Minggu, 05 Desember 2010

Mengapa Harus Buruk Sangka

Tidak pernah sekalipun seorang petinggi/calon petinggi Negara manapun yang mampu mengusung sebuah akuntabilitas yang sempurna pada dirinya. Sehingga karakter yang terpuji tersebut mampu membangun “karismatik monumental” yang membahana ke tengah public. Apalagi untuk sebuah figur calon petinggi yang meniti karir di tengah Negara yang terancam eksistensinya, lantaran telah suram jiwa nasionalisme rakyatnya, lantaran sebuah keterpurukan multidimendional. Fenomena tersebut bisa kita lihat di tayangan berbagai elemen multimedia yang menyuguhkan tindak anarkis, pembunuhan keji, pembuangan bayi, penculikan anak, perampokan bang dengan senpi. Bahkan sebuah kejahatan transnasional yang modern, yang kita labelkan engan terorismepun ikut mengancam eksistensi Negara.


Publik telah mencuatkan opini mengenai mekanisme penunjukan Komjen Pol Timur Pradopo (TP) yang terkesan mendadak dan fantastis. Sehingga sebagian publik menilai bahwa telah terjadi kepanikan pemerintah dalam menghadapi berbagai permasalahan. Kita masih ingat baru saja dilaksanakan sertijab Timur P. menjabat Kepala Bagian Pertahanan dan Keamanan Mabes Polri sekaligus kenaikan pangkat menjadi jenderal bintang tiga (Komisaris Jenderal Polisi), selang beberapa jam kemudian Komjen Pol Timur Pradopo diajukan ke DPR sebagai calon pejabat kapolri. Mekanisme demikian tak pelak lagi menebarkan badai opini buruk sangka terhadap sistim yang memusarinya.

Padahal,opini yang santer di kalangan publik adalah adanya 2 calon kapolri yang ditunjuk oleh BHD dan telah diajukan ke Presiden SB. Mereka adalah Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Nanan Soekarna dan Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian Komjen Imam Sudjarwo yang disebut-sebut orang dekat Istana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikabarkan sudah bulat menimbang-nimbang dua nama calon Kapolri yang disodorkan Jenderal Bambang Hendarso Danuri tersebut. Selain mereka berdua muncul juga dugaan calon alternative, yaitu Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri Komjen Ito Sumardi. Namun karena manuver Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Presiden SBY berubah pikiran, sehingga mencoret nama nama tersebut di atas.

Namun demikian secara bijak kita harus pula memberi kesempatan kepada pemerintah, dalam hal ini adalah institusi kepolisian, untuk memainkan “role of authority” demi sebuah visi yuang mereka miliki. Tanpa itu semua maka jalanya pemerintahan akan menjadi timpang. Opini ini mencuat lantaran dilatarbelakangi dengan issu public yang mengarah ke pembunuhan karakter Komjen Pol Timur Pradopo. Padahal sebagian lagi masyarakat kita mengharapka sekali figur kapolri yang mampu mengoptimalkan sinergi intern demi tugas yang handal, menghadapi berbagai kendala yang menghadang. Termasuk diantaranya adalah merekonstruksi kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.

Padahal peran kapolri di masa depan adalah relative berat. Hal ini sesuai dengan pendapat Mantan Gubernur PTIK Farouk Muhammad, yang menyatakan ada dua isu yang harus dituntaskan kepolisian yakni kasus Bank Century dan rekening gendut perwira tinggi kepolisian.Penyelesaian Century bukan aspek korupsinya, tapi bagaimana penyelesaian tindak pidana umumnya. Sedangkan untuk rekening gendut, pada hakekatnya tidak hanya soal rekening tapi tuntutan untuk membersihkan kepolisian dari orang-orang yang mempunyai harta dengan jumlah tidak wajar.(

Sabtu, 04 Desember 2010

BUDI PEKERTI

Betapa merananya hati “The Foundhing Father” Soekarno-Hatta bila mereka masih bersanding dengan kita saat ini. Dilain pihak mereka berdua akan berbangga hati dengan demokrasi, transparansi poltik, kebebasan pers dan lain sebagainya. Tetapi mereka tetap menangis pilu lantaran Indonesia dewasa ini berwajah muram, karena maraknya anarkis, criminal, pesta narkoba, miras dan kebebasan sek, perseteruan petinggi dan amoralitas lainnya. Apakah telah hilang budi pekerti yang telah mereka sayamkan di sanubari Indonesia. Merekapun langsung menudingkan telunjuknya pada sekolah yang bertebaran di Bumi Nusantara, yang dianggapnya gagal dalam pembentukan ini, karena sekolahlah yang paling kondusif dalam pembelajaran budi pekerti
Tiap kali kita berbicara tentang sekolah, yang menopang berbagai pembelajaran, pastilah kita akan berpikir tentang nilai-nilai sosial, budaya dan pedagogis. Terutama bagi kalangan orang tua yang akan menelisik dan menyekolahkan di satuan pendidikan tersebut. Pandangan kitapun langsung menuju suatu pepatah “ Pendidikan memang bukan segala-galanya, tetapi segala galanya bermula dari pendidikan”. Kitapun langsung memahami urgensi suatu lembaga sekolah.
Adalah suatu kemajuan bangsa yang sering kita cermati di dunia ini yang bermula dari sistim pendidikan yang mapan dan berkontinyuitas, tak lekang di makan zaman. Pandanglah Bangsa Jepang yang melekatkan nilai-nilai budaya yang luhur pada satuan pendidikan yang disebut dengan Terakoya, yang diberlangsungkan pada abad ke-18, pada jaman Kekaisaran Edu. Sistim pendidikan yang cukup sederhana namun sarat dengan nilai budi pekerti yang hidup di tengah kultur masyarakat Jepang.
Lain halnya dengan sistim pendidikan yang dicanangkan Taman Siswa di bawah asuhan Ki Hajar Dewantara, yang hidup di tengah kultur Masyarakat Indonesia yang sedang didholomi Bangsa Belanda yang mengungkung kita semua. Dalam hal ini, Ki Hajar menyelipkan pemahaman bahwa “Persamaan Derajat antara Sesama Manusia”. Oleh karena itu derajat masyarakat “inlander” tidak berada di bahwa orang Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Pandangan Ki Hajar tentang persamaan hak dituangkan dalam artikelnya yang berjudul “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Artikel tersebut di tayangkan Koran de Expres milik dr. Douwes Dekker.
Oleh karena itu aspek keteladanan yang direfleksikan melalui budi pekerti perlu dikedepankan oleh semua peserta didiknya. Salah satu nasehat Ki Hajar Dewantara melalui Pendidikan Taman Siswa kepada masyarakat Indonesia, adalah ungkapan “Milo Budi ingkang Utami” (Maka Budi Pekerti perlu diutamakan). Sehingga upaya pencapaian aspek kognitif untuk peserta didik kita bukanlah satu-satunya kebijakan pedagogis yang bijaksana, guna mengejar ketertinggalan sistim pendidikan kita dengan negara lain. Kadang dengan ketertinggalan tersebut kita menjadi kebakaran jenggot, lantas merancang upaya mengkonstruksikan kurikulum yang dianggapnya representative. Upaya tersebutpun menjadi hambar tanpa mengintensifkan pembentukan sikap menta (afektif) peserta didik.
Sebagai bukti akan hal ini , dewasa ini terjadilah ketimpangan pencetakan peserta didik yang kita harapkan bersama. Sebagai bukti adalah maraknya laku anarkis yang banyak dilakukan oleh generasi muda di berbagai perhelatan olahraga, konser, pesta narkoba dan miras serta perilaku sex-bebas diantara remaja.
Suatu perangkat sosial perlu terus tersemat dalam diri manusia Indonesia dari mulai bangku sekolah hingga dewasa, lepas dari kapasitas yang melekatnya, baik sebagai figure publik, pemimpin institusi atau apa saja. Perangkat ini disebut dengan “Budi Pekerti” yang memenuhi ruang sanubara tiap individu melalui saluran pembelajaran di sekolah, agama, informasi dari berbagai media ataupun tata-pergaulan dalam masyarakat. Semua saluran tersebut jelaslah di jaman modern ini bukan suatu bentuk yang memiliki nilai komersial yang tinggi. Asal kredibilitas saluran serta substansi pembelajaran harus kita cermati bersama.
Masa depan suatu bangsa, baik masa depan prestasi ekonomi, sosial, teknologi dan lain sebagainya sangatlah bergantung pada intensitas sistim pendidikan yang disematkan pada generasi muda pemikul kekayaan budaya para leluhurnya. Warisan budaya kita sungguh mampu membuat bangsa-bangsa lainnya berdecak kagum, Namun kadang kala kita menjadi bertanya mengapa mediasi untuk transfer ke generasi penerus mengalami kegagalan. Padahal pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral (Lickona, 1996 , P.1993).
Kita tidak usah menuduh siapa gerangan yang paling patut kita salahkan dalam hal kegagalan “Penyematan Generasi yang Berbudi Pekerti”. Lantaran budi pekerti adalah sesuatu yang hanya bisa terinternalisasi hanya dengan kinerja yang.mengambil andil bersama dari seluruh komponen bangsa ini. Sepintas memang pembelajaran agama di satuan pendidikan mendapat tudingan tajam. Namun hal inipun tidak serta merta dapat kita terima, karena pembelajaran agama di satuan pendidikan hanya berlangsung 3 jam per minggu. Padahal aktifitas setiap peserta didik di sekolah hanya berlangsung 6 jam, selebihnya mereka larut dalam kehidupan sosial di luar sekolah.
Namun kitapun masih tetap setia untuk menggaungkan Indonesia dengan masa depan yang prestisius, maka tentunya kita masih bertekad untuk merevitalisasi budi pekerti, yang pada gilirannya akan mengukuhkan kembali nasionalisme kita yang mulai tergoyahkan. Karena hanya dengan nasionalisme yang demikian mampu mengusung sebuah negara, maka akan terbentuklah Indonesia sebagai negara yang multikultur, tidak berdasar etnik leluhur (ethnic ancestry ). Konsep nasionalisme demikan di canangkan oleh Ernest Renan (1882).
Sehingga akan damai dan sejahtera negara “Rayuan Pulau Kelapa” yang terhampar di 17.508 pulau dan 162.290.000 hektar hutan yang dihuni 316 suku bangsa (Dari berbagai sumber).

Kamis, 25 November 2010

Merapi Di Tengah Nurani Kita

Sebenarnya sebuah Negara Kalulistiwa yang dilimpahi anugerah oleh Sang Pencipta dengan kekayaan sumber alam hayati dan non hayati, sudah seharusnya didiami oleh insan yang sarat dengan perlilaku moralitas sebagai rasa sukur kepada Sang Pencipta. Betapa tidak kita memiliki 400 gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif . Masihkah kita bersikap menepiskan moralitas kita, bila salah satu gunung tersebut menyelimuti hati kita dengan kepiluan.

Media mana yang tidak meliput specifikasi Merapi pada saat ini. Lengkap dengan predikat gunung tergarang di dunia, type gunung dan alas an geologis mengapa Merapi bertemperamen seperti ini, sejarah kapan Merapi menggegerkan masyarakat dunia dan dampak yang ditimbulkanya. Demikian juga letusan pada periode ini (meski kita tidak tahu pesti kapan perida berkutnya bakal meletus lagi) yang terjadi sejak akhir Oktober hingga mimggu ke dua Nopember 2010, masih saja Merapi membuat repot masyarakat Indonesia dan dunia. Hal ini wajar saja lantaran Merapi terletak di tengah pemukiman padat masyaralat yang tersebar di Kab Boyolali, Kab. Klaten. Kab Magelang Jawa Tengah dan Kab Sleman DI Jogjakarta.


Maka lengkap sudah penderitaan masyarakat kita bila kita mencemati laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang meriliskan merilis data bahwa 83 persen wilayah Indonesia rawan bencana alam. Mulai dari banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, angin topan, letusan gunung berapi, hingga kebakaran hutan dan sejak 10 tahun terakhir, telah terjadi 6 ribu bencana alam.

Setelah bencana alam tsunami yang melanda masyarakat Aceh tahun 2004 silam, bencana letusan Gunung Meapi yang terhebat selama 100 tahun ini sangat menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Hal ini tentu saja bila kita membayangkan betapa besar kerugian harta benda (rumah,sawah dan ladang, ternak dan lain sebagainya), belum lagi korban jiwa yang mendekati 190 korban jiwa dan ratusan ribu warga yang mengungsi di daerah yang aman ( diluar radius 25 km dari Merapi).

