Kamis, 25 November 2010

Merapi Di Tengah Nurani Kita

Sebenarnya sebuah Negara Kalulistiwa yang dilimpahi anugerah oleh Sang Pencipta dengan kekayaan sumber alam hayati dan non hayati, sudah seharusnya didiami oleh insan yang sarat dengan perlilaku moralitas sebagai rasa sukur kepada Sang Pencipta. Betapa tidak kita memiliki 400 gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif . Masihkah kita bersikap menepiskan moralitas kita, bila salah satu gunung tersebut menyelimuti hati kita dengan kepiluan.

Media mana yang tidak meliput specifikasi Merapi pada saat ini. Lengkap dengan predikat gunung tergarang di dunia, type gunung dan alas an geologis mengapa Merapi bertemperamen seperti ini, sejarah kapan Merapi menggegerkan masyarakat dunia dan dampak yang ditimbulkanya. Demikian juga letusan pada periode ini (meski kita tidak tahu pesti kapan perida berkutnya bakal meletus lagi) yang terjadi sejak akhir Oktober hingga mimggu ke dua Nopember 2010, masih saja Merapi membuat repot masyarakat Indonesia dan dunia. Hal ini wajar saja lantaran Merapi terletak di tengah pemukiman padat masyaralat yang tersebar di Kab Boyolali, Kab. Klaten. Kab Magelang Jawa Tengah dan Kab Sleman DI Jogjakarta.


Maka lengkap sudah penderitaan masyarakat kita bila kita mencemati laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang meriliskan merilis data bahwa 83 persen wilayah Indonesia rawan bencana alam. Mulai dari banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, angin topan, letusan gunung berapi, hingga kebakaran hutan dan sejak 10 tahun terakhir, telah terjadi 6 ribu bencana alam.

Setelah bencana alam tsunami yang melanda masyarakat Aceh tahun 2004 silam, bencana letusan Gunung Meapi yang terhebat selama 100 tahun ini sangat menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Hal ini tentu saja bila kita membayangkan betapa besar kerugian harta benda (rumah,sawah dan ladang, ternak dan lain sebagainya), belum lagi korban jiwa yang mendekati 190 korban jiwa dan ratusan ribu warga yang mengungsi di daerah yang aman ( diluar radius 25 km dari Merapi).

Tetapi bukan itu saja yang seharusnya melatarbelangi suatu upaya dan kepedulian yang besar dari kita semua, yaitu sebuah latarbelakang yang berhubungan dengan karakter Gunung Merapi yang susah ditebak, tetapi letusanya mampu membawa dampak sistemik bagi masyarakat yang memusarinya. Akhirnya sebuah alternatif yang paling memungkinkanpun bisa kita rencanakan dengan sebuah relokasi menyangkut ratusan ribu warga. Dengan alasan kita tidak mungkin membiakan sekali lagi bila mereka menjadi korban keganasan Merapi.

Merekolasi mereka tentu saja kita harus pula memberikan kepedulian tentang masyarakat sekitar Merapi sebagai masyarakat sosial, yang mengais hidup dari bertani dan beternak. Sebagian besar dari mereka hanya memiliki ketrampilan bertani sayuran di ladang sebagai petani gurem. Hal ini membawa sebah konsekuensi bahwa tehnik bertani dengan sistim pertanian di sawah irigasi masih asing bagi mereka. Dengan kehidupan social tersebut maka mereka bukan tidak mungkin untuk menolak relokasi di kawasan baru. Mereka lebih memilih untuk kembali ke tempat asal semua, karena mereka merasa telah mengenal persis karakter Merapi. Bahkan meski Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum menurunkan status Gunung Merapi, sebagian dari mereka bersikeras untuk kembali ke kampungnya guna melanjutkan hidup bertani.

Kontadiksi social inilah yang hendaknya mampu dijadikan stimulir untuk mengulurkan kepedulian yang nyata kepada mereka, yang mencakup pendanaan, konsep, tenaga, pemikiran atau apa saja yang mampu mensinerjikan langkah yang taktis, akuran dan tidak menyisakan permasalahan yang baru. . Contoh kasus seperti ini pernah melanda masyarakat Pulau Mentawai yang pernah menuntut relokasi jauh dari daerah pantai, namun tuntutan mereka hingga tahun 2010 belum terealisir hingga terjadilah tsunami yang kedua kali, yang memakan korban jiwa.

