Jumat, 17 September 2010

DINAMIKA NASIONALISME Dari Masa Ke Masa

Dari satu dekade hingga ke dekade lainnya, nasionalisme rakyat di Bumi Nusantara ini terhadap negara yang eksis kala itu (berbagai kerajaan yang berdiri) terbukti tidak pernah nihil. Selalu saja nasionalisme tertanam kuat di masing-masing dada rakyat, dari mulai rakyat jelata hingga para petinggi negara tersebut. Sejak tahun 1293 hingga 2500 M, rakyat sepanjang kepulauan Nusantara ini bahu membahu mempertahankan kedaulatan dengan sebuah nasionalisme, demi eksistensinya sebuah negara/kerajaan yang disebut Majapahit, yang beribukota di Trowulan, Jawa Timur.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya. Kerajaan ini dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Borneo, Kepulauan Sulu, Manila (Saludung), hingga Indonesia Timur, meskipun wilayah kekuasaannya hingga kini masih diperdebatkan. Bukankah dengan keagungan semacam ini, tiada lain hanya nasionalisme yang kokoh saja yang berperan dalam menjaga eksistensi negara besar ini.
Bukan hanya Majapahit saja yang pernah eksis di Bumi Nusantara, tercatat dalam sejarah beberapa kerajaan lain, seperti Kediri, Singosari, Pajajaran, Sriwijaya dan kerajaan kecil lainnyapun pernah didirikan oleh rakyat di masa itu, sebagai perwujudan hasrat untuk hidup dengan damai, adil dan sentosa.
Kerajaan Kadiri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222 M. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sedangkan Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari atau Singosari, adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang, Jawa Timur.
Bahkan lebih kurang 6 abad sebelum kerajaan di P. Jawa berdiri, telah berdiri terlebih dahulu Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya), adalah salah satu kerajaan maritim yang kuat di pulau Sumatra dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; ketika seorang pendeta Tiongkok, I-tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjut prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa ditahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Coladewa dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 Sriwijaya dibawah kendali Raja Dharmasraya mengakui kedaulatan Kerajaan Majapahit.
Bersamaan dengan itu di Bumi Pasundan berdiri Kerajaan Pajajaran (Kerajaan Sunda), disebut dengan Kerajaan Pajajaran karena kerajaan ini beribukota di kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat. Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 M oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak.
Dari tahun 923 M hingga kini, tentu saja seluruh individu yang bersemayam di “Negeri Rayuan Pulau Kelapa” ini, tiada pernah melewatkan makna sebuah nasionalisme, yaitu sebuah sikap mental yang selalu berorientasi kepada rasa ingin menciptakan dan mempertahankan kedaulatan negara (dalam bahasa Inggris "nation") yang pernah ada di Bumi Nusantara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk Bangsa Indonesia ( setelah Proklamasi 17 Agustus 1945). Dengan mencermati dinamika nasionalisme tersebut pada rentang waktu tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa nasionalisme lahir bersama dengan budaya yang membentuk suatu struktur masyarakat Indonesia.
Nasionalisme kerakyaan dalam suatu negara dapat ditafsirkan sebagai kesatuan masyarakat dalam persamaan hak berpolitik dan saling berbagi tujuan politik dalam prosedur aturan main berpolitik yang telah dibakukan. Apabila nasionalisme yang demikian mampu mengusung sebuah negara, maka akan terbentuklah negara yang multikultur, tidak berdasar etnik leluhur (ethnic ancestry ). Konsep nasionalisme demikan di canangkan oleh Ernest Renan (1882). Dengan demikian konsep negara tidak lebih dari hasil derivasi dari partisipasi legitimasi politik aktif dari warga negaranya.( Jean-Jacques Rousseau, 1762)
Meskipun legitimasi partisipasi politik aktif rakyat di jaman kerajaan-kerajaan tersebut belum diwadahi aturan main yang mapan, namun karena eksistensi kerajaan tersebut mencakup daerah taklukan yang multi etnis, maka dapat kita cermati bahwa dinamika nasionalisme kala itu berjalan kokoh, karena dari segi politik tidak terdapat perbedaan suku dan ras menurut konsep Ernest Renan tersebut. Dan itu berlangsung berabad-abad.
Namun bagaimana dengan nasionalisme rakyat dewasa ini, setelah memasuki kurun waktu “era reformasi” yang mewajahi tata kehidupan bangsa ini. Diawali dengan predikat negara terkorup di Asia, nasionalisme terujikan dengan budaya “pendoliman uang negara” yang dilakukan oknum pejabat negara, sekedar untuk tujuan hedonism yang menjadi suluh sebuah peradaban baru di negara yang kita cintai ini.
Sementara predikat negara termiskinpun terus saja membahana ke tiap penjuru dunia. Spirit untuk menggapai pengentasan Indonesia dari berbagai keterpurukanpun menjadi kian tak jelas. Ditambah lagi dengan maraknya perseteruan antara pemimpin publik yang memenuhi hampir seluruh media. Hingga dengan latar belakang hilangnya “sense of belonging” dari berbagai pihak terhadap negara ini, telah menimbulkan pula stimulus untuk penyelesaian apa saja dengan cara protes anarkis dan lain sebagainya. Yang menjadi keprihatinan kita bersama adalah belum adanya langkah kebersamaan serta arah yang konkret untuk mengakhiri ini semua, atau karena telah melunturnya nasionalisme yang ada di hati kita masing-masing.
Kekecewaan demi kekecewaan “grassrote” terhadap mentalitas oknum petinggi, bisa saja menggumpal dan mengkristal ke dalam berbagai unsur separatis yang mengancam disintegrasi negara ini. Hingga sudah saatnya kita mulai dari diri kita masing-masing untuk menyelipkan nasionalisme demi langgengnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar