Minggu, 26 September 2010

Mengedepankan Keprihatinan Sosial Demi MASA DEPAN

Sejenak mari kita merenung kembali, bahwa dengan dalih apapun kita adalah tetap bagian masyarakat timur yang kental dengan budaya ketimuran yang konservatif. Budaya tersebut mengemasi sikap mental santun, malu, kaya akan nilai kesusilaan dan nilai serta norma lainnya yang melekat kuat pada sistim sosial Masyarakat Indonesia. Eksistensi karakteristik sosial ini telah kokoh dan tak tergoyakan hingga berabad- abad lamanya. Namun selaras dengan dinamika globalisasi, dimana jarak suatu tempat dan benteng moralitas masyarakat tidak menjadikan faktor pembatas berbagai interaksi yang menggelinding begitu saja. Maka moralitas masyarakat khususnya masyarakat Indonesia telah mengalami berbagai dinamika yang cukup signifikan.

Tentu saja wacana di atas lebih tepat bila kita memandangnya dari aspek moralitas masyarakat Indonesia. Moralitas, berasal dari bahasa Latin : moralities, yang berarti perilaku, karakter atau sikap yang benar . Dalam pembahasan ini, moralitas digambarkan sebagai suatu nilai yang tertanam kuat dalam individu, yang mampu membedakan tentang “benar dan salah” dalam kehidupan bermasyarakat, Meskipun dalam ruang lingkup ini kita tidak menuntut sesuatu menurut benar dan salah secara obyektif. Namun kami hanya sekedar mengetengahkan pertimbangan rasional yang dapat membimbing ke arah sesuatu yang benar atau salah, lepas dari sangsi norma bagi yang melanggar suatu moralitas tersebut.

Betapa tidak memprihatinkan, bahwa belakangan ini moralitas masyarakat kita dalam beberapa aspek telah terbukti mengalami pergeseran dan bahkan cenderung bersikap “non kompromis” (menepis) terhadap nilai yang telah ada. Kasus perseteruan antar/inter agama, tewasnya berpuluh puluh remaja kita yang menenggak miras oplosan yang tiada henti, yang justru menjadi ajang gagah-gagahan yang tak perlu, lahirnya gaya hidup generasi “menguras uang negara” demi kebutuhan prestisius dan pembiasaan membahanakan anarkis di jalan untuk hal-hal yang sebenarnya bisa dirundingkan di belakang meja serta tindakan representasi imarolitas lainnya.

Oleh karena itu sebuah harapan baru perlu disodorkan ke tengah Masyarakat Indonesia, untuk tidak melepas sematan bangsa yang menjunjung tinggi “budaya malu” (shame culture), yang pada gilirannya akan tetap melanggengkan “jati diri bangsa” yang sekarang sedang bercucuran air mata keprihatinan.

Dengan budaya malu inilah, sebuah masyarakat sosial akan terhindar dari rasa saling “melukai satu sama lainnya”, apabila moralitas benar benar diemban secara kokoh oleh masyarakat (Standford, 2010). Bahkan menurut Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, Bangsa Jepang bisa meraih prestasi yang baik , setelah terpuruk pada PD II, akibat “perasaan malu” yang tertanam pada masing-masing rakyatnya sejak dini. Demikian pernyataan mantan perdana mentri tersebut saat memberi orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancaila di Jakarta, Sabtu 10 Mei 2008 silam.

Budaya malu apabila tetap dikokohkan dalam sanubari kita, akan terbesitlah kepekaan sosial, sehingga merefleksasikan setiap anak bangsa untuk sadar hukum dan bagi penguasa enggan untuk menyelewengkan kekuasaan. Namun yang terjadi sebenarnya, adalah jauh panggang dari api. Hancurnya moralitas yang berujud lenyapnya budaya malu, menjadi sarapan kedua bagi setiap anak bangsa ini. Bagi anak bangsa yang masih memiliki moralitas dan “nasionalisme yang tak tergoyahkan”, yang sekarang jarang kita dapatkan, tentunya merasa geram bila menyaksikan para oknum petinggi yang melakukan pendoliman uang Negara, namun mereka tetap saja tidak memiliki “perasaan bersalah” (guilt culture).

Sebuah keprihatinan bersama adalah suatu sikap nasional yang membentuk social character yang minimal bisa kita jadikan acuan yang kokoh dan mampu menopang bangunan social masyarakat “madani di era modern”, yang di masa depan harus kita raih. Terutama keprihatinan dalam aksen pembentukan masyarakat madani Indonesia (Indonesia social society). Sebagai bangsa yang sejak dari awal terbentuknya hingga perkembanganya selalu berlandaskan pada konseptual berbagai aspek, tentunya harus memiliki pandangan ke depan yang ditekadi untuk segera terwujud, yaitu masyarakat madani dengan dasar dan ideologi yang telah kita sepakati bersama.

Berkaitan dengan wacana tersebut diatas. Dr. Nurcholis Madjid dalam Menuju Masyarakat Madani menyatakan, bahwa sudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama untuk mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, dinegara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lebih lanjut Nurcholis Madjid dalam menyodorkan teorinya mengenai masyarakat madani mengemukakan bahwa yang disebut masyarakat madani, adalah masyarakat yang berbudi luhur atau berakhlak mulia atau masyarakat berperadaban atau "civil society". Masyarakat Madani dapat kita contohkan adalah masyarakat yang dibangun Nabi Muhammad 14 abad yang lalu.

Oleh karena itu sebuah tekad bersamapun harus diikrarkan, yang didahului dengan pencerahan bangsa dalam wujud keprihatinan bersama untuk menginternalkan moralitas yang mapan sedini mungkin demi kehidupan Bangsa Indonesia di masa mendatang. Memang suatu perjuangan panjang untuk membentuk sebuah masyarakat madani di bumi nusantara ini, lantaran terlalu banyak keterpurukan yang harus dientaskan dari keranjang sampah yang saling bertumpuk dan terkait satu sama lain.

Namun dengan fitur masyarakat majemuk yang cukup luas variasinya dan berperan sebagai penyangga eksistensi bangsa di masa depan. Maka raihan prestasi menuju masyarakat idaman tersebut adalah suatu hal yang tidak dapat ditunda lagi. Hal ini telah seperti diakui oleh rohaniawan Nasrani Paul F. Knitter, yang menggambarkan perspektif masyarakat pascamodern justru terletak pada dominasi kemajemukan.

Mewujudkan keprihatinan bersama selayaknya dimulai dari hal yang paling essensi. Erich Fromm (Social and Character Changes, 1942) menjelaskan bahwa sebuah karakter individu banyak ditampilkan dari struktur karakternya sendiri, tetapi sebuah struktur sosial ditampilkan dengan perilaku emosional yang umum di dapatkan pada masyarakat sosial. Karakter sosial secara substansial dimulai dari karakter tiap keluarga yang menyusunnya dan peran keluarga ini sebagai agen perubahan sosial, disamping sekolahan dan lingkungan kerja.

Dengan rumusan tersebut di atas kenapa kita tidak segera berbenah diri dengan mengawali terwujudnya keprihatinan bersama untuk menyandang sebuah keadilan, kemakmuran dan kemerdekaan dari berbagai aspek untuk Masyarakat Indonesia.

