailand (skor 65.1); Singapura (74.0); dan Hongkong (75.5). Bukan itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanAya 30 persen. Sikap mental lainnya yang biasa kita lihat pada masyarakat sosial yang telah maju adalah serta ketertiban mereka saat bergiliran antri di berbagai kegiatan social.
Sikap mental yang demikian sangat jauh panggang dari api untuk masyarakat social di Negara kita. Telah kita ketahui bersama bahwa penanaman sikap yang kita harapkan, membutuhkan proses yang lama di sekitar relung estafet generasi satu dengan lainnya. Oleh karena itu penanaman mentalitas diataspun harus ditanamkan sedini mungkin.
Dengan demikian adalah hal yang belum maksimal berhasil guna bila kita terlalu mengedepankan “aksi bedil dan sepatu laras” ataupun “upaya mempersenjatai Satpol PP” untuk menelikung tindak demo anarkis, tawuran antar pelajar, budaya korupsi oknum petinggi dan hilangnya etos kerja keras untuk menggapai hidup yang lebih sejahtera. Oleh karena itu hamper tiap hari kita melihat tayangan bunuh diri diberbagai media oleh beberapa warga yang frustasi.
Penanaman sikap mentalitas yang kita harapkan tentulah melalui sarana pendidikan formal di tiap satuan pendidikan yang lebih kondusif untuk tiap peserta yang dikondisikan siap dihantarkan ke arah mentalitas tersebut, dengan tidak menelantarkan peran orang tua dan lingkungan yang memusari peserta didik tersebut.
Pendidikan yang telah sarat dengan pola penanaman kognitif yang mendominir pendidikan kita sudah saatnya kita sertakan dengan triangulasi sistim pendidikan, yaitu kognitif, psikhomotorik dan affektif. Dengan demikian tidak melulu kita mencetak siswa hanya untuk lulus UN dan bisa mengenyam di bangku PTN /PTS bergengsi. Siswa pada sistim pendidikan modern tidak lebih adalah sebuah “input peruses” untuk dipoles menjadi anak bangsa yang berdedikasi tinggi, santun, taqwa serta trampil, sebagai suatu outcome di jaman modern. Tendensi kita hanya pada aspek kognitif inilah yang membuat kita tertatih-tatih dalam pembentukan sikap mental peserta didik yang meninggalkan budaya kehidupan harmonis.
Tendensi pendidikan semacam itu jauh-jauh hari telah di diperingatkan oleh
Ki Hajar Dewantara (1977:374) yang mengemukakan bahwa pendidikan sekolah hanya disandarkan pada aturan pengajaran dengan system sekolah, dimana udara yang ada hanya udara intelektualisme, sekolah cenderung memberikan keilmuan yang bersifat rasionalitas saja sehingga tidak dipungkiri terabaikannya moralitas siswa;. Terlepas dari itu masih terdapat guru yang mengutamakan terselesaikannya target kurikulum dalam satu tahun ajaran ketimbang mengedepankan implementasinya dari sikap dan sifat siswa. Berdasarkan uraian tersebut pendidikan budi pekerti di sekolah-sekolah saat ini bisadikatakan masih kurang. Terbukti bahwa pada umumnya (93,8%) masyarakat menganggap bahwa pendidikan budipekerti di sekolah-sekolah saat ini masih kurang dan belum menunjang terhadap sikap dan perilaku siswa. Masyarakat pada umumnya (89%) menanggapi bahwa pendidikan budi pekerti sebaiknya diberikan mulai dari tingkat taman kanakkanak.
Contoh ini bisa kita dapati pada sistim penerimaan peserta didik baru di satuan pendidikan yang berlabel prestos, yang hanya menerima calon siswa yang tinggi nilai kognitifnya. Padahal satuan pendidikan tersebut telah sarat dengan kemampuan pedagogis yang mumpuni, seeharusnya bertindak layaknya sebuah bengkel canggih untuk mengkiati peserta didik didik yang memang perlu disemati karakter multidisliplin yang mampu menyongsong jaman.
Lebih kurang sebanyak 4 juta peserta didik yang lulus UASBN Th 2010 dan siap melanjutkan ke jenjang berikutnya. Sedangkan sejumlah peserta didik jenjang SMP/MTS/SMPLB tahun pembelajaran 2009/2010 juga siap meninggalkan bangku pendidikan dasar, tercatat 3.605.163 peserta didik yang berasal dari sebanyak 43.666 SMP/MTS negeri/swasta se Indonesia, juga mendambakan kebagian bangku sekolah jenjang berikutnya. Sehingga telah siap sekitar rata-rata 7.605.163 siswa per tahun yang telah siap menggantikan peran kita di masyarakat nantinya. Dengan potensi sebesar itu tentu bisa kita daya gunakan guna kemajuan bangsa ini, apabila kita melakukan “educational approach” yang benar. Minimal kita memberi resep yang jitu guna raihan karakter standar yang dikemas dalam “pembelajaran karakter” , dengan memberi porsi analisis karakter per siswa. Gejala gejala pembelokan karakter sedini mungkin dihindarkan, seperti membolos, curang, tidak berbakti pada pendidik dan tidak menghargai waktu, seperti yang umum terjadi pada siswa di Indonesia.
Sehingga peran pendidik disamping sebagai sumber fasilitator pembelajaran, juga mampiu memberi resep mujarab kepada peserta didiknya yang melakukan pelanggaran ini. Hal ini tentunya bisa gampang dilakukan bila sang pendidik tersebut memiliki track record psikhologi anak tersebut yang telah dikonsultasikan oleh ahli psikhologi perkembangan peserta didik. Fungsi ini layaknya seorang mekanik yang telah tahu persis kerusakan mesin mobil milik pelanggannya. Apabila kita berhasil menerapkan pembelajaran yang professional dan proporsional maka niscaya kita mampu mensejajarkan diri dengan Negara maju lainnya.

Generasi FACEBOOK Yang TERPINGIT

Semakin manusia mampu mencurahkan daya ciptanya yang berwujud capaian teknologi, semakin nyaman pula manusia mengkonsumsi, menggunakan ataupun menerapkan hasil olahan daya ciptanya itu. Sehingga faktor pengendala yang melingkungi hidup manusia secara bertahap mulai dieliminasi, untuk diganti dengan sistim pendukung kehidupan yang lebih maju.