Mampukah kita mengusung sebuah langkah penuh nurani seperti 300 relawan yang larut dengan penderitaan mereka, yang sebagian public melabelkan sebagai pahlawan bangsa masa sekarang. Tentu saja bila panggilan nurani ini menyeruak ke semua anak bangsa, maka derita pengungsi Merapi dan korban bencana alam lainnya akan berkurang kepiluannya.

Senin, 15 November 2010

Keterpurukan Di Tengah Cincin Api

Bencana letusan G.Berapi yang Mengusung Pilu
Kala naskah ini ditulis, hujan masih saja membasahi bumi diselingi petir yang menggetirkan hati. Air hujan beterbangan liar kesana kemari dipelantingkan oleh kencangnya angin. Masih beruntung bahwa keadaan seperti ini tidak dibarengi matinya listrik PLN yang kerap kali terjadi. Namun demikian hujan malam ini bukan hanya kali ini saja terjadi, tepi turun hampir sepanjang tahun. Sehingga dapat kita simpulka bahwa hamper di seluruh wilayah Indonesia tidak terjadi kemarau sepanjang tahun 2010 ini.

Hujan yang terus sepanjang tahun tentunya mengkhawatirkan semua penduduk yang bermukim di seputar Merapi, karena ancaman banjirnya lahar dingin yang menakutkan, yang dimuntahkan oleh Si Garang Merapi sejak akhir Oktober hingga awal Nopember 2010. Dan bukan itu saja, sebagian masyarakat kita yang bermukim di wilayah rawan banjirpun menjadi tidak bisa hidur nyenyak. Terlebih lebih bagi penduduk Jakarta yang bermukim di daerah langganan banjir karena banjir besar diprediksi kembali menggenangi Jakarta akhir tahun ini. Hal tersebut didasari penelitian yang dilakukan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geografi (BMKG).

Distorsi cuaca semacam di atas memang menimbulkan dampak sistemik bagi kehidupan sebagian masyarakat kita. Kita bisa mencermati seringnya laporan MBG, yang memprediksi tingginya gelombang lautan yang membuat masyarakat nelayan tidak melaut. Sementara itu di bagian wilayah lainnya petani tanaman primadona tembakau di wilayah sentra tembakaupun menjadi membatalkan niatnya untuk menanam tembakau, lantaran tanaman ini tidak tahan terhadap curah hujan yang tinggi.

Lain halnya dengan hujan sehari hari yang tiada pernah berakhir, tanah yang kita injakpun pada decade sepuluh tahun ini sering menunjukan kegaranganya, terbukti dengan seringnya mereka berulah dalam wujud gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi dan pernah pula terjadi prahara Kawah Sinila yang menimbulkan kejadian luar biasa pada 20 Februari 1979 karena mengeluarkan gas beracun melalui retakan-retakan tanah sehingga menewaskan 149 warga sekitar yang menghirupnya. Kawah Sinila terletak di dataran tinggi Dieng, Kab, Wonosobo Jawa Tengah yang berada di ketinggian
2.565 mdpl (meter di atas permukaan laut).

Bencana demi bencana disebabkan karensa kita memiliki 400 gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif dan gunung berapi tersebut telah memusariWilyah Indonesia. Sehingga Indonesia dinyatakan sebagai sebuah negeri yang berada di jalur gempa dan gunung api. Lantaran kita bertempat tinggal di lempengan yang merupakan bagian dari Cincin Api (Ring of Fire) Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik. Itu berarti bahwa kita (Indonesia) hidup di atas Cincin Api. Atau diistilahkan bahwa kita hidup di atas bara, tetapi berpagar hujan setahun. Sehingga wajar saja menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia bahwa kita memliki 83 titik di seantero wilayah Indonesia yang rawan bencana, tidak tanggung tanggung bahwa sebanyak 6.000 bencana alam telah terjadi selama sepuluh tahu ini.

Bara yang mengelilingi kehidupan kita itu ternyata juga bukan hanya berasal dari tenaga endogen (tenaga dari dalam bumi) saja. Tetapi kehidupan sosial politik anak bangsa telah melabelkan saratnya pertikaian politik, tindakan korupsi oknum petinggi atau Gayusmania, anarkisme, penyimpangan tugas dan wewenang aparat penegak hukum, tindakan anarkis beberapa pihak dan lain sebagainya juga telah membuat gerah masyarakat kecil, yang diibaratkan bertempat tinggal di rumah bara. Adanya tindakan amoralitas sejumlah oknum yang menyebabkan menganganya kesenjangan juga menambah bara ini.