Sabtu, 25 September 2010

Martabat Bangsa Yang Ditepis Hedonisme

Adalah salah satu simbol kenikmatan duniawi, apabila kala itu manusia di peradaban pramodern (Jaman Majapahit), yang menghuni wilayah Nusantara mengkonsumsi gula dan kelapa ( gulo klopo) untuk konsumsi di tiap perhelatan atau dalam kehidupan sehari-hari. Karena hanya dari dua jenis bahan tersebutlah sebagian besar panganan diolah. Kedua bahan tersebut berasal dari tanaman nyiur yang banyak tumbuh di sepanjang pantai Kepulauan Nusantara. Jadilah suatu keindahan Kepulauan Nusantara, yang jarang ditandingi oleh bangsa lainnya, seperti yang tersirat dalam lagu ‘”Rayuan Pulau Kelapa”.
Namun lain halnya dengan Patih Kerajaan Majapahit, Gajah Mada yang menahan nafsu duniawi tersebut sebelum mampu menaklukan Bumi Nusantara. Sikap Gajah Mada tersebut dikenal sebagai Sumpah Palapa, sebagai peletak dasar nasionalisme yang tertanam kuat di setiap kalbu Rakyat Indonesia. Meski pada dekade sekarang, sikap ini telah terlantar dan tererosi oleh badai perseteruan, ego, hedonisme, pendoliman uang negara, manipulasi jabatan, aksi bonek, miras oplosan, demo anarkis dan tindakan amoralitas lainnya.
Hanya kebesaran jiwa dan kejernihan hatinya disertai tindakan patriotisme yang tulus saja, yang mampu menginspirasikan negarawan besar ini untuk menggemakan sumpah itu. Sebab Patih Gajah Madapun tahu persis betapa mahal harganya apabila semua rakyat yang menghuni persada “Rayuan Pulau Kelapa” tersebut mau bersatu, saling berkorban demi negara, santun, inovatif dan terbuka dengan siapapun serta toleran. Membentuk suatu bangsa yang berdaulat, mandiri sekaligus bermartabat. Sebuah bukti telah ditorehkan dalam catatan sejarah, bahwa dengan sikap seperti itulah kita berhasil menjadi negara yang merdeka, yang pada hakekatnya adalah anugerah yang dilimpahkan oleh Tuhan Yang Kuasa.
Martabat yang dimiliki suatu bangsa bisa juga dikaji dari aspek kemampuan bangsa itu sendiri dalam mengembangkan ketahanan yang komprehensif. Pertahanan suatu negara merupakan faktor utama dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Suatu negara tidak akan bisa menjaga eksistensinya dari ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri apabila belum mampu untuk mempertahankan diri dari ancaman tersebut. Oleh karena eratnya kaitan pertahanan negara dengan harkat dan martabat suatu bangsa, maka dengan adanya pertahanan negara yang memadai (Postur Pertahanan yang Kuat) akan membuat bangsa lain tidak memandang sebelah mata terhadap bangsa kita ( Mayor Laut (P) Salim, Komandan KRI Untung Suropati, 2009).
Namun demikian rongrongan dari aspek potensi ekonomi juga tidak kalah berpengauhnya terhadap kredibilitas sebuah martabat bangsa. Semakin rendahnya kualiatas SDM bangsa kita, semakin pula kita bergantung kepada pihak luar negeri dalam banyak hal. Bahkan kita cenderung memiliki persepsi bahwa ketergantungan kita terhadap luar negeri adalah sama dengan “neo-kolonialisasi “ yang bertopeng globalisasi , yang semakin dalam menghisap darah rakyat kita ketimbang nafsu tamaknya VOC sejak Tahun 1602.
Mohammad Hatta dengan tajam dan dalam, mengungkapkan suatu prediksi ke depan mengenai sandungan ekonomi yang kita alami. Pandangannya yang berorientasi pada kekuatan pasar dalam negeri yang didukung oleh tenaga beli rakyat, tidak menjuruskannya terperosok ke dalam paham isolasionisme ekonomi. Ia bahkan telah meramalkan globalisme dan globalisasi masa depan. Ia tidak menolak interdependensi ekonomi internasional, yang ia tentang adalah dependensi ekonomi nasional Indonesia terhadap ekonomi internasional yang selalu diwaspadainya (Sritua Arief, Pemikiran Pembangunan Bung Hatta, (Jakarta: LP3ES), hlm. 99-118 ).
Namun pandangan seorang “Faundhing Father” tersebut tidak serta merta mampu direalisasi oleh generasi penerusnya yang telah kehilangan nasionalisme dan jati dirnya, yang pada gilirannya nanti bisa mengkhawatirkan kredibilitas martabat bangsa ini. Pandangan Beliau tentang sebuah perekonomian rakyat, terganjal keras oleh pendoliman dan penjarahan uang negara oleh oknum pejabat yang sudah tidak bermoral lagi. Lantaran diantara oknum tersebut sudah tidak ada lagi persepsi pelanggaran aturan negara melainkan hanya sebagai “life-style” belaka. Maka tidak heran mereka telah kehilangan kepedulian tentang nasib si kecil yang meng-grassrote. Dengan perilaku seperti inilah, dari seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah.
Urgensi yang terselip tapi mendasar di balik wacana tersebut di atas, adalah revitalisasi nilai martabat bangsa ini yang telah terpuruk dari semua sudut pandang. Mulai senjata hukum yang tegas, pencabutan gelar akademis dari institusi yang menyematkan, internalisasi tentang martabat bangsa di jalur pendidikan sedini mungkin, inensifikasi gerakan sadar berkehidupan berbangsa dan bertanah air di semua kalangan dan uji moralitas yang cermat bagi setiap calon pemimpin. Dengan demikian martabat Bangsa Indonesia yang Luhur akan berdengung lagi seiring dengan nyanyian “Rayuan Pulau Kelapa”.

Essensi Kemerdekaan Yang Belum Tersentuh

Telah 65 tahun sudah kita telah merdeka atau terbebas dari apa yang kita sendiri tidak tahu maknanya. Hanya saja yang dapat kita ketahui, adalah sejak 17 Agustus 1945 “Sang Saka Merah Putih “ telah bebas berkibar di halaman rumah rakyat, hati rakyat dan tiap pengharapan rakyat yang terbebas dari segala tekanan hidup yang membelitnya. Meski kebebasan Merah Putih itu pernah mengalami cobaan internal dan eksternal, antara lain Perang Gerilya I dan II, kemelut politik upaya disintegrasi beberapa daerah serta tragedi kemanusiaan yang mendunia,yaitu tragedi G 30 PKI Th 1965/1966 yang mengorbankan jutaan nyawa melayang dan menghilang.

Kini semua halangan tersebut sudah mampu kita lewati dengan sebuah nasionalisme yang menyatu dengan jiwa kita, hingga kita semua mampu mendahulukan eksistensi sebuah bangsa ketimbang hidup kita sendiri, dan ternyata hal inilah yang pada awal millennium ke 3, menjadi hal yang muskyl untuk direkonstruksi ke arah sematan nilai semula. Tentu saja hal ini melahirkan konsekuensi negatif tentang realisasi :”Cita cita Proklamasi” yang semakin jauh panggang dari api, yang tersemat di sanubari kita pada rentang waktu dari Kebangkitan Nasional hingga Kabinet “SBY” Bersatu II..

Meskipun dengan kesedihan dan kepapaan yang mendalam, semenjaknya jatuhnya tokoh nasional “The Smilling Jenderal” yang mundur sebagai presiden RI Mei 1998, Banyak ahli politik dan sosial yang mengkategorikan Indonesia mengalami kemunduran 50 tahun kebelakang. .Oleh karena itu kita disejajarkan dengan negara negara termiskin di dunia dari belahan Bumi Afrika. Betapa tidak, meski memimpin selama 32 tahun dengan “gaya otoriter”, namun Soeharto berhasil menampilkan suatu kemampuan kepemimpinan luar biasa yang harus diakui oleh teman dan lawan politiknya (senang atau tidak). Ia menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan). Bahkan sempat mendapat penghargaan dari FAO atas keberhasilan menggapai swasembada pangan (1985). Maka, saat itu pantas saja ia pun dianugerahi penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.Soeharto (Ensiklopedi Tokoh Nasional, 2010).