Tetapi bukan itu saja yang seharusnya melatarbelangi suatu upaya dan kepedulian yang besar dari kita semua, yaitu sebuah latarbelakang yang berhubungan dengan karakter Gunung Merapi yang susah ditebak, tetapi letusanya mampu membawa dampak sistemik bagi masyarakat yang memusarinya. Akhirnya sebuah alternatif yang paling memungkinkanpun bisa kita rencanakan dengan sebuah relokasi menyangkut ratusan ribu warga. Dengan alasan kita tidak mungkin membiakan sekali lagi bila mereka menjadi korban keganasan Merapi.

Merekolasi mereka tentu saja kita harus pula memberikan kepedulian tentang masyarakat sekitar Merapi sebagai masyarakat sosial, yang mengais hidup dari bertani dan beternak. Sebagian besar dari mereka hanya memiliki ketrampilan bertani sayuran di ladang sebagai petani gurem. Hal ini membawa sebah konsekuensi bahwa tehnik bertani dengan sistim pertanian di sawah irigasi masih asing bagi mereka. Dengan kehidupan social tersebut maka mereka bukan tidak mungkin untuk menolak relokasi di kawasan baru. Mereka lebih memilih untuk kembali ke tempat asal semua, karena mereka merasa telah mengenal persis karakter Merapi. Bahkan meski Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum menurunkan status Gunung Merapi, sebagian dari mereka bersikeras untuk kembali ke kampungnya guna melanjutkan hidup bertani.

Kontadiksi social inilah yang hendaknya mampu dijadikan stimulir untuk mengulurkan kepedulian yang nyata kepada mereka, yang mencakup pendanaan, konsep, tenaga, pemikiran atau apa saja yang mampu mensinerjikan langkah yang taktis, akuran dan tidak menyisakan permasalahan yang baru. . Contoh kasus seperti ini pernah melanda masyarakat Pulau Mentawai yang pernah menuntut relokasi jauh dari daerah pantai, namun tuntutan mereka hingga tahun 2010 belum terealisir hingga terjadilah tsunami yang kedua kali, yang memakan korban jiwa.

Mampukah kita mengusung sebuah langkah penuh nurani seperti 300 relawan yang larut dengan penderitaan mereka, yang sebagian public melabelkan sebagai pahlawan bangsa masa sekarang. Tentu saja bila panggilan nurani ini menyeruak ke semua anak bangsa, maka derita pengungsi Merapi dan korban bencana alam lainnya akan berkurang kepiluannya.

Senin, 15 November 2010

Keterpurukan Di Tengah Cincin Api

Bencana letusan G.Berapi yang Mengusung Pilu
Kala naskah ini ditulis, hujan masih saja membasahi bumi diselingi petir yang menggetirkan hati. Air hujan beterbangan liar kesana kemari dipelantingkan oleh kencangnya angin. Masih beruntung bahwa keadaan seperti ini tidak dibarengi matinya listrik PLN yang kerap kali terjadi. Namun demikian hujan malam ini bukan hanya kali ini saja terjadi, tepi turun hampir sepanjang tahun. Sehingga dapat kita simpulka bahwa hamper di seluruh wilayah Indonesia tidak terjadi kemarau sepanjang tahun 2010 ini.

Hujan yang terus sepanjang tahun tentunya mengkhawatirkan semua penduduk yang bermukim di seputar Merapi, karena ancaman banjirnya lahar dingin yang menakutkan, yang dimuntahkan oleh Si Garang Merapi sejak akhir Oktober hingga awal Nopember 2010. Dan bukan itu saja, sebagian masyarakat kita yang bermukim di wilayah rawan banjirpun menjadi tidak bisa hidur nyenyak. Terlebih lebih bagi penduduk Jakarta yang bermukim di daerah langganan banjir karena banjir besar diprediksi kembali menggenangi Jakarta akhir tahun ini. Hal tersebut didasari penelitian yang dilakukan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geografi (BMKG).

Distorsi cuaca semacam di atas memang menimbulkan dampak sistemik bagi kehidupan sebagian masyarakat kita. Kita bisa mencermati seringnya laporan MBG, yang memprediksi tingginya gelombang lautan yang membuat masyarakat nelayan tidak melaut. Sementara itu di bagian wilayah lainnya petani tanaman primadona tembakau di wilayah sentra tembakaupun menjadi membatalkan niatnya untuk menanam tembakau, lantaran tanaman ini tidak tahan terhadap curah hujan yang tinggi.

Lain halnya dengan hujan sehari hari yang tiada pernah berakhir, tanah yang kita injakpun pada decade sepuluh tahun ini sering menunjukan kegaranganya, terbukti dengan seringnya mereka berulah dalam wujud gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi dan pernah pula terjadi prahara Kawah Sinila yang menimbulkan kejadian luar biasa pada 20 Februari 1979 karena mengeluarkan gas beracun melalui retakan-retakan tanah sehingga menewaskan 149 warga sekitar yang menghirupnya. Kawah Sinila terletak di dataran tinggi Dieng, Kab, Wonosobo Jawa Tengah yang berada di ketinggian
2.565 mdpl (meter di atas permukaan laut).

Bencana demi bencana disebabkan karensa kita memiliki 400 gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif dan gunung berapi tersebut telah memusariWilyah Indonesia. Sehingga Indonesia dinyatakan sebagai sebuah negeri yang berada di jalur gempa dan gunung api. Lantaran kita bertempat tinggal di lempengan yang merupakan bagian dari Cincin Api (Ring of Fire) Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik. Itu berarti bahwa kita (Indonesia) hidup di atas Cincin Api. Atau diistilahkan bahwa kita hidup di atas bara, tetapi berpagar hujan setahun. Sehingga wajar saja menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia bahwa kita memliki 83 titik di seantero wilayah Indonesia yang rawan bencana, tidak tanggung tanggung bahwa sebanyak 6.000 bencana alam telah terjadi selama sepuluh tahu ini.

Bara yang mengelilingi kehidupan kita itu ternyata juga bukan hanya berasal dari tenaga endogen (tenaga dari dalam bumi) saja. Tetapi kehidupan sosial politik anak bangsa telah melabelkan saratnya pertikaian politik, tindakan korupsi oknum petinggi atau Gayusmania, anarkisme, penyimpangan tugas dan wewenang aparat penegak hukum, tindakan anarkis beberapa pihak dan lain sebagainya juga telah membuat gerah masyarakat kecil, yang diibaratkan bertempat tinggal di rumah bara. Adanya tindakan amoralitas sejumlah oknum yang menyebabkan menganganya kesenjangan juga menambah bara ini.

Betapa tidak seorang warga Indonesia yang berstatus terpidana yang harusnya mendekam dalam sel, tetapi secara kontroversi mampu melihat pertandingan tennis di Bali. Sementara itu sejumlah 4.000 KK korban bencana Merapi, Mentawai dan Waisor harus direlokasi di bumi ransmigrasi atau relokasi lainnya. Bukankah tindakan yang tidak perlu itu telah menyayat luka lebih dalam lagi bagi si kecil yang terpuruk. Keterpurukan ini telah ditengarai oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yang menginformasikan bahwa angka kemiskinan pada 2010 tidak banyak berubah dengan 2009 yakni 14,15 persen.

Lengkap sudah kini nasib rakyat kecil yang hidup di tengah bara aktifitas endogen maupun bara yang durefleksikan dengan berbagai ketimpangan hidup rakyat itu sendiri serta dipusari distorsi cuaca yang ekstrim. Sehingga janya jiwa masionalis yang tersemat kokoh di dada Bangsa Indonesia yang bakal menjamin eksistensi negeri Rayuan Pulau Kelapa ini.

Senin, 08 November 2010

Pencerahan Publik Tentang Mahalnya Energi

Terhitung mulai 1 Juli tahun 2010 ini, masyarakat mengalami satu lagi beban penghidupan berupa kenaikan TDL sebesar ± 10 %, kenaikan segala macam bentuk pajak, kita menjadi bertambah skeptis dan tidak tahu harus melontarkan kekesalan pada siapa. Hal ini disebabkan kita baru saja berhadapan dengan kontroversial dua sisi yang saling bertaut. Satu sisi adalah gambaran oknum pejabat/pemimpin yang menodai martabat bangsa dengan pendoliman uang negara secara beramai-ramai. Namun disisi lain rakyat kecil harus membayar harga mahal untuk sebuah energi, bahkan untuk harga gas elpiji ukuran 13 kg-pun dibeberapa daerah mengalami kelangkaan dan kualitis tabung yang tidak memenuhi syarat keselamatan.

Jangan diabaikan pula arah kebijakan lain, yang memiliki rating kompleksitas dan kesulitan yang cukup tinggi, yaitu “merekontruksikan nilai sosial yang tertanam kuat “di masyarakat yang bersemayam di Bumi Pertiwi ini. Karena sebenarnya tindak kekerasan yang sekarang marak terjadi adalah bersumber dari pergeseran nilai sosial ke arah yang dekstruktif, dengan meninggalkan nilai dan norma yang dipanuti leluhur kita.

Nilai sosial menurut David M. Messick dan Charles G. Mc.Clintock dalam "Motivational Bases of Choice in Experimental Games". Journal of Experimental Social Psychology 4: 1–25. adalah asumsi yang dimiliki semua individu guna menetapkan perananya di tengah masyarakat, nilai sosial juga disebut sebagai perangkat untuk membedakan kecenderungan perbedaan individu satu dengan lainnya. Disamping itu juga nilai sosial diartikan sebagai dasar asumsi “hasrat untuk mencapai tujuan” yang dimiliki oleh individu untuk menetapkan keputusan tanpa adanya efek yang timbul.

Nilai sosial yang membentuk psikhologI sosial dapat dikategorikan menjadi lima tipe, yaitu Altruistik: Hasrat untuk mencapai kebahagiaan hidup, Kooperatif: hasrat untuk menggapai tujuan secara berkelompok Individualistik: Hasrat untuk membahagian dirinya sendiri tanpa bantuan lainnya, Kompetitif: Hasrat untuk berkompetisi dengan lainnya dan Agresif: Hasrat untuk memenangkan lainnya.
Kelima kategori nilai sosial tersebut telah dimiliki oleh setiap individu sebagai perangkat lunak, yang secara komprehensif, selektif atau terfragmentasi diterapkan guna mencapai tujuan hidup dari individu tersebut, yang kemudian membangun konstruksi sosial suatu masyarakat. Dengan dasar karakteristik demikian, maka apabila timbul suatu niatan untuk mengkonstruksi kembali nilai sosial masyarakat yang dekstruktif, maka ke lima jenis nilai sosial tersebut menjadi fokus kita yang paling utama.

Sehingga justru masyarakat kecilpun bisa lebih berlapang dada dalam menghadapi keterpurukan ekonomi. Karena keterpurukan ekonomi inilah yang mengakumulasi dan menstranfer dalam perilaku amoralitas masyarakat. Meskipun IMF telah memprediksikan laju 5,5 % lebih baik ketimbang prediksi sebelumnya hanya 4,8 % PDB, seperti yang dituturkan pleh Division Chief IMF untuk Asia Pasifik Thomas R. Rumbaugh, karena adanya pemulihan pertumbuhan kredit, ekspor dan investasi yang ekspektasinya akan lebih baik. namun tetap saja kenaikan tersebut belum menetes hingga grassrote.

Oleh karena aspek altruistik adalah aspek yang menjadi fitroh dalam kehidupan individu, maka aspek ini yang paling mendominasi ketimbang aspek lainya dalam fitur tingkah laku suatu masyarakat yang sedang meregang ini. Sehingga sebaiknya pemerintah jangan menutup mata terhadap kebutuhan “need of achievement “ rakyat kita, misalkan dengan mengedapankan proyek jangka pendek, padat karya namun bernilai strategis dan lain sebagainya. Inilah awal dari sebuah rekonstruksi nilai sosial, yang kemudian dibarengi dengan pencerahan publik lewat multi media, tentang nilai-nilai dasar sebuah “social community”.

Upaya ini memang terkesan tidak menyentuh essensi, tetapi sebaiknya kita bersedia mencermati pergeseran nilai ke arah modernisasi yang keliru yang menghinggapi masyarakat kita.