Betapa tidak seorang warga Indonesia yang berstatus terpidana yang harusnya mendekam dalam sel, tetapi secara kontroversi mampu melihat pertandingan tennis di Bali. Sementara itu sejumlah 4.000 KK korban bencana Merapi, Mentawai dan Waisor harus direlokasi di bumi ransmigrasi atau relokasi lainnya. Bukankah tindakan yang tidak perlu itu telah menyayat luka lebih dalam lagi bagi si kecil yang terpuruk. Keterpurukan ini telah ditengarai oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yang menginformasikan bahwa angka kemiskinan pada 2010 tidak banyak berubah dengan 2009 yakni 14,15 persen.

Lengkap sudah kini nasib rakyat kecil yang hidup di tengah bara aktifitas endogen maupun bara yang durefleksikan dengan berbagai ketimpangan hidup rakyat itu sendiri serta dipusari distorsi cuaca yang ekstrim. Sehingga janya jiwa masionalis yang tersemat kokoh di dada Bangsa Indonesia yang bakal menjamin eksistensi negeri Rayuan Pulau Kelapa ini.

Senin, 08 November 2010

Pencerahan Publik Tentang Mahalnya Energi

Terhitung mulai 1 Juli tahun 2010 ini, masyarakat mengalami satu lagi beban penghidupan berupa kenaikan TDL sebesar ± 10 %, kenaikan segala macam bentuk pajak, kita menjadi bertambah skeptis dan tidak tahu harus melontarkan kekesalan pada siapa. Hal ini disebabkan kita baru saja berhadapan dengan kontroversial dua sisi yang saling bertaut. Satu sisi adalah gambaran oknum pejabat/pemimpin yang menodai martabat bangsa dengan pendoliman uang negara secara beramai-ramai. Namun disisi lain rakyat kecil harus membayar harga mahal untuk sebuah energi, bahkan untuk harga gas elpiji ukuran 13 kg-pun dibeberapa daerah mengalami kelangkaan dan kualitis tabung yang tidak memenuhi syarat keselamatan.

Jangan diabaikan pula arah kebijakan lain, yang memiliki rating kompleksitas dan kesulitan yang cukup tinggi, yaitu “merekontruksikan nilai sosial yang tertanam kuat “di masyarakat yang bersemayam di Bumi Pertiwi ini. Karena sebenarnya tindak kekerasan yang sekarang marak terjadi adalah bersumber dari pergeseran nilai sosial ke arah yang dekstruktif, dengan meninggalkan nilai dan norma yang dipanuti leluhur kita.

Nilai sosial menurut David M. Messick dan Charles G. Mc.Clintock dalam "Motivational Bases of Choice in Experimental Games". Journal of Experimental Social Psychology 4: 1–25. adalah asumsi yang dimiliki semua individu guna menetapkan perananya di tengah masyarakat, nilai sosial juga disebut sebagai perangkat untuk membedakan kecenderungan perbedaan individu satu dengan lainnya. Disamping itu juga nilai sosial diartikan sebagai dasar asumsi “hasrat untuk mencapai tujuan” yang dimiliki oleh individu untuk menetapkan keputusan tanpa adanya efek yang timbul.

Nilai sosial yang membentuk psikhologI sosial dapat dikategorikan menjadi lima tipe, yaitu Altruistik: Hasrat untuk mencapai kebahagiaan hidup, Kooperatif: hasrat untuk menggapai tujuan secara berkelompok Individualistik: Hasrat untuk membahagian dirinya sendiri tanpa bantuan lainnya, Kompetitif: Hasrat untuk berkompetisi dengan lainnya dan Agresif: Hasrat untuk memenangkan lainnya.
Kelima kategori nilai sosial tersebut telah dimiliki oleh setiap individu sebagai perangkat lunak, yang secara komprehensif, selektif atau terfragmentasi diterapkan guna mencapai tujuan hidup dari individu tersebut, yang kemudian membangun konstruksi sosial suatu masyarakat. Dengan dasar karakteristik demikian, maka apabila timbul suatu niatan untuk mengkonstruksi kembali nilai sosial masyarakat yang dekstruktif, maka ke lima jenis nilai sosial tersebut menjadi fokus kita yang paling utama.