Sepanjang peradaban manusia dari jaman ke jaman, selalu saja peradaban itu perlu ditopang dengan kebutuhan “sistim informasi” yang bervariasi menurut jamannya, karena sudah menjadi fitroh kehidupan umat manusia di muka bumi ini untuk berkomunikasi, interaksi dan bersosialisasi satu dengan lainnya untuk menggapai dinamika kehidupan masyarakat mereka. Khusus untuk penunjang sistim komunikasi ini, semakin canggih, efisien, cepat serta murah, semakin pula banyak “ekses negatip” yang ditimbulkan. . Sistim informasi dan komunikasi tersebut adalah “situs pertemanan facebook”. Sebagai sistim yang banyak menarik kegandrungan masyarakat dunia terlebih-lebih bagi facebooker remaja kita (sebesar 40,1 % dari seluruh facebooker).

Begitu kuatnya facebook berhasil menyihir hati kita semua, terbukti bahwa masyarakat pengguna sistim ini, menurut survey pada tahun 2009 berjumlah mencapai 235 juta penduduk dunia ( hampir menyamai penduduk USA). Bahkan lebih mengejutkan lagi, memasuki tahun 2010 ini,pengguna facebooker telah tembus hingga mencapai setengah milyar masyarakat dunia, dengan jumlah “log in” aktif sebesar 50 % dari keseluruhan facebooker dan 70 % diantaranya adalah facebnooker dari luar Amerika. Jumlah tersebur bervariasi lintas gender, remaja hingga orang dewasa dengan tidak memandang jenis profesi. Hal ini tentunya membawa konsekuensi bahwa facebook, bakal menjadi sistim komunikasi dan informasi yang membentang menembus tembok budaya, bahasa, geografis, kedaulatan negara serta perdaban social seantero bumi ini.

Dengan jumlah facebooker yang mencapai hamper 23 juta maka diluar dugaan Indonesia menjadi 10 negara terbesar pengguna bersama dengan . AS, Inggris, Turki, Perancis, Canada, Itali, Spanyol, Australi dan Pilipina. Perkembangan facebooker ini melesat dari tahun ke tahun, mulai hanya 831 ribu facebooker pada tahun 2008 hingga mencapai jumlah 22 juta pada tahun 2010 ini dan diprediksi akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Lantas kitapun mesti harus mempersiapkan mental kita, apabila sebagian besar pengguna facebook adalah remaja putra putri kita. Akses negatip apa yang bakal menerpa mereka.

Memang perlu kita waspadai bahwa semenjak Masyarakat Indonesia mengenal telepon seluler, kemudian internet dan terakhir adalah facebooke, sedikit banyaknya sistim tersebut telah mengubah perilaku mereka. Betapa tidak, mereka ibaratnya telah menjadi bagian masyarakat yang tidak lagi interaktif dan komunikatif dengan lingkungan sosialnya dan pada gilirannya nanti bakalan menjadi masyarakat dengan fitur sosial yang
tanpa kepedulian sesama, pengaruh ini sudah barang tentu akan signifikan terhadap remaja. Karena mereka hanya bersedia berinteraksi dengan komunitasnya yang berada dalam satu sistim.

Masalah lain yang juga patut kita waspadai adalah semakin mudahnya remaja kita mengakses situs porno yang belum relevan dengan perkembangan pribadi mereka. Oleh karena itu kita menjadi prihatin dengan data yang disodorkan Okanegara dalam “Kehidupan Remaja Saat Ini” (2007) bahwa jumlah remaja Indonesia yang berusia 10-24 tahun mencapai 65 juta orang atau 30 persen dari total penduduk Indonesia? Tahukah kita bahwa sekitar 15-20 persen dari remaja usia sekolah di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah? Tahukah kita bahwa 15 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya?.

Tanpa diaplikasikan dengan fungsi yang pada tempatnya, remaja kita bisa saja terjerumus dengan pola pergaulan yang tidak berkepribadian timur dengan mengesampingkan faktor norma susila. Sehingga pada akhirnya situs pertemanan ini hanya mirip dengan media pelampiasan tindakan amoralitas seperti yang dikemukakan oleh Okanegara tersebut. Oleh kartena itu kitapun harus berpikir lebih jauh lagi untuk membuang jauh-jauh sikap nonkompromis remaja kita dengan hadirnya facebook ini, bukan kita dengan serta merta menyalahkan aplikasi teknologi canggih ini.

Namun demikian ekses negatif dari facebook ini tentunya harus kita minimalis pengaruhnya kepada putra kita, dengan metoda pembimbingan ketat ortu di rumah dan peran pendidik dalam mengantarkan peserta didiknya mengeksploitir Nerwork guna efektifitas sistim pembelajaran. Karena dalam pendidikan modern mendatang, peran multimedia tidak bisa kita kesampingkan begitu saja.Kitapun harus ingat bahwa 40 % pengguna network/facebook adalah remaja, yang sebenarnya bisa kita bimbing dan arahkan untuk menggali “informasi bahan ajar” dari dunia maya ini

