Kamis, 12 Agustus 2010

Meramu Sistem PENDIDIKAN MODERN

Sejak umat manusia menghuni bumi ini, ada satu hal yang tidak pernah tertinggalkan sejalan dengan dinamilka peradaban yang telah eksis, yaitu pencerahan terhadap generasi penerusanya perihal nilai hidup, knowledge (pengetahuan), religi-spiritual atau kepercayaan kepada sesuatu yang mereka sembah, sebagai kekuatan di luar dimensi mereka. Pencerahan tersebut dilakukan oleh peradaban yang kala itu sedang eksis dengan metoda informal pada peradaban prasejarah hingga sistim pendidikan modern untuk peradaban manusia di abad millennium ini.
Hal ini dikarenakan pendidikan adalah salah satu “social institution” (pranata social) yang bersifat alamiah bersama dengan nilai agama, hak milik dan lembaga perkawinan. Dengan berhasilnya lembaga pendidikan yang dilangsungkan oleh setiap komponen dalam suatu struktur social, maka akan majulah peradaban masyarakat tertsebut, sehingga pada akhirnya mereka mampu menjadi “komunitas social yang berjati diri” dengan seabreg prestasi dibidang ekonomi, teknologi dan nilai lainnya.
Persepsi generasi penerus masyarakat tersebut akan urgensitas untuk menggali nilai hidup beserta komponen yang meng-suport-nya, seperti teknologi, nasionalisme, tanggung jawab moral terhadap profesi yang diemban, disiplin dan menghargai waktu, kejujuran, termasuk juga tanggung jawab mereka terhadap lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sekitarnya, begitu kuatnya melelkat dalam tiap sanubari mereka masing-masing. Secara sederhana kita bisa mendeteksi mentalitas anak bangsa tersebut dengan mencermati minat baca mereka terhadap “bahan ajar berbagai disiplin ilmu atau bacaan lainnya”,
Tentang minat baca kita patut berprihatin sebagaimana yang dikemukakan oleh Suayatno (praktisi pendidikan YLPI Duri), menurut laporan Bank Dunia No. 16369-IND, dan Studi IEA (International Association for the Evalution of Education Achievement ) di Asia Timur, tingkat terendah membaca anak-anak di pegang oleh negara Indonesia dengan skor 51.7, di bawah Filipina (skor 52.6); Thailand (skor 65.1); Singapura (74.0); dan Hongkong (75.5). Bukan itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanAya 30 persen. Sikap mental lainnya yang biasa kita lihat pada masyarakat sosial yang telah maju adalah serta ketertiban mereka saat bergiliran antri di berbagai kegiatan social.
Sikap mental yang demikian sangat jauh panggang dari api untuk masyarakat social di Negara kita. Telah kita ketahui bersama bahwa penanaman sikap yang kita harapkan, membutuhkan proses yang lama di sekitar relung estafet generasi satu dengan lainnya. Oleh karena itu penanaman mentalitas diataspun harus ditanamkan sedini mungkin.
Dengan demikian adalah hal yang belum maksimal berhasil guna bila kita terlalu mengedepankan “aksi bedil dan sepatu laras” ataupun “upaya mempersenjatai Satpol PP” untuk menelikung tindak demo anarkis, tawuran antar pelajar, budaya korupsi oknum petinggi dan hilangnya etos kerja keras untuk menggapai hidup yang lebih sejahtera. Oleh karena itu hamper tiap hari kita melihat tayangan bunuh diri diberbagai media oleh beberapa warga yang frustasi.
Penanaman sikap mentalitas yang kita harapkan tentulah melalui sarana pendidikan formal di tiap satuan pendidikan yang lebih kondusif untuk tiap peserta yang dikondisikan siap dihantarkan ke arah mentalitas tersebut, dengan tidak menelantarkan peran orang tua dan lingkungan yang memusari peserta didik tersebut.