Sebagai studi banding marilah kita menganalisis pendapat Rubinstein, Kilbride, & Nagy, (1992) yang meniliti nilai dasar masyarakat USA yang disebutnya sebagai ”the individualist tradition”, yaitu tradisi hidup bebas tanpa ikatan, selalu mengambil kesimpulan tanpa bantuan orang lain, mencukupi kebutuhan hanya untuk dirinya sendiri. Selanjutnya cf. Lasch, 1979; Sampson (1988) mengemukakan bahwa sikap mental yang demikian justru sangat membuat peliknya sebuah masyarakat sosial.
Kita sebagai Bangsa Indonesia yang memiliki nilai budaya santun, peduli sesame, senang bergotong royong dan segala sesuatu diselesaikan dengan rembug tentunya sangat bersebrangan dengan itu semua. Oleh karena itu sudah seharusnya pergeseran nilai sosial kita segera direkonstruksi ke arah mainstay semula.

Selasa, 02 November 2010

Makna Berkurban Untuk Kepedulian Sosial

Kita patut bersyukur, bahwa Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi1.9 juta mil persegi. Luas wilayah tersebut menjadikan Indonesia termasuk Negara besar di banding Negara lain. Apalagi luas wilayah tersebut dihuni oleh Penduduk Indonesia yang hingga tahun 2010 ini diperkirakan berjumlah 234.2 juta. Angka ini berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010), yang dicacah untuk penduduk yang bertempat tinggal disekitar 65 juta rumahtangga. Mereka tinggal di sekitar 17.504 pulau (menurut data tahun 2004), sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni tetap, menyebar sekitar katulistiwa, memberikan cuaca tropis. Cuaca tropis ini mampu menstimulir tumbuhnya hutan tropis seluas 162.290.000 hektar (Dinas Kehutanan Indonesia, 1950). Meskipun pada Tahun 2003 berkurang menjadi 110,0 juta Ha dan tahun 2005 tinggal 93,92 juta Ha, atau berkurang seluas 58 % ( World Resourches Institute, 1977).

Sudah barang tentu setiap anak bangsa pemerhati “Negara tercinta ini”, pasti akan kagum dan bangga, namun juga menangis pilu, apabila mereka mencermati realita yang ada. Betapa tidak kekayaan alam Indonesia ternyata tidak mampu menjadi daya dukung pensejahteraan kita sendiri. Hal ini bukan suatu isapan jempol belaka bila kita mencermati data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan bahwa jumlah penduduk miskin telah mencapai 31 juta penduduk atau 13, 3 persen pada bulan maret 2010. Penentuan kategori keluarga miskin oleh BPS tersebut berdasarkan asumsi penghasilan Rp 7.050 per hari untuk setiap jiwa yang sudah termasuk untuk makanan. Angka tersebut mampu berkembang lagi, apabila tolak ukur angka kemiskinan berdasarkan standar PBB sebesar dua dolar rupiah per hari maka jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat menjadi 34.03 persen atau 78.2 juta orang.

Lepas dari tolak ukur yang mana, realitas ini adalah menjadi milik kita bersama dan telah menjadi tugas kita bersma guna mencari peluang untuk pengentasan kemiskinan ini. Peluang yang mampu “membumi hanguskan” sikap pesimis tersebut muncul pada tahun 2010 ini berdasarkan analisa Ekonom Senior Bank Dunia untuk Indonesia Enrique Blanco Armas, yang menyatakan secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat telah memberi sumbangan atas pengentasan kemiskinan, dengan tingkat kemiskinan menurun menjadi 13,3 persen pada Maret 2010 dibandingkan 14,2 persen tahun lalu.

Sudah barang tentu, meskipun Negara telah menganggarkan alokasi anggaran pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan sosial 2010 sebesar Rp 70 triliun Namun anggaran tersebut terasa tidak berdaya lagi, lantaran beberapa tipe kemiskinan meghinggapi masyarakat kita, akibat tindakan sewenang-wenang penyelenggara Negara jaman orde baru, yang dengan life style bernegara yang tidak terkontrol sama sekali. Akibat pengebirian demokrasi, pembatasan pers dan parpol, tidak terjaminya kebebasan berpendapat dan pembagian kekayaan Negara hanya kepada beberapa komunitas yang memusari Soeharto. Sehingga terciptalah tipe-tipe kemiskinan yang mendarah daging, yang pertama adalah Kemiskinan Struktural. Kemiskinan ini disebabkan oleh kondisi struktur perekonomian yang timpang dalam masyarakat, baik karena kebijakan ekonomi pemerintah, penguasaan faktor-faktor produksi oleh segelintir orang, monopoli, kolusi antara pengusaha dan pejabat dan lain-lainnya. Intinya kemiskinan struktural ini terjadi karena faktor-faktor buatan manusia. Fenomena seperti ini telah menjadi cirri khas dari orde baru. Adapun kemiskinan kultural muncul karena faktor budaya atau mental masyarakat yang mendorong orang hidup miskin, seperti perilaku malas bekerja, rendahnya kreativitas dan tidak ada keinginan hidup lebih maju. Sedangkan kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi secara alami, antara lain yang disebabkan oleh faktor rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.

Namun waktu terus bergulir sebagai sinyalemen bahwa tidak ada keputusasaan pada diri kita dalam me-manage masyarakat sosial kita sebagai pilar utama penyokong eksistensi Negara ini. Penyebab utama timbulnya ke tiga gaya kemiskinan tersebut, sudah barang tentu akan tertepiskan dengan adanya era refofmasi, yang dewasa ini bisa kita cermati adanya berbagai kebebasan dalam bernegara. Faktor ini pula yang mampu menjadi stimulus perkembangan komunikasi sosial dengan instrumrn instrumenya, yang bisa memberi pembelajara kepada rakyat tentang nilai dasar multidimensi sosial. Sekaligus mampu memberi pembelajaran tentang motivasi pengentasan kemiskinan.

Apabila kita memang serius untuk menegakan era reformasi dengan cara supremasi hukum yang kokoh, maka tindakan korupsi, KKN, pungli dan eksploitasi sumber daya alam yang masih di tangani individu, birokrasi yang mempersulit rakyat bisa mencapai taraf minimalis. Maka akan terbuka lebarlah peluang bagi si kecil untuk mampu mengembangkan potensinya. Hal ini akan bertambah afdhol lagi, bila kesadaran tentang kepedulian sesama menjadi kokoh, sebagaimana agama apapun mengajarkan berkorban apa saja untuk kemaslahatan sesama.

Wujud kepedulian sosial sebagai “makna essensi dari ajaran berkurban”, adalah faktor utama yang perlu dikedepankan. Bukan berarti kepedulian ini hanya serta merta membagi bingkisan kepada kaum miskin atau pembagian BLT. Namun sebuah sikap sosial yang kokoh di masyarakat akan kepedulian terhadap nasib sebangsa dan setanah air, inilah yang paling penting. Sehingga pemerintah perlu mengkonsep secara sosiologis, tentang interaksi antar individu, kelompok masyarakat, antar institusi di berbagai bidang. Khusus mengenai kepedulian ini Prof Muladi, bahkan mengimbau (20 / 4 /20`0), agar penanganan masalah ini tidak hanya ditangani pemerintah sendiri. Melainkan sektor swasta dan stakeholder lainnya perlu dilibatkan. Kalau penyadaran akan kepedulian sosial atau aksi kepedulian sosial ditangani pemerintah, beban APBN akan berat sekali.

Minggu, 26 September 2010

Mengedepankan Keprihatinan Sosial Demi MASA DEPAN

Sejenak mari kita merenung kembali, bahwa dengan dalih apapun kita adalah tetap bagian masyarakat timur yang kental dengan budaya ketimuran yang konservatif. Budaya tersebut mengemasi sikap mental santun, malu, kaya akan nilai kesusilaan dan nilai serta norma lainnya yang melekat kuat pada sistim sosial Masyarakat Indonesia. Eksistensi karakteristik sosial ini telah kokoh dan tak tergoyakan hingga berabad- abad lamanya. Namun selaras dengan dinamika globalisasi, dimana jarak suatu tempat dan benteng moralitas masyarakat tidak menjadikan faktor pembatas berbagai interaksi yang menggelinding begitu saja. Maka moralitas masyarakat khususnya masyarakat Indonesia telah mengalami berbagai dinamika yang cukup signifikan.

Tentu saja wacana di atas lebih tepat bila kita memandangnya dari aspek moralitas masyarakat Indonesia. Moralitas, berasal dari bahasa Latin : moralities, yang berarti perilaku, karakter atau sikap yang benar . Dalam pembahasan ini, moralitas digambarkan sebagai suatu nilai yang tertanam kuat dalam individu, yang mampu membedakan tentang “benar dan salah” dalam kehidupan bermasyarakat, Meskipun dalam ruang lingkup ini kita tidak menuntut sesuatu menurut benar dan salah secara obyektif. Namun kami hanya sekedar mengetengahkan pertimbangan rasional yang dapat membimbing ke arah sesuatu yang benar atau salah, lepas dari sangsi norma bagi yang melanggar suatu moralitas tersebut.

Betapa tidak memprihatinkan, bahwa belakangan ini moralitas masyarakat kita dalam beberapa aspek telah terbukti mengalami pergeseran dan bahkan cenderung bersikap “non kompromis” (menepis) terhadap nilai yang telah ada. Kasus perseteruan antar/inter agama, tewasnya berpuluh puluh remaja kita yang menenggak miras oplosan yang tiada henti, yang justru menjadi ajang gagah-gagahan yang tak perlu, lahirnya gaya hidup generasi “menguras uang negara” demi kebutuhan prestisius dan pembiasaan membahanakan anarkis di jalan untuk hal-hal yang sebenarnya bisa dirundingkan di belakang meja serta tindakan representasi imarolitas lainnya.

Oleh karena itu sebuah harapan baru perlu disodorkan ke tengah Masyarakat Indonesia, untuk tidak melepas sematan bangsa yang menjunjung tinggi “budaya malu” (shame culture), yang pada gilirannya akan tetap melanggengkan “jati diri bangsa” yang sekarang sedang bercucuran air mata keprihatinan.

Dengan budaya malu inilah, sebuah masyarakat sosial akan terhindar dari rasa saling “melukai satu sama lainnya”, apabila moralitas benar benar diemban secara kokoh oleh masyarakat (Standford, 2010). Bahkan menurut Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, Bangsa Jepang bisa meraih prestasi yang baik , setelah terpuruk pada PD II, akibat “perasaan malu” yang tertanam pada masing-masing rakyatnya sejak dini. Demikian pernyataan mantan perdana mentri tersebut saat memberi orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancaila di Jakarta, Sabtu 10 Mei 2008 silam.

Budaya malu apabila tetap dikokohkan dalam sanubari kita, akan terbesitlah kepekaan sosial, sehingga merefleksasikan setiap anak bangsa untuk sadar hukum dan bagi penguasa enggan untuk menyelewengkan kekuasaan. Namun yang terjadi sebenarnya, adalah jauh panggang dari api. Hancurnya moralitas yang berujud lenyapnya budaya malu, menjadi sarapan kedua bagi setiap anak bangsa ini. Bagi anak bangsa yang masih memiliki moralitas dan “nasionalisme yang tak tergoyahkan”, yang sekarang jarang kita dapatkan, tentunya merasa geram bila menyaksikan para oknum petinggi yang melakukan pendoliman uang Negara, namun mereka tetap saja tidak memiliki “perasaan bersalah” (guilt culture).

Sebuah keprihatinan bersama adalah suatu sikap nasional yang membentuk social character yang minimal bisa kita jadikan acuan yang kokoh dan mampu menopang bangunan social masyarakat “madani di era modern”, yang di masa depan harus kita raih. Terutama keprihatinan dalam aksen pembentukan masyarakat madani Indonesia (Indonesia social society). Sebagai bangsa yang sejak dari awal terbentuknya hingga perkembanganya selalu berlandaskan pada konseptual berbagai aspek, tentunya harus memiliki pandangan ke depan yang ditekadi untuk segera terwujud, yaitu masyarakat madani dengan dasar dan ideologi yang telah kita sepakati bersama.

Berkaitan dengan wacana tersebut diatas. Dr. Nurcholis Madjid dalam Menuju Masyarakat Madani menyatakan, bahwa sudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama untuk mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, dinegara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lebih lanjut Nurcholis Madjid dalam menyodorkan teorinya mengenai masyarakat madani mengemukakan bahwa yang disebut masyarakat madani, adalah masyarakat yang berbudi luhur atau berakhlak mulia atau masyarakat berperadaban atau "civil society". Masyarakat Madani dapat kita contohkan adalah masyarakat yang dibangun Nabi Muhammad 14 abad yang lalu.