Memang suatu kenyataan yang tidak usah kita pungkiri bahwa selama kepemimpinan Soeharto, harga harga terutama harga komoditi pokok relatif stabil dibanding dengan fluktuasi harga selama dipimpin penerusnya. Selama 32 tahun berkuasa dapat disimpulkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar AS relative stabil, kecuali menjelang kejatuhan beliau. Ibaratnya Rakyat Indonesia telaj mengalami kemerekaan meski baru dalam koridor “ sandang, pangan dan papan”.Lepas dari kesalahan Soeharto terhadap bangsa ini, memang kitapun patut mengacungkan jempol atas kepemimpinan beliau dengan torehan prestasi di atas.

Ambisi Soeharto untuk mewujudkan Masyarakat Adil Makmur dengan Program Pembangunanan Berjangka ( REPELITA), nampaknya tidak main main lagi dengan sistematika program yang terpadu, terprogram dan berkesinambungan hingga menggapai tahap yang kita idamkan bersama. Di lain pihak karena kemampuan kita sendiri yang masih terbatas, dalam hal SDM, penerapan iptek untuk mengeksploitir simber daya alam, moralotas yang rendah serta banyak aspek lainnya, menjadi penyebab utama ketergantungan pemerintah Orde Baru yang terlalu percaya pada IMF atau World Bank sebagai dewa penolong (dokter), dalam hal penyandang dana dan ketergantungan ini telah mencapai klimaksnya pada tahun 1997, saat Indonesia terkena krisis moneter yang dahsyat karena pemerintahsaat itu terlalu banyak menanggung beban utang.

Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) adalah organisasi internasional yang bertanggungjawab dalam mengatur sistem finansial global dan menyediakan pinjaman kepada negara anggotanya untuk membantu masalah-masalah keseimbangan neraca keuangan masing-masing negara. Salah satu misinya adalah membantu negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi yang serius, dan sebagai imbalannya, negara tersebut diwajibkan melakukan kebijakan kebijakan ( Structural Adjustment Programmes) tertentu, misalnya privatisasi badan usaha milik negara. Bahkan bukan hanya itu saja, ;ebih jauh IMF membatasi perekonomian negara dunia berkembang dengan cara menentang pengembangan infrastruktur dan meminta negara yang bersangkutan untuk hidup dengan standar yang rendah.

Dengan demikian perekonomian yang dibangun oleh Soeharto, ditopang oleh kapitalis kapitalis murni yang berkedok pengentasan kemiskinan untuk negara berkembang.au dapat disebutkan bahwa meskipun rakyat bisa mengkonsumsi bahan bahan keperluan pokok dengan murah, tetapi mereka harus menopang pinjaman yang fantastis. Disini dapat kita simpulkan bahwa paa relung waktu Orde Baru, rakyat kecilpun belum tersentuh makna kemerdekaan secara essensi. Hal cukup beralasan karena utang-utang yang dihimpun selama Orde Baru telah meninggalkan beban yang terlalu berat.. Sampai sekarang utang luar negeri Indonesia sudah mencapai Rp1.000 triliun lebih. Dalam APBN 2007, alokasi dana yang harus dipakai untuk membayar utang termasuk bunga tidak kurang dari Rp200 triliun, atau sepertiga APBN yang Rp600 triliun lebih itu.

Seperti diketahui bahwa hutang luar negeri kita hingga tahun 2010 adalah mencapai hamper 2000 Trilyun rupiah, seperti yang tercantum dalam Data Bank Indonesia (BI) mencatat, sampai akhir Januari 2010, utang luar negeri mencapai 174,041 miliar dollar AS. Bila dikonversi ke dalam mata uang Rupiah dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS nominal utang itu hampir mencapai Rp 2.000 triliun.Sehingga apabila jumlah penduduk Indonesia sebanyak 235 juta, maka beben per kepala menjadi Rp 8,5 juta rupaih, sebagai nilai sebuah kemerdekaan.(Dari berbagai sumber)

Revitalisasi Nasionalisme Demi Eksistensi Bangsa Indonesia

Dari satu dekade hingga ke dekade lainnya, nasionalisme rakyat di Bumi Nusantara ini terhadap negara yang eksis kala itu (berbagai kerajaan yang berdiri) terbukti tidak pernah nihil. Selalu saja nasionalisme tertanam kuat di masing-masing dada rakyat, dari mulai rakyat jelata hingga para petinggi negara tersebut.

Sejak tahun 1293 hingga 2500 M, rakyat sepanjang kepulauan Nusantara ini bahu membahu mempertahankan kedaulatan dengan sebuah nasionalisme, demi eksistensinya sebuah negara/kerajaan yang disebut Majapahit, yang beribukota di Trowulan, Jawa Timur.

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya. Kerajaan ini dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Borneo, Kepulauan Sulu, Manila (Saludung), hingga Indonesia Timur, meskipun wilayah kekuasaannya hingga kini masih diperdebatkan. Bukankah dengan keagungan semacam ini, tiada lain hanya nasionalisme yang kokoh saja yang berperan dalam menjaga eksistensi negara besar ini.

Kerajaan Kadiri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222 M. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sedangkan Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari atau Singosari, adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang, Jawa Timur.

Bahkan lebih kurang 6 abad sebelum kerajaan di P. Jawa berdiri, telah berdiri terlebih dahulu Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya), adalah salah satu kerajaan maritim yang kuat di pulau Sumatra dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.

Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; ketika seorang pendeta Tiongkok, I-tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjut prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa ditahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Coladewa dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 Sriwijaya dibawah kendali Raja Dharmasraya mengakui kedaulatan Kerajaan Majapahit.

Bersamaan dengan itu di Bumi Pasundan berdiri Kerajaan Pajajaran (Kerajaan Sunda), disebut dengan Kerajaan Pajajaran karena kerajaan ini beribukota di kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat. Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 M oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak.

Dari tahun 923 M hingga kini, tentu saja seluruh individu yang bersemayam di “Negeri Rayuan Pulau Kelapa” ini, tiada pernah melewatkan makna sebuah nasionalisme, yaitu sebuah sikap mental yang selalu berorientasi kepada rasa ingin menciptakan dan mempertahankan kedaulatan negara (dalam bahasa Inggris "nation") yang pernah ada di Bumi Nusantara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk Bangsa Indonesia ( setelah Proklamasi 17 Agustus 1945). Dengan mencermati dinamika nasionalisme tersebut pada rentang waktu tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa nasionalisme lahir bersama dengan budaya yang membentuk suatu struktur masyarakat Indonesia.