Rabu, 11 Agustus 2010

REKONSTRUKSI Masyarakat INDONESIA Berbudi Luhur

Sebuah miniatur tentang keterpurukan multidimensional bangsa ini baru saja terjadi di Jakarta, Kamis dini hari tanggal 8 Juli tahun ini, ketika seorang Anggota Divisi Investigasi ICW Tama Satrya Langkun mendapat penganiayaan dari sejumlah orang yang tak dikenal hingga mengalami luka serius di bagian kepalanya. Tama adalah anggota ICW yang melaporkan temuan tentang rekening gemuk yang dimiliki oleh sejumlah petinggi Polri. Disusul kemudian kejadian pelemparan bom Molotov ke kantor redaksi Majalah Tempo di Jakarta. Tentu kita akan bertanya, apakah kasus tersebut berhubungan dengan temuannya itu. Kitapun tidak bisa menuduh sembarangan sebelum semuanya dibuktikan melalui aturan yang semestinya. Hingga sampai kapankah anak bangsa yang bersemayam di Kepulauan Nusantara ini akan kembali mendinginkan sikap, agar tidak lagi mudah berang yang direfleksikan dengan demo anarkis, kericuhan masa karena ketidakpuasan hasil pilkada, mencoba bunuh diri untuk menarik perhatian publik karena keterpurukan ekonomi, petualngan “nafsu syahwat” Ariel dengan selebritis lainnya, pemalsuan seputar peralatan tabung gas 3 kg hingga telah banyak memakan korban jiwa, penggemukan rekening pribadi demi kepentingan oknum itu sendiri dan perseteruan antara petinggi serta tindakan amoralias lainnya yang terus saja membahana di wajah Indonesia. Tindakan amoralitas yang paling mendominasi dan mensiratkan secara signifikan keterpurukan bangsa ini, adalah demo anarkis. Kita tidak mampu lagi membayangkan bahwa berdasarkan laporan Mabes Polri yang memprediksi aksi demo yang anarkis dalam beberapa bulan ke sampai tahun 2009 mengalami peningkatan dibanding semester pertama tahun 2008. Pada enam bulan pertama tahun 2008 ini Polri sudah mencatat ada 2.486 aksi demo dengan berbagai latar belakang dan kepentingan. Mulai dari aksi demo untuk kepentingan politik, ekonomi, sampai soal agama. Jumlah aksi demo itu meningkat sebanyak 34,38 persen dibanding tahun 2007, yang jumlahnya hanya mencapai 1.850 aksi. Aksi inipun tentunya terus saja berlangsung hingga akhir tahun 2010, yang tentu saja meningkat terus karena dilatarbelakangi konflik seputar gelaran Pilkada di sejumlah daerah. Untuk mengurai benang kusut tersebut tidak serta merta dapat dilakukan dengan penyempurnaan regulasi yang canggih untuk menyisipkan aspek jera pada oknum pelanggaran amoralitas tersebut di atas. Tetapi lebih berdaya guna untuk melengkapi aspek “budaya malu” pada masing-masing sanubari anak bangsa. Sebegitu urgennya budaya malu sehingga Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahadthir Mohamad, menyatakan bahwa perasaan malu selayaknya disemai sejak awal, agar kita bisa maju dan terus memperbaiki kualitas hasil kerja. "Contohlah orang Jepang," ujarnya saat memberi orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancasila di Jakarta Sabtu 10 Mei 2008 silam. Rasa malu hanyalah satu contoh nilai hidup yang dapat memajukan suatu bangsa. Sebuah karakter sosial disetiap peradaban dewasa ini menganut konsep analisis yang dikemukakan oleh Erich Fromm (Character and Social Process. An Appendix to Fear of Freedom, Routledge, 1942). yang mampu menggambarkan struktur karakter masyarakat sosial atau klas sosial dengan cermat, sesuai dengan pandangan hidup masyarakat iu sendiri. Karena secara esensial karakter sosial beradaptasi dengan model produktifitas yang dominan di masyrakat tersebut. Lebih lanjut Erich menjelaskan bahwa sebuah karakter individu banyak ditampilkan dari struktur karakternya sendiri, berbeda dengan struktur karakter sosial, yang ditampilkan dengan perilaku emosional yang umum di dapatkan pada sebuah masyarakat sosial. Karakter sosial secara substansial dimulai dari karakter tiap keluarga yang menyusunnya. Sehingga peran keluarga dalam hal ini sebagai agen perubahan sosial, disamping sekolahan dan lingkungan kerja. Sehingga apabila fungsi sosial tidak selaras lagi dengan yang diharapkan, munculah karakter sosial yang tidak mampu lagi berbuat seperti yang diharapkan bersama. Hal ini muncul pada misalkan telah berlangsungnya struktur sosial yang menyimpang yang memungkinkan setiap anggota masyarakat sudah tidak mematuhi lagi segala macam regulasi. Pada keadaan seperti ini munculah naluri anggota masyarakat untuk “memperjuangkan kebebasan dari ketimpangan yang melingkunginya”. Bukankah Teori dari Erich Fromm tentang karakter sosial telah dibuktikan kecermatanya bila kita mencermati pergeseran karakter Masyarakat Indonesia dewasa ini, yang bertolak belakang dengan nilai yang ditanamkan oleh leluhurnya. Gejala ini telah ditengarai berdasarkan pernyataan Nick Mutt (ERP Implementation Strategy and fundamentals of ERP , 2009) bahwa setiap individu masyarakat apabila telah menerima kesepakatan sosial bersama, maka individu tersebut mampu mengembangkan daya kemampuannya, pengetahuan, organisasi, nilai dan pandangan hidupnya tanpa mengalami perseteruan dengan lingkungan sosialnya. Bahkan bukan hanya itu saja, setiap individu anggota masyarakatpun mampu melakukan ambisi terhadap sosialnya untuk tujuan hidupnya, patuh pada aturan dan fungsi peranannya pada lembaga sosial disekelilingnya. Apabila fakta telah menyuguhkan fenomena yang bertolak belakang dengan hal yang kita dambakan, maka sudah barang tentu telah terjadi kehidupan sosial yang sudah tidak kondusif lagi bagi anak bangsa untuk berkehidupan berbangsa dan bernegara. Pendekatan yang sosiologispun perlu diprogramkan, untuk elemen pemerintah guna merangkul kembali saudara-saudara kita yang menanggalkan nilai dudaya Masyarakat Indonesia yang berbudi luhur. Penyematan kembali predikat ini bisa dilakukan dengan mengfungsikan kembali instrument multimedia pada fungsi semula, menghindari “seminimal mungkin penistaan” pada raihan teknologi tinggi ini, yang justru banyak dilakukan oleh masyarakat luas. Fenomena tersebut memang sepintas tidak berpengaruh nyata. Tetapi apabila konsumsi distrosi multimedia telah menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari, maka akan terjadi asimilasi budaya yang negatif. Selain itu perlu dibudayakan tingkat penyelesaian konflik dengan berbagai skala mulai dari imndicidu, kelompok dan institusi dengan pendekatan tingkat win-win solution, yaitu menyertakan semua komponen yang berseteru dalam satu niatan yang baik. Sebab apabila hal ini telah ditinggalkan, maka akan melahirkan tingkat penyelesaian yang win-loose solution, seperti yang banyak terjadi antara institusi yang berkuasa dengan masyarakat luas. Apabila hal ini terus saja membahana di Bumi Pertiwi ini, maka gagalah kembali sematan Bangsa yang Berbudaya Luhur. (Dari berbagai sumber).