Oleh karena itu sebuah tekad bersamapun harus diikrarkan, yang didahului dengan pencerahan bangsa dalam wujud keprihatinan bersama untuk menginternalkan moralitas yang mapan sedini mungkin demi kehidupan Bangsa Indonesia di masa mendatang. Memang suatu perjuangan panjang untuk membentuk sebuah masyarakat madani di bumi nusantara ini, lantaran terlalu banyak keterpurukan yang harus dientaskan dari keranjang sampah yang saling bertumpuk dan terkait satu sama lain.

Namun dengan fitur masyarakat majemuk yang cukup luas variasinya dan berperan sebagai penyangga eksistensi bangsa di masa depan. Maka raihan prestasi menuju masyarakat idaman tersebut adalah suatu hal yang tidak dapat ditunda lagi. Hal ini telah seperti diakui oleh rohaniawan Nasrani Paul F. Knitter, yang menggambarkan perspektif masyarakat pascamodern justru terletak pada dominasi kemajemukan.

Mewujudkan keprihatinan bersama selayaknya dimulai dari hal yang paling essensi. Erich Fromm (Social and Character Changes, 1942) menjelaskan bahwa sebuah karakter individu banyak ditampilkan dari struktur karakternya sendiri, tetapi sebuah struktur sosial ditampilkan dengan perilaku emosional yang umum di dapatkan pada masyarakat sosial. Karakter sosial secara substansial dimulai dari karakter tiap keluarga yang menyusunnya dan peran keluarga ini sebagai agen perubahan sosial, disamping sekolahan dan lingkungan kerja.

Dengan rumusan tersebut di atas kenapa kita tidak segera berbenah diri dengan mengawali terwujudnya keprihatinan bersama untuk menyandang sebuah keadilan, kemakmuran dan kemerdekaan dari berbagai aspek untuk Masyarakat Indonesia.

Sabtu, 25 September 2010

Martabat Bangsa Yang Ditepis Hedonisme

Adalah salah satu simbol kenikmatan duniawi, apabila kala itu manusia di peradaban pramodern (Jaman Majapahit), yang menghuni wilayah Nusantara mengkonsumsi gula dan kelapa ( gulo klopo) untuk konsumsi di tiap perhelatan atau dalam kehidupan sehari-hari. Karena hanya dari dua jenis bahan tersebutlah sebagian besar panganan diolah. Kedua bahan tersebut berasal dari tanaman nyiur yang banyak tumbuh di sepanjang pantai Kepulauan Nusantara. Jadilah suatu keindahan Kepulauan Nusantara, yang jarang ditandingi oleh bangsa lainnya, seperti yang tersirat dalam lagu ‘”Rayuan Pulau Kelapa”.
Namun lain halnya dengan Patih Kerajaan Majapahit, Gajah Mada yang menahan nafsu duniawi tersebut sebelum mampu menaklukan Bumi Nusantara. Sikap Gajah Mada tersebut dikenal sebagai Sumpah Palapa, sebagai peletak dasar nasionalisme yang tertanam kuat di setiap kalbu Rakyat Indonesia. Meski pada dekade sekarang, sikap ini telah terlantar dan tererosi oleh badai perseteruan, ego, hedonisme, pendoliman uang negara, manipulasi jabatan, aksi bonek, miras oplosan, demo anarkis dan tindakan amoralitas lainnya.
Hanya kebesaran jiwa dan kejernihan hatinya disertai tindakan patriotisme yang tulus saja, yang mampu menginspirasikan negarawan besar ini untuk menggemakan sumpah itu. Sebab Patih Gajah Madapun tahu persis betapa mahal harganya apabila semua rakyat yang menghuni persada “Rayuan Pulau Kelapa” tersebut mau bersatu, saling berkorban demi negara, santun, inovatif dan terbuka dengan siapapun serta toleran. Membentuk suatu bangsa yang berdaulat, mandiri sekaligus bermartabat. Sebuah bukti telah ditorehkan dalam catatan sejarah, bahwa dengan sikap seperti itulah kita berhasil menjadi negara yang merdeka, yang pada hakekatnya adalah anugerah yang dilimpahkan oleh Tuhan Yang Kuasa.
Martabat yang dimiliki suatu bangsa bisa juga dikaji dari aspek kemampuan bangsa itu sendiri dalam mengembangkan ketahanan yang komprehensif. Pertahanan suatu negara merupakan faktor utama dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Suatu negara tidak akan bisa menjaga eksistensinya dari ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri apabila belum mampu untuk mempertahankan diri dari ancaman tersebut. Oleh karena eratnya kaitan pertahanan negara dengan harkat dan martabat suatu bangsa, maka dengan adanya pertahanan negara yang memadai (Postur Pertahanan yang Kuat) akan membuat bangsa lain tidak memandang sebelah mata terhadap bangsa kita ( Mayor Laut (P) Salim, Komandan KRI Untung Suropati, 2009).
Namun demikian rongrongan dari aspek potensi ekonomi juga tidak kalah berpengauhnya terhadap kredibilitas sebuah martabat bangsa. Semakin rendahnya kualiatas SDM bangsa kita, semakin pula kita bergantung kepada pihak luar negeri dalam banyak hal. Bahkan kita cenderung memiliki persepsi bahwa ketergantungan kita terhadap luar negeri adalah sama dengan “neo-kolonialisasi “ yang bertopeng globalisasi , yang semakin dalam menghisap darah rakyat kita ketimbang nafsu tamaknya VOC sejak Tahun 1602.
Mohammad Hatta dengan tajam dan dalam, mengungkapkan suatu prediksi ke depan mengenai sandungan ekonomi yang kita alami. Pandangannya yang berorientasi pada kekuatan pasar dalam negeri yang didukung oleh tenaga beli rakyat, tidak menjuruskannya terperosok ke dalam paham isolasionisme ekonomi. Ia bahkan telah meramalkan globalisme dan globalisasi masa depan. Ia tidak menolak interdependensi ekonomi internasional, yang ia tentang adalah dependensi ekonomi nasional Indonesia terhadap ekonomi internasional yang selalu diwaspadainya (Sritua Arief, Pemikiran Pembangunan Bung Hatta, (Jakarta: LP3ES), hlm. 99-118 ).
Namun pandangan seorang “Faundhing Father” tersebut tidak serta merta mampu direalisasi oleh generasi penerusnya yang telah kehilangan nasionalisme dan jati dirnya, yang pada gilirannya nanti bisa mengkhawatirkan kredibilitas martabat bangsa ini. Pandangan Beliau tentang sebuah perekonomian rakyat, terganjal keras oleh pendoliman dan penjarahan uang negara oleh oknum pejabat yang sudah tidak bermoral lagi. Lantaran diantara oknum tersebut sudah tidak ada lagi persepsi pelanggaran aturan negara melainkan hanya sebagai “life-style” belaka. Maka tidak heran mereka telah kehilangan kepedulian tentang nasib si kecil yang meng-grassrote. Dengan perilaku seperti inilah, dari seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah.
Urgensi yang terselip tapi mendasar di balik wacana tersebut di atas, adalah revitalisasi nilai martabat bangsa ini yang telah terpuruk dari semua sudut pandang. Mulai senjata hukum yang tegas, pencabutan gelar akademis dari institusi yang menyematkan, internalisasi tentang martabat bangsa di jalur pendidikan sedini mungkin, inensifikasi gerakan sadar berkehidupan berbangsa dan bertanah air di semua kalangan dan uji moralitas yang cermat bagi setiap calon pemimpin. Dengan demikian martabat Bangsa Indonesia yang Luhur akan berdengung lagi seiring dengan nyanyian “Rayuan Pulau Kelapa”.

Essensi Kemerdekaan Yang Belum Tersentuh

Telah 65 tahun sudah kita telah merdeka atau terbebas dari apa yang kita sendiri tidak tahu maknanya. Hanya saja yang dapat kita ketahui, adalah sejak 17 Agustus 1945 “Sang Saka Merah Putih “ telah bebas berkibar di halaman rumah rakyat, hati rakyat dan tiap pengharapan rakyat yang terbebas dari segala tekanan hidup yang membelitnya. Meski kebebasan Merah Putih itu pernah mengalami cobaan internal dan eksternal, antara lain Perang Gerilya I dan II, kemelut politik upaya disintegrasi beberapa daerah serta tragedi kemanusiaan yang mendunia,yaitu tragedi G 30 PKI Th 1965/1966 yang mengorbankan jutaan nyawa melayang dan menghilang.

Kini semua halangan tersebut sudah mampu kita lewati dengan sebuah nasionalisme yang menyatu dengan jiwa kita, hingga kita semua mampu mendahulukan eksistensi sebuah bangsa ketimbang hidup kita sendiri, dan ternyata hal inilah yang pada awal millennium ke 3, menjadi hal yang muskyl untuk direkonstruksi ke arah sematan nilai semula. Tentu saja hal ini melahirkan konsekuensi negatif tentang realisasi :”Cita cita Proklamasi” yang semakin jauh panggang dari api, yang tersemat di sanubari kita pada rentang waktu dari Kebangkitan Nasional hingga Kabinet “SBY” Bersatu II..

Meskipun dengan kesedihan dan kepapaan yang mendalam, semenjaknya jatuhnya tokoh nasional “The Smilling Jenderal” yang mundur sebagai presiden RI Mei 1998, Banyak ahli politik dan sosial yang mengkategorikan Indonesia mengalami kemunduran 50 tahun kebelakang. .Oleh karena itu kita disejajarkan dengan negara negara termiskin di dunia dari belahan Bumi Afrika. Betapa tidak, meski memimpin selama 32 tahun dengan “gaya otoriter”, namun Soeharto berhasil menampilkan suatu kemampuan kepemimpinan luar biasa yang harus diakui oleh teman dan lawan politiknya (senang atau tidak). Ia menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan). Bahkan sempat mendapat penghargaan dari FAO atas keberhasilan menggapai swasembada pangan (1985). Maka, saat itu pantas saja ia pun dianugerahi penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.Soeharto (Ensiklopedi Tokoh Nasional, 2010).

Memang suatu kenyataan yang tidak usah kita pungkiri bahwa selama kepemimpinan Soeharto, harga harga terutama harga komoditi pokok relatif stabil dibanding dengan fluktuasi harga selama dipimpin penerusnya. Selama 32 tahun berkuasa dapat disimpulkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar AS relative stabil, kecuali menjelang kejatuhan beliau. Ibaratnya Rakyat Indonesia telaj mengalami kemerekaan meski baru dalam koridor “ sandang, pangan dan papan”.Lepas dari kesalahan Soeharto terhadap bangsa ini, memang kitapun patut mengacungkan jempol atas kepemimpinan beliau dengan torehan prestasi di atas.

Ambisi Soeharto untuk mewujudkan Masyarakat Adil Makmur dengan Program Pembangunanan Berjangka ( REPELITA), nampaknya tidak main main lagi dengan sistematika program yang terpadu, terprogram dan berkesinambungan hingga menggapai tahap yang kita idamkan bersama. Di lain pihak karena kemampuan kita sendiri yang masih terbatas, dalam hal SDM, penerapan iptek untuk mengeksploitir simber daya alam, moralotas yang rendah serta banyak aspek lainnya, menjadi penyebab utama ketergantungan pemerintah Orde Baru yang terlalu percaya pada IMF atau World Bank sebagai dewa penolong (dokter), dalam hal penyandang dana dan ketergantungan ini telah mencapai klimaksnya pada tahun 1997, saat Indonesia terkena krisis moneter yang dahsyat karena pemerintahsaat itu terlalu banyak menanggung beban utang.

Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) adalah organisasi internasional yang bertanggungjawab dalam mengatur sistem finansial global dan menyediakan pinjaman kepada negara anggotanya untuk membantu masalah-masalah keseimbangan neraca keuangan masing-masing negara. Salah satu misinya adalah membantu negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi yang serius, dan sebagai imbalannya, negara tersebut diwajibkan melakukan kebijakan kebijakan ( Structural Adjustment Programmes) tertentu, misalnya privatisasi badan usaha milik negara. Bahkan bukan hanya itu saja, ;ebih jauh IMF membatasi perekonomian negara dunia berkembang dengan cara menentang pengembangan infrastruktur dan meminta negara yang bersangkutan untuk hidup dengan standar yang rendah.