Nasionalisme kerakyaan dalam suatu negara dapat ditafsirkan sebagai kesatuan masyarakat dalam persamaan hak berpolitik dan saling berbagi tujuan politik dalam prosedur aturan main berpolitik yang telah dibakukan. Apabila nasionalisme yang demikian mampu mengusung sebuah negara, maka akan terbentuklah negara yang multikultur, tidak berdasar etnik leluhur (ethnic ancestry ). Konsep nasionalisme demikan di canangkan oleh Ernest Renan (1882). Dengan demikian konsep negara tidak lebih dari hasil derivasi dari partisipasi legitimasi politik aktif dari warga negaranya.( Jean-Jacques Rousseau, 1762)

Namun bagaimana dengan nasionalisme rakyat dewasa ini, setelah memasuki kurun waktu “era reformasi” yang mewajahi tata kehidupan bangsa ini. Diawali dengan predikat negara terkorup di Asia, nasionalisme terujikan dengan budaya “pendoliman uang negara” yang dilakukan oknum pejabat negara, sekedar untuk tujuan hedonism yang menjadi suluh sebuah peradaban baru di negara yang kita cintai ini.
Kekecewaan demi kekecewaan “grassrote” terhadap mentalitas oknum petinggi, bisa saja menggumpal dan mengkristal ke dalam berbagai unsur separatis yang mengancam disintegrasi negara ini. Hingga sudah saatnya kita mulai dari diri kita masing-masing untuk menyelipkan nasionalisme demi langgengnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jumat, 24 September 2010

UNTUK KITA RENUNGKAN

Peduli terhadap realita yang mencuat di sekeliling kita, adalah salah salah satu pertanda “manusia yang menghayati semua peribadatan” . Bukan hanya kepedulian terhadap lingkungan sosial saja, tetapi kepedulian terhadap kerusakan lingkungan juga termasuk upaya manusia yang bermanfaat terhadap sesama, sebagai Khalifah di bumi. Bukankah kerusakan lingkungan yang terus ditelantarkan, pada gilirannya nanti bakal mengancam eksistensi kita semua.

Rasa khawatir kita sebagai organisma “Primata berderajat paling tinggi” kini merebak dan menggayuti hati kita semua. Bila kita mencermati sebuah realita tentang saudara saudara kita di Uni Sovyet yang sedang berkubang kerusakan iklim.Betapa tidak, menurut salah satu laporan televise swasta nasional, memaparkan bahwa mereka telah meradang di bawah temperature 38 derajat Celsius. Penyebab perubahan suhu yang tidak seperti biasanya ini, adalah sebagian dari menggejalanya kasus pemanasan global. (global warming).

Seperti kita ketahui bersama bahwa suhu rata-rata pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca” . Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8.. Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 hingga 2100. (Pemanasan Global, Wikipedia, 2010).

Dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh pemanasan global tersebut adalah
terjadinya kerusakan sirkulasi air laut, sehingga menimbulkan perubahan cuaca yang sulit dipredeksi., timbulnya gejala kekeringan yang lebih parah di daerah gurun , kegagalan panen yang terjadi di mana-mana sehingga menyebabkan terbatasnya persediaan pangan, kelangkaan air dan sumber-sumber air, kelapran yang melanda dunia dan menyebabkan banyak kematian, mebyebabkan perubahan cuaca yang ekstrim dengan cirri banyak terjadinya badai, menyebabkan berbagai penyakit baik untuk manusia maupun hewan, timbulnya gelombang panas yang mematikan, berkurangnya habitat hewan dan tumbuhan, menyebabkan emigrasi besar besaran manusia dari daerah tandus ke daerah yang lebih baik, bertambahnya konsumsi energi untuk kebutuhan rumah tangga, menyebabkan polusi udara dan menghilangnya lapisan es atau glaciers.( http : // epa.gov/ climate.change/emission ).

Perubahan cuaca tersebut di atas memang menimbuilkan konsekuensi logis yang negatif, terbukti dengan terjadinya cuaca yang ekstrim seperti yang kita rasakan mulai 2 bulan terakhir (Juli dan Agustus) di Indonesia. Bisa kita cermati juga contoh lain, yaitu terjadinya banjir bandang byang menerjang Pakistan barat laut tepatnya di Nowshera, pada hari Selasa (3/8) yang telah menyebabkan lebih dari tiga juta orang merana. Korban yang te¬was mencapai 1.400 orang . Menyusul kemudian banjir di Zhouqu,China yang menewaskan 1424 orang serta lebih dari 2000 dinyatakan hilang. Padahal pada bulan bulan itu, mereka biasanya hidup di bawah musim kemarau.

Lantas bagimana saudara kita yang di Uni Sovyet, mereka biasa hidup di tengah temperature udara 24 derajat Celsius. Selanjutnya dilaporkan bahwa dengan naiknya suhu udara, menyebabkan kenaikan 300 % kandungan CO (karbonmonoksida) di atmosfer. Padahal salah satu sifat CO di muka bumi ini adalah mampu menghalangi fiksasi “alveolus” terhadap Oksigen di paru paru organisme konsumen (manusia dan hewan).

Disamping itu juga bersama sama dengan CO2 (karbon dioksida) karbonmonoksida bakal menyerap kalor matahari. Hal ini menimbulkan perubahan temperature atmosfer meningkat dari tahun ke tahun. Dari realitas fenomena di atas pasti akan timbul pertanyaan dalam benak kita, akankah eksistensi manusia tetap berlangsung seratus tahun ke depan bila fenomena ini terus berlangsung, atau mungkin pula akan lahir organisma manusia straint baru, yang mengalami mutasi genetic. Hal ini wajar saja bisa terjadi, karena manusia adalah organisma yang memiliki daya adaptasi yang paling comfortable dibanding dengan organisma lainnya. Ditambah lagi manusia memiliki software dengan iptek sebagai hasil cipta dan karsa mereka. Namun demikian hingga kini belum ada satu laporan ilmiahpun yang memprediksi fenomena mutan tersebut. Karena memiliki kompleksitas yang tinggi.

Oleh karena itu sebuah tindakan manusia dalam upaya pencegahan ini semua perlu dikedepankan sebagai upaya yang paling bijak dan masuk akal. Fenomena yang mengancam eksistensi hidup manusia adalah dimulai dengan tindakan sembrono manusia itu sendiri yang tidak memperhitungkan dampaknya di kemudian hari. Hingga generasi sekaranglah yang harus mewarisi bumi yang sudah tidak ramah lagi.

Dengan sebuah asumsi yang kasar, kita bisa mendeskipsikan bahwa temperature bumi di tahun 2112 adalah sekitar 43 ° C. Di tengah temperatur udara setinggi itu, maka jelas sudah species manusia bakal menemui kepunahan, kecuali bagi mereka yang mengalami peruabahan anatomis, fisiologis dan kriteria biologis lainnya.

Atau dengan olahan cipta dan karsanya manusia mencoba merekayasa lingkungan hidup sedemikian rupa hingga mampu eksis entah sampai kapan atau bahkan dengan ilmu genetic yang telah maju dengan pesat, manusia mampu menciptakan strain manusia mutan yang telah direkayasa genetiknya. Dengan teknik tambal-sulam ikatan DNA yang terdapat pada kromosom manusia atau kromosome hewan. Sehingga manusia mampu mengkombinasikan peta-genetik hewan dan manusia demi daya tahan manusia terhadap change of climate tersebut.

Benarkah fenomena tersebut bakal terjadi di masa depan. Mengacu pada kerusakan iklim yang ekstrim sekarang maka fenomena tersebut bukan isapan jempol biasa. Hanya rasa tunduk kita kepada Tuhan yang Kuasa yang direfleksikan dengan perlakuan santun terhadap alam semesta inilah yang bakal menjadi penyelemat keberlangsungan hidup kita.

Jumat, 17 September 2010

Mendambakan KOTA SEMARANG Yang Nyaman


(SEBUAH SARAN UNTUK PAK WALI YANG BARU)

Memasuki hari ke dua setelah Pilwakot Semarang Th 2010 = 2015, sebuah pandangan ke depan yang optimis langsung merebak dari hati penulis, setelah mengetahui kemenangan yang diraih pasangan MARHEN. Perasaan ini tidak timbul lantaran simpatik yang berlebihan, tetapi semata niatan merefleksasikan urgensi Kota Semarang sebagai kota metropolitan yang sejuk, asri, aman, maju serta memliliki drainage yang representatif, yang cukup dikonotasikan dengan predikat “kota nyaman”, yang kita dambakan.