Selasa, 10 Agustus 2010

PARU PARU DUNIA Yang MELEKANG

Pada dasarnya keaneka ragaman hayati yang melingkungi kita adalah sahabat setia kita yang tak ternilai harganya. Karena segala faktor pembatas yang memberlangsungkan kehidupan kita, terkandung di dalamnya dengan jumlah yang tak terbatas, bersifat “renewable” dan memiliki daya dukung terhadap peradaban suatu masyarakat yang berinteraksi di dalamnya. Tentu saja interdepedensi ini akan terwujud apabila kita peduli untuk memberlakukan secara ekologis. Apabila kepedulian ini jauh dari sikap mental hidup kita, maka kitapun akan mrngalami seperti yang dilaporkan Greenpeace (2010), yaitu dewasa ini Brazil telah kehilangan lebih dari 87 kebudayaan rakyatnya; karena rusaknya habitat hutan. Bahkan lebih lanjut Greenpeace malaporkan, bahwa pada 10 hingga 20 tahun kedepan nampaknya dunia akan kehilangan ribuan spesies tanaman dan binatang. Kenyataan seperti ini mengakibatkan terjadinya kemacetan warisan sumber daya alam yang dihibahkan kepada anak cucu kita. Namun apa yang terjadi, sebegitu pesatnya umat manusia dalam mengembangkan tehnologi di bidang apa saja demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun semakin mutakhir dan inovatifnya teknologi tersebut bukan berarti manusia bertambah nyaman. Semakin gampang manusia mendapatkan sesuatu yang menjadi faktor pembatas terhadap kenyamanan hidupnya, semakin pula manusia dihadapkan pada faktor pembatas lainnya. Secara ringkas dapat kita katakan, bahwa semakin gampang manusia mengkonsumsi / mengeksploitasi sumber daya alam, semakin berkurang daya dukung alam. Sehingga semakin nyaman kehidupan manusia di tengah daya dukung alam, semakin tidak mampu manusia mewariskan sumber alam hayati kepada anak cucu kita. Salah satu sumber keanekaragaman hayati yang berperan vital tersebut adalah “hutan”. Kita mampu menyimpulkan urgensi sebuah hutan, karena fungsinya sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting. Khusus fungsi hutan sebagai reservoir oksigen identik dengan fungsi paru-paru pada organisma hewan dan manusia. Fungsi inilah yang mejadi keprihatinan kita bersama, meski fungsi lain di atas tidak bisa kita abaikan. Adalah sesuatu yang menakjubkan bila kita mencermati laporan dari para ahli, bahwa meskipun Indonesia memiliki luas daratan 1,3 % dari luas dunia, namun asset milik kita ini memiliki kekayaan keanekaragaman hayati dunia, karena menyimpan 11 % kekayaan species tumbuhan di dunia, 12 % jumlah species hewan mamalia/menyusui terkandung di hutan kita, ditambah 2 % species burung dan 25 % species ikan dunia dan bersifat “endemic” atau hanya ada di Persada Nusantara. Bayangkan saja betapa mahal harganya bila kita memiliki hutan seluas 162.290.000 hektar (Dinas Kehutanan Indonesia, 1950). Sehingga kitapun mampu menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki hutan yang berfungsi sebagai “paru paru dunia”. Lantas apakah kita mampu terus memfungsikan hutan Indonesia seperti tersebut di atas, bila luasnya terus saja menciut, sebagaimana dilaporkan Kementrian Kehutanan bahwa hingga tahun 1992 luasnya tinggal 118,7 juta Ha, kemudian pada tahun 2003 berkurang menjadi 110,0 juta Ha dan tahun 2005 tinggal 93,92 juta Ha (Praktis tinggal 58 %. Kita akan lebih meratap pilu bila menyikapi laporan World Resourches Institute (1977) yang menyatakan bahwa Indonesia telah kehilangan “hutanm asli alamnya” hingga mencapai 72 %. Sudah barang tentu kecerobohan kia semua dalam memberlakukan semena- mena terhadap hutan, bukan hanya kita sendiri yang meratapinya. Tetapi masyarakat duniapun ikut prihatin terhadap tindakan sepihak kita. Hal ini wajar saja bila daya dukung “paru paru dunia” telah berkurang hingga separonya. Yang pada giliranya akan mengganggu persediaan oksigen di atmosfer. Padahal dengan senyawa tersebutlah semua “organisma konsumen”, yaitu manusia dan hewan seantero dunia ini mampu melangsungkan hidupnya. Di lain pihak tanaman sebagai sumber daya hayati, memiliki fungsi ganda baik sebagai supplier oksigen untuk organisma, tetapi juga memiliki fungsi vital sebagai konsumen “karbon dioksida” ( CO2), yang belakangan ini meningkat kandunganya di atmosfer. Contoh kasus ini bisa kita cermati laporan dari “The Fourth U.S. Climate Action Report “ yang telah malaporkan bahwa sejak tahun 1990 – 2004 di AS emisi “karbon dioksida” meningkat sebanyak 20 %, Tsaja terjadi di negara kita yang sering terjadi kebakaran hutan. Dengan semakin parahnya kerusakan hutan di Indonesia, akibat kebakaran yang tidak kunjung terselesaikan, ditambah dengan praktek amoralitas “illegal logging” yang menjadi “epidemik” di tanah yang subur ini. Mengakibatkan laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Demi anak cucu kita yang “tiada berdosa” agar mampu hidup nyaman dan tentram seperti para leluhurnya, maka rehabilitasi hutanpun menjadi suatu harga mati. Begitu juga dengan program reboisasi hutan yang digulirkan oleh Menhut Zulkifli Hasan, yang menarjetkan reboisasi hutan lindung seluas 500.000 Ha per tahun, untuk menepis anggapan para ilmuwan lingkungan hidup dunia, yang menganggap hanya Indonesia dan Brasil saja yang tidak mensukseskan reboisasi hutannya. Pemerintah Indonesia melalui keputusan bersama Departemen Kehutanan dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan sejak tahun 2001 telah mengeluarkan larangan ekspor kayu bulat (log) dan bahan baku serpih. Dan di tahun 2003, Departemen Kehutanan telah menurunkan jatah tebang tahunan (jumlah yang boleh ditebang oleh pengusaha hutan) menjadi 6,8 juta meter kubik setahun dan diturunkan lagi di tahun 2004 menjadi 5,7 juta meter kubik setahun. Apabila tanggung jawab kita bersama terhadap kekayaan anak cucu kita sendiri dilakuka dengan serius da penuh dedikasi maka ratapan pilu “paru-paru dunia” pun berganti dengan senyum ceria(Dari berbagai sumber).