Pendidikan yang telah sarat dengan pola penanaman kognitif yang mendominir pendidikan kita sudah saatnya kita sertakan dengan triangulasi sistim pendidikan, yaitu kognitif, psikhomotorik dan affektif. Dengan demikian tidak melulu kita mencetak siswa hanya untuk lulus UN dan bisa mengenyam di bangku PTN /PTS bergengsi. Siswa pada sistim pendidikan modern tidak lebih adalah sebuah “input peruses” untuk dipoles menjadi anak bangsa yang berdedikasi tinggi, santun, taqwa serta trampil, sebagai suatu outcome di jaman modern. Tendensi kita hanya pada aspek kognitif inilah yang membuat kita tertatih-tatih dalam pembentukan sikap mental peserta didik yang meninggalkan budaya kehidupan harmonis.
Tendensi pendidikan semacam itu jauh-jauh hari telah di diperingatkan oleh
Ki Hajar Dewantara (1977:374) yang mengemukakan bahwa pendidikan sekolah hanya disandarkan pada aturan pengajaran dengan system sekolah, dimana udara yang ada hanya udara intelektualisme, sekolah cenderung memberikan keilmuan yang bersifat rasionalitas saja sehingga tidak dipungkiri terabaikannya moralitas siswa;. Terlepas dari itu masih terdapat guru yang mengutamakan terselesaikannya target kurikulum dalam satu tahun ajaran ketimbang mengedepankan implementasinya dari sikap dan sifat siswa. Berdasarkan uraian tersebut pendidikan budi pekerti di sekolah-sekolah saat ini bisadikatakan masih kurang. Terbukti bahwa pada umumnya (93,8%) masyarakat menganggap bahwa pendidikan budipekerti di sekolah-sekolah saat ini masih kurang dan belum menunjang terhadap sikap dan perilaku siswa. Masyarakat pada umumnya (89%) menanggapi bahwa pendidikan budi pekerti sebaiknya diberikan mulai dari tingkat taman kanakkanak.
Contoh ini bisa kita dapati pada sistim penerimaan peserta didik baru di satuan pendidikan yang berlabel prestos, yang hanya menerima calon siswa yang tinggi nilai kognitifnya. Padahal satuan pendidikan tersebut telah sarat dengan kemampuan pedagogis yang mumpuni, seeharusnya bertindak layaknya sebuah bengkel canggih untuk mengkiati peserta didik didik yang memang perlu disemati karakter multidisliplin yang mampu menyongsong jaman.
Lebih kurang sebanyak 4 juta peserta didik yang lulus UASBN Th 2010 dan siap melanjutkan ke jenjang berikutnya. Sedangkan sejumlah peserta didik jenjang SMP/MTS/SMPLB tahun pembelajaran 2009/2010 juga siap meninggalkan bangku pendidikan dasar, tercatat 3.605.163 peserta didik yang berasal dari sebanyak 43.666 SMP/MTS negeri/swasta se Indonesia, juga mendambakan kebagian bangku sekolah jenjang berikutnya. Sehingga telah siap sekitar rata-rata 7.605.163 siswa per tahun yang telah siap menggantikan peran kita di masyarakat nantinya. Dengan potensi sebesar itu tentu bisa kita daya gunakan guna kemajuan bangsa ini, apabila kita melakukan “educational approach” yang benar. Minimal kita memberi resep yang jitu guna raihan karakter standar yang dikemas dalam “pembelajaran karakter” , dengan memberi porsi analisis karakter per siswa. Gejala gejala pembelokan karakter sedini mungkin dihindarkan, seperti membolos, curang, tidak berbakti pada pendidik dan tidak menghargai waktu, seperti yang umum terjadi pada siswa di Indonesia.
Sehingga peran pendidik disamping sebagai sumber fasilitator pembelajaran, juga mampiu memberi resep mujarab kepada peserta didiknya yang melakukan pelanggaran ini. Hal ini tentunya bisa gampang dilakukan bila sang pendidik tersebut memiliki track record psikhologi anak tersebut yang telah dikonsultasikan oleh ahli psikhologi perkembangan peserta didik. Fungsi ini layaknya seorang mekanik yang telah tahu persis kerusakan mesin mobil milik pelanggannya. Apabila kita berhasil menerapkan pembelajaran yang professional dan proporsional maka niscaya kita mampu mensejajarkan diri dengan Negara maju lainnya.

1 komentar:

  1. kurangnya sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya pendidikan juga berpengaruh. dan satu lagi biaya pendidikan yg semakin lama semakin mahal -.-!

    BalasHapus