Tentunya Marhen harus mampu menautkan semua institusi yang terlibat agar mampu bergerak selaras, bagaikan mesin sebuah arloji yang harus kompak berputar demi sang waktu. Kita sambut gembira pernyataan pasangan Marhen yang akan menerapkan aspek kebersamaan sesuai janjinyaya, untuk membentuk stakeholder baik perorangan maupun lembaga untuk bersama-sama membangun Kota Semarang.

Sebagai ibu kota Provinsi Jateng, tentu pembangunan Kota Semarang harus memfokuskan pada specifikasi yang dimiliki kota Semarang yaitu adanya prediksi ilmiah Dr. Ir. Suripin M.Eng, yang dikutip dari abstraksi Dwiyanto, Agung (2009) Stasiun Tawang Yang Terdholim, yang diterbitkan Jurnal Nasional, menyatakan bahwa topografi wilayah Semarang memiliki kemiringan antara 0 sampai 2% dan ketinggian ruang antara 0-3,5 mdpl. Adapun Semarang bagian atas dengan ketingggian antara 90-200 meter dari permukaan laut. Semarang sudah menjadi langganan banjir dan rob sejak beberapa tahun yang lalu. Jika penanganan banjir tidak sistimatis, diperkirakan pada 2019. Semarang bawah akan tenggelam. Prediksi itu didasarkan pada penurunan lahan yang terjadi tahun demi tahun, yang semakin lama semakin mengkhawatirkan.

Dengan prediksi ilmiah tersebut, maka tentunya akan menimbulkan perasaan masyarakat yang tidak nyaman untuk bermukim di Semarang. Apalagi bila kita menyaksikan realisasi penyelamatan kota Semarang oleh autoritas yang masih belum mengenai sasaran (pembangunan polder di depan Statiun tawang, rumah pompa tlogosari yang belum berhasil guna). Apalagi dengan timbulnya dampak yang nyata akibat terjangan rob, yaitu rusaknya Jalan Barito dan ruas jalan lainnya yang belum terbenahi.

Apabila kelak terjadi kota yang hilang akibat terambahnya banjir rob, maka tentu saja sebagian besar warga Semarang yang berdomisili di Semarang Utara tidaklah mungkin mempertahankan tempat tinggalnya, terutama bagi yang mampu. Namun masalah pelik mulai muncul bila ancaman itu mendera masyarakat menengah ke bawah, yang tidak memiliki tempat pemukiman lainnya, Maka menjadi tantangan yang berat bagi Marhen untuk peduli wilayahnya, masyarakat serta amanat yang diembanya.

Namun disamping itu, specifikasi lainnya pun dimiliki kota Semarang dengan topografi nya unik, yaitu perbedaan yang signifikan antara topografi pantai (sebelah utara) dengan daratan berbukit di bagian selatan Kota Semarang. Dengan demikian Semarang bagian bawahlah yang menjadi penampungan air hujan dari bagian selatan. Tentu saja Marhen disarankan untuk mengkonsep lagi sistim drainage kota yang serius, setidak-tidaknya merehabilitir drainage yang pernah dikonsep pemerintah kolonial dulu. Karena banyak sistim drainage peninggalan kolonial yang sekarang tak berfungsi optimal karena sedimentasi.

Rasa heran bercampur prihatin mengganjal dalam benak kita semua, tatkala kita menyaksikan Kota Semarang bagian atas yang telah disulap menjadi tempat pemukiman komersil oleh pihak pengembang (Jati Sari, BSB dan lain sebaganya) yang menonfungsikan reservoir raksasa air hujan alami, berupa pohon-pohon taunan yang kini rata dengan tanah. Tentunya sikap ini sama saja dengan menelantarkan anak cucu kita sendiri, karena kita tak mampu memegang amanat mereka. Padahal luas tanah 1 m persegi mampu menyimpan air tanah sebanyak 4,000 liter. Fenomena ini menggambarkan betapa terancamnya kehidupan warga Kota Semarang di decade mendatang.

Namun demikian merealisasikan Semarang Kota Nyaman tidak serta merta mengatasi tantangan alamiah belaka. Dengan penerapan teknologi yang telah diraih ahli Planalogi tantangan seperti itu bisa diatasi. Tetapi mentalitas dan moralitas warga Semarangpun harus mendapat kajian yang professional dan proporsional dalam kaitanya dengan kenyamanan hidup masyarakat sosial. Apabila kita mencermati kehidupan social Kota Semarang tentunya kita akan dihadapka pada kompleksitas yang tinggi, untuk menorehkan skala prioritas pemberdayaan potensi yang ada sekaligus factor pengendala yang paling domnan terhadap kemajuan sebuah masyarakat.

Namun lepas dari itu semua, terdapan nilai mendasar yang wajib Marhen perhatikan dalam pengentasan Kota Semarang, yaitu peningkatan laju ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Dengan adanya perhatian tiga komponen tersebut maka bila kebutuhan mendasar sebuah masyarakat social akan terpenuhi pada gilirannya nanti akan terealisasi Kota Seamarang yang Nyaman sebagai Impian kita bersama.

JATI DIRI YANG DIKORBANKAN

Rothenberg, Bess. and Miller-Idriss, Cynthia (2004), dalam abstraksi makalah mereka yang berjudul “Complex Conceptualizations of National Pride: Reevaluating a Key Indicator of the Citizen and Nation Relationship" di seminar tahunan American Sociological Association, pada Tanggal 14 Agustus 2004, mengungkapkan bahwa rasa kebanggan terhadap negara, adalah kunci sebuah indikator (key indicator) untuk mengetahu hubungan antara warga negara dengan negara mereka sendiri. Meskipun penafsiran masing-masing individu mengenai pengetahuan ketatanegaraan belum bisa dijadikan tolak ukur nilai kebanggaan mereka terhadap negara mereka sendiri. Oleh karena itu perlu adanya pencerahan kepada masyarakat umum tentang pandangan mereka terhadap nilai kebanggan dan jati diri bangsa (national pride and national identity). Sumber : All.Acedemic. Incoorperation, 2004.

Dari argumentasi Rotherberg dkk diatas tentunya kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa setiap warga negara apapun status sosialnya, tetap memliki rasa kebanggaan dan jati diri bangsanya menurut ukuran mereka masing-masing. Karena dengan sebesar apapun takaran yang dimiliki oleh suatu individu, pada hakekatnya bukan sebagai penghalang dalam pengejawantahan terhadap kepemilikan kebanggaan dan jati diri bangsa.

Jati diri yang menginternalisasi di tiap benak warga negara Indonesia dibangun oleh unsur-unsur yang beragam, diantaranya adalah unsur Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, yang kesemuanya harus dilihat sebagai “jati diri bangsa” dan ditempatkan sebagai margin of apprecfiation. Selain itu semangat reformasi mengharuskan kita untuk menghormati pelbagai persyaratan untuk hidup bermartabat ( living in dignit) yang merupakan segitiga yang bersifat universal yaitu demokrasi, rule of law dan promosi serta perlindungan HAM. ( Makalah Prof. Dr. Muladi, S.H. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional RI pada Diskusi Panel dengan tema “Revitalisasi Jati Diri Bangsa” yang diselenggarakan oleh Biro Organisasi dan Humas, Deputi Mensesneg Bidang Sumber Daya Manusia bersama Biro Kewilayahan dan Wawasan, Deputi Seswapres Bidang Politik pada tanggal 14 Juni 2006 di Kantor Sekretariat Negara RI, Jakarta ).