BANJIR Fenomena Alam Dan PERADABAN MANUSIA

Kenyamanan apa lagi yang belum dieksploitir oleh organisma paling dominant di muka bumi ini kalau bukan organisma manusia. Sebuah pertanyaan yang mencoba menguak ketamakan manusia dalam mendzolimi sumber daya hayati dan lingkungan fisik di muka bumi ini. Bahkan ambisi eksploitasi ini telah berkembang dalam bentuk penjelejahan ruang angkasa demi kesejahteraan manusia itu sendiri. Namun benarkah manusia telah mampu memberdayakan sumber daya alam yang berlimpah, sehingga tidak lagi mengancam kehidupanya. Sebuah fenomena yang pelik dan dapat mengancam eksistensi peradaban manusia telah menyeruak sejak awal abad ke-20 ini, sejak alam tidak lagi tersenyum ramah kepada kita lantaran dieksploitir dengan sepihak dan membabi buta demi sebuah ego. Betapa tidak dengan mengkonsumsi energi guna mobilisasi, fabrikasi dan kenyamanan hidup lainnya, manusia harus melepas gugus gas racun ke atmosfer. Gas gas monster tersebut adalah gas Karbondioksida (CO2) dalam jumlah berlebihan dan menumpuk di atmosfer, padahal salah satu sifat gas ini adalah menyerap kalor hasil radiasi cahaya matahari. Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi Karbondioksida di atmosfer, aktivitas manusia tersebut dalam melepaskan Karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya. Pada tahun 1750, terdapat 281 molekul Karbondioksida pada satu juta molekul udara (281 ppm). Pada Januari 2007, konsentrasi Karbondioksida telah mencapai 383 ppm (peningkatan 36 persen). Jika prediksi saat ini benar, pada tahun 2100, karbondioksida akan mencapai konsentrasi 540 hingga 970 ppm. Disamping gas Karbondioksida juga terdapat gas kimia organik radikal yang terakumulasi di atmosfer, gas tersebut adalah Metana. Gas ini mampu mengabsorbsi kalor sebanyak 20 kali dari Karbondiolsida. Gas lain yang dewasa ini ikut pula mencemari armosfer adalah Nitrogen Oksida, sebuah gas yang berperan dalam insulator kalor 300 kali kemampuan Karbondioksida. Namun kita juga harus mewaspadai gugus gas kimia yang “kecil tapi cabe rawit”, artinya meski di atmosfer terakumulasi dalam jumlah yang kecil namun memiliki daya penghancur lingkungan yang besar, gas tersebut adalah Alumunium. Hidrofluorokarbon (HCFC-22) dan Klorofluorokarbon (CFC). Kemarahan alam ini baru terdeksi pada seratus tahun terakhir ini, ketika manusia merasakan temperature bumi merambat naik dari decade ke decade, yang disebut dengan fenomena Pemanasan Global yang ternyata berdampak sistemik terhadap hubungan timbal balik antara sumber daya alami dan hayati. Termasuk timbal balik manusia dengan alam yang menyeretnya dalam hubungan yang mampu mengancam eksistensi peradaban manusia. Ketidak serasian hubungan antara dua komponen ini bisa kita cermati engan refleksi berbagai distorsi (kerusakan) cuaca, terjadinya gelombang panas di benua Eropa dan Amerika, bergeraknya gunung es sebesar 2 kali Pulau Hongkong menuju daratan Benua Australia, kerusakan iklim (Global Clymate) dan banjir, sebagai suatu bencana alam yang umum terjadi tetapi mampu membuat kerusakan sebuah lingkungan fisik dan social umat manusia. Khusus untuk bencana alam yang satu ini, manusia belum mampu mengaplikasikan temuan berbagai macam iptek untuk menangkal atau menghindari momok ini. Salah satu contoh adalah terjadinya banjir bandang byang menerjang Pakistan barat laut tepatnya di Nowshera, pada hari Selasa (3/8) yang telah menyebabkan lebih dari tiga juta orang merana. Korban yang te¬was mencapai 1.400 orang, Kondisi ini diperparah dengan terbatasnya stok pangan akibat terendamnya daerah penghasil pangan di Provinsi Punjab, Namun bukah hanya di wilayah Pakistan saja sejarah mengukir terjangan banjir bandang yang menyengsarakan umat manusia. Seperti di belahan bumi lainnya, di tanah airpun masyarakat kita telah akrab dengan banjir. Bencana alam yang terjadi di Indonesia sepanjang 2009 hingga 2010 didominasi akibat banjir dengan prosentase sebanyak 60 persen. Salah satunya adalah banjir “Jakarta 2007”, adalah bencana banjir yang menghantam Jakarta dan sekitarnya sejak 1 Februari 2007 malam hari. Selain sistem drainase yang buruk, banjir berawal dari hujan lebat yang berlangsung sejak sore hari tanggal 1 Februari hingga keesokan harinya tanggal 2 Februari, ditambah banyaknya volume air 13 sungai yang melintasi Jakarta yang berasal dari Bogor-Puncak-Cianjur, dan air laut yang sedang pasang, mengakibatkan hampir 60% wilayah DKI Jakarta terendam banjir dengan kedalaman mencapai hingga 5 meter di beberapa titik lokasi banjir. Menuut Agus Maryonoo, seorang pakar yang mendapatkan penghargaan sebagai penulis artikel terbaik nasional ke-PU-an 2009 dalam rangka HUT ke-64 Departemen Pekerjaan Umum (DPU) dalam Artikelnya yang berjudul ‘Banjir Beruntun dan Konservasi DAS Hulu” menjelaskan bahwa banjir yang akhir-akhir ini melanda berbagai daerah pada umumnya masih dikendalikan dengan bermacam upaya konstruksi di bagian hilir lokasi banjir. Upaya tersebut memakan biaya sangat besar dan tidak menunjukkan hasil signifikan. Hal itu terjadi karena akar permasalahan yang sesungguhnya, yakni kerusakan daerah aliran sungai (DAS) di bagian hulu, tidak tersentuh. Oleh karena itu banjir yang beruntun dan meluap di mana-mana dapat menyadarkan pemerintah dan banyak kalangan, untuk menggarap lebih intensif DAS bagian hulu secara serius dan komprehensif. Partisipasi masyarakatpun perlu digali dalam upaya pencegahan bahaya banjir di masa yang akan dating agar mampu mewarisi sumber alam hayati yang utuh demi anak cucu kita.Peran serta tersebut salah satunya adalah kesadaran dalam membatasi takaran gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer esuai dengan Protokol Konvesnsi PBB di Kopenhagen tentang Iklim yang mewajibkan negara-negara maju untuk mengurangi pelepasan gas efek rumah kaca, demikian juga dengan negara negara berkembang yang harus mengintensifkan diri dalam mengkampanyekan gas pembawa maut ini (Dari berbagai sumber).