Sehingga justru masyarakat kecilpun bisa lebih berlapang dada dalam menghadapi keterpurukan ekonomi. Karena keterpurukan ekonomi inilah yang mengakumulasi dan menstranfer dalam perilaku amoralitas masyarakat. Meskipun IMF telah memprediksikan laju 5,5 % lebih baik ketimbang prediksi sebelumnya hanya 4,8 % PDB, seperti yang dituturkan pleh Division Chief IMF untuk Asia Pasifik Thomas R. Rumbaugh, karena adanya pemulihan pertumbuhan kredit, ekspor dan investasi yang ekspektasinya akan lebih baik. namun tetap saja kenaikan tersebut belum menetes hingga grassrote.

Oleh karena aspek altruistik adalah aspek yang menjadi fitroh dalam kehidupan individu, maka aspek ini yang paling mendominasi ketimbang aspek lainya dalam fitur tingkah laku suatu masyarakat yang sedang meregang ini. Sehingga sebaiknya pemerintah jangan menutup mata terhadap kebutuhan “need of achievement “ rakyat kita, misalkan dengan mengedapankan proyek jangka pendek, padat karya namun bernilai strategis dan lain sebagainya. Inilah awal dari sebuah rekonstruksi nilai sosial, yang kemudian dibarengi dengan pencerahan publik lewat multi media, tentang nilai-nilai dasar sebuah “social community”.

Upaya ini memang terkesan tidak menyentuh essensi, tetapi sebaiknya kita bersedia mencermati pergeseran nilai ke arah modernisasi yang keliru yang menghinggapi masyarakat kita.

Sebagai studi banding marilah kita menganalisis pendapat Rubinstein, Kilbride, & Nagy, (1992) yang meniliti nilai dasar masyarakat USA yang disebutnya sebagai ”the individualist tradition”, yaitu tradisi hidup bebas tanpa ikatan, selalu mengambil kesimpulan tanpa bantuan orang lain, mencukupi kebutuhan hanya untuk dirinya sendiri. Selanjutnya cf. Lasch, 1979; Sampson (1988) mengemukakan bahwa sikap mental yang demikian justru sangat membuat peliknya sebuah masyarakat sosial.
Kita sebagai Bangsa Indonesia yang memiliki nilai budaya santun, peduli sesame, senang bergotong royong dan segala sesuatu diselesaikan dengan rembug tentunya sangat bersebrangan dengan itu semua. Oleh karena itu sudah seharusnya pergeseran nilai sosial kita segera direkonstruksi ke arah mainstay semula.

Selasa, 02 November 2010

Makna Berkurban Untuk Kepedulian Sosial

Kita patut bersyukur, bahwa Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi1.9 juta mil persegi. Luas wilayah tersebut menjadikan Indonesia termasuk Negara besar di banding Negara lain. Apalagi luas wilayah tersebut dihuni oleh Penduduk Indonesia yang hingga tahun 2010 ini diperkirakan berjumlah 234.2 juta. Angka ini berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010), yang dicacah untuk penduduk yang bertempat tinggal disekitar 65 juta rumahtangga. Mereka tinggal di sekitar 17.504 pulau (menurut data tahun 2004), sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni tetap, menyebar sekitar katulistiwa, memberikan cuaca tropis. Cuaca tropis ini mampu menstimulir tumbuhnya hutan tropis seluas 162.290.000 hektar (Dinas Kehutanan Indonesia, 1950). Meskipun pada Tahun 2003 berkurang menjadi 110,0 juta Ha dan tahun 2005 tinggal 93,92 juta Ha, atau berkurang seluas 58 % ( World Resourches Institute, 1977).

Sudah barang tentu setiap anak bangsa pemerhati “Negara tercinta ini”, pasti akan kagum dan bangga, namun juga menangis pilu, apabila mereka mencermati realita yang ada. Betapa tidak kekayaan alam Indonesia ternyata tidak mampu menjadi daya dukung pensejahteraan kita sendiri. Hal ini bukan suatu isapan jempol belaka bila kita mencermati data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan bahwa jumlah penduduk miskin telah mencapai 31 juta penduduk atau 13, 3 persen pada bulan maret 2010. Penentuan kategori keluarga miskin oleh BPS tersebut berdasarkan asumsi penghasilan Rp 7.050 per hari untuk setiap jiwa yang sudah termasuk untuk makanan. Angka tersebut mampu berkembang lagi, apabila tolak ukur angka kemiskinan berdasarkan standar PBB sebesar dua dolar rupiah per hari maka jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat menjadi 34.03 persen atau 78.2 juta orang.