Dengan semanghat reformasi yang menggelinding secara liar, setelah jatuhnya Soeharti Tgl 21 Mei 1997, wajah kehidupan politik Indonesia menjadi tidak konsisten, yang pada akhirnya menimbulkan side effect yang
tidak kita harapkan, seperti maraknya perseteruan elit politik, ancaman disintegrasi bangsa, menguatknay aksi power people dan melemahnya supremasi hukumj, yang pada awalnya kita coba kondisikan dengan energi yang maksimal, serta aksi lain yang belum pernah muncul ke permukaan. Kondisi semacam ini tentunya akan menyebabkan Indonesia kembali ke perseteruan panjang multidimensional atau conflk sosial yang kronis, yang pada gilirannya akan mengikis moralitas jati diri kita.

North, Koch, and Zinnes, 1960 menyatakan bahwa konflik sosial yang umum terjadi di suatu wilayah adalah bersumber pada pembagian kekuasaan ( distribution of power ) yang berlangsung di wilayah tertentu. Konflik sosial ini biasanya berbentuk upaya – upaya pemaksaan kekuasaan, yang diharapkan mampu memenuhi hasrat para pemeran konflik itu sendiri. Sehingga sudah barang tentu, konflik akan melahirkan intrik yang beruang- lingkup pada pemaksaan hak terhadap orang lain.

Kondisi semacam itulah yang dewasa ini mendera Wajah Bumi Pertiwi, dengan wujud perseteruan antara lembaga eksecutif / pemerintah dengan institusi wakil rakyat yang disebut DPR. Lepas dari mekanisme alternatife yang mereka pilih sebagai opsi way – out perseteruan mereka, kita lebih memandang sebagai upaya menggoyang kursi keprisedanan yang di bangun dari hasil Pemilu Presiden Th 2009 lalu. Betapa tidak untuk biaya perseteruan itu sendiri kita telah mengeluarkan dana yang tidak sedikit ( untuk ukuran orang kecil yang seharusnya menjadi fokus dalam pembangunan segala bidang ), hanya untuk mengusut dana sebesar 6,7 trilyun rupiah sebagai dana bailout Century.. Apalagi perseteruan tersebut bukan hanya berlangsung di dalam Gedung Senayan saja, tetapi telah merebak ke parlemen jalanan yang dilakukan publik.

Dalam kondisi semacam itu, bangsa Indonesia sebenarnya tetap yakin bahwa persatuan dan kesatuan nasional baik yang bernuansa struktural maupun kultural (solidaritas sosial) tetap bisa dipertahankan di negeri ini, sebab bangsa ini memang didirikan atas dasar falsafah non-primordialisme, melainkan atas dasar rasa penderitaan yang sama (sense of common suffering) akibat penjajahan asing ratusan tahun. ( Prof. Dr. Muladi, S.H.). Bukan hanya itu saja yangh kita harapkan agar tetap mendapatkan predikat yang monumental sebagai bangsa yang santun, ramah, murah senyum, ringan bergotong royong, terbuka dan seabreg predikat luhur lainnya.

Dengan lengkapnya perangkat hukum kita yang diapilkasikan dalam rel sepremasi hukum, maka bangsa ini yang tadinya telah kokoh berlabel berjati diri, hendaknya menyerahkan kepada perangkat tersebut pada wadah Mahkamah Konstitusi, untuk melakuka uji materi tentang bailout. Apabila mengandung muatan pidana bukankah lebih baik diterapkan saja regulasi hukum atau sebaliknya. Bukan dengan waktu yang berbulan-bulan menyodorkan tontonan publik yang tidak dewasa.

Aspek urgensi yang harus kita cermati dibalik ini semua, adalah menguatnya gejalan instabilitas nasional yang mungkin saja terpuruk bersamaan dengan polarisasi elit politik, yang secara tidak langsung juga akan menciptakan situasi non kondusif terhadap aspek yang lebih jauh lagi, yaitu disintegrasi. Dalam hal ini hendaknya para petinggi kita segera menlakukan cooling down, atau disarankan dengan sangat untuk melakukan ultimatum yang final tak berekses lainnya, untuk mengakhiri bailoutnya pemerintah SBY. Inilah langkah penuh moralitas guna menambal jati diri yang telah terkoyak. Atau bahkan sebaliknya hanya mampu men-download misi politik partainya semata-mata menggoyang kursi presiden. Ekses lainya dari peliknya aktifitas parlemen tersebut tentunya akan diikuti oleh kekisruha lainnya yang berkesinambungan.

Bila alternatif terakhir yang dikedepankan maka jati diri bangsa yang telah mengakar ratusan tahun bisa saja meranggas atau berganti baju menjadi jati diri bangsa yang entah bagaimana bentuknya, berganti pula filosofi dasarnya. Bahakan berganti pula berpredikat sebagai bangsa yang garang, atau seabreg predikat lainnya yang sangat kontroversial. Maka sebuah pertanyaanpun akan dilontarkan oleh segenap anak bangsa yang menaruh perhatian menbdalam, mau dikemanakan bangsa dan negara yang indah ini ?.