KORAN DAN MINAT BACA

Sebenarnya mudah saja kita mendefinisikan fungsi Koran/surat kabar yang hadir di tengah kita, yaitu memberi informasi kepada masyarakat luas. Meski semakin tinggi kompleksitas sosial masyarakat, semakin perlu juga definisi tersebut dikaji ulang seperlunya sesuai dengan ketajaman media tersebut di wajah sang jaman. Sehingga jadilah media sebagai agen pencerahan publik, yang meliputi fungsi tp inform (menginformasikan), to educate (mendidik ), to influence (mempengaruhi), to entertain (menghibur) dan to mediate (mediasi). Setelah setiap media di abad modern ini tampil dengan wajah yang koprehensif, maka tentunya media itupun memiliki konsekuensi moral mengantarkan masyarakatnya menuju “mayarakat yang bertaut dengan perguliran jaman modern”, yang ditengarai dengan sikap haus inovasi, informasi dan segala kebutuhan pemoles demi kenyamanan hidup masyarakat. Namun sayangnya fitur masyarakat Indonesia belum mampu menapaki fitur yang demikian, lantaran masih kuatnya jebakan keterpurukan multidimensional dan “rendahnya minat baca.”. Apakah kompleksitas negatif ini dibiarkan tertus merongrong “hasrat ingin maju” masyarakat kita, apalagi di usia negara ini yang sudah menginjak 65 tahun. Seperti kita ketahui bersama bahwa di jaman globalisasi ini, bagi siapa saja yang berniat menggali informasi, tak ada lagi factor yang mengendala. Realitas ini timbul dengan sendirinya lantaran didukung dengan hadirnya beberapa Koran, baik lokal di daerah yang menjadi fokus publikasinya, atau Koran nasional. Bahkan lebih bervariasi lagi antara koran 0n-line, cetak atau hybrid antara keduanya Namun tetap saja hadirnya koran lokal, belum mampu mengentaskan minat baca publik. Penyebab utama yang mengganjal adalah faktor ekonomi dan kemauan untuk menggali informasi itu sendiri. Menanggapi permasalahan tersebut, kita cenderung menilai, sebenarnya harga koran secara umum bersifat relatif, karena tergantung kita untuk menempatkannya. Bila kita berdiri pada sisi media masa sebagai suatu kebutuhan primer, yang memberi pencerahan dan sumber gagasan yang dibutuhkan suatu masyarakat, maka tentunya harga koran akan jauh lebih murah dibanding dengan peranannya. Apalagi bila kita menapaki koran sebagai kebutuhan sekunder, yang berfungsi menanamkan nilai-nilai mendasar, maka kitapun wajib hukumnya untuk membaca koran. Apalagi dengan terjadinya badai degradasi moral masyarakat Indonesia, maka tentu saja harga koran tidak pernah kita permasalahkan lagi. Untuk membantu memberi solusi ini, kita cenderung menggaris bawahi hubungan antara eksistensi suatu media massa dengan minat baca masyarakat yang berbanding lurus, bahkan terjadi interaksi yang signifikan antara kedua unsur tersebut. Semakin tingginya minat baca suatu masyarakat akan semakin kokoh pula eksistensi suatu media massa. Sehingga poin utama yang harus kita kaji disini adalah minat baca masyarakat Indonesia yang memprihatinkan, meskipun sebenarnya biaya untuk mendapatkan informasi tidak menjadi faktor kendala. Hal ini karena dilatarbelakangi dengan bergulirnya era internetisasi, era dimana mekanisme pelayanan informatika publik sudah tidak masalah lagi. Betapa tidak dengan dana hanya sebesar Rp5.ribu, kita bisa mengarungi dunia yang serba informatif sekaligus inovatif, melalui warnet yang telah tersebar hingga perkampungan. Apalagi saat ini telah marak ratusan koran online. Tinggalah kita mencermati urgensi minat baca yang sedemikian vitalnya, karena membaca menurut Gleen Doman (1991 : 19) dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read menyatakan, membaca merupakan fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Selanjutnya melalui budaya masyarakat membaca, kita akan melangkah menuju masyarakat belajar atau learning society (Sumber: H Athaillah Baderi, 2005. Wacana ke Arah Pembentukan Sebuah Lembaga Nasional Pembudayaan Masyarakat Membaca. Pengukuhan Pustakawan Utama).. Dengan kondisi demikian, bagaimana kita mampu menciptakan learning society seperti yang dinyatakan Gleen Doman di atas. Hanya sebuah perjuangan yang keras dan terintegral antara semua unsur yang bertanggung jawab terhadap penyiapan generasi minat baca harus terus dikukuhkan. Hal ini karena untuk mengentaskan minat baca masyarakat kita sama saja dengan mengubah sebuah budaya masyarakat (social changes). Konsekuensi logis dari ini semua adalah dilakukannya penanaman sikap sedini mungkin untuk mencintai dan membaca buku pendukung pembelajaran sekolah, hasil tayang media massa, laporan ilmiah, buku fiksi dan non fiksi dan lain sebagainya. Sudah saatnya kita mengejar ketertinggalan dengan negara-negara Asia dalam hal minat baca, tentunya dengan instrumen-instrumen pendukung seperti revolusi pendidikan, internetisasi desa, subsidi negara terhadap biaya kertas sehingga mengakibatkan menurunya harga koran dan sejenisnya, pemberian bahan ajar ke peserta didik cuma-cuma di setiap jenjang satuan pendidikan, penerapan Jambemas (Jam Belajar Masyarakat) dan lain sebagainya. Kita tidak usah malu-malu dalam meniru langkah Malaysia dalam mengentaskan minat baca, dengan cara pemberian buku ajar kepada peserta didik secara gratis, dengan mutu bahan ajar yang representatif. Dan sebagai bukti keseriusan dalam hal minat baca ini, mereka mencetak buku ajar tersebut dengan kualitas yang bagus dan banyak mengadopsi bahan ajar dari negara-negara maju.(Dari berbagai sumber)