Dengan demikian perekonomian yang dibangun oleh Soeharto, ditopang oleh kapitalis kapitalis murni yang berkedok pengentasan kemiskinan untuk negara berkembang.au dapat disebutkan bahwa meskipun rakyat bisa mengkonsumsi bahan bahan keperluan pokok dengan murah, tetapi mereka harus menopang pinjaman yang fantastis. Disini dapat kita simpulkan bahwa paa relung waktu Orde Baru, rakyat kecilpun belum tersentuh makna kemerdekaan secara essensi. Hal cukup beralasan karena utang-utang yang dihimpun selama Orde Baru telah meninggalkan beban yang terlalu berat.. Sampai sekarang utang luar negeri Indonesia sudah mencapai Rp1.000 triliun lebih. Dalam APBN 2007, alokasi dana yang harus dipakai untuk membayar utang termasuk bunga tidak kurang dari Rp200 triliun, atau sepertiga APBN yang Rp600 triliun lebih itu.

Seperti diketahui bahwa hutang luar negeri kita hingga tahun 2010 adalah mencapai hamper 2000 Trilyun rupiah, seperti yang tercantum dalam Data Bank Indonesia (BI) mencatat, sampai akhir Januari 2010, utang luar negeri mencapai 174,041 miliar dollar AS. Bila dikonversi ke dalam mata uang Rupiah dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS nominal utang itu hampir mencapai Rp 2.000 triliun.Sehingga apabila jumlah penduduk Indonesia sebanyak 235 juta, maka beben per kepala menjadi Rp 8,5 juta rupaih, sebagai nilai sebuah kemerdekaan.(Dari berbagai sumber)

Revitalisasi Nasionalisme Demi Eksistensi Bangsa Indonesia

Dari satu dekade hingga ke dekade lainnya, nasionalisme rakyat di Bumi Nusantara ini terhadap negara yang eksis kala itu (berbagai kerajaan yang berdiri) terbukti tidak pernah nihil. Selalu saja nasionalisme tertanam kuat di masing-masing dada rakyat, dari mulai rakyat jelata hingga para petinggi negara tersebut.

Sejak tahun 1293 hingga 2500 M, rakyat sepanjang kepulauan Nusantara ini bahu membahu mempertahankan kedaulatan dengan sebuah nasionalisme, demi eksistensinya sebuah negara/kerajaan yang disebut Majapahit, yang beribukota di Trowulan, Jawa Timur.

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya. Kerajaan ini dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Borneo, Kepulauan Sulu, Manila (Saludung), hingga Indonesia Timur, meskipun wilayah kekuasaannya hingga kini masih diperdebatkan. Bukankah dengan keagungan semacam ini, tiada lain hanya nasionalisme yang kokoh saja yang berperan dalam menjaga eksistensi negara besar ini.

Kerajaan Kadiri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222 M. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sedangkan Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari atau Singosari, adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang, Jawa Timur.

Bahkan lebih kurang 6 abad sebelum kerajaan di P. Jawa berdiri, telah berdiri terlebih dahulu Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya), adalah salah satu kerajaan maritim yang kuat di pulau Sumatra dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.

Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; ketika seorang pendeta Tiongkok, I-tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjut prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa ditahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Coladewa dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 Sriwijaya dibawah kendali Raja Dharmasraya mengakui kedaulatan Kerajaan Majapahit.

Bersamaan dengan itu di Bumi Pasundan berdiri Kerajaan Pajajaran (Kerajaan Sunda), disebut dengan Kerajaan Pajajaran karena kerajaan ini beribukota di kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat. Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 M oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak.

Dari tahun 923 M hingga kini, tentu saja seluruh individu yang bersemayam di “Negeri Rayuan Pulau Kelapa” ini, tiada pernah melewatkan makna sebuah nasionalisme, yaitu sebuah sikap mental yang selalu berorientasi kepada rasa ingin menciptakan dan mempertahankan kedaulatan negara (dalam bahasa Inggris "nation") yang pernah ada di Bumi Nusantara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk Bangsa Indonesia ( setelah Proklamasi 17 Agustus 1945). Dengan mencermati dinamika nasionalisme tersebut pada rentang waktu tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa nasionalisme lahir bersama dengan budaya yang membentuk suatu struktur masyarakat Indonesia.

Nasionalisme kerakyaan dalam suatu negara dapat ditafsirkan sebagai kesatuan masyarakat dalam persamaan hak berpolitik dan saling berbagi tujuan politik dalam prosedur aturan main berpolitik yang telah dibakukan. Apabila nasionalisme yang demikian mampu mengusung sebuah negara, maka akan terbentuklah negara yang multikultur, tidak berdasar etnik leluhur (ethnic ancestry ). Konsep nasionalisme demikan di canangkan oleh Ernest Renan (1882). Dengan demikian konsep negara tidak lebih dari hasil derivasi dari partisipasi legitimasi politik aktif dari warga negaranya.( Jean-Jacques Rousseau, 1762)

Namun bagaimana dengan nasionalisme rakyat dewasa ini, setelah memasuki kurun waktu “era reformasi” yang mewajahi tata kehidupan bangsa ini. Diawali dengan predikat negara terkorup di Asia, nasionalisme terujikan dengan budaya “pendoliman uang negara” yang dilakukan oknum pejabat negara, sekedar untuk tujuan hedonism yang menjadi suluh sebuah peradaban baru di negara yang kita cintai ini.
Kekecewaan demi kekecewaan “grassrote” terhadap mentalitas oknum petinggi, bisa saja menggumpal dan mengkristal ke dalam berbagai unsur separatis yang mengancam disintegrasi negara ini. Hingga sudah saatnya kita mulai dari diri kita masing-masing untuk menyelipkan nasionalisme demi langgengnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jumat, 24 September 2010

UNTUK KITA RENUNGKAN

Peduli terhadap realita yang mencuat di sekeliling kita, adalah salah salah satu pertanda “manusia yang menghayati semua peribadatan” . Bukan hanya kepedulian terhadap lingkungan sosial saja, tetapi kepedulian terhadap kerusakan lingkungan juga termasuk upaya manusia yang bermanfaat terhadap sesama, sebagai Khalifah di bumi. Bukankah kerusakan lingkungan yang terus ditelantarkan, pada gilirannya nanti bakal mengancam eksistensi kita semua.

Rasa khawatir kita sebagai organisma “Primata berderajat paling tinggi” kini merebak dan menggayuti hati kita semua. Bila kita mencermati sebuah realita tentang saudara saudara kita di Uni Sovyet yang sedang berkubang kerusakan iklim.Betapa tidak, menurut salah satu laporan televise swasta nasional, memaparkan bahwa mereka telah meradang di bawah temperature 38 derajat Celsius. Penyebab perubahan suhu yang tidak seperti biasanya ini, adalah sebagian dari menggejalanya kasus pemanasan global. (global warming).

Seperti kita ketahui bersama bahwa suhu rata-rata pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca” . Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8.. Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 hingga 2100. (Pemanasan Global, Wikipedia, 2010).

Dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh pemanasan global tersebut adalah
terjadinya kerusakan sirkulasi air laut, sehingga menimbulkan perubahan cuaca yang sulit dipredeksi., timbulnya gejala kekeringan yang lebih parah di daerah gurun , kegagalan panen yang terjadi di mana-mana sehingga menyebabkan terbatasnya persediaan pangan, kelangkaan air dan sumber-sumber air, kelapran yang melanda dunia dan menyebabkan banyak kematian, mebyebabkan perubahan cuaca yang ekstrim dengan cirri banyak terjadinya badai, menyebabkan berbagai penyakit baik untuk manusia maupun hewan, timbulnya gelombang panas yang mematikan, berkurangnya habitat hewan dan tumbuhan, menyebabkan emigrasi besar besaran manusia dari daerah tandus ke daerah yang lebih baik, bertambahnya konsumsi energi untuk kebutuhan rumah tangga, menyebabkan polusi udara dan menghilangnya lapisan es atau glaciers.( http : // epa.gov/ climate.change/emission ).

Perubahan cuaca tersebut di atas memang menimbuilkan konsekuensi logis yang negatif, terbukti dengan terjadinya cuaca yang ekstrim seperti yang kita rasakan mulai 2 bulan terakhir (Juli dan Agustus) di Indonesia. Bisa kita cermati juga contoh lain, yaitu terjadinya banjir bandang byang menerjang Pakistan barat laut tepatnya di Nowshera, pada hari Selasa (3/8) yang telah menyebabkan lebih dari tiga juta orang merana. Korban yang te¬was mencapai 1.400 orang . Menyusul kemudian banjir di Zhouqu,China yang menewaskan 1424 orang serta lebih dari 2000 dinyatakan hilang. Padahal pada bulan bulan itu, mereka biasanya hidup di bawah musim kemarau.

Lantas bagimana saudara kita yang di Uni Sovyet, mereka biasa hidup di tengah temperature udara 24 derajat Celsius. Selanjutnya dilaporkan bahwa dengan naiknya suhu udara, menyebabkan kenaikan 300 % kandungan CO (karbonmonoksida) di atmosfer. Padahal salah satu sifat CO di muka bumi ini adalah mampu menghalangi fiksasi “alveolus” terhadap Oksigen di paru paru organisme konsumen (manusia dan hewan).

Disamping itu juga bersama sama dengan CO2 (karbon dioksida) karbonmonoksida bakal menyerap kalor matahari. Hal ini menimbulkan perubahan temperature atmosfer meningkat dari tahun ke tahun. Dari realitas fenomena di atas pasti akan timbul pertanyaan dalam benak kita, akankah eksistensi manusia tetap berlangsung seratus tahun ke depan bila fenomena ini terus berlangsung, atau mungkin pula akan lahir organisma manusia straint baru, yang mengalami mutasi genetic. Hal ini wajar saja bisa terjadi, karena manusia adalah organisma yang memiliki daya adaptasi yang paling comfortable dibanding dengan organisma lainnya. Ditambah lagi manusia memiliki software dengan iptek sebagai hasil cipta dan karsa mereka. Namun demikian hingga kini belum ada satu laporan ilmiahpun yang memprediksi fenomena mutan tersebut. Karena memiliki kompleksitas yang tinggi.

Oleh karena itu sebuah tindakan manusia dalam upaya pencegahan ini semua perlu dikedepankan sebagai upaya yang paling bijak dan masuk akal. Fenomena yang mengancam eksistensi hidup manusia adalah dimulai dengan tindakan sembrono manusia itu sendiri yang tidak memperhitungkan dampaknya di kemudian hari. Hingga generasi sekaranglah yang harus mewarisi bumi yang sudah tidak ramah lagi.

Dengan sebuah asumsi yang kasar, kita bisa mendeskipsikan bahwa temperature bumi di tahun 2112 adalah sekitar 43 ° C. Di tengah temperatur udara setinggi itu, maka jelas sudah species manusia bakal menemui kepunahan, kecuali bagi mereka yang mengalami peruabahan anatomis, fisiologis dan kriteria biologis lainnya.

Atau dengan olahan cipta dan karsanya manusia mencoba merekayasa lingkungan hidup sedemikian rupa hingga mampu eksis entah sampai kapan atau bahkan dengan ilmu genetic yang telah maju dengan pesat, manusia mampu menciptakan strain manusia mutan yang telah direkayasa genetiknya. Dengan teknik tambal-sulam ikatan DNA yang terdapat pada kromosom manusia atau kromosome hewan. Sehingga manusia mampu mengkombinasikan peta-genetik hewan dan manusia demi daya tahan manusia terhadap change of climate tersebut.

Benarkah fenomena tersebut bakal terjadi di masa depan. Mengacu pada kerusakan iklim yang ekstrim sekarang maka fenomena tersebut bukan isapan jempol biasa. Hanya rasa tunduk kita kepada Tuhan yang Kuasa yang direfleksikan dengan perlakuan santun terhadap alam semesta inilah yang bakal menjadi penyelemat keberlangsungan hidup kita.