DINAMIKA NASIONALISME Dari Masa Ke Masa

Dari satu dekade hingga ke dekade lainnya, nasionalisme rakyat di Bumi Nusantara ini terhadap negara yang eksis kala itu (berbagai kerajaan yang berdiri) terbukti tidak pernah nihil. Selalu saja nasionalisme tertanam kuat di masing-masing dada rakyat, dari mulai rakyat jelata hingga para petinggi negara tersebut. Sejak tahun 1293 hingga 2500 M, rakyat sepanjang kepulauan Nusantara ini bahu membahu mempertahankan kedaulatan dengan sebuah nasionalisme, demi eksistensinya sebuah negara/kerajaan yang disebut Majapahit, yang beribukota di Trowulan, Jawa Timur.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya. Kerajaan ini dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Borneo, Kepulauan Sulu, Manila (Saludung), hingga Indonesia Timur, meskipun wilayah kekuasaannya hingga kini masih diperdebatkan. Bukankah dengan keagungan semacam ini, tiada lain hanya nasionalisme yang kokoh saja yang berperan dalam menjaga eksistensi negara besar ini.
Bukan hanya Majapahit saja yang pernah eksis di Bumi Nusantara, tercatat dalam sejarah beberapa kerajaan lain, seperti Kediri, Singosari, Pajajaran, Sriwijaya dan kerajaan kecil lainnyapun pernah didirikan oleh rakyat di masa itu, sebagai perwujudan hasrat untuk hidup dengan damai, adil dan sentosa.
Kerajaan Kadiri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222 M. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sedangkan Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari atau Singosari, adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang, Jawa Timur.
Bahkan lebih kurang 6 abad sebelum kerajaan di P. Jawa berdiri, telah berdiri terlebih dahulu Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya), adalah salah satu kerajaan maritim yang kuat di pulau Sumatra dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; ketika seorang pendeta Tiongkok, I-tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjut prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa ditahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Coladewa dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 Sriwijaya dibawah kendali Raja Dharmasraya mengakui kedaulatan Kerajaan Majapahit.
Bersamaan dengan itu di Bumi Pasundan berdiri Kerajaan Pajajaran (Kerajaan Sunda), disebut dengan Kerajaan Pajajaran karena kerajaan ini beribukota di kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat. Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 M oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak.
Dari tahun 923 M hingga kini, tentu saja seluruh individu yang bersemayam di “Negeri Rayuan Pulau Kelapa” ini, tiada pernah melewatkan makna sebuah nasionalisme, yaitu sebuah sikap mental yang selalu berorientasi kepada rasa ingin menciptakan dan mempertahankan kedaulatan negara (dalam bahasa Inggris "nation") yang pernah ada di Bumi Nusantara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk Bangsa Indonesia ( setelah Proklamasi 17 Agustus 1945). Dengan mencermati dinamika nasionalisme tersebut pada rentang waktu tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa nasionalisme lahir bersama dengan budaya yang membentuk suatu struktur masyarakat Indonesia.
Nasionalisme kerakyaan dalam suatu negara dapat ditafsirkan sebagai kesatuan masyarakat dalam persamaan hak berpolitik dan saling berbagi tujuan politik dalam prosedur aturan main berpolitik yang telah dibakukan. Apabila nasionalisme yang demikian mampu mengusung sebuah negara, maka akan terbentuklah negara yang multikultur, tidak berdasar etnik leluhur (ethnic ancestry ). Konsep nasionalisme demikan di canangkan oleh Ernest Renan (1882). Dengan demikian konsep negara tidak lebih dari hasil derivasi dari partisipasi legitimasi politik aktif dari warga negaranya.( Jean-Jacques Rousseau, 1762)
Meskipun legitimasi partisipasi politik aktif rakyat di jaman kerajaan-kerajaan tersebut belum diwadahi aturan main yang mapan, namun karena eksistensi kerajaan tersebut mencakup daerah taklukan yang multi etnis, maka dapat kita cermati bahwa dinamika nasionalisme kala itu berjalan kokoh, karena dari segi politik tidak terdapat perbedaan suku dan ras menurut konsep Ernest Renan tersebut. Dan itu berlangsung berabad-abad.
Namun bagaimana dengan nasionalisme rakyat dewasa ini, setelah memasuki kurun waktu “era reformasi” yang mewajahi tata kehidupan bangsa ini. Diawali dengan predikat negara terkorup di Asia, nasionalisme terujikan dengan budaya “pendoliman uang negara” yang dilakukan oknum pejabat negara, sekedar untuk tujuan hedonism yang menjadi suluh sebuah peradaban baru di negara yang kita cintai ini.
Sementara predikat negara termiskinpun terus saja membahana ke tiap penjuru dunia. Spirit untuk menggapai pengentasan Indonesia dari berbagai keterpurukanpun menjadi kian tak jelas. Ditambah lagi dengan maraknya perseteruan antara pemimpin publik yang memenuhi hampir seluruh media. Hingga dengan latar belakang hilangnya “sense of belonging” dari berbagai pihak terhadap negara ini, telah menimbulkan pula stimulus untuk penyelesaian apa saja dengan cara protes anarkis dan lain sebagainya. Yang menjadi keprihatinan kita bersama adalah belum adanya langkah kebersamaan serta arah yang konkret untuk mengakhiri ini semua, atau karena telah melunturnya nasionalisme yang ada di hati kita masing-masing.
Kekecewaan demi kekecewaan “grassrote” terhadap mentalitas oknum petinggi, bisa saja menggumpal dan mengkristal ke dalam berbagai unsur separatis yang mengancam disintegrasi negara ini. Hingga sudah saatnya kita mulai dari diri kita masing-masing untuk menyelipkan nasionalisme demi langgengnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BERSIKAP SANTUN MUDIKPUN TERASA INDAH

Usai sudah hiruk pikuk mudik dan arus baliknya yang diusung para urban yang tinggal di kota-kota besar seluruh Indonesia ke daerah mereka masing-masing, dari beberapa hari sebelum Hari Raya I’dul Fitri 1 Syawal 1431 H hingga beberapa hari sesudahnya. Menurut budayawan Jacob Soemardjo, mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah mengenal tradisi ini jauh sebelum berdiri Kerajaan Majapahit untuk membersihkan pekuburan dan doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan untuk memohon keselamatan kampung halamannya yang rutin dilakukan sekali dalam setahun. Kebiasaan membersihkan dan berdoa bersama di pekuburan sanak keluarga sewaktu pulang kampung sampai saat ini masih banyak ditemukan di daerah Jawa.

Setelah Islam masuk ke Indonesia, terjadilah asimilasi budaya leluhur kita dengan ajaran Islam, yang menyodorkan konsep pembersihan diri dengan melakukan ritual maaf memaafkan kepada orang lain , guna pencapaian pembersihan jiwa dari dosa dosa mereka
Sebagian besar masyarakat Indonesia, menganggap bahwa pencapaian pembersihan diri ini akan mencapai afdhol ketika mereka bermaaf-maafan dengan orang tua dan saudara mereka di daerah asal.

Dengan melekatnya nilai nilai tersebut di atas, maka akan kita lihat hiruk pikuknya sejumlah besar pemudik yang dilakukan semua lapisan masyarakat. Hiruk pikuk tersebut memang pantas menjadi perhatian semua pihak. Lantaran bukan hanya aspek religius dan sosiologis saja yang kita cermati, namun pengkajian fenomena yang unik inipun harus di curahi perhatian ekstra, dalam ruang lingkup yang lebih luas. Betapa tidak,menurut laporan sebuah studio tv swasta nasional. Pada hari + 2 lebaran, jumlah pemudik yang melewati gerbang tol sebelah timur Jakarta, mencapai 30. 000 unit mobil dan 98.000 unit sepeda motor.

Tentu saja kegatan perjalanan mudik dan arus baliknya, setiap tahun akan memaksa pihak pemerintah, terus meng-up grade berbagai kebijakan untuk meredam dan mengatasi berbagai ekses yang ditimbulkan, seperti maraknya tindakan kriminalitas, keamanan dan keselamatan berlalin, pembenahan infrastruktur, transportasi, fenomena ekonomi, kesehatan dan lain sebagainya. Meski tiap tahun pemerintah mencoba terus memanjakan pemudin ini, namun tetap saja mudik tahun ini masih menyisakan air mata.
Betapa tidak hampir tiap tahun,jatuhlah air mata dari keluarga korban tewas kecelakaan lalin mudik dan arus balik. Mabes Polri menyatakan jumlah korban tewas akibat kecelakaan lalu-lintas selama mudik lebaran 2010 adalah sebesar . 164 korban kecelakaan lalu-lintas seluruh Indonesia, menurut ujar Kadiv Humas Mabes Polri, Brigjen Pol. Iskandar Hasan di Mabes Polri Jl. Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat (10/9). Sedangkan hingga hari Rabu, 15 September 2010, jumlah korban tewas telah membengkak menjadi . 277 Orang tewas di jalanan akibat kecelakaan. Sedangkan jumlah kecelakaan sebanyak 1.241 kasus kecelakaan.
Lebih lanjut Kadiv Humas Polri Brigjen Pol, Iskandar Hasan mengatakan, selain korban tewas ada 371 orang luka berat dan 700 orang luka ringan. Sementara kerugian materiil mencapai Rp 4,6 milliar. Pelanggaran lalin 27.115 kali, tilang 23.221 dan pembinaan 3.892 kasus, tingkat kejahatan selama musim mudik juga terus meningkat meski tidak signifikan. Umumnya, kejahatan yang terjadi bersifat konvensional seperti pencurian.
sebanyak 1.836 kasus dan 686 kasus lainya.
Kita ketahui bersama bahwa kecelakaan yang banyak dialami oleh pengguna jalan raya adalah diakibatkan sebagian besar oleh human error. Hal ini berarti budaya mudik bisa dilaksanakan oleh kita bersama dengan meninggalkan ekses korban jiwa seminimal mungkin, bila kita perduli dengan kesiapan dan kepatuhan serta tanggung jawab kita sebagai pengguna jalan, yang menyangkut pemeriksaaan awal kendaraan baik darat laut serta udara, perlengkapan utama dan pendukung berkendaraan, pengetahuan tentang rambu serta kondisi kesehatan kita sendiri. Hal ini perlu kita tekadi, lantaran mudik tahun ini lebih specific di banding tahun sebelumnya, karena faktor kendala cuaca ekstrim, yang hampir menerjang wilayah nusantara sepanjang tahun.
Oleh karena itu kita perlu mencontoh kiat Pemerintah Kota Bogor menerapkan keharusan mobil sewaan mudik plat hitam untuk mengantongi sertifikat atau surat uji kelaikan kendaraan, sebagaimana mobil pelat kuning atau kendaraan umum. Ketentuan tersebut akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Wali Kota (Perwali) atau Peraturan Daerah (Perda).Apalagi bila sertifikasi uji itu dikenakan oada semua kendaraan yang terkait engan arus mudik, yang berupa sertifikat khusus dengan pola uji berkendaraan yang lebih ketat.
Namun demikian seketat apapun suatu regulasi meski dengan sangsi yang berat, tak akan berarti apa-apa bila kita sudah menepiskan kepedulian terhadap pengguna lain dan aturan main yang ada.Hal inilah yang sering menyebabkan kemacetan jalan dan ikut andil terjadinya kecelakaan lalin, meski infrastruktur telah dibenahi oleh pemerintah secara kontinyu dari tahun ke tahun.
Dengan banyaknya kendala yang menghadang mobilisasi jutaan pemudik dan arus baliknya, kita wajib melengkapkan dengan sikap santun dari berbagai aspek untuk menciptakan suasana budaya mudik yang lebih aman, selamat sampai tujuan serta sehat sebagai syarat mutlak menikmati budaya mudik yang ramah di tahun tahuin mendatang.