KEMERDEKAAN Di Titian Jalan PANJANG

Kemerdekaan secara mudah diucapkan lisan hanyalah makna “bebas dari rasa takut, tekanan suatu pihak, keangkuhan tirani, ketidak adilan hukum, eksploitasi/perbudakan manusia modern, kemiskinan dan kebodohan dan tekanan menyampaikan pendapat, politik serta terhalangnya life-style (gaya hidup) yang kita sukai”. Makna sebuah kemerdekaan pada umumnya mengacu pada rumusan deklarasi kemerdekaan Thomas Jefferson yang mengadopsi “teori kontrak pemerintahan” ajaran John Locke sebagai “unalienable right” to “life, Liberty, and the pursuit of Happiness.”. Jefferson mendasarkan kemerdekaan pada kebutuhan manusia yang lebih hakiki, yaitu hak untuk mencapai kebahagiaan hidup. Sedangkan menurut teori “Politik Autonomi dan Kemerdekaan” suatu wilayah dari Jordi Brants kemerdekaan adalah proses status politik yang seharusnya diperoleh dari daerah jajahan atau daerah kekuasaan sebuah negara (subordinated region). Perjalanan panjang sebuiah kemerdekaan diawali dengan pendirian PNI pada tanggal 4 Juli 1927 oleh “The Founding Father” Soekarno, sebagai sebuah legitimasi politik yang menasional. Mulailah saat itu kesadaran bernasionalisme yang tinggi mulai mendekam di tiap sanubari anak bangsa. Meski perjuangan itu mengakibatkan dia harus berurusan dengan Kepolisian Negara colonial dan dijebloskan dalam penjara Sukamiskin Bandung. Delapan bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 29 Desember 1929, pada persidangannya. Soekarno menyampaikan pembelaannya yang berjudul “Indonesia Menggugat “, yang berisikan tentang kebobrokan Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia. Keberanian Soekarno dalam menggugat colonial Belanda adalah cerminan dari sikapnya yang konsisten, tegas tanpa kooperatif dengan penjajah atau anti kolonialisme yang tumbuih sejal mudanya, Sikap ini dipertahankan hingga Soekarno menjabat sebagai Presioden RI, yang sama sekali tidak mau menerima pinjaman dari dunia barat. Soekarnopun berpendapat bahwa uluran tangan dari kapatilis negara barat, hanyalah kedok saja yang sebenarnya adalah gaya negara barat untuk melakukan neokolonialisme melalui kerjasama ekonomi. Meski PNI yang dibidani telah diberangus oleh colonial Belanda, tekad dan semangat nasionalisme anti imperialis tetap bergelora. Oleh karena itu tidak lama setelah dia keluar dari penjara Sukamiskin, Soekarno mendirikan Partai Indonesia (PARTINDO), sebuah partai politik yang memiliki sifat organisasi yang radikal dan nyata-nyata menentang Belanda. Sifat Partindo yang radikal ini tak di senangi oleh Bung Hatta. Karena tak sependapat dengan Partindo beliau mendirikan PNI Pendidikan (Partai Nasional Indonesia Pendidikan) atau disebut juga PNI Baru. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta bulan Agustus 1932, dan Bung Hatta diangkat sebagai pemimpi. Organisasi in. Berbeda dengan Soekarno, Bung Hatta lebih memperhatikan “ kemajuan pendidikan bagi rakyat Indonesia, menyiapkan dan menganjurkan rakyat dalam bidang kebathinan dan mengorganisasikannya sehingga bisa dijadakan suatu aksi rakyat dengan landasan demokrasi untuk kemerdekaan “. (Muhammad Hata. Wikipedia,2010). Namun apapun visi politik para anak bangsa pejuang kita, tetap saja memiliki tujuan final yang sama yaitu “Indonesia Merdeka”, lepas dari himpitan penjajah yang tidak memiliki jiwa manusiawi. Dengan demikian betapa mahalnya sebuah kemerdekaan bagi kita, yang lebih tepat disebut sebagai “Anugerah Tuhan Yang Kuas”. Mahalnya harga kemerdekaan ini ditengarai oleh pernyataan salah satu “The Founding Father” kita, A.H.Nasutian dalam Bukunya “Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia” mewasiatkan kepada kita agar bisa meresapi bahwa kemerdekaan yang kita nikmati sekarang memang mahal harganya, sehingga diharapkan kita tidak mau menyia-nyiakan begitu saja. Lantas bagaimana sebuah kemerdekaan akan berakhir begitu saja bila mencermati sinyalemen Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan, yang mengatakan “angka kemiskinan” pada 2010 tidak banyak berubah dengan 2009 yakni 14,15 persen, dan di Indonesia orang suka atau tidak suka harus bekerja jikalau menganggur ia akan mati. "Angka kemiskinan pada Maret 2009 berkisar pada 14,15 persen dan data yang akan keluar pada Maret 2010 angkanya kemungkinan masih pada kisaran itu," ujarnya seusai konferensi pers di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, senin. Menurut dia salah satu komponen perhitungan kemiskinan seperti penghitungan garis kemiskinan sangat dipengaruhi oleh harga-harga yang dikomsumsi masyarakat miskin. Selanjutnya Rusman juga menyatakan bahwa jumlah pengangguran terbuka turun dari 8,14 persen pada Februari 2009 menjadi 7,87 persen pada Agustus 2009 yang menyebabkan jumlah pekerja tidak penuh di Indonesia meningkat. Kondisi seperti ini mengakibatkan 12 juta Anak Indonesia menjadi putus sekolah dan sebanyak 1,2 juta anak-anak kita menjadi anak jalanan. Memasuki usia kemerdekaan yang ke -55 tahun, masih saja wajah Bumi Nusantara ini berwarna suram, akibat menguatnya anarkisme, perseteruan oknum petinggi, korupsi berjamaah, rekening gemuk yang dimiliki pribadi oknum petinggi kita, dan perilaku amoralitas lainnya. Salah satu keterpurukan mentalitas para oknum petinggi kita telah berhasil di record oleh LSM internasional, yaitu “Political Economic and Risk Consultancy” (PERC), yang menyatakan bahwa tahun 2005 Indonesia berpredikat negara terkorup pertama di Asia. Menurut survei yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) pada 2006, hakim dan pejabat pengadilan merupakan pihak yang paling berinisiatif meminta suap. Itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia hingga saat ini. Timbulnya keacuhan dan menipisnya nasionalisme dan ketidakperdulian antar sesama telah menjauhkan Masyarakat Indonesia dengan cita-cita bersama yang telah dipentrasikan oleh para pendiri negara ini jauh ke dalam Bumi Pertiwi. Menurut Mantan Wagub Lemhanas dan Ketua Gerakan Implementasi Pancasila (GIP), Moerwanto Soeprapto bahwa kehidupan bangsa kita telah dilanda pola sikap neoliberalisme pada tahap yang kritis, sehingga bisa mengancam kehidupan nasionalisme kita dan lebih jauh lagi mengancam eksistensi NKRI. Dengan demikian tidak ada lagi kata menunda untuk segera menyigapi distorsi kehidupan bertatanegara kita. Sehingga sematan bangsa yang Hidup Rukun Damai dan Sentosa akan kita dapatkan kembali di masa-masa yang akan datang.