Jumat, 17 September 2010

Mendambakan KOTA SEMARANG Yang Nyaman


(SEBUAH SARAN UNTUK PAK WALI YANG BARU)

Memasuki hari ke dua setelah Pilwakot Semarang Th 2010 = 2015, sebuah pandangan ke depan yang optimis langsung merebak dari hati penulis, setelah mengetahui kemenangan yang diraih pasangan MARHEN. Perasaan ini tidak timbul lantaran simpatik yang berlebihan, tetapi semata niatan merefleksasikan urgensi Kota Semarang sebagai kota metropolitan yang sejuk, asri, aman, maju serta memliliki drainage yang representatif, yang cukup dikonotasikan dengan predikat “kota nyaman”, yang kita dambakan.

Tentunya Marhen harus mampu menautkan semua institusi yang terlibat agar mampu bergerak selaras, bagaikan mesin sebuah arloji yang harus kompak berputar demi sang waktu. Kita sambut gembira pernyataan pasangan Marhen yang akan menerapkan aspek kebersamaan sesuai janjinyaya, untuk membentuk stakeholder baik perorangan maupun lembaga untuk bersama-sama membangun Kota Semarang.

Sebagai ibu kota Provinsi Jateng, tentu pembangunan Kota Semarang harus memfokuskan pada specifikasi yang dimiliki kota Semarang yaitu adanya prediksi ilmiah Dr. Ir. Suripin M.Eng, yang dikutip dari abstraksi Dwiyanto, Agung (2009) Stasiun Tawang Yang Terdholim, yang diterbitkan Jurnal Nasional, menyatakan bahwa topografi wilayah Semarang memiliki kemiringan antara 0 sampai 2% dan ketinggian ruang antara 0-3,5 mdpl. Adapun Semarang bagian atas dengan ketingggian antara 90-200 meter dari permukaan laut. Semarang sudah menjadi langganan banjir dan rob sejak beberapa tahun yang lalu. Jika penanganan banjir tidak sistimatis, diperkirakan pada 2019. Semarang bawah akan tenggelam. Prediksi itu didasarkan pada penurunan lahan yang terjadi tahun demi tahun, yang semakin lama semakin mengkhawatirkan.

Dengan prediksi ilmiah tersebut, maka tentunya akan menimbulkan perasaan masyarakat yang tidak nyaman untuk bermukim di Semarang. Apalagi bila kita menyaksikan realisasi penyelamatan kota Semarang oleh autoritas yang masih belum mengenai sasaran (pembangunan polder di depan Statiun tawang, rumah pompa tlogosari yang belum berhasil guna). Apalagi dengan timbulnya dampak yang nyata akibat terjangan rob, yaitu rusaknya Jalan Barito dan ruas jalan lainnya yang belum terbenahi.

Apabila kelak terjadi kota yang hilang akibat terambahnya banjir rob, maka tentu saja sebagian besar warga Semarang yang berdomisili di Semarang Utara tidaklah mungkin mempertahankan tempat tinggalnya, terutama bagi yang mampu. Namun masalah pelik mulai muncul bila ancaman itu mendera masyarakat menengah ke bawah, yang tidak memiliki tempat pemukiman lainnya, Maka menjadi tantangan yang berat bagi Marhen untuk peduli wilayahnya, masyarakat serta amanat yang diembanya.

Namun disamping itu, specifikasi lainnya pun dimiliki kota Semarang dengan topografi nya unik, yaitu perbedaan yang signifikan antara topografi pantai (sebelah utara) dengan daratan berbukit di bagian selatan Kota Semarang. Dengan demikian Semarang bagian bawahlah yang menjadi penampungan air hujan dari bagian selatan. Tentu saja Marhen disarankan untuk mengkonsep lagi sistim drainage kota yang serius, setidak-tidaknya merehabilitir drainage yang pernah dikonsep pemerintah kolonial dulu. Karena banyak sistim drainage peninggalan kolonial yang sekarang tak berfungsi optimal karena sedimentasi.

Rasa heran bercampur prihatin mengganjal dalam benak kita semua, tatkala kita menyaksikan Kota Semarang bagian atas yang telah disulap menjadi tempat pemukiman komersil oleh pihak pengembang (Jati Sari, BSB dan lain sebaganya) yang menonfungsikan reservoir raksasa air hujan alami, berupa pohon-pohon taunan yang kini rata dengan tanah. Tentunya sikap ini sama saja dengan menelantarkan anak cucu kita sendiri, karena kita tak mampu memegang amanat mereka. Padahal luas tanah 1 m persegi mampu menyimpan air tanah sebanyak 4,000 liter. Fenomena ini menggambarkan betapa terancamnya kehidupan warga Kota Semarang di decade mendatang.

Namun demikian merealisasikan Semarang Kota Nyaman tidak serta merta mengatasi tantangan alamiah belaka. Dengan penerapan teknologi yang telah diraih ahli Planalogi tantangan seperti itu bisa diatasi. Tetapi mentalitas dan moralitas warga Semarangpun harus mendapat kajian yang professional dan proporsional dalam kaitanya dengan kenyamanan hidup masyarakat sosial. Apabila kita mencermati kehidupan social Kota Semarang tentunya kita akan dihadapka pada kompleksitas yang tinggi, untuk menorehkan skala prioritas pemberdayaan potensi yang ada sekaligus factor pengendala yang paling domnan terhadap kemajuan sebuah masyarakat.

Namun lepas dari itu semua, terdapan nilai mendasar yang wajib Marhen perhatikan dalam pengentasan Kota Semarang, yaitu peningkatan laju ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Dengan adanya perhatian tiga komponen tersebut maka bila kebutuhan mendasar sebuah masyarakat social akan terpenuhi pada gilirannya nanti akan terealisasi Kota Seamarang yang Nyaman sebagai Impian kita bersama.

JATI DIRI YANG DIKORBANKAN

Rothenberg, Bess. and Miller-Idriss, Cynthia (2004), dalam abstraksi makalah mereka yang berjudul “Complex Conceptualizations of National Pride: Reevaluating a Key Indicator of the Citizen and Nation Relationship" di seminar tahunan American Sociological Association, pada Tanggal 14 Agustus 2004, mengungkapkan bahwa rasa kebanggan terhadap negara, adalah kunci sebuah indikator (key indicator) untuk mengetahu hubungan antara warga negara dengan negara mereka sendiri. Meskipun penafsiran masing-masing individu mengenai pengetahuan ketatanegaraan belum bisa dijadikan tolak ukur nilai kebanggaan mereka terhadap negara mereka sendiri. Oleh karena itu perlu adanya pencerahan kepada masyarakat umum tentang pandangan mereka terhadap nilai kebanggan dan jati diri bangsa (national pride and national identity). Sumber : All.Acedemic. Incoorperation, 2004.

Dari argumentasi Rotherberg dkk diatas tentunya kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa setiap warga negara apapun status sosialnya, tetap memliki rasa kebanggaan dan jati diri bangsanya menurut ukuran mereka masing-masing. Karena dengan sebesar apapun takaran yang dimiliki oleh suatu individu, pada hakekatnya bukan sebagai penghalang dalam pengejawantahan terhadap kepemilikan kebanggaan dan jati diri bangsa.

Jati diri yang menginternalisasi di tiap benak warga negara Indonesia dibangun oleh unsur-unsur yang beragam, diantaranya adalah unsur Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, yang kesemuanya harus dilihat sebagai “jati diri bangsa” dan ditempatkan sebagai margin of apprecfiation. Selain itu semangat reformasi mengharuskan kita untuk menghormati pelbagai persyaratan untuk hidup bermartabat ( living in dignit) yang merupakan segitiga yang bersifat universal yaitu demokrasi, rule of law dan promosi serta perlindungan HAM. ( Makalah Prof. Dr. Muladi, S.H. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional RI pada Diskusi Panel dengan tema “Revitalisasi Jati Diri Bangsa” yang diselenggarakan oleh Biro Organisasi dan Humas, Deputi Mensesneg Bidang Sumber Daya Manusia bersama Biro Kewilayahan dan Wawasan, Deputi Seswapres Bidang Politik pada tanggal 14 Juni 2006 di Kantor Sekretariat Negara RI, Jakarta ).

Dengan semanghat reformasi yang menggelinding secara liar, setelah jatuhnya Soeharti Tgl 21 Mei 1997, wajah kehidupan politik Indonesia menjadi tidak konsisten, yang pada akhirnya menimbulkan side effect yang
tidak kita harapkan, seperti maraknya perseteruan elit politik, ancaman disintegrasi bangsa, menguatknay aksi power people dan melemahnya supremasi hukumj, yang pada awalnya kita coba kondisikan dengan energi yang maksimal, serta aksi lain yang belum pernah muncul ke permukaan. Kondisi semacam ini tentunya akan menyebabkan Indonesia kembali ke perseteruan panjang multidimensional atau conflk sosial yang kronis, yang pada gilirannya akan mengikis moralitas jati diri kita.

North, Koch, and Zinnes, 1960 menyatakan bahwa konflik sosial yang umum terjadi di suatu wilayah adalah bersumber pada pembagian kekuasaan ( distribution of power ) yang berlangsung di wilayah tertentu. Konflik sosial ini biasanya berbentuk upaya – upaya pemaksaan kekuasaan, yang diharapkan mampu memenuhi hasrat para pemeran konflik itu sendiri. Sehingga sudah barang tentu, konflik akan melahirkan intrik yang beruang- lingkup pada pemaksaan hak terhadap orang lain.

Kondisi semacam itulah yang dewasa ini mendera Wajah Bumi Pertiwi, dengan wujud perseteruan antara lembaga eksecutif / pemerintah dengan institusi wakil rakyat yang disebut DPR. Lepas dari mekanisme alternatife yang mereka pilih sebagai opsi way – out perseteruan mereka, kita lebih memandang sebagai upaya menggoyang kursi keprisedanan yang di bangun dari hasil Pemilu Presiden Th 2009 lalu. Betapa tidak untuk biaya perseteruan itu sendiri kita telah mengeluarkan dana yang tidak sedikit ( untuk ukuran orang kecil yang seharusnya menjadi fokus dalam pembangunan segala bidang ), hanya untuk mengusut dana sebesar 6,7 trilyun rupiah sebagai dana bailout Century.. Apalagi perseteruan tersebut bukan hanya berlangsung di dalam Gedung Senayan saja, tetapi telah merebak ke parlemen jalanan yang dilakukan publik.

Dalam kondisi semacam itu, bangsa Indonesia sebenarnya tetap yakin bahwa persatuan dan kesatuan nasional baik yang bernuansa struktural maupun kultural (solidaritas sosial) tetap bisa dipertahankan di negeri ini, sebab bangsa ini memang didirikan atas dasar falsafah non-primordialisme, melainkan atas dasar rasa penderitaan yang sama (sense of common suffering) akibat penjajahan asing ratusan tahun. ( Prof. Dr. Muladi, S.H.). Bukan hanya itu saja yangh kita harapkan agar tetap mendapatkan predikat yang monumental sebagai bangsa yang santun, ramah, murah senyum, ringan bergotong royong, terbuka dan seabreg predikat luhur lainnya.

Dengan lengkapnya perangkat hukum kita yang diapilkasikan dalam rel sepremasi hukum, maka bangsa ini yang tadinya telah kokoh berlabel berjati diri, hendaknya menyerahkan kepada perangkat tersebut pada wadah Mahkamah Konstitusi, untuk melakuka uji materi tentang bailout. Apabila mengandung muatan pidana bukankah lebih baik diterapkan saja regulasi hukum atau sebaliknya. Bukan dengan waktu yang berbulan-bulan menyodorkan tontonan publik yang tidak dewasa.

Aspek urgensi yang harus kita cermati dibalik ini semua, adalah menguatnya gejalan instabilitas nasional yang mungkin saja terpuruk bersamaan dengan polarisasi elit politik, yang secara tidak langsung juga akan menciptakan situasi non kondusif terhadap aspek yang lebih jauh lagi, yaitu disintegrasi. Dalam hal ini hendaknya para petinggi kita segera menlakukan cooling down, atau disarankan dengan sangat untuk melakukan ultimatum yang final tak berekses lainnya, untuk mengakhiri bailoutnya pemerintah SBY. Inilah langkah penuh moralitas guna menambal jati diri yang telah terkoyak. Atau bahkan sebaliknya hanya mampu men-download misi politik partainya semata-mata menggoyang kursi presiden. Ekses lainya dari peliknya aktifitas parlemen tersebut tentunya akan diikuti oleh kekisruha lainnya yang berkesinambungan.