Rabu, 15 September 2010

MIRAS Sang Penjemput Maut

Nampaknya bukan hanya mudik dan petasan saja, yang digunakan masyarakat kita dalam menyambut Hari Kemenangan tahun ini, namun sesuatu “perilaku yang konyol” yang biasanya dilakukan oleh sekelompok pemuda, yaitu pesta miras dari berbagai jenis merek, mulai dari merek perdagangan miras resmi hingga oplosan, yang diramu oleh oknum-oknum tertentu demi keuntungan komesil semata. Tanpa memikirkan efek sampingan bagi yang nenggak miras tersebut, yang tak jarang berbuntut pada tewasnya konsumen daganganya itu.

Bahkan tak segan segan, para pengoplos itu mengunakan kedok warung jamu untuk mengelabui aparat. Seperti yang terjadi di Riau ( 13 September malam), sebuah pesta miras yang melibatkan sejumlah pemuda yang bersama menenggak miras jenis mension. Pesta miras tersebut berujung meninggalnya 2 orang pemuda dan hingga berita ini ditulis, delapan orang masih menjalani rawat inap di RS Pelalawan, Riau.

Pesta serupa juga pernah dilakukan sekawanan pemuda Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 5 Mei tahun ini, yang merenggut nyawa 7 pemuda akibat minuman miras yang dicampur dengan minuman suplemen tertentu. Yang membuat kita prihatin,adalah kasus serupa pernah terjadi dalam dua bulan terakhir yang merenggut nyawa 5 orang pemuda.

Kasus miras pembunuh yang telah makan korban ternyata bukan hanya di Riau dan Cirebon saja. Pada akhir Agustus masih tahun ini, pesta miras juga telah merenggut 8 nyawa pemuda di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pesta konyol dilakukan di sebuah warung jamu dengan pemilik warung berperan sebagai pengoplos miras itu sendiri.

Tindakan ceroboh pengoplos seperti kasus tersebut di atas, juga pernah menggegerkan Masyarakat Jawa Tengah pada Bulan April 2010 ini, ketika 21 pemuda dari Salatiga harus meregang nyawa akibat mengkonsumsi miras oplosan yang diramu oleh oknum yang bernama Rusmanadi alias Tius (39), warga Jalan Karangpete RT 3 RW 6 Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Tingkir, Kodya Salatiga. Berdasarkan keterangan Tim medis setempat diperoleh keterangan bahwa kandungan metanol (sejenis alkohol yang sering dipakai dalam bidang industri) yang cukup tinggi dan melebihi batas toleransi di dalam tubuh korban tewas.

Kasus kasus di atas hanyalah sebagian dari kasus perilaku konyol pemuda kita, yang tidak bisa kami sebutkan satu demi satu. Lantaran masih banyaknya kasus serupa yang tersebar di seluruh wilayah negara kita dengan variasi oplosan yang berbeda beda. Di Jawa Tengah sendiri telah jatuh korban-korban di beberapa kota akibat miras, khususnya miras oplosan. Mulai dari Semarang, Salatiga, sampai Boyolali Bahkan saat tulisan ini dibuat, diberitakan bahwa korban Miras telah mencapai 300 orang.

Gejala sosiologis tersebut memang patut mendapat perhatian serius dari kita semua, minimal kita harus memiliki konsep yang handal. Mengingat gelagat pemuda kita yang tidak mau mengambil pelajaran dari kasus sebelumnya yang serupa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mantan Kapolda Jateng Irjen Pol Alex Bambang Riatmodjo.

Ataukah mereka hanya sebatas mencari jati diri, terbukti dengan kasus seperti ini yang terus saja berlangsung tanpa bisa dihentikan oleh perangkat apapun. Bila memang sudah begini keadaanya maka peran aktif masyarakatpun menjadi salah satu metoda yang handal. Disamping tindakan sangsi hukum yang berat bagi para pengoplos miras yang tidak memiliki hati nuarani lagi.Langkah tersebut memang harus dibarengi dengan sinergi yang tegas, mengingat sudah sedemikian parahnya pekat ini menerjang masyarakat kita.

Bahkan kita sempat dibuat tidak percaya dengan kasus yang terjadi di Gothakan, Panjatan, Kulon Progom Jogjakarta ketika menemukan 8 anak SD yang nenggak miras sehabis pulang sekolah di salah satu warung miras pada Bulan Januari2010. Sementara itu Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kulonprogo Arif Prastowo membenarkan adanya peristiwa ini. Hanya saja dinas baru mengetahui beberapa hari yang lalu. Dinas telah melakukan klarifikasi, dan dibenarkan oleh guru dan kepala sekolah. Saat itu juga telah dilakukan koordinasi dengan orang tua siswa dan komite sekolah untuk pengawasan. Memang langkah ini adalah suatu harga mati ketimbang mereka nantinya menjadi generasi yang sakit mentalnya.

Dengan pendekatan terpadu yang melibatkan orang tua, lembaga sekolah, Disdikpora setempat pada kasus di atas, adalah suatu contoh penyelesaian kasus miras yang komprehensif, yang sebenarnya bisa dilakukan untuk remaja kita dengan variasi yang kondisional sesuai dengan tahapan psychology remaja. Bukan hanya dengan “oprasi pekat” saja yang dilakukan oleh institusi berwenang, yang berhasil menertibkan secara temporer. Sebab bila ini ditunda tanpa penyelesaian serius, maka jadilah pesta miras sebagai satu bagian dalam budaya kita. Ditambah lagi dengan faktor keterpurukan ekonomi, yang dapat meningkatkan perilaku antisosial yang menjadi prediktor penggunaan miras pada masa dewasa. Sedangkan anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan sosial yang kurang menguntungkan seperti kumuh, kepadatan penduduk tinggi, mobilitas penduduk tinggi, rasa kebersamaan yang rendah, dapat meningkatkan kecendrungan menjadi pengguna miras (Dari beberapa sumber).