UNTUK KITA RENUNGKAN

Peduli terhadap realita yang mencuat di sekeliling kita, adalah salah salah satu pertanda “manusia yang menghayati semua peribadatan” . Bukan hanya kepedulian terhadap lingkungan sosial saja, tetapi kepedulian terhadap kerusakan lingkungan juga termasuk upaya manusia yang bermanfaat terhadap sesama, sebagai Khalifah di bumi. Bukankah kerusakan lingkungan yang terus ditelantarkan, pada gilirannya nanti bakal mengancam eksistensi kita semua. Rasa khawatir kita sebagai organisma “Primata berderajat paling tinggi” kini merebak dan menggayuti hati kita semua. Bila kita mencermati sebuah realita tentang saudara saudara kita di Uni Sovyet yang sedang berkubang kerusakan iklim.Betapa tidak, menurut salah satu laporan televise swasta nasional, memaparkan bahwa mereka telah meradang di bawah temperature 38 derajat Celsius. Penyebab perubahan suhu yang tidak seperti biasanya ini, adalah sebagian dari menggejalanya kasus pemanasan global. (global warming). Seperti kita ketahui bersama bahwa suhu rata-rata pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca” . Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8.. Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 hingga 2100. (Pemanasan Global, Wikipedia, 2010). Dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh pemanasan global tersebut adalah terjadinya kerusakan sirkulasi air laut, sehingga menimbulkan perubahan cuaca yang sulit dipredeksi., timbulnya gejala kekeringan yang lebih parah di daerah gurun , kegagalan panen yang terjadi di mana-mana sehingga menyebabkan terbatasnya persediaan pangan, kelangkaan air dan sumber-sumber air, kelapran yang melanda dunia dan menyebabkan banyak kematian, mebyebabkan perubahan cuaca yang ekstrim dengan cirri banyak terjadinya badai, menyebabkan berbagai penyakit baik untuk manusia maupun hewan, timbulnya gelombang panas yang mematikan, berkurangnya habitat hewan dan tumbuhan, menyebabkan emigrasi besar besaran manusia dari daerah tandus ke daerah yang lebih baik, bertambahnya konsumsi energi untuk kebutuhan rumah tangga, menyebabkan polusi udara dan menghilangnya lapisan es atau glaciers.( http : // epa.gov/ climate.change/emission ). Perubahan cuaca tersebut di atas memang menimbuilkan konsekuensi logis yang negatif, terbukti dengan terjadinya cuaca yang ekstrim seperti yang kita rasakan mulai 2 bulan terakhir (Juli dan Agustus) di Indonesia. Bisa kita cermati juga contoh lain, yaitu terjadinya banjir bandang byang menerjang Pakistan barat laut tepatnya di Nowshera, pada hari Selasa (3/8) yang telah menyebabkan lebih dari tiga juta orang merana. Korban yang te¬was mencapai 1.400 orang . Menyusul kemudian banjir di Zhouqu,China yang menewaskan 1424 orang serta lebih dari 2000 dinyatakan hilang. Padahal pada bulan bulan itu, mereka biasanya hidup di bawah musim kemarau. Lantas bagimana saudara kita yang di Uni Sovyet, mereka biasa hidup di tengah temperature udara 24 derajat Celsius. Selanjutnya dilaporkan bahwa dengan naiknya suhu udara, menyebabkan kenaikan 300 % kandungan CO (karbonmonoksida) di atmosfer. Padahal salah satu sifat CO di muka bumi ini adalah mampu menghalangi fiksasi “alveolus” terhadap Oksigen di paru paru organisme konsumen (manusia dan hewan). Disamping itu juga bersama sama dengan CO2 (karbon dioksida) karbonmonoksida bakal menyerap kalor matahari. Hal ini menimbulkan perubahan temperature atmosfer meningkat dari tahun ke tahun. Dari realitas fenomena di atas pasti akan timbul pertanyaan dalam benak kita, akankah eksistensi manusia tetap berlangsung seratus tahun ke depan bila fenomena ini terus berlangsung, atau mungkin pula akan lahir organisma manusia straint baru, yang mengalami mutasi genetic. Hal ini wajar saja bisa terjadi, karena manusia adalah organisma yang memiliki daya adaptasi yang paling comfortable dibanding dengan organisma lainnya. Ditambah lagi manusia memiliki software dengan iptek sebagai hasil cipta dan karsa mereka. Namun demikian hingga kini belum ada satu laporan ilmiahpun yang memprediksi fenomena mutan tersebut. Karena memiliki kompleksitas yang tinggi. Oleh karena itu sebuah tindakan manusia dalam upaya pencegahan ini semua perlu dikedepankan sebagai upaya yang paling bijak dan masuk akal. Fenomena yang mengancam eksistensi hidup manusia adalah dimulai dengan tindakan sembrono manusia itu sendiri yang tidak memperhitungkan dampaknya di kemudian hari. Hingga generasi sekaranglah yang harus mewarisi bumi yang sudah tidak ramah lagi. Dengan sebuah asumsi yang kasar, kita bisa mendeskipsikan bahwa temperature bumi di tahun 2112 adalah sekitar 43 ° C. Di tengah temperatur udara setinggi itu, maka jelas sudah species manusia bakal menemui kepunahan, kecuali bagi mereka yang mengalami peruabahan anatomis, fisiologis dan kriteria biologis lainnya. Atau dengan olahan cipta dan karsanya manusia mencoba merekayasa lingkungan hidup sedemikian rupa hingga mampu eksis entah sampai kapan atau bahkan dengan ilmu genetic yang telah maju dengan pesat, manusia mampu menciptakan strain manusia mutan yang telah direkayasa genetiknya. Dengan teknik tambal-sulam ikatan DNA yang terdapat pada kromosom manusia atau kromosome hewan. Sehingga manusia mampu mengkombinasikan peta-genetik hewan dan manusia demi daya tahan manusia terhadap change of climate tersebut. Benarkah fenomena tersebut bakal terjadi di masa depan. Mengacu pada kerusakan iklim yang ekstrim sekarang maka fenomena tersebut bukan isapan jempol biasa. Hanya rasa tunduk kita kepada Tuhan yang Kuasa yang direfleksikan dengan perlakuan santun terhadap alam semesta inilah yang bakal menjadi penyelemat keberlangsungan hidup kita.