Bila alternatif terakhir yang dikedepankan maka jati diri bangsa yang telah mengakar ratusan tahun bisa saja meranggas atau berganti baju menjadi jati diri bangsa yang entah bagaimana bentuknya, berganti pula filosofi dasarnya. Bahakan berganti pula berpredikat sebagai bangsa yang garang, atau seabreg predikat lainnya yang sangat kontroversial. Maka sebuah pertanyaanpun akan dilontarkan oleh segenap anak bangsa yang menaruh perhatian menbdalam, mau dikemanakan bangsa dan negara yang indah ini ?.

DINAMIKA NASIONALISME Dari Masa Ke Masa

Dari satu dekade hingga ke dekade lainnya, nasionalisme rakyat di Bumi Nusantara ini terhadap negara yang eksis kala itu (berbagai kerajaan yang berdiri) terbukti tidak pernah nihil. Selalu saja nasionalisme tertanam kuat di masing-masing dada rakyat, dari mulai rakyat jelata hingga para petinggi negara tersebut. Sejak tahun 1293 hingga 2500 M, rakyat sepanjang kepulauan Nusantara ini bahu membahu mempertahankan kedaulatan dengan sebuah nasionalisme, demi eksistensinya sebuah negara/kerajaan yang disebut Majapahit, yang beribukota di Trowulan, Jawa Timur.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya. Kerajaan ini dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Borneo, Kepulauan Sulu, Manila (Saludung), hingga Indonesia Timur, meskipun wilayah kekuasaannya hingga kini masih diperdebatkan. Bukankah dengan keagungan semacam ini, tiada lain hanya nasionalisme yang kokoh saja yang berperan dalam menjaga eksistensi negara besar ini.
Bukan hanya Majapahit saja yang pernah eksis di Bumi Nusantara, tercatat dalam sejarah beberapa kerajaan lain, seperti Kediri, Singosari, Pajajaran, Sriwijaya dan kerajaan kecil lainnyapun pernah didirikan oleh rakyat di masa itu, sebagai perwujudan hasrat untuk hidup dengan damai, adil dan sentosa.
Kerajaan Kadiri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222 M. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sedangkan Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari atau Singosari, adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang, Jawa Timur.
Bahkan lebih kurang 6 abad sebelum kerajaan di P. Jawa berdiri, telah berdiri terlebih dahulu Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya), adalah salah satu kerajaan maritim yang kuat di pulau Sumatra dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; ketika seorang pendeta Tiongkok, I-tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjut prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa ditahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Coladewa dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 Sriwijaya dibawah kendali Raja Dharmasraya mengakui kedaulatan Kerajaan Majapahit.
Bersamaan dengan itu di Bumi Pasundan berdiri Kerajaan Pajajaran (Kerajaan Sunda), disebut dengan Kerajaan Pajajaran karena kerajaan ini beribukota di kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat. Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 M oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak.
Dari tahun 923 M hingga kini, tentu saja seluruh individu yang bersemayam di “Negeri Rayuan Pulau Kelapa” ini, tiada pernah melewatkan makna sebuah nasionalisme, yaitu sebuah sikap mental yang selalu berorientasi kepada rasa ingin menciptakan dan mempertahankan kedaulatan negara (dalam bahasa Inggris "nation") yang pernah ada di Bumi Nusantara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk Bangsa Indonesia ( setelah Proklamasi 17 Agustus 1945). Dengan mencermati dinamika nasionalisme tersebut pada rentang waktu tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa nasionalisme lahir bersama dengan budaya yang membentuk suatu struktur masyarakat Indonesia.
Nasionalisme kerakyaan dalam suatu negara dapat ditafsirkan sebagai kesatuan masyarakat dalam persamaan hak berpolitik dan saling berbagi tujuan politik dalam prosedur aturan main berpolitik yang telah dibakukan. Apabila nasionalisme yang demikian mampu mengusung sebuah negara, maka akan terbentuklah negara yang multikultur, tidak berdasar etnik leluhur (ethnic ancestry ). Konsep nasionalisme demikan di canangkan oleh Ernest Renan (1882). Dengan demikian konsep negara tidak lebih dari hasil derivasi dari partisipasi legitimasi politik aktif dari warga negaranya.( Jean-Jacques Rousseau, 1762)
Meskipun legitimasi partisipasi politik aktif rakyat di jaman kerajaan-kerajaan tersebut belum diwadahi aturan main yang mapan, namun karena eksistensi kerajaan tersebut mencakup daerah taklukan yang multi etnis, maka dapat kita cermati bahwa dinamika nasionalisme kala itu berjalan kokoh, karena dari segi politik tidak terdapat perbedaan suku dan ras menurut konsep Ernest Renan tersebut. Dan itu berlangsung berabad-abad.
Namun bagaimana dengan nasionalisme rakyat dewasa ini, setelah memasuki kurun waktu “era reformasi” yang mewajahi tata kehidupan bangsa ini. Diawali dengan predikat negara terkorup di Asia, nasionalisme terujikan dengan budaya “pendoliman uang negara” yang dilakukan oknum pejabat negara, sekedar untuk tujuan hedonism yang menjadi suluh sebuah peradaban baru di negara yang kita cintai ini.
Sementara predikat negara termiskinpun terus saja membahana ke tiap penjuru dunia. Spirit untuk menggapai pengentasan Indonesia dari berbagai keterpurukanpun menjadi kian tak jelas. Ditambah lagi dengan maraknya perseteruan antara pemimpin publik yang memenuhi hampir seluruh media. Hingga dengan latar belakang hilangnya “sense of belonging” dari berbagai pihak terhadap negara ini, telah menimbulkan pula stimulus untuk penyelesaian apa saja dengan cara protes anarkis dan lain sebagainya. Yang menjadi keprihatinan kita bersama adalah belum adanya langkah kebersamaan serta arah yang konkret untuk mengakhiri ini semua, atau karena telah melunturnya nasionalisme yang ada di hati kita masing-masing.
Kekecewaan demi kekecewaan “grassrote” terhadap mentalitas oknum petinggi, bisa saja menggumpal dan mengkristal ke dalam berbagai unsur separatis yang mengancam disintegrasi negara ini. Hingga sudah saatnya kita mulai dari diri kita masing-masing untuk menyelipkan nasionalisme demi langgengnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BERSIKAP SANTUN MUDIKPUN TERASA INDAH

Usai sudah hiruk pikuk mudik dan arus baliknya yang diusung para urban yang tinggal di kota-kota besar seluruh Indonesia ke daerah mereka masing-masing, dari beberapa hari sebelum Hari Raya I’dul Fitri 1 Syawal 1431 H hingga beberapa hari sesudahnya. Menurut budayawan Jacob Soemardjo, mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah mengenal tradisi ini jauh sebelum berdiri Kerajaan Majapahit untuk membersihkan pekuburan dan doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan untuk memohon keselamatan kampung halamannya yang rutin dilakukan sekali dalam setahun. Kebiasaan membersihkan dan berdoa bersama di pekuburan sanak keluarga sewaktu pulang kampung sampai saat ini masih banyak ditemukan di daerah Jawa.

Setelah Islam masuk ke Indonesia, terjadilah asimilasi budaya leluhur kita dengan ajaran Islam, yang menyodorkan konsep pembersihan diri dengan melakukan ritual maaf memaafkan kepada orang lain , guna pencapaian pembersihan jiwa dari dosa dosa mereka
Sebagian besar masyarakat Indonesia, menganggap bahwa pencapaian pembersihan diri ini akan mencapai afdhol ketika mereka bermaaf-maafan dengan orang tua dan saudara mereka di daerah asal.

Dengan melekatnya nilai nilai tersebut di atas, maka akan kita lihat hiruk pikuknya sejumlah besar pemudik yang dilakukan semua lapisan masyarakat. Hiruk pikuk tersebut memang pantas menjadi perhatian semua pihak. Lantaran bukan hanya aspek religius dan sosiologis saja yang kita cermati, namun pengkajian fenomena yang unik inipun harus di curahi perhatian ekstra, dalam ruang lingkup yang lebih luas. Betapa tidak,menurut laporan sebuah studio tv swasta nasional. Pada hari + 2 lebaran, jumlah pemudik yang melewati gerbang tol sebelah timur Jakarta, mencapai 30. 000 unit mobil dan 98.000 unit sepeda motor.

Tentu saja kegatan perjalanan mudik dan arus baliknya, setiap tahun akan memaksa pihak pemerintah, terus meng-up grade berbagai kebijakan untuk meredam dan mengatasi berbagai ekses yang ditimbulkan, seperti maraknya tindakan kriminalitas, keamanan dan keselamatan berlalin, pembenahan infrastruktur, transportasi, fenomena ekonomi, kesehatan dan lain sebagainya. Meski tiap tahun pemerintah mencoba terus memanjakan pemudin ini, namun tetap saja mudik tahun ini masih menyisakan air mata.
Betapa tidak hampir tiap tahun,jatuhlah air mata dari keluarga korban tewas kecelakaan lalin mudik dan arus balik. Mabes Polri menyatakan jumlah korban tewas akibat kecelakaan lalu-lintas selama mudik lebaran 2010 adalah sebesar . 164 korban kecelakaan lalu-lintas seluruh Indonesia, menurut ujar Kadiv Humas Mabes Polri, Brigjen Pol. Iskandar Hasan di Mabes Polri Jl. Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat (10/9). Sedangkan hingga hari Rabu, 15 September 2010, jumlah korban tewas telah membengkak menjadi . 277 Orang tewas di jalanan akibat kecelakaan. Sedangkan jumlah kecelakaan sebanyak 1.241 kasus kecelakaan.
Lebih lanjut Kadiv Humas Polri Brigjen Pol, Iskandar Hasan mengatakan, selain korban tewas ada 371 orang luka berat dan 700 orang luka ringan. Sementara kerugian materiil mencapai Rp 4,6 milliar. Pelanggaran lalin 27.115 kali, tilang 23.221 dan pembinaan 3.892 kasus, tingkat kejahatan selama musim mudik juga terus meningkat meski tidak signifikan. Umumnya, kejahatan yang terjadi bersifat konvensional seperti pencurian.
sebanyak 1.836 kasus dan 686 kasus lainya.
Kita ketahui bersama bahwa kecelakaan yang banyak dialami oleh pengguna jalan raya adalah diakibatkan sebagian besar oleh human error. Hal ini berarti budaya mudik bisa dilaksanakan oleh kita bersama dengan meninggalkan ekses korban jiwa seminimal mungkin, bila kita perduli dengan kesiapan dan kepatuhan serta tanggung jawab kita sebagai pengguna jalan, yang menyangkut pemeriksaaan awal kendaraan baik darat laut serta udara, perlengkapan utama dan pendukung berkendaraan, pengetahuan tentang rambu serta kondisi kesehatan kita sendiri. Hal ini perlu kita tekadi, lantaran mudik tahun ini lebih specific di banding tahun sebelumnya, karena faktor kendala cuaca ekstrim, yang hampir menerjang wilayah nusantara sepanjang tahun.
Oleh karena itu kita perlu mencontoh kiat Pemerintah Kota Bogor menerapkan keharusan mobil sewaan mudik plat hitam untuk mengantongi sertifikat atau surat uji kelaikan kendaraan, sebagaimana mobil pelat kuning atau kendaraan umum. Ketentuan tersebut akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Wali Kota (Perwali) atau Peraturan Daerah (Perda).Apalagi bila sertifikasi uji itu dikenakan oada semua kendaraan yang terkait engan arus mudik, yang berupa sertifikat khusus dengan pola uji berkendaraan yang lebih ketat.
Namun demikian seketat apapun suatu regulasi meski dengan sangsi yang berat, tak akan berarti apa-apa bila kita sudah menepiskan kepedulian terhadap pengguna lain dan aturan main yang ada.Hal inilah yang sering menyebabkan kemacetan jalan dan ikut andil terjadinya kecelakaan lalin, meski infrastruktur telah dibenahi oleh pemerintah secara kontinyu dari tahun ke tahun.
Dengan banyaknya kendala yang menghadang mobilisasi jutaan pemudik dan arus baliknya, kita wajib melengkapkan dengan sikap santun dari berbagai aspek untuk menciptakan suasana budaya mudik yang lebih aman, selamat sampai tujuan serta sehat sebagai syarat mutlak menikmati budaya mudik yang ramah di tahun tahuin mendatang.