Lepas dari tolak ukur yang mana, realitas ini adalah menjadi milik kita bersama dan telah menjadi tugas kita bersma guna mencari peluang untuk pengentasan kemiskinan ini. Peluang yang mampu “membumi hanguskan” sikap pesimis tersebut muncul pada tahun 2010 ini berdasarkan analisa Ekonom Senior Bank Dunia untuk Indonesia Enrique Blanco Armas, yang menyatakan secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat telah memberi sumbangan atas pengentasan kemiskinan, dengan tingkat kemiskinan menurun menjadi 13,3 persen pada Maret 2010 dibandingkan 14,2 persen tahun lalu.

Sudah barang tentu, meskipun Negara telah menganggarkan alokasi anggaran pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan sosial 2010 sebesar Rp 70 triliun Namun anggaran tersebut terasa tidak berdaya lagi, lantaran beberapa tipe kemiskinan meghinggapi masyarakat kita, akibat tindakan sewenang-wenang penyelenggara Negara jaman orde baru, yang dengan life style bernegara yang tidak terkontrol sama sekali. Akibat pengebirian demokrasi, pembatasan pers dan parpol, tidak terjaminya kebebasan berpendapat dan pembagian kekayaan Negara hanya kepada beberapa komunitas yang memusari Soeharto. Sehingga terciptalah tipe-tipe kemiskinan yang mendarah daging, yang pertama adalah Kemiskinan Struktural. Kemiskinan ini disebabkan oleh kondisi struktur perekonomian yang timpang dalam masyarakat, baik karena kebijakan ekonomi pemerintah, penguasaan faktor-faktor produksi oleh segelintir orang, monopoli, kolusi antara pengusaha dan pejabat dan lain-lainnya. Intinya kemiskinan struktural ini terjadi karena faktor-faktor buatan manusia. Fenomena seperti ini telah menjadi cirri khas dari orde baru. Adapun kemiskinan kultural muncul karena faktor budaya atau mental masyarakat yang mendorong orang hidup miskin, seperti perilaku malas bekerja, rendahnya kreativitas dan tidak ada keinginan hidup lebih maju. Sedangkan kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi secara alami, antara lain yang disebabkan oleh faktor rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.

Namun waktu terus bergulir sebagai sinyalemen bahwa tidak ada keputusasaan pada diri kita dalam me-manage masyarakat sosial kita sebagai pilar utama penyokong eksistensi Negara ini. Penyebab utama timbulnya ke tiga gaya kemiskinan tersebut, sudah barang tentu akan tertepiskan dengan adanya era refofmasi, yang dewasa ini bisa kita cermati adanya berbagai kebebasan dalam bernegara. Faktor ini pula yang mampu menjadi stimulus perkembangan komunikasi sosial dengan instrumrn instrumenya, yang bisa memberi pembelajara kepada rakyat tentang nilai dasar multidimensi sosial. Sekaligus mampu memberi pembelajaran tentang motivasi pengentasan kemiskinan.

Apabila kita memang serius untuk menegakan era reformasi dengan cara supremasi hukum yang kokoh, maka tindakan korupsi, KKN, pungli dan eksploitasi sumber daya alam yang masih di tangani individu, birokrasi yang mempersulit rakyat bisa mencapai taraf minimalis. Maka akan terbuka lebarlah peluang bagi si kecil untuk mampu mengembangkan potensinya. Hal ini akan bertambah afdhol lagi, bila kesadaran tentang kepedulian sesama menjadi kokoh, sebagaimana agama apapun mengajarkan berkorban apa saja untuk kemaslahatan sesama.

Wujud kepedulian sosial sebagai “makna essensi dari ajaran berkurban”, adalah faktor utama yang perlu dikedepankan. Bukan berarti kepedulian ini hanya serta merta membagi bingkisan kepada kaum miskin atau pembagian BLT. Namun sebuah sikap sosial yang kokoh di masyarakat akan kepedulian terhadap nasib sebangsa dan setanah air, inilah yang paling penting. Sehingga pemerintah perlu mengkonsep secara sosiologis, tentang interaksi antar individu, kelompok masyarakat, antar institusi di berbagai bidang. Khusus mengenai kepedulian ini Prof Muladi, bahkan mengimbau (20 / 4 /20`0), agar penanganan masalah ini tidak hanya ditangani pemerintah sendiri. Melainkan sektor swasta dan stakeholder lainnya perlu dilibatkan. Kalau penyadaran akan kepedulian sosial atau aksi kepedulian sosial ditangani pemerintah, beban APBN akan berat sekali.