Rabu, 15 September 2010

MIRAS Sang Penjemput Maut

Nampaknya bukan hanya mudik dan petasan saja, yang digunakan masyarakat kita dalam menyambut Hari Kemenangan tahun ini, namun sesuatu “perilaku yang konyol” yang biasanya dilakukan oleh sekelompok pemuda, yaitu pesta miras dari berbagai jenis merek, mulai dari merek perdagangan miras resmi hingga oplosan, yang diramu oleh oknum-oknum tertentu demi keuntungan komesil semata. Tanpa memikirkan efek sampingan bagi yang nenggak miras tersebut, yang tak jarang berbuntut pada tewasnya konsumen daganganya itu.

Bahkan tak segan segan, para pengoplos itu mengunakan kedok warung jamu untuk mengelabui aparat. Seperti yang terjadi di Riau ( 13 September malam), sebuah pesta miras yang melibatkan sejumlah pemuda yang bersama menenggak miras jenis mension. Pesta miras tersebut berujung meninggalnya 2 orang pemuda dan hingga berita ini ditulis, delapan orang masih menjalani rawat inap di RS Pelalawan, Riau.

Pesta serupa juga pernah dilakukan sekawanan pemuda Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 5 Mei tahun ini, yang merenggut nyawa 7 pemuda akibat minuman miras yang dicampur dengan minuman suplemen tertentu. Yang membuat kita prihatin,adalah kasus serupa pernah terjadi dalam dua bulan terakhir yang merenggut nyawa 5 orang pemuda.

Kasus miras pembunuh yang telah makan korban ternyata bukan hanya di Riau dan Cirebon saja. Pada akhir Agustus masih tahun ini, pesta miras juga telah merenggut 8 nyawa pemuda di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pesta konyol dilakukan di sebuah warung jamu dengan pemilik warung berperan sebagai pengoplos miras itu sendiri.

Tindakan ceroboh pengoplos seperti kasus tersebut di atas, juga pernah menggegerkan Masyarakat Jawa Tengah pada Bulan April 2010 ini, ketika 21 pemuda dari Salatiga harus meregang nyawa akibat mengkonsumsi miras oplosan yang diramu oleh oknum yang bernama Rusmanadi alias Tius (39), warga Jalan Karangpete RT 3 RW 6 Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan Tingkir, Kodya Salatiga. Berdasarkan keterangan Tim medis setempat diperoleh keterangan bahwa kandungan metanol (sejenis alkohol yang sering dipakai dalam bidang industri) yang cukup tinggi dan melebihi batas toleransi di dalam tubuh korban tewas.

Kasus kasus di atas hanyalah sebagian dari kasus perilaku konyol pemuda kita, yang tidak bisa kami sebutkan satu demi satu. Lantaran masih banyaknya kasus serupa yang tersebar di seluruh wilayah negara kita dengan variasi oplosan yang berbeda beda. Di Jawa Tengah sendiri telah jatuh korban-korban di beberapa kota akibat miras, khususnya miras oplosan. Mulai dari Semarang, Salatiga, sampai Boyolali Bahkan saat tulisan ini dibuat, diberitakan bahwa korban Miras telah mencapai 300 orang.

Gejala sosiologis tersebut memang patut mendapat perhatian serius dari kita semua, minimal kita harus memiliki konsep yang handal. Mengingat gelagat pemuda kita yang tidak mau mengambil pelajaran dari kasus sebelumnya yang serupa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mantan Kapolda Jateng Irjen Pol Alex Bambang Riatmodjo.

Ataukah mereka hanya sebatas mencari jati diri, terbukti dengan kasus seperti ini yang terus saja berlangsung tanpa bisa dihentikan oleh perangkat apapun. Bila memang sudah begini keadaanya maka peran aktif masyarakatpun menjadi salah satu metoda yang handal. Disamping tindakan sangsi hukum yang berat bagi para pengoplos miras yang tidak memiliki hati nuarani lagi.Langkah tersebut memang harus dibarengi dengan sinergi yang tegas, mengingat sudah sedemikian parahnya pekat ini menerjang masyarakat kita.

Bahkan kita sempat dibuat tidak percaya dengan kasus yang terjadi di Gothakan, Panjatan, Kulon Progom Jogjakarta ketika menemukan 8 anak SD yang nenggak miras sehabis pulang sekolah di salah satu warung miras pada Bulan Januari2010. Sementara itu Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kulonprogo Arif Prastowo membenarkan adanya peristiwa ini. Hanya saja dinas baru mengetahui beberapa hari yang lalu. Dinas telah melakukan klarifikasi, dan dibenarkan oleh guru dan kepala sekolah. Saat itu juga telah dilakukan koordinasi dengan orang tua siswa dan komite sekolah untuk pengawasan. Memang langkah ini adalah suatu harga mati ketimbang mereka nantinya menjadi generasi yang sakit mentalnya.

Dengan pendekatan terpadu yang melibatkan orang tua, lembaga sekolah, Disdikpora setempat pada kasus di atas, adalah suatu contoh penyelesaian kasus miras yang komprehensif, yang sebenarnya bisa dilakukan untuk remaja kita dengan variasi yang kondisional sesuai dengan tahapan psychology remaja. Bukan hanya dengan “oprasi pekat” saja yang dilakukan oleh institusi berwenang, yang berhasil menertibkan secara temporer. Sebab bila ini ditunda tanpa penyelesaian serius, maka jadilah pesta miras sebagai satu bagian dalam budaya kita. Ditambah lagi dengan faktor keterpurukan ekonomi, yang dapat meningkatkan perilaku antisosial yang menjadi prediktor penggunaan miras pada masa dewasa. Sedangkan anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan sosial yang kurang menguntungkan seperti kumuh, kepadatan penduduk tinggi, mobilitas penduduk tinggi, rasa kebersamaan yang rendah, dapat meningkatkan kecendrungan menjadi pengguna miras (Dari beberapa sumber).

Kamis, 12 Agustus 2010

URGENSI Pendidikan KARAKTER

Hingga sampai kapankah anak bangsa yang bersemayam di Kepulauan Nusantara ini akan kembali mendinginkan sikap, agar tidak lagi mudah melampiaskan ketidakpuasan yang direfleksikan dengan demo anarkis, kericuhan masa karena ketidakpuasan hasil pilkada, mencoba bunuh diri untuk menarik perhatian publik karena keterpurukan ekonomi, pemalsuan seputar peralatan tabung gas 3 kg hingga telah banyak memakan korban jiwa, penggemukan rekening pribadi demi kepentingan oknum itu sendiri dan perseteruan antara petinggi serta tindakan amoralitas lainnya yang terus saja membahana di wajah Indonesia.

Untuk mengurai benang kusut tersebut tidak serta merta dapat dilakukan dengan penyempurnaan regulasi seberapa canggihnya untuk menyisipkan aspek jera pada oknum pelanggaran amoralitas tersebut di atas. Tetapi lebih berdaya guna untuk melengkapi aspek “budaya malu” pada masing-masing sanubari anak bangsa.

Sebegitu urgennya budaya malu sehingga Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, menyatakan bahwa perasaan malu selayaknya disemai sejak awal, agar kita bisa maju dan terus memperbaiki kualitas hasil kerja. "Contohlah orang Jepang," ujarnya saat memberi orasi ilmiah kepada wisudawan Universitas Pancasila di Jakarta Sabtu 10 Mei 2008 silam. Rasa malu hanyalah satu contoh nilai hidup yang dapat memajukan suatu bangsa.

Menindaklanjuti pernyataan mantan Perdana Mentri Malaysia tersebut terutama dalam aspek “character building” sejak dini, kitapun menjadi bertambah terimajinasi bahwa sudah selayaknya kita tidak hanya mengedepankan hanya aspek kognitif saja dalam mengantarkan peserta didik menjadi generasi insani seutuhnya. Meski di dalam laporan hasil evaluasi prestasi peserta didik yang disodorkan kepada orang tua murid terdapat sertaan aspek psikomotor dan afektif, namun sebagian besar pendidik cenderung menyematkan siswa berhasil dan tidak sebuah pembelajaran hanya dari aspek kognitif, tanpa mengindahkan aspek bentukan karakter peserta didiknya.

Sebuah karakter yang dicetak dari pendidikan karakter adalah sesuatu yang biasa dilakukan guna mencapai budi pekerti yang baik, yang didukung oleh nilai sosial yang melingkunginya. Sehingga mampu mengantarkan setiap peserta didik dalam bentukan individu yang berperan baik di tengah masyarakatnya kelak di kemudian hari. Hal inilah yang menjadi tujuan utama pendidikan karakter.

Hal ini disebabkan karena perkembangan karakter seorang individu tidak bisa lepas dari culture sosial yang melingkunginya, yang kemudian mmenjadi nilai hidup yang jauh terpatri dalam lubuk hatinya. Oleh karena fenomena perkembangan karakter suatu individu yag bersosialisasi di peradaban timur akan berbeda dengan peradaban barat. Sebagai contoh ciri dasar karakter individu yang bersosialisasi di peradaban timur adalah karakter tenang dan pendiam (quiet and calm). Namun karakter dasar ini akan bergeser menjadi bentuk lain apabila terinfiltrasi nilai sosial dari peradaban barat atau peradaban lainnya. Namun karakter individupun mampu bergeser ke bentuk lain lantaran terjadi pergeseran nilai yang terjadi di tengah masyarakat sosialnya sendiri.
Karena fitur sosial masyarakat modern Indonesia yang mencirikan peran pria dan wanita tanpa perbedaan, maka pandangan tentang perkembangan karakter menurut Aristoteles yang mensentralkan pada nilai dasar, kini telah berkembang pesat ke arah multifilosofi, seperti politik, pendidikan, gender dan lain sebagainya.
Padahal dalam upaya merekonstruksikan sematan “bangsa yang berbudaya luhur” sebuah pembelajaran karakter peserta didik perlu ditanamkan bersamaan dengan dinamisasi perkembangan kepribadian peserta didik
Oleh karena itu sebuah pendidikan karakter dalam arti luas perlu dikurikulumkan guna revitalisasi pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik tentang kesiapan pola sikap laku untuk mengembangkan berbagai aspek moralitas, kemasyarakatan, sikap yang baik, kejujuran, kesehatan, sikap kritis dan keterbukaan. Bahkan menurut konsep pendidikan karakter yang mutakhir, pembelajaran tentang sosial dan emosional, perkembangan kognitif, ketrampilan, pendidikan kesehatan, sikap anti kekerasan, etika dan mencegah serta mampu bertindak sebagai mediator setiap bentuk konflik.

Sekedar hanya untuk studi banding, dewasa ini terdapat sejumlah program pendidikan karakter yang bervariasi bergantung dengan tujuan dunia pendidikan atau dunia usaha yang diselenggaran di Amerika Serikat. Tetapi pendekatan yang umum sering diterapkan untuk dua tujuan tersebut di atas, adalah principles ( pokok utama tentang karakter), pillars (factor pendukung) dan values atau virtues ( nilai dasar). Tetapi dari tiga aspek pendukung pemberlangsungan pendidikan karakter, aspek nilai dasar yang paling mendominasinya.

Sebagai langkah awal pemberdayaan pendidikan karakter adalah diterapkan semua satuan pendidikan meneriwa calon peserta didik di tahun ajaran baru ini dengan memfokuskan system penerimaan “the best process”, yaitu sistim yang menerapkan penyaringan bukan hanya dari aspek kognitif, yang biasa diterapkan pada masa ebelumnya dengan sistim ”the best input”. Dengan the best process inilah suatu sekolah yang baik bisa saja menerima calon peserta didik yang harus dibenahi karakternya. Sehingga fungsi satuan pendidikan lebih kea rah bengkel mesin, dan pada akhirnya mampu berhasil guna sebagai “show room mobil” yang memajangkan mobil yang mengkilap dan siap pakai setelah dipermak.

Permakan tersebut diperoleh karena telah tuntasnya Multiple Intelligences Reseach (MIR) secara tuntas dan akurat kepada semua peserta didik. Sehingga bahan ajar yang disodorkanpun mampu dikompetensi oleh siswa setara dengan perkembangan karakternya yang ditampilkan.

Demi eksisnya bangsa yang santun, ramah, terbuka, mendahulukan rembug ketimbang beranarkis demo maka tidak ada salahnya kita meroknstruksi sesuatu yang hilang, yaitu revitalisasi “budaya malu” yang pernah tersemat di bangsa yang sedang meradang ini dan mampu menjadi identitas dunia internasional(Dari berbagai